Minggu, 29 Juni 2008

Panbill Mall

Selain beberapa mall mentereng, Batam juga mempunyai Panbil Mall di Mukakuning. Berbeda dengan pendahulunya, mall ini didirikan untuk membidik kalangan menengah bawah, umumnya para buruh di kawasan industri Mukakuning.

Minggu kemarin, saya sempat berkunjung ke mall ini. Setelah tiga tahun, banyak juga perubahannya. Namun tetap ramai oleh para buruh.

Konsep mall ini dibuat cukup apik. Di sekelilingnya dibangun ruko-ruko yang menjual aneka jasa dan kebutuhan, baju, mulai perabot, makanan dan bank.

Bangunan intinya juga berdagang yang sama (keburtuhan dan jasa). Bedanya, kalau di bangunan inti semuanya terpadu, sehingga memudahkan pengunjung. Beda dengan di luar, yang letaknya terpencar-pencar.

Selain itu, di hall mall ini sering digelar iven seni. Di hari Minggu, kemarin giliran Batam TV menggelar acara final lomba karaoke cap Enak. Saya lihat, mulai pagi krew televisi swasta di Batam ini, mulai mengatur kursi dan panggung.

Masih di hall itu juga, masih ditempati pameran sepeda motor dan aneka jualan karajinan tangan. Di sisi-sinya banyak gerai penjual emas, arloji hingga toserba Ramayana.

Sedangkan di lantai II, ditempti penjual busana. Yang paling dominan saya lihat adalah SHM. Toko busana yang mengusung motto raja diskon ini, sampai membuka empat gerai di tempat strategis, dekat tangga.

Namun, ada yang berubah. Di lntai III sudah tak lagi ditempati rumah billyar dan restoran Thainland. Mereka sudah tutup. Padahal dulu, untuk resto Rhailand, ramai ekspatriat datang. menu khasnya adalah tom yam dan steambooth.

Eits... hati-hati, Anda harus menghabiskan makanan di sini. Sebab, jika ada sisa akan dikenakan biaya tambahan!

Analogi-analogi


musuh dari musuhku adalah kawanku

kalau tak bisa mengalahkannya, bergabunglah

idialisme itu tetap harus melihat kenyataan

saat pertama kali masuk wc umum, kita selalu tutup hidung, lalu ngomel karena Bau. Tapi lama-kelamaan, kita akan terbiasa dan bersatu dengan bau itu. Malah kita akan merasa heran jika ada bau wangi. ''Kok wangi ya???!

Ha ha ha... Anda ini, baru melihat pantai sudah merasa mengarungi tujuh samudera.

Jalan Raya Batam Center Kian Buas


Jalan raya di Batam Center kian tak bersahabat. Sesama pengendara saling terkam, bak gerungan serigala yang siap menerkam. Korban jiwa, baik yang luka hingga meninggal kian menumpuk saja.

Sejauh pengamatan, jalur ''merah'' rawan kecelakaan tersebut terjadi di ruas jalan Laksamana Bintan, tepatnya antara Simpang Frengki menuju Gelael. Di sini titik rawannya adalah, dekat pasar Mitra Raya, Marchelia, dan Orchard Suite.

Selain itu, antara Simpang Frengki menuju Simpang Kabil. Di sini titik rawannya adalah dekat Perumahan Dutamas.

Di titik tersebut, dalam seminggu ini saya sudah menyaksikan 5 kecelakaan. Pertama dan kedua terjadi di depan Orchard Suite (antara motor dan motor, korbannya luka parah), depan Marchelia (antara motor dan motor korbannya gegar otak akhirnya meninggal), depan Mako Lantamal (antara truk dan motor penegndara motor luka parah, kendaraan hancur)

Di depan Pasar Mitra Raya (antara motor dan metrotrans, pengendara motor sekarat. Kakinya patah, telapaknya menggantung hampir putus)dan terakhir di samping perumahan duta mas, antara motor dan metrotrans (Pengendara motor gegar otak).

Ini baru kecelakaan yang berat, belum lagi yang terserempet dan lainnya. Kalau dilihat, mayoritas korbannya adalah penegndara motor. Penyebab semua ini, adalah pengemudi yang ugal-ugalan, kejar setoran dan ditunjang bentuk jalan, khusus di jalan Laksamana Bintan, yang lapang dan luas sehingga merangsang untuk ngebut.

Penyebab lain, minimnya rambu, marka jalan serta banyaknya belokan langsung menuju tempat keramaian dan perumahan. Hal ini tampak dekat Pasar Mitra Raya, Marchelia, Orchard Suite, dan Duta Mas.

Tak ada batas jalan menuju ke sana, sehingga pengguna jalan yang berlawanan arah bisa langsung memutar kendaraan. Inilah yang kebanyakan membuat celaka.

''Mestinya DLLAJR tanggap soal ini, sehingga tak selalu terjadi korban jiwa,'' jelas Lilik, ketua RW Orchard Suite. Seperti diketahui, jumlah kecelakaan di depan komplek ini paling tingi. (baca juga link berita terkait, ''Kecelakaan di Orchard Suite'').

-------------
Foto: Tabrakan antara sepeda motor dan angkutan kota belum lama ini.

Sabtu, 28 Juni 2008

Kerja kerja kerja


Ada orang memandang jabatan layaknya operator, terikat jam 7 ke 7, hidupkan mesin, kerjakan sesuai juklak juknis, lalu pulang tunggu gajian. Begitu terus.

Ada orang memandang jabatan layaknya membuat SIM. Santai saja, tak usah repot berfikir, toh nanti begitu umurnya sudah sampai pasti dapat juga.

Ada orang memandang jabatan layaknya percintaan, marah kalau dibilang loyo, selalu tak puas dan selalu mencari nuansa baru agar tak menoton. Namun, semua upaya ini tetap malu kalau ketahuan orang.

Ada orang yang memandang jabatan layaknya jendral Jepang di medan perang, maju terus, penuh strategi, tetap cool meski peluru di atas kepala. Kalau salah, jantan melakukan hara kiri.

Ada orang yang memandang jabatan seperti politikus sedang kampanye. Janji terus, koar-koar terus, teori terus, tebar pesona terus, piting-piting terus, ngakali rakyat, dan ditutup dengan kata ''He he he, tak ada kawan abadi di kantor, karena yang ada hanya kepentingan!''


catatan: Semua tipikal di atas bukan berarti orang tersebut pemalas, ini semua hanyalah cara mereka memandang jabatan itu sendiri.

Jumat, 27 Juni 2008

Telinga Kiri Hilang (1)


Bagaimana rasanya kalau selama dua hari dua malam telinga kiri Anda tersumbat?

Saya pernah mengalaminya, rasanya benar benar bikin pusing. Tubuh tak seimbang hingga mau marah. Maklumlah, karena telinga adalah penyeimbang saat manusia berdiri. Ibarat ekor pada mahluk berkaki empat.

Selain itu, sangat sunyi diselingi rasa dengungan dan semi tuli dibuatnya. Sebab yang tersumbat telinga kiri, di mana kemampuan mendengarnya memiliki desibel lebih tinggi dari yang kanan.

Siksaan ini bermula ketika Jumlat malam, pukul 22.00, saya memasukkan obat tetes telinga. Tujuannya untuk membersihkan kotoran. Agar obatnya bekerja, selama beberapa menit saya biarkan.

Namun apa yang terkadi kemudian? Saat obatnya dikeluarkan, telinga saya malah tersumbat. ”Lho, kok obatnya tak keluar?” Penasaran, saya langsung menuju kamar mandi.

Beberapa tangkup air saya masukkan ke telinga kiri itu, dengan harapan airnya bisa keluar. Namun tak berhasil. Tak putus asa, saya ulangi sesekali mengetuk-ngetuk tempurung kepala. Namun juga tetap tak berhasil.

”Aduh jangan-jangan malah gendangnya yang kena. Ke mana malam-malam begini mau cari dokter spesiali THT?” pikirku.

Takut terjadi hal tak diinginkan, malam itu juga langsung meluncur ke Emergency Rumah Sakit Awal Bros, yang letaknya 500 meter dari rumah. Seorang lelaki muda yang ternyata dokter jaga, langsung menghampiri dan menanyakan apa keluhanku.

Selanjutnya, dengan sebuah senter kecil dia mulai memeriksa ringga telinga.
”Tak ada apa-apa Pak. Ini telinganya bagus. Mungkin hanya kemasukan air. Bawa tidur aja, besok pagi juga keluar sendiri.”

Akupun pulang, lalu berusaha tidur dengan posisi telinga kiri di bawah. Harapannya agar airnya cepat keluar.

Tapi tak tenang juga. Beberapa kali saya sempat terbangun. Saat itu, yang saya ingat adalah telinga kiri. Lapat-lapat saya mendengar suara amat jernihnya. Aku pikir, pendengaranku telah pulih. Tapi tak lama saya kecewa, karena ternyata masih tersumbat.

Begitu terus.

Telinga Kiri Hilang (2)

Pagi menjelang, kerjapun tak tenang. Semua kawan-kawan di kantor yang saya tanya, selalu menyarankan hal yang sudah saya lakukan.

”Masukkan air ke telinga, lalu keluarkan lagi,” begitu. Anehnya saya selalu saja lakukan saran ini hingga leher saya pegal.

”Aha... Mungkin ada cara lain.” Sebuah ide keluar. Saya ambil selembar tisu lalu dilinting kecil lalu dimasukkan ke telinga yang tersumbat tadi. Harapan saya, air tersebut akan diserap dengan baik.

Tapi apa yang terjadi, dug... dug... ksek... ksek... Tisu tersebut seolah membentur dinding. Padahal kalau dirasa, alurnya mestinya lorong telinga tak berakhir di sana.

Panasaran, saya mengambil cotton bud ukuran kecil lalu saya masukkan. Kali ini saya coba gesek dinding tadi. Auch... rasanya ngilu, tipis dan tajam. Ah mungkin ini gendang telinganya.

Hingga pada kedua, tepatnya hari Minggu saya sudah tak tahan lagi. Melalui telepon saya hubungi beberapa rumah sakit, apa ada dokter Spesialis THT-nya yang buka praktik. Akhirnya, dapat juga. Tempatnya di Rumah Sakit Harapan Bunda.

”Nanti praktik jam tujuh (19.00) Pak,” jawab suara di ujung telepon. Seusai salat maghrib, saya meluncur ke sana.

Tak menunggu lama, seorang suster berjilbab memanggil nama saya. Seorang dokter usia 40-an berambut kribo, telah menunggu ramah sambil mempersilakan duduk. Setelah diagnosa sebentar, dia mempersilakan duduk di kursi khusus.

Kursinya mirip dengan kursi pasien dokter gigi, memiliki poros di tengah sehingga bisa memutar 180 derajad. Cuma bedanya, sandarannya tak bisa digerakkan. Tetap 90 derajad.

Tiba-tiba dia mengeluarkan alat mirip sedotan limun dan langsung dimasukkan ke telinga kanan saya. Ternyata di ujung alat itu ada sebuah kamera dan lampu cukup terang. Alat ini terproyeksi ke sebuah televisi layar cembung 21 inchi.

”Ini pak gambaran telinga sehat,” katanya, menunjuk ke televisi. Di sana saya lihat liang telinga saya bersih. Sebuah benda bulat mirip plastik, berkilau saat terkena sinar alat tesebut. ”Ini adalah gendangnya Pak,” jelasnya.

Selanjutnya, jelajah dilanjutkan ke telinga kiri yang tersumbat itu. Ampun apa yang terjadi?

Telinga Kiri Hilang (3)

Saya melihat liangnya merah, dengan calar-calar memanjang, mirip jejak ban sepeda motor. ”Ini tadi bapak korek ya? Ini bekasnya.” Sayapun mengangguk.

Hingga akhirnya, saya melihat di ujung liang telinga itu ada dinding bulat berwarna hijau kemerahan dikelilingi garis merah kecoklatan. Letaknya sekitar 2 cm dari gendang.

”Nah di sini masalahnya. telinga Bapak tersumpat kotoran telinga. Nanti saya terangkan kenapa begini.”

Tak lama sang dokter mengambil alat berbentuk pistol, dengan moncong sebesar limun juga. Setelah diujungnya dibasuh alkohol 90 persen, dia langsung memasukkan ke telinga saya tadi.

Dan... Zing... Kre.. kree... kreekkk... Alat tersebut bekerja, menyedot kotoran tadi. Rasanya, geli diselingi rasa ngilu yang tipis dan tajam. Saya sampai tak tahan.

Setelah itu, wa wa wa wa... Suara-suara yang tadinya hilang kembali terang. Ibaratnya, sudah stereo lagi. ”Alhamdulillah, Engkau kembalikan pendengaran saya...” sebuah puji syukur keluar spontan. Dokterpun tersenyum kecil, lalu dia mengambil cotton bud dan membersihkan telinga saya, setelah itu langsung duduk di kursinya.

”Telinga bapak tersumbat oleh pengikisan kotoran,” jelasnya. Jadi, saat saya memasukkan alat tetes telinga itu, rupanya kandungannya melarutkan kotoran telinga hingga terjadi penumpukan dan tak lama mengeras, sehingga menghadang saluran gendang. Pantas saja saya kehilangan pendengaran.

Dia juga berpesan agar tak usah lagi menggunakan obat tetes tersebut. Sebab hanya membuat kotoran jadi mengambang saja.

”Kalau mau dibersihkan pakai cotton bud yang ujungnya dicelup ke baby oil. Tapi dalamnya tak lebih segini,” katanya, sembari menunjukkan ujung cotton bud yang panjangnya tak lebih dari seruas jari.

”Ya kalau bisa jangan sering dibersihkan Pak, kan itu juga untuk menjaga agar telinga kita tetap aman,” bebernya. ”Karena telinga bapak sehat, maka tak saya kasih obat,” jelasnya. Sayapun langsung bersiap pulang.

Ah senang rasanya, pendengaran kembali pulih. Ada pelajaran yang bisa saya petik di sini. Namun yang tak enak saat membayar di kasir, sungguh mahal, sampai menguras uang Rp200 ribu. Biaya konsultasinya saja mencapai Rp80 ribu, sisanya untuk biaya tindakan dan administrasi.

Biaya yang cukup sesak bagi saya yang hanya memakai sandal jepit ini. Tapi sudahlah, itung-itung punya pengalaman kotoran telinga saya dibersihkan dokter spesialis.

Rabu, 25 Juni 2008

Ngaliman


”Redaktur Pelaksana Batam Pos H Ngaliman SE resmi mundur dari koran yang telah membesarkannya.”

Begitu kabar yang saya dengar, hari ini. Alasan pria asal Kebumen, Jawa Tengah tersebut adalah, karena lulus seleksi Komisi Pemilihan Umum Daerah Batam. Ini adalah sebuah konsekuensi.

Ingatan saya langsung terbayang saat pertama kali bertemu alumni Fakusltas Ekonomi Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto itu.

Kala itu, awal bulan November 1999, saat dia melamar ke Sijori Pos (nama Batam Pos dulu) bersama Rian Djatnika yang kini sukses di Staf Ahli DPRD Batam.

Penampilannya selalu rapi, dengan celana begi warna coklat dan kemeja krem. Sepasang sepatu vinil hitam bersol tipis selalu melekat di kakinya. Pada saya saat itu dia bercerita, bahwa selama di Batam dia tinggal rumah liar di Bengkong.

Gambaran lain yang saya tangkap tentang keimanan Ngaliman. Meski tak miara janggut, dia terkesan fanatik. Salatnya tak pernah tinggal, tak pernah mau membicarakan kekurangan orang lain, dan selalu mencari rezeki yang bersih.

Sebenarnya Ngaliman punya saudara di Batuaji, namun dia pilih hidup mandiri. Saya sendiri kadang sering diajak nginap di rumah kakaknya di Batuaji itu.

Dari Nol
Ngaliman merintis hidup di Batam dengan awal yang getir. Bekerja keras, namun tetap mencari rezeki yang halal.

Hasilnya, sebelum jadi wartawan dia telah mampu membeli sepeda motor Suzuki Shogun GS 110, meski seken. ”Di sini saya nyambi jadi loper Sijori Pos,” jelasnya. Ini jualah yang membuat dia ingin menjadi wartawan.

Akhirnya impiannya tercapai. Ngaliman resmi bekerja di Sijori Pos, dengan kode ck5 alias calon koresponden nomor 5.

Karena minat dan bakatnya di ekonomi, tulisan Ngaliman sering mengupas soal ekonomi. Namun, tak jarang tulisannya juga sering tampil dalam bentuk feature. ”Saya suka nulis panjang,” jelasnya.

Setelah Sijori Pos membentuk koran metro bernama Batam Pos (kini namanya Posmetro Batam), Ngaliman menjadi salah seorang yang ditawari untuk ke sana. Namun dia tolak.

”Bukannya tak mau, tapi memang saya tak biasa nulis berita kriminal,” jawabnya halus.

Ngaliman memang tidak berdusta. Buktinya, saat 2002 Sijori Pos menelurkan Harian Ekonomi Batam Ekspres (kini sudah tak terbit), dia bersedia ditarik ke sana. Posisinya saat itu Koordinator Liputan.

Yang menarik, dia selalu berbahasa Inggris saat memimpin rapat dengan reporternya. Alasannya, karena koran ekonomi jadi harus bisa bahasa internasional.

Setelah Batam Ekspres tak lagi terbit, Ngaliman kembali ditarik ke Sijori Pos, yang saat itu telah berganti nama menjadi Batam Pos, dan Batam Pos menjadi Posmetro Batam.

Selamat menempuh hidup baru ya... semoga tetap bersih.
--------------
Foto: Ngaliman
tulisan ini saya dedikasikan untuk para pejuang

Selasa, 24 Juni 2008

Lagi Sakit


Telunjukku terluka, sakit rasanya

Pelakunya malah memberi saran yang tak nyambung, lebih sakit rasanya

Pelakunya malah tertawa, lebih sakit sekali rasanya

Pelakunya malah cengar-cengir lalu pulang, sungguh lebih sakit sekali rasanya

Pelakunya malah tak tahu kalau rasanya sakit, sungguh lebih teramat sakit sekali rasanya

Pelakunya malah tak ditindak, pelakunya malah dapat reward, sungguh sangat lebih teramat sakit sekali rasanya

Senin, 23 Juni 2008

Peminta Sumbangan Masuk Pasar

Sudah dua hari minggu ini saat ke pasar Mitra Raya, Batam Center, saya selalu melihat wanita berjilbab putih, usianya sekitar 30-an bawa-bawa map hijau.

Tiap orang yang belanja ikan dan sayur dia dekati, lalu dari mulutnya keluar hibaan, ''Bu, bantulah kami. Ibu saya tabrakan mau berobat,'' rengeknya. Namun, ibaan ini tak digubris.

Setiap kali bertemu wanita ini, mata saya selalu tak dilepaskan dari gerak-geriknya. Namanya juga peminta-minta, sikapnya selalu ''konsisten''. Setiap kali ditolak, setiap kali itu pula dia bangkit lalu minta-minta lagi.

Hingga akhirnya saya penasaran, dan hari Minggu 22 Juni, lalu saya dekati dia. Melihat saya datang, matanya langsung berbinar penuh harap. ''Ah rezeki saya hari ini datang juga,'' pikirnya.

Setelah dekat, aneka kalimat hibaan meluncur. ''Kasihan pak, saya mau mengobati ibu saya,'' pintanya sembari menyodorkan map hijaunya yang mulai kumal.

Di situ saya melihat, sebuah foto wanita separuh baya mengenakan baju kurung warna ungu dan jilbab senada, tengah duduk di kursi.

Di tangan kanannya memegang kruk, sementara (maaf) kaki kirinya buntung sekitar 10 cm dari atas mata kaki. Sepintas foto ini mengingatkan saya pada Lia Eden, pemimpin Jemaat Salamulah. Gayanya mirip banget.

Di sebelah foto itu ada stempel kelurahan dan tandatangan yang dibubuhkan diatas materai Rp6000 warna abu-abu.

Di atasnya, ada kalimat pernyataan yang intinya menegaskan bahwa orang ini harus di bantu, dengan nama lengkap, tempat tanggal lahir, dan alamat.

Namun saya melihat kejanggalan. ntah salah ketik atau apa. Di sisi kanan surat keterangan tiu tertulis nama si ibu ''Rahmah'', sedangkan di sisi kiri tertulis ''Rahman''.

''Kamu dari mana?''

''Dari Piayu Pak,'' jawabnya. ''Ini ibu saya.''

''Gimana sih, kok di sini Rahmah, sedangkan di sini namanya Rahman. Gimana orang mau percaya. Edit lagi ya!''

Saya pun langsung pergi, si wanita itu pun kebingungan. Mungkin dia bertanya, apa maksud kata ''edit'' tadi.

Emang wartawan, he he he...

Buka Tempurung, Temui RT/RW se Batam (1)


Tak terasa, minggu ini sudah minggu ke tujuh saya bertandang ke RT/RW dan warganya untuk berdiskusi masalah apa yang mereka hadapi. Wah, sueger rasanya.

”Sueger..?” Ya, karena , tiap saat itu saya bisa punya pengalaman, pengetahuan, dan yang lebih penting; ”saudara” baru. Bukankah Islam mengatakan, rajin silaturahmi bisa memperpanjang usia?

Pengetahuan baru yang saya maksud di antaranya, saat di diskusi Bengkong Sadai saya melihat sungai di sana telah menjadi tempat sampah raksasa. Pencemaran dan semacamnya, siap menerkam warga di sana.

Saat di Sengkuang saya mengetahui bahwa daerah tersebut telah menjadi basis eksploitasi manusia. Praktik ini kuat mengakar dan tak terusik, karena pengamanan oleh aparat kian ketatnya. Di basis etnis Bugis ini saya bertemu dengan Abdul Mutalib, Modin, dan lain-lain.

Di Kavling Baru Batuaji, saya miris bahwa tak sedikitpun Pemko Batam membantu pembangunan di sana. Bahkan, tiap minggu banyak anak tertabrak sepeda motor, akibat tak memiliki tempat bermain. Di basis etnis Batak ini saya bertemu dengan Pardon Nababan, Dormon Nainggolan, para sesepuh dan lain-lain.

Semua ini telah memberikan pengalaman baru bagi saya. Di sana saya bisa merasakan langsung denyut masyarakat, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana penderitaannya.

-------------
Foto: Suasana saat diskusi di Kavling Baru, Batuaji

Buka Tempurung, Temui RT/RW se Batam (2)


Lain padang lain ilalang, lain daerah lain juga adatnya. Saat kunjungan itulah saya mendapat pelajaran bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang yang sangat majemuk dan memiliki latar belakang dan disiplin ilmu yang jauh dari apa yang selama ini saya anut.

Yang lebih berkesan adalah, penyambutan mereka yang bersahaja. Khas dengan adat dan perilaku yang mereka emban. Tak sedikit pula yang datang kaum wanita, ibu-ibu, hingga nenek-nenek.

Bahkan saya terharu melihat anak-anak kecil, terlelap di pangkuan ayah dan ibunya demi menyaksikan kami diskusi. Jadi diskusi ini bisa mengalahkan rekor penonton film Ayat Ayat Cinta, ha ha.

Tempat diskusi pun beragam. Kadang di rumah penduduk, kafe, gasebo, masjid, hingga di tengah jalan komplek perumahan. Suguhan hangat pisang goreng dan teh, kerap menemani dalam setiap sesi.

Bahkan saat diskusi di Perumahan Palam Permai, depan rumah Pak Umar, saya sampai tak kuat menahan kenyang, karena banyaknya makanan dan aneka minuman yang disajikan. Mulai teh, air mineral, hingga jus jeruk dingin. Tak lupa, gorengan, kacang garing, hingga martabak coklat ikut meramaikan suasana.

Seperti biasa, dalam diskusi selalu saja ada orang yang sok tahu, narsis, hingga yang tak nyambung dan munafik. Namun juga banyak yang bijaksana.

Selain itu adanya orang yang vokal dan sangat vokal. Setiap sesi selalu mau ngomong. Dan kebalikannya, yang paling banyak saya temukan adalah peserta yang diam. Entah paham atau sebaliknya, pokoknya diam. Jika ditanya pura-pura ada SMS, atau kadang hanya lempar senyum.

Menghadapi jenis-jenis individu semacam ini, memang memerlukan teknik psikologi komunikasi tersendiri. Kuncinya memang harus banyak mendengar dan selalu meletakkan hati di telapak kaki. Bukalah semua tempurung itu, karena di sini tak ada arti.
----------
Foto: Suasana saat diskusi di Perum Cendana. Anak kecil tertidur di pangkuan ayahnya.

Buka Tempurung, Temui RT/RW se Batam (3)


Ah, saya jadi teringat pada ajaran guru ngaji saya dulu. ”Kalau merendahkan hati, ilmu akan mudah masuk,” katanya, sembari menuang teh dari poci ke cangkir sebagai peraga tamsil. Sungguh dalam.

Meski demikian, harus tetap tegas jika materi diskusi sudah ngelantur ke mana-mana. Selama pengalaman saya, saya sudah tiga kali menegur peserta diskusi, bahkan sedikit marah (dengan santun tentunya), karena sudah tidak fokus lagi.

Masak, orang membahas masalah drainease yang tak beres, kok malah ceramah soal sistem pemerintahan dan politik. ”Pak, cukup saya rasa ini sudah melantur. Kalau mau dengar ceramah soal sistem politik tentunya saya tidak kemari!” sergah saya. Tapi setelah diskusi selesai, kita salam-salaman lagi.

Sebenarnya saya bingung juga, kenapa saya bisa lancar dan berani ngomong di depan masyarakat luas seperti ini. Padahal dalam keseharian tinggal di dalam ”tempurung”, saya lebih banyak diam.

Karena itulah, saya merasa diskusi ini sangat memberikan nuansa yang fresh.
----------
Foto: Suasana saat diskusi di Masjid Perum Tiban Ayu

Sabtu, 21 Juni 2008

Kambing Instan untuk Aqiqah

Di Batam banyak jasa yang menyediakan hidangan prasmanan siap saji untuk Aqiqah. Dengan demikian, warga tak lagi susah payah untuk mencari kambing, menyembelih, memasak, dan membuat satenya. Semua akan disajikan segera.

Salah satunya yang menggeluti bisnis ini adalah Kang Kasab, warga Bengkong Permai. Saking terkenalnya, warga setempat lebih mengenalnya dengan sebutan ''Haji Kambing'' dari pada nama aslinya.

Di lahan seluas 95 meter persegi yang berada di sebelah rumahnya, dia sulap menjadi kandang kambing. ''Kambing-kambing ini banyak didatangkan dari Jambi,'' jelas kakek dengan banyak cucu ini.

Bagi yang berminat, biasanya pembeli memilih dulu kambing yang diinginkan. Harganya antara Rp900 ribu hingga Rp1,3 juta. Tergantung besar kambing.

Untuk urusan memasak dia serahkan pada sang istri. Ongkosnya Rp400 ribu perkambing. ''Biasanya tulangnya digule dan dagingnya disate. Satu kambing ukuran sedang bisa menghasilkan 400 tusuk,'' jelasnya.

Seiring permintaan, Kang Kasab menambah lagi varian menunya, berupa tongseng kambing. ''Ini dibuat dari jeroannya. Ongkosnya tak mahal, cukup menambah Rp50 ribu saja untuk beli bumbu,'' jelasnya.

Kini, hampir tiap minggu lelaki asal Madura ini selalu kebanjiran pesanan. Karena pelayanannya, nama Kang Kasab kini sudah luas terkenal di Batam. Tak hanya sekitar Batam Center saja, tapi sudah merambah Nongsa dan Batuaji.

Jumat, 20 Juni 2008

Evolusi Gaya Hidup Seluler (1)


Tiga belas tahun lalu, sekitar tahun 1995, mungkin sebagian besar kita kurang begitu familiar dengan apa itu telepon seluler. Terlampau mahal. Masyarakat saat itu masih dilanda demam pager. Bibip bibip... begitu bunyinya.

Masih ingat, saat itu operator yang baru ada hanya Telkomsel. Untuk berlangganan prosedurnya cukup rumit dengan harga nomor yang cukup mahal. Saat itu harga kartu pascabayar Simpati yang seken saja mencapai Rp900 ribu.

Jika yang baru, maka bisa mencapai di atas Rp1 juta-an. Kalau kartu prabayar (Halo), tentu lebih selangit lagi. Apalagi kalau minta nomor cantik, maka akan lebih-lebih mahal lagi.

Karena masih menjangkau kalangan atas itulah, penjualan kartu telepon Telkomsel ini tak sebanyak dan sebebas sekarang. Tempatnya di gerai khusus di mall, dekat dengan gerai produk yang menjajakan parfum kelas internasional.

Harga pulsanya juga masih selangit. Tarikan sekali nelepon saja bisa mencapai Rp3 ribuan. Angka ini terus ber-multilpy seiring bunyi denyutan terdengar. Jika menelepon ke operator berbeda, maka tarifnya akan berkali-kali lipat mahalnya.

Hal ini terjadi karena masih adanya roaming nasional dan internasional, sehingga tak hanya si penelepon, yang menerima pun meski itu telepon rumah, juga ikutan terkena getahnya harus bayar pulsa. Akibatnya, banyak ibu-ibu yang mengeluh jika menerima telepon dari ponsel ini.

Karena masuk kena bayar kena itulah, maka kala itu ponsel hanya dipakai pada saat paling diperlukan saja. Apalagi penggunanya masih jarang.

Ponsel sendiri mulai menyentuh kalangan menengah pada akhir 1998-an. Kala itu juga, Nokia belumlah dikenal seperti saat ini. Merek ponsel yang paling banyak dipakai adalah Motorolla dan Erickson.

Biasanya bentuk pesawatnya lebih besar sedikit dari remote TV, berwarna hitam, dan selalu pakai antena dengan layar berwarna kuning seukuran jari. Tebalnya juga mencapai 4-5 cm. Hal tersebut dibuat agar bisa sempurna menyanggah baterai yang cukup berat.

-------------
Keterangan Foto: Inilah mbahnya ponsel

Evolusi Gaya Hidup Seluler (2)


Tak heran di balik kesan prestise yang disandang, sebenarnya pemilik ponsel saat itu cukup tersiksa. Karena cukup berat dan mengganjal jika di bawa ke mana-mana, karena tek setipis sekarang.

Sekadar diketahui, era telepon tipis baru dimulai awal 1999-an. Pelopornya Motorolla dan Siemen. Akibat bentuknya yang tebal dan berat itulah, saat itu ponsel juga diplesetkan sebagai senjata melempar anjing.

”Siksaan” lain terjadi saat menerima telepon, beberapa menit saja telinga langsung seperti terbakar. Sehingga jika kita baca media massa kala itu, ramai yang mengupas akan bahaya telepon dengan indra pendengaran dan otak. ”Radiasinya bisa menyebabkan penyakit,” bunyi analisa tersebut.

Mungkin karena itulah, di awal-awal tahun 2002-an ponsel dilengkapi dengan handsfree. Hal ini langsung merubah gaya hidup berponsel. Saat itu orang-orang belum lengkap bergaya jika telinganya belum tersumbat handsfree.

Akibatnya, kadang banyak ditemui orang yang berbicara dan tertawa sendiri. Bagi yang gagap teknologi, mengira mereka hilang ingatan. Padahal mereka sedang berkomunikasi dengan ponsel.

”Siksaan” lain yang didera pemilik ponsel kala itu, karena fiturnya tak selengkap sekarang; hanya bisa nelepon dan SMS saja. Khusus SMS hanya bisa pada sesama operator saja. Lain itu tidak. Seperti diketahui, kebebasan SMS antaroperator baru terjadi sekitar tahun 2002-an.

Saya sendiri masih mengecap masa-masa ”siksaan” tersebut. Ponsel pertama saya adalah Nokia 5110, itupun seken. Saya beli di Pico Communications, Komplek Bhumi Indah, Nagoya pada 15 Mei 2000, pukul 10.32 WIB. Meski seken, harganya cukup mahal saat itu, yakni Rp750 ribu.

Meski punya ponsel, sebenarnya tak bisa digunakan juga. Habis, siapa yang akan menghubungi dan dihubungi, penggunanya masih jarang. Itupun jika mau SMS harus satu operator. Belum lagi mikir soal roaming dan air time. Sementara mau mutar lagu favorit, teknologinya masih belum nyampai.

Satu-satunya hiburan saat itu hanyalah saat mendengar ponsel berdering. Apalagi saat itu tengah berada di keramaian, selangit rasanya, jadi makin tambah gaya saja.
-----------
keterangan foto: Nokia 5110, batrenya masih tebal

Evolusi Gaya Hidup Seluler (3)


Saat pertama kali memakai ponsel itulah, saya teringat saat bertemu kawan lama yang baru datang dari Amsterdam, Belanda, pada lebaran tahun 1997. Dia berkisah, di Eropa masyarakatnya sudah sangat familiar dengan ponsel. ”Kadang satu orang bisa memiliki dua hingga tiga nomor,” terangnya.

Mengapa demikian? Karena harga nomor dan pulsa amat murahnya. ”Perdetik bisa hanya Rp5 saja. Bahkan kadang ada yang jual nomor berhadiah ponsel,” kisahnya kala itu.

Tak hanya itu, di sana sering ada promo. Kadang operator A tarifnya lebih murah dari operator B dan C atau sebaliknya. ”Maka itulah pentingnya punya banyak nomor. Jadi masyarakat bisa memilih menggunakan kartu mana miliknya yang murah,” ujarnya.

Saat baru punya ponsel itu, sebenarnya saya mengidam-idamkan hal ini terjadi di Indonesia. Dan kini setelah 13 tahun berlalu, barulah saya merasakan kebenaran kisah teman dari Eropa tersebut. Apa yang dia ceritakan, kini sudah dirasakan. Kini ponsel bukannya ham yang aneh lagi.

Harga nomor dan pulsa juga sudah sedemikian murahnya, SMS sudah bisa ke semua operator, dan ibu-ibu pun sudah tak lagi deg-degan saat telepon rumahnya berdering, karena kini mereka tak lagi harus membayar biaya percakapan jika panggilan itu datang dari ponsel.

Para penggila musik pun bisa mengunduh dan memutar lagu hingga video klip pujaan di layar ponsel. Tak hanya itu, kita juga bisa menciptakan video pribadi.

Bahkan warga suku terasing pun kini sudah tak lagi terasing, malah mereka kian maju karena pertukaran informasi kian deras setelah jaringan Telkomsel menjangkau daerahnya, sehingga mereka sudah menikmati gaya hidup dengan ponsel dan teknologinya. Apalagi, kini operator seluler sudah memberikan tarif murah baik antar sesama dan ke semua operator.

Kini mereka tak lagi hanya bisa SMS-an, bahkan bisa melakukan tukar-tukaran foto via MMS, hingga video call face to face dengan lawan bicara yang dulu hanya terjadi di film-film fiksi. Sebab jaringan 3G sudah kian luas.

Saking majunya teknologi ponsel dan turunnya tarif seluler, kini wartawan pun tak lagi membawa peralatan berat saat meliput berita. Cukup membawa ponsel multimedia saja. Di sisi lain, para citizen jurnalism pun kian subur.

Jauh di tahun 1948, Wyndham Lewis dalam bukunya America and Cosmic Man pernah memprediksi bahwa akan datang suatu masa yang disebut global village atau desa global. Hal ini juga dianalisa Herbert Marshall McLuhan dalam bukunya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media (1964).

Mc Luhan menggambarkan, saat itu kemajuan teknologi kuminukasi menyebabkan manusia di bumi akan hidup bak dalam satu desa. Semua akan saling mengenal, tanpa ada lagi batas-batas wilayah. Kini semua prediksi ini kian nyata, dan Telkomsel ikut andil mewujudkannya.
-----------
Keteranagn Foto: Ponsel kian terjangkau. Suku Laut pun kini pakai ponsel.

Aku dan Mulut Besarku


Di saat mulutku memuji dan menyanjung, sebenarnya saat itu saya mencibir dan menganggap mereka seperti pengemis yang menangis saat minta makanan.

Di saat mulutku memberi masukan dan kritik, sebenarnya saat itu saya peduli dan menganggap mereka seperti orang yang terhormat.

Tapi mengapa mereka senang saat mulutku memuji dan menyanjungnya, meski sebenarnya saat itu saya mencibir dan menganggap mereka seperti pengemis yang menangis saat minta makanan.

Dan mengapa mereka marah dan tak mau mendengar saat mulutku memberi masukan dan kritik, meski sebenarnya saat itu saya peduli dan menganggap mereka seperti orang yang terhormat.

Ah... tak heran jika para penjilat subur di sini...


-----------
Tulisan ini saya dedikasikan bagi para pemburu sanjungan. Segeralah temui psikiater. Ada yang tak beres pada kesehatan jiwa Anda.

Rabu, 18 Juni 2008

Taksi Monopoli

Kamis, pukul 07.30 pagi halaman depan Graha Pena didemo ratusan supir taksi bandara. Mereka marah karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha meminta agar bandara tak lagi dimonopoli oleh satu koperasi saja.

Dengan aneka poster ditangan, para pendemo ini terus berorasi yang meminta agar ketua KPPU Kepri Zaky turun dari kantornya di lantai 7, untuk menemui mereka. Tapi hal ini tak terjadi. Satu pleton aparat dari Poltabes Barelang denagn sigap menghadang.

Selanjutnya mereka mengancam akan mogok kerja dan mengerahkan massa lebih banyak lagi.

Sikap KPPU Kepri ini patut dipuji. Namun, para pengemudi taksi berdalih jika ini terjadi maka periuk nasi mereka akan terancam. Pertanyaannya adalah apa perlu mencari makan dengan cara-cara monopili seperti itu?

Apa kata dunia.

Rp300 Ribu dari Telkomsel


Sudah seminggu ini, Telkomsel menyelenggarakan sayembara menulis bagi wartawan. Topiknya tentang Telkomsel, tentu saja soal keunggulannya. Hadiahnya cukup menggiurkan juara pertama Rp13 juta.

Dari semua ini yang paling menarik adalah, semua tulisan yang tampil di koran akan diganjar Rp300 ribu.

Tak ayal, setiap hari dan hampir di setiap sesi, ada saja tulisan tentang telkomsel. Ada berbentuk feature, hingga berita langsung. Kadang, penulisnya itu-itu saja dan materi tulisannya ala kadarnya, asal sanjung, titik. Maklum, untuk nulis di koran sendiri hampir tak memerlukan kontrol ketat. Kan orang sendiri.

Makin banyak tulisan tampil, maka bisa dihitung aja rezeki yang didapat penulisnya. Tinggal kalikan Rp300 ribu saja.

Sedangkan bagi telkomsel sendiri, keuntungan yang didapat lebih banyak lagi. Dengan mengeluarkan dana Rp300 ribu, mereka bisa menghemat ongkos advetorial yang sekali tayang bisa mencapai Rp5 jutaan.

Yang dirugikan di sini adalah konsumen. Sebab, mereka tak bisa lagi membedakan mana bacaan iklan dan mana bacaan berita murni. Sebab, tak ada pembedaan sama sekali

Apakah Telkomsel bersalah? Tentu tidak. Namun mestinya media harus lebih cerdas lagi menyikapi hal ini. Sebagai servis untuk pemasang iklan terbesar, itu tentu boleh-boleh saja, namun isi dan kredibilitas media mestilah tetap dijaga.

Caranya, bisa dengan membatasi si penulis atau menyensor ketat tulisan si penulis, sehingga tak semua berita sanjungan bisa tayang. Dengan demikian, bisa tetap membuat media itu sendiri berwibawa.

Cara lain, bisa membuat kolom khusus di satu halaman saja yang beda dengan berita murni, atau jenis huruf (font) yang dipakai di tulisan sayembara Telkomsel ini dibedakan dengan berita murni.

Dengan demikian, pembaca bisa membedakan bahwa ini hanyalah berita pesanan saja, jadi tak harus merasa dirugikan. Wibawa koran pun terselamatkan.

Oleh-oleh dari Barelang




Di Batam ada sebuah tempat wisata yang sangat populer dan tervavorit. Namanya Jembatan I Barelang, atau lazim disebut Jembatan Barelang.

Di hari libur, tempat ini ramai pengunjung. Mulai nenek-nenek hingga anak-anak. Ada saja yang mereka lakukan di sana dengan beragam gaya pula.

Yang kasmaran, umumnya berdua-duaan dengan pasangan. Pera pecinta ini biasanya memilih tempat yang agak sunyi dari kerumunan, dengan gaya duduk di jok sepeda motor.

Ada juiga yang foto-foto bersama. Pasang senyum sana-sini, gaya ala peragawati. Biasanya latar belakangnya tali-tali jembatan. Dalam foto bareng semacam ini, biasanyakhusus bagi remaja pria, selalu saja mngacungkan tanda metal. Entah siapa yang memulai.

Sedang yang jomblo, kadang berdiri di samping jembatan menerawang jauh melihat birunya laut atau mengawasi feri yang sedang melintas. Dari pengamatan, umumnya orang jomblo selalu bergaya macam orang mau bunuh diri.

Sedang bagi suami istri yang memiliki anak,kadang selalu mengerumuni tukang balon dan mainan yang biasa parkir di tengah jembatan. Kadang ada yang berfoto, gayanya mirip artis dangdut; saling menempelkan punggung.

Bagi yang lapar, jangan khawatir. Di jembatan ini ada toko menjual air kelapa muda, dan yang paling mantap adalah sate udang goreng tepung. Sajian ini eksklusif jhas Jembatan Barelang. Harganya pun murah, hanya Rp2.500 saja. Lumayan untuk ganjal perut.
---------------
keteragangan foto: wajah jembatan barelang dan kepadatan wisatawan

Megawati Tiba di Batam


Setelah lama ditunggu akhirnya Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soerkarno Putri tiba di Batam, Rabu (18/6) sore.

Mega tiba di Bandara Hang Nadim setelah bertolak dari Semarang. Selanjutnya, dengan dikawal paspampres dan ratusan Satgas PDIP, mereka langsung bertolak ke Hotel Batam View.

Mantan presiden ini dijadwalkan berada di Batam selama tigahari untuk mengikuti sejumlah kegiatan partai dan berkunjung ke sejumlah tempat di Batam.

''Bu Mega akan menghadiri acara-acara silaturrahmi dengan kader dan simpatisan partai,'' ujar Ketua DPD PDI Perjuangan Kepri Soerya Respationo.

Soerya menyebut, setidaknya Megawati akan menghadiri temu pengurus partai yang akan diikuti pengurus DPD dan DPC-DPC PDI Perjuangan, membuka pasar murah di halaman kantor DPC PDI Perjuangan di Batam Centre, menyerahkan KTA PDI Perjuangan ke pemilih pemula dan menyerahkan peralatan gotong royong secara simbolis.

''Sabtu pagi, baru pulang,'' kata Soerya.

Menurut Soerya, untuk pengamanan kedatangan Megawati, selain ada pengamanan protokoler, satgas PDI Perjuangan juga siap mengamankan calon presiden PDI Perjuangan itu. ''Yang pasti, pengamanan internal partai sudah siap,'' tukasnya.

----------------
keterangan foto: Soerya Respationo dan Megawati Soekarno Putri

Senin, 16 Juni 2008

Dokter ”Sejuta” Pasien


Senin malam kemarin, saya mengantar anak imunisasi. Dr Rudi Ruskawan, yang praktik di Vetka Farma, Nagoya jadi pilihan. Pertimbangannya sederhana; sejak anak kami lahir di RS Otorita Batam, sudah dia yang menangani. Jadi biar tak kebanyakan ”tangan” saja.

Di Batam ini, banyak dokter ”sejuta pasien”. Umumnya mereka bekerja di RSOB, namun memiliki kerja samping setelah jam kantor usai. Karena sudah memiliki nama, tak heran jika memiliki pundi-pundi penghasilan yang tak sedikit. Di antara mereka adalah dokter kandungan dan anak.

Bayangkan saja, di luar jam kerjanya dia masih diantre pasien ditempat praktik, mulai pukul 17.00-21-00. Rata-rata pasien yang datang lebih dari 40 orang bahkan lebih, sedang kan ongkos konsultasi perpasien mencapai Rp50 ribu.

Jika satu orang pasien saja minimal mereka dapat Rp30 ribu, maka 30 ribu x 40 maka mereka dapat diluar jam kerja Rp1.200.000. Perhari dan bersih. Kalikan aja berapa sebulan.

Ini hanya hitungan paling minim dari pendapatan mereka. Belum lagi yang didapat dari persen obat-obatan, pendapatan dari rumah sakit seperti praktik hingga operasi, dan gaji mereka sendiri. Tak heran, umumnya dokter semacam ini memiliki rumah di lingkungan elit di Batam, semisal perumahan Sukajadi. Bahkan ada yang sudah punya rumah sakit!

Mau tahu siapa mereka? Selain Rudi Ruskawan, ada dr Meidi, Adriyanti, Amir Hakim, Amuransyah, Suyanto. Sekali lagi, mereka adalah dokter kandungan dan anak. Di luar ini Masih banyak lagi.

Kembali lagi ke masalah imunisasi. Di apotek Vetka Farma, praktik dokter Rudi berada di lantai dua. Di lantai itu, masih terbagi beberapa ruang parktik lagi, ada dokter umum dan kandungan juga. Vetka Varma sendiri menempati sebuah ruko.

Yang menarik adalah, ruang tunggunya. Luasnya sekitar 5 x 6 meter. Beberapa kursi tungu berjejer bersandar di dinding. Di sana juga ada akuarium air tawar berukuran layar TV 24 inc. Seekor ikan warna hitam meliuk malas di sela airnya yang mulai menguning.

Agar anak-anak tak bosan, tersedia juga aneka sepeda roda tiga khusus balita. Jumlahnya tiga unit. Sedangkan di pojok dalam, ada wahana bermain berupa perosotan dan rumah tangga. Semua ini cukup membuat anak tak bosan saat menunggu giliran.

Apa fasilitas untuk orang tua? Jangan khawatir, ada sebuah televisi layar cembung 21 inc. Namanya juga ibu-ibu, maka channel yang dipilih adalah SCTV yang selalu menyiarkan sinetron.

Saat masuk ke ruang praktik dr Rudi sendiri, nuansa angker hilang. Sebab, banyak memajang lampu berbentuk aneka bintang warna warni di dindingnya. Ya, namanya juga dokter anak.

Apalagi dr Rudi memang sangat kebapakan. Orangnya sangat telaten memeriksa bayi, aksen Jawa Baratnya yang kental turut menunjang penampilannya yang sepintas mirip artis Rudi Salam ini.
-----------------
keterangan foto: Suasana ruang tunggu praktik dr Rudi
Ruskawan di Vetka Farma

Atribut PDIP Dirusak


Atribut PDIP yang dipasang sepanjang jalan depan Indomobil hingga Simpang Jam Baloi banyak rusak. Tiangnya patah, tercabut, bahkan raib dari tempatnya. Hal ini membuat Ketua DPD PDIP Kepri Soerya Respationo geram. ”Jangan coba macam-macam,” ingatnya.

Kegeraman Soerya ini bermula saat pagi kemarin dia mendapat laporan dari simpatisan, bahwa tiang atribut berupa bendera dan lambang PDIP di sepanjang jalan tersibuk di Batam itu porak-poranda. ”Banyak kayunya yang patah, dan bahkan ada yang hilang,” jelasnya.

Selanjutnya Ketua DPRD Batam itu langsung meluncur ke lokasi, didampingi Dewan Pertimbangan Cabang PDIP Batam Hutagaol.

”Kondisi di lapangan, saya dan Pak Belong (panggilan Hutagaol, red) melihat kayu-kayunya dicabut dan dipatah-patahin. Talinya pun dicopot. Ini tak mungkin dirusak angin,” jelas suami Ketua PAC PDIP Batam Kota Rekaveny ini.

Terkait insiden pencabutan ini, Soerya mengingatkan agar pihak-pihak yang tak bertanggungjawab yang dia sebut sebagai ”sekelompok oknum” itu, menghentikan aksinya.

Diapun mengimbau dan mengharapkan agar elemen masyarakat dan elemen parpol-parpol di Batam, bersama-sama menjaga suasana keberasamaan yang telah terbina dengan baik selama ini.

”Tahapan kampanye sudah hampir dimulai, sebaiknya jangan membuat masalah-masalah yang berpotensi menimbulkan kondisi yang kurang kondusif antarsesama parpol,” jelasnya.

Soerya pun berharap, peristiwa ini menjadi yang peratma dan terakhir dan bisa menjadi pembelajaran bersama.

”Saya menghendaki adanya persaingan politik yang santun dan beretika tidak dengan cara-cara yang tak elegan,” imbaunya.

Apa sudah ketahuan siapa pelakunya? Soerya enggan menjawab pasti. Namun dia menengarai oknum simpatisan partai juga. ”Saya yakin ini bukan kebijakan dari parpol yang bersangkutan, cuma ulah oknum atau simpatisannya saja,” terangnya.

Pantauan di lokasi siang kemarin, tiang-tiang atribut PDIP yang rusak tersebut sudah dipasang kembali yang baru. Susunannya cukup rapi.

”Kayu-kayu tiang ini kami datangkan langsung dari palembang. Karena kami tak mau merusak hutan di Batam,” pungkasnya.
----------
Keterangan foto: Bendera PDIP di Simpangjam yang sudah dipasang kembali

Minggu, 15 Juni 2008

Menunggu Ibu dengan Riang


Di Pasar Mitra Raya Batam Center, tepatnya di belakang pujasera Blok E, ada sebuah toko mainan. Yang menarik, di depannya berjejer empat unit wahana mainan anak berbentuk karakter binatang yang imut.

Ada tupai, kelinci, hingga kuda zebra denagn belang biru. Mainan ini bisa ditunggangi dan dioperasikan dengan memasukkan koin ke dalamnya.

”Murah kok Bang. Satu koin hanya Rp1.000 saja. Lamanya bisa sekitar 10 menitan,” promosi pemilik toko pada saya saat itu. Rupanya dia menangkap rasa penasaran saya.

Semula saya pikir, apa gunanya buka wahana permainan seperti ini di pasar tradisional. Siapa yang mau naik?

Sekitar seminggu saya pendam pertanyaan ini. Hingga pada hari Minggu (15/6) kemarin, saya melihat hal yang mencengangkan. Ternyata, banyak orang yang antre di depan toko tersebut untuk mencobanya.

Barulah saya paham. Ternyata segmen yang dibidik di sini adalah balita yang ditinggal ibunya belanja sembako. Selama itu, sang balita dengan ditemani ayah atau pambantu, bisa melewatkan saat-saat berpisah sesaat dengan ibundanya dengan senang.

Pantas saja, banyak sekali bapak-bapak yang membaca koran sembari mengawasi balitanya bermain. ”Ya untung ada (permainan) ini bang. Sebab kalau diajak belanja, anak suka tak tenang. Maklum, sumpek dan amis di dalam,” jelas Rosita, seorang ibu muda warga Perumahan Putri Tujuh.

--------------
Keterangan foto: Inilah dia wahana permaianan itu. Si anak sibuk main, bapak yang nunggu. Ibu pun berbelanja dengan tenang

Sabtu, 14 Juni 2008

Aku dan Kawanku


”Jangan ganggu dia”

”Kenapa Pak?”
”Itu kawan saya.”

”Tapi Pak, dia kan salah”
”Ya, saya tahu. Tapi jangan diganggu. Biarin aja”

”Lho, kan bapak bilang bahwa bapak tak punya kepentingan apapun?”
”Ya, memang. Tapi untuk yang ini jangan diganggu”

”Bapak selalu juga bilang di depan orang-orang agar kita selalu kritis dan membela yang benar. Semua ini ada dasar-dasarnya. Kan bapak yang mengajarkan kepada kami”
”Ya, tapi dasar-dasar teori itu yang bikin bukan saya. Saya hanya menyampaikan saja. Jadi itu bukan kata-kata saya, saya hanya mengutip. Pokoknya aku minta jangan lagi diganggu. Masih banyak yang lain yang bisa kamu beri tindakan”

”Apa bapak tak malu Pak? kalau setiap omongan bapak selalu bapak langgar, maka omongan bapak yang mana lagi bisa kami percaya?”
”Ha ha ha. Justru aku lebih malu jika keluargaku tidak makan. Ha ha ha, nanti kamu pasti akan mengerti, ha ha ha”

Dataran Hancur


Dulu, tiap Minggu pagi saya selalu berolah raga. Lokasi favorit adalah Dataran Engku Putri depan kantor wali kota Batam. Maklum, tempat ini selalu ramai warga yang datang, mulai dari anak-anak, remaja, hingga manula.

Sembari jalan kaki atau lari kecil tanpa alas kaki, saya juga bisa menyaksikan orang bermain bola kaki. Di sudut lain, ada sekelompok anak sekolah tengah melakukan olah raga bersama.

Kadang juga ada senam pagi massal yang kerap diselenggarakan Batam Pos. Dan yang selalu rutin, ada sekolompok praktisi Falun Dafa melakukan aktivitasnya. Dulu saya sempat ikut. Yang paling saya suka saat mendengarkan musiknya, ah... seperti sedang berada di puncak gunung saja.

Kenangan-kenangan indah tadi, membuat saya ingin mengulang lagi. Minggu pagi lalu, saya olahraga ke dataran Engku Putri lagi. memang semuanya masih tampak sama. Ada orang main bola kaki di lapangan yang rumputnya sudah kian jarang, praktisi Falun Dafa, hingga anak sekolah olah raga bersama.

Yang berubah adalah, wajah dataran tersebut sudah porak-poranda. Keramiknya sudah banyak lepas dan menjadi ranjau yang siap menerkam kaki telanjang. Sontak saat itu, saya tak bisa lagi jalan atau berlari kecil di atasnya.

Akhirnya saya coba ngaso ke teras kantor wali kota. Di sana juga tak kalah kusam. Plafonnya banyak lepas, catnya kian kotor. Waduh, apa kata dunia, jika landmark kota Batam tak meyakinkan seperti ini.
-------------
keterangan foto: Dataran Engku Putri dan kantor Wali Kota Batam

Jumat, 13 Juni 2008

Bekerjalah dengan Cinta


Puisi Khalil Gibran ada yang menyebut ”bekerjalah dengan cinta”. Terus terang saya setuju akan ungkapan ini. Di sini Khalil memberikan jalan bagamana bekerja keras, selalu optimis dan lainnya.

Untuk menelaah semua karya Khalil ini, kita tak bisa mengartikan secara saklek, sebelumnya kita harus tahu dulu siapa sang pujangga ini sebenarnya.

Khalil adalah seorang filusuf. Jadi, untuk mengartikan karya-karyanya harus melalui pendekatan filosofi juga. Dalam hal ini, soal ”bekerjalah dengan cinta” tadi. Pertanyaannya seperti ini, apa itu ”cinta” dan bagaimana orang bisa mencintai sesuatu?

Saya rasa semua orang mempunyai pendapat seragam soal bagaimana orang bisa mencintai sesuatu. Di sana tentunya harus ada saling percaya, jujur, tak ada penghianatan, semua ucapannya harus bisa dipegang, dan meletakkan sesuatu sesuai tempatnya.

Pasalnya, apakah Anda bisa mencintai sesuatu yang zalim, penghianat, tukang bohong, otoriter, plintat plintut, penjilat, licik, dan munafik?

Mestinya hal ini harus didudukkan terlebih dahulu. Apalagi jika dihubungkan dengan dunia kerja, tentu hal ini menjadi urusan yang sangat akbar lagi. Psikologi karyawan tentunya berbeda dengan psikologi individual.

Kita tak bisa mengatakan, ”Ah, kan sudah digaji, jadi wajar dong kalau mereka harus memberikan 10 kali lebih besar?” Anggapan kapitalis semacam ini memang cukup beralasan juga, tapi ingat dalam dunia kerja bukankah juga diperlukan kerja tim yang baik?

Pekerjaan adalah hidup dikurangi mimpi. Di sini tentu memerlukan tujuan dan perencanaan terukur yang benar-benar nyata, bukan mimpi.

-------------
Keterangan Foto: Khalil Gibran

Presentasi di Global


Membaca Headline Metropolis Batam Pos pagi ini (Sabtu 14/6), ”59 Persen Siswa Global Tak Lulus”, aku sama sekali tak terkejut. Bahkan aku sempat berteriak, ”Nah, ternyata prediksiku terjadi juga.”

Sekadar diketahui, Global Indo Asia merupakan sekolah kaum elit di Batam. SPP-nya saja saja pakai dolar Amerika. Yang sekolah di sini mayoritas anak pejabat, pengusaha kalangan Tionghoa, dan ekspatriat. Jadi bukan sekolah main-main.

Dengan SPP dolar AS itu, Global bak sekolah di Amerika. Bahasa pengamtarnya adalah Inggris, murid-murid di sana diajar kebersamaan, termasuk merayakan hari raya keagamaan bersama.

Desain Global juga macam sekolah-sekolah di negeri Paman Sam itu. Di sana memiliki fasilitas yang lengkap, mulai sport center yang luas hingga aktivitas siswa. Tapi mengapa kok angka kelulusannya buruk? Ini mungkin jawabnya.

Beberapa waktu lalu saya sempat berkunjung ke sekolah ini. Saat itu saya mengamban tugas dari perusahaan untuk memberi pelajaran akan pekerjaan yang saya geluti kepada siswa SMP di sana.

Semula saya berbangga hati dan melakukan persiapan maksimal, sebab yang akan saya temui adalah murid-murid sekelas siswa internasional. Pasti mereka sangatlah kritis dan serba ingin tahu. ”Jadi kalau ditanya, saya bisa jawab,” pikirku.

Tapi apa yang terjadi, begitu saya bertatap muka dengan mereka yang saya temui adalah sekumpulan anak manja dan lembek, jauh dari kritis dan agresif. Tak ada pertanyaan keingintahuan di sana.

Sayapun bingung. Lalu saya membuat pertanyaan dari materi yang baru saja saya sampaikan. Apa yang terjadi? Semuanya tak bisa menjawab, karena saat saya menerangkan mereka sibuk dengan dunianya, seperti ngobrol dengan teman dan lainnya.

Lalu saya alihkan pembicaraan dengan mengupas gosip artis atau game apa saja yang mereka suka. Mau tahu? Hampil 90 persen bisa menjawab dengan baik. Bahkan mereka tahu gosip hot tentang artis Hongkong yang beritanya belum sampai ke Indonesia.

Selanjutnya saya coba bertanya, ”Apa di sini ada yang menggeluti jurnalis sekolah?” Mereka jawab ada. Hanya lima anak saja. Lalu saya minta contohnya, tak lama seorang pesuruh kelas datang membawa beberapa contoh.

”Ini siapa yang buat, apa kalian?”

Mereka menjawab, ”Tidak Om, semua sudah ada yang mengerjakan.”

Waduh, jadi seperti inikah kualitas sekolah mahal itu? Hanya mendidik anak-anak bermental bos? Saya paham, bahwa anak-anak yang sekolah di Global adalah anak para Bos, namun tak selayaknya sekolah memperlakukan mereka layaknya para bos. Makanya tak heran jika akhirnya yang tak lulus lebih dari 50 persen.

-------------
keterangan foto: Inilah Sekolah Global yang Terletak di Batam Center

Aku, Saya, dan Koran (1)


Tadi malam, kakak saya bertandang ke rumah. ”Agak sumpek membaca koran lokal akhir-akhir ini. Hanya menjadi ajang membangga-banggakan diri awak redaksinya saja,” katanya kusut.

Saya bertanya, apa contohnya. ”Ya banyak.”

Sejurus kemudian, dia mengambil koran yang dimaksud, lalu menyerahkan pada saya. Ternyata memang benar. Di sana banyak artikel yang ditulis awak redaksi yang membangga-banggakan dirinya sendiri.

Kalau hal tersebut sesuatu yang besar tak masalah, kadang hanya karena jari tengahnya pakai cincin saja ditulis. Yang paling kacau, mereka sering membanggakan betapa bebasnya dirinya beronani di media itu.

”Coba kamu jujur aja, seandainya ada orang lain yang menulis dirinya sendiri dan dikirim ke redaksi koran ini, apa mereka mau memuatnya? Paling juga diketawaian. Tapi giliran mereka bebas-bebas saja tuh. Macam majalah dinding anak SMA aja,” kakakku sewot.

Dia melanjutkan, sepanjang dia berlangganan Kompas belum pernah dia membaca tulisan petinggi medianya yang membangga-banggakan dirinya. Apalagi sampai menceritakan tentag keluarga, anak, istri, mertua, harta, dan lainnya.

Begitu juga di Tempo. Kakak saya sangat gemar membaca catatan pinggir Gumawan Muhammad, tapi yang dikupas di sana tentang kedalaman wawasan sang penulis. ”Bukan Gunawan yang kini telah jadi orang kaya, atau masalah keluarga,” selorohnya.

Intinya mereka, penulis hebat itu, selalu meletakkan hati di kaki bukannya selalu di atas kepalanya!

Kakak saya juga sempat mengeluhkan seringnya foto-foto di koran itu yang jadi ajang nampang para awak medianya. ”Mereka bikin media, isinya tentang mereka, lalu dijual ke kita. Tega sekali,” katanya.

----------
Keterangan Foto: Saya tengah membaca koran Aku

Aku, Saya, dan Koran (2)


Selanjutnya dia mengkritik tulisan yang ”bersaya-saya” di media itu. ”Ini terlalu ego. Seakan hanya mereka sendiri yang hebat. Padahal di luar ’tempurungnya’ banyak orang lain yang lebih besar,” jelasnya beranalogi.

”Mungkin orang-orang ini mau meniru Dahlan Iskan, Kak,” kataku. Bukannya Dahlan Iskan sering bersaya-saya di tiap catatannya?

”Ah itu berbeda. Saya sering baca tulisan Dahlan Iskan, tapi saya tak merasa Dahlan Iskan menyombongkan diri di depan saya,” jelasnya.

Dia menjelaskan, dalam catatannya Dahlan selalu menceritakan tentang apa yang diamatinya. Dia menggunakan kata ”saya” di tulisannya, hanya pada saat melakukan penelitian agar pembaca juga ikut merasakan. Jauh dari kesan membanggakan diri.

Kakakku mencontohkan tentang tulisan pengalaman Dahlan Iskan naik Concorde dulu. ”Saat melaju saya tempelkan tangan ke jendela, ternyata tidak panas...”

Lalu, ”Setelah sampai, penumpang banyak yang dijemput keluarganya pakai Mercy, sementara saya hanya naik bis, sambil membawa sertifikat...” Demikian kakakku memberi contoh.

”Beda dengan tulisan di koran ini, baru satu alinea saja saya sudah ada enam kata ’saya’ yang saya temukan. Isinya juga tentang membanggakan dirinya. ’Saya punya mobil’, ’Saya orang yang hebat’, dan lainnya,” beber kakakku itu.

Menurutnya, di Jawa saja yang masyarakatnya masih memandang patron, sangat anti dengan hal-hal semacam ini. Apalagi di Batam. Apa untungnya pembaca akan informasi begini? ”Paling mereka berkata, ’Ah lantak kau lah, emang kenapa rupanya. Suka-suka kau saja semua’,” ujar kakakku, menirukan pendapat ramai.

Dalam ilmu psikologi dasar selalu ditekankan, ''Coba Anda hitung berapa dalam sehari Anda mengucapkan kata 'Saya'. Setelah tahu, cobalah untuk dikurangi.''


Ah menarik juga perbincangan ini. Memang ”onani” bisa bikin orang lupa daratan.

----------
keterangan Foto: Wajah koran Aku. Isinya tentang Aku

Kamis, 12 Juni 2008

Kecelakaan di Orchard Suite


Brakkkk... Cieeeett... ”Aaaakhhh...”

Kejadian mengejutkan terjadi di depan mataku, Rabu (11/6) pukul 20.00. Tepatnya di depan Pos Satpan Perumahan Orchard Suite Batam Center.

Sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak rombong penjual bakso yang sedang menyeberang jalan. Sepeda motor pun Suzuki Smash BM 4346... jatuh terparut ke jalan, menimbulkan percikan api.

Beberapa jurus kemuadian pengendaranya, seorang remaja bertubuh kerempeng, bangkit. Sayapun bersama beberapa warga memburu, coba membantu. ”Tukang bakso sialan,” umpatnya. ”Ah syukurlah, ternyata dia masih sadar,” pikirku.

Tak lama, pemuda tersebut dipertemukan dengan tukang bakso. Keduanya sama-sama tegang, pertengkaran kecil sempat terjadi. Biasa, sama-sama mengklaim benar. Namun hal ini berhasil dilerai warga yang kian menyemut.

Selanjutnya si tukang bakso bernama Roni menghampiri rombongnya. Bagian depannya hancur, triplek penyanggah priuk berisi kuah dan pentol baksonya lepas, bahkan tabung gas kecil untuk memenaskan bakso terlepas dari tempatnya. Kalau ditaksir, kerusakannya mencapai Rp650 ribu. Sementara sepeda motor yang menabraknya hanya tergores saja.

”Ini adalah rombong kehidupan saya,” kata Roni dengan aksen Jawa yang medok. Suaranya bergetar menahan rasa panik, takut, tegang, dan segalanya. Nafasnyapun memburu. Lalu dia berteriak, ”Hampir saja saya yang kena. Mau makan apa anak dan istriku nanti,” katanya.

Entah bagaimana ceritanya, akhirnya si pengendara sepeda motor pergi.

Jalan raya di dapan pos satpan Orchard Suite memang rawan kecelakaan. Hampir tiap minggu, selalu ada tabrakan yang melibatkan motor hingga mobil. Bahkan, belum lama ini ada korban yang tewas akibat gegar otak.
--------------
Keterangan Foto: Kepadatan jalan di depan Orchard Suite

Rabu, 11 Juni 2008

Indonesia, Apa Itu?



Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah ”Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut ”Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai ”Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air memperoleh nama ”Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau ”Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah ”Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah ”Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah ''Indonesia''. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah ”Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

(tulisan ini merupakan ringkasan, sebab aslinya sangat panjang dan lebih cocok ditampilkan di media cetak)

Tidurlah Nak (1)


Saya terbangun dari peraduan, putri saya yang baru sebulan turun ke bumi menjerit. Malam itu pukul 00.00. Ibu mertua saya pun sibuk, lalu dengan sigap menggendong. ”Ah mungkin mau menyusu,” katanya. Istri saya yang juga terbangun dari lena, langsung sigap menyusui. Suasana tenag kembali. Saya pun coba menyambung mimpi.

Tak lama, ”Oaaaaa...” dia kembali menjerit. Sayapun sibuk, bantu bikinkan susu botol. Suasana reda kembali. Tak lama begitu lagi, berulang-ulang, hingga waktu menunjukkan pukul 02.00. Kini saya sudah tak bisa lagi tidur.

Sang nenek, sibuk menina bobokkan lagi. Berbagai senandung dilantunkan. Kadang ciptaan sendiri, kadang juga lagu-lagu pujian seperti Salatullah, Salamaullah... Tapi syairnya diganti dung dung dung dung... maksudnya mengajak anak untuk tidur.

Namun, semua ini tak mempan. ”Ah jangan-jangan ini gangguan jin,” benakku sempat berpikir seperti ini. Sang nenek pun juga begitu. Lalu, sembari menggendong putri kami, tangan kanannya mengayun-ayunkan sapu lidi ke berbagai sudut kamar, maksudnya mengusir roh halus, mengacu kepercayaan di kampung kami.

Saya pun tak mau ketinggalan. Di malam buta itu saya pergi ke teras, lalu membaca Ayat Kursi di berbagai sudut. Alhasil, putri kami mulai tenang. ”Ah benar juga kata orang-orang tua-tua itu,” pikir saya. Suasana tenang lagi. Saya coba untuk lena, tapi itu tak lama.

Tidurlah Nak (2)

Tak lama kemudian, Putri kami menjerit lagi, mertua saya sibuk lagi, istri pun juga demikian. ASI hingga susu botol kembali disodorkan. Namun begitu milky time itu usai, putri kami menjerit lagi.

Saat itu, kepala saya terngiang nasihat saudara di Surabaya. ”Coba tebarkan garam di teras rumah, biar anak tak menangis,” jelasnya. Selanjutnya, dibantu mertua saya menuju dapur mencari garam. ”Jangan yang halus, ini pakai garam yang kasar,” pesan ibu mertua saya.

Dengan sigap saya kembali ke teras, lalu garam itu saya sebar sembari berdoa agar sang anak tak lagi menjerit. Al hasil, putri kami tak lagi menangis. Waktu sudah menginjak pukul 03.00.

Namun putri kami kembali menjerit. ”Ah mungkin ari-arinya nggak disiram,” kata mertua. Tak mau ber lama-lama, saya kembali ke teras lalu menyiram kuburan ari-ari itu. Memang tak lama diam, tapi tak lama menjerit lagi.

Saya, istri, ibu mertua mulai kebingungan. ”Ada apa nak?” tanyanya pada putri kami, berharap ada jawaban.

”Nak, tatap wajah ayah,” pintaku, putri kami menurut. Tak tega saya melihatnya. Dia terus menjerit.

”Apa AC-nya terlalu dingin? Eh, tapi enggak, ini juga sudah 29 derajad,” pikirku, sembari mengarahkan pandangan pada istri. Kasihan memang, gurat-gurat kelelahan terukir di wajahnya. Tak heran jika ada ungkapan surga di telapak kakinya.

”Ah mungkin dia masuk angin,” ibu mertuaku coba menafsir. Ujung jemarinya mengetuk-ngetuk perut putri kami. ”Tug tug tug...” begitu buyinya. ”Ini bunyi angin. Coba cari minyak telon,” pintanya. Tapi, ke mana minyak telon itu?

Tidurlah Nak (3)

Saya dan istri pun mulai operasi pencarian. Semua laci dibuka, semua sudut diubek, hingga akhirnya minyak telon itu ditemukan di sela-sela saku boks bayi. Langsung saja, ibu mertua mengoleskan minyak tersebut, setelah dia menjilat pusar bayi kami.Waktu sudah menunjukkan pukul 03.45.

Dan memang, anak kami kembali tenang. ”Dia tadi sudah buang angin,” kata ibu mertua. Saya pun mafhum, lalu menuju ruang keluarga. ”Aku tidur di sini saja,” aku pamit meninggalkan kamar. Istriku pun sigap lalu kembali menyusui.

Waktu sudah menunjukkan pukul 04.00, lapat-lapat saya mendengar istri dan ibu mertua saya bernyanyi lagu Satu Ditambah Satu. Aku pu tertarik lalu ikut bergabung. Lega rasanya, putriku sudah kembali tenang. Lalu bisa kembali ditidurkan di boksnya. Giliran kami yang sudah kelelahan.

Waktu menunjukkan pukul 06.30. Saya terhenyak, semua orang masih tertidur. padahal biasanya, mereka bangun jam 05.00!

Tentang Anda

Anda kenapa sih, kalau di kantor ingin terlihat sebagai bos, kalau di luar ingin dilihat sebagai orang yang punya jabatan.

Anda marah lihat orang tak disiplin dan tak konsisten, sementara Anda sendiri sangat tidak disiplin dan tidak konsisten.

Anda itu rasis sekali, sampai-sampai kalau ketemu orang yang lebih dulu Anda tanya adalah sukunya.

Anda itu kok bisa sih menghianati teman sendiri?

Anda kok mudah panik ya, sampai-sampai mau membunuh semut dengan palu.

Anda suka membaca ya, pantas Anda susah mendengar. Anda suka mendengarkan ya, kok susah sekali membaca.

Anda itu pandai sekali berpolitik di kantor. Kepada karyawan Anda selalu bertanya, ”Ayo ada masalah apa biar bisa saya selesaikan.” Tapi saat karyawan mengutarakan masalahnya, di belakang Anda marahi mereka.

Anda itu workoholic sekali, sehingga saat liburan di tempat hiburan pun yang Anda ceritakan selalu pekerjaan.

Anda ngomong apa ya? Kok tak jelas maksudnya. Nanti kalau tim Anda salah mengerti, malah marah-marah.

Anda itu kok minder sekali ya, masak lihat kawan sendiri takut. Keluarlah, bersosialisasilah.

Anda sudah hebat ya? Berapa rumah yang Anda punya sekarang? Berapa mobil yang Anda miliki? Berapa orang top yang Anda kenal?

Anda kok haus pujian ya? Sudahlah, mutiara itu takkan luntur meski tersaput lumpur.

Selasa, 10 Juni 2008

Bertemu Suku Laut


Suku Laut merupakan suku asli di Kepulauan Riau. Ibarat kaum gypsi, rumah mereka adalah perahu kecil. Dengan ini, mereka berpindah-pindah hingga di serata Kepri.

Sebulan lalu, saya sempat bertemu keluarga suku laut di Rumah sakit Otorita Batam. Sang ayah bernama Sari, umurnya sekitar 35-an tahun. Penampilannya lusuh, kakinya pun tak beralas.

Sementara sang istri bernama Zaina (sekitar 27-an), sudah tiga hari terbaring tak berdaya di ruang rawat inap. Putri semata wayang mereka, Sarna (7 tahun), ikut mendampingi. Karena kondisi ekonomi, Sarna tak bisa sekolah.

''Kata dokter istri saya hamil di luar rahim Bang. Jadi terpaksa dioperasi,'' jelas Sari.

Selanjutnya dia berkisah, kehidupan Suku Laut berbeda dengan dulu. Kebanyakan mereka sudah mau menetap di darat. Sari sendiri bekerja sebagai nelayan, pemandu kapal, tukang membuat perahu, dan kadang menyelam mencari kerang.

Riwayat hidupnya yang besar di laut, membuat lelaki berpostur 180 cm ini mampu mengenali di mana letak karang berada. Tak hanya itu, Sari juga mahir menyelam dan menangkap ikan. ''Saat memancing, saya bisa membedakan ikan dari cara dia menyambar umpan,'' jelasnya.

Tak lupa, dia mengajak saya main ke rumahnya, yang berada di pulau dekat Uban, Bintan. ''Telepon saja ya bang,'' dia memberi nomor HP-nya.

Setelah seminggu berlalu, istri Sari sudah sembuh. Dokter bilang sudah bisa dibawa pulang. Namun, hal ini tak bisa dilakukan. Pihak rumah sakit masih menahan, sebab Sri tak punya uang untuk membayar perawatan yang jumlahnya di atas Rp6 juta itu.

Sari pun mulai stres. ''Ya kan Abang tahu sendiri, kami ini bukan orag darat,'' jelasnya.

Namun untunglah, ada beberapa dermawan yang peduli akan kelangsungan Suku Laut datang membantu. Hingga akhirnya mereka bisa pulang.
-----------------
Keterangan foto: Kehidupan Suku Laut

Pasar Mitra Raya


Di pasar Mitra Raya, semua penjual ikan dan daging adalah warga keturunan Tiongkok. Sedangkan penjual sayur dan buah, rata-rata orang pribumi, umumnya dari Sumatera utara dan Jawa. Tapi khusus penjual bumbu dapur giling, umumnya ditekuni orang Sumatera Barat.

Rata-rata penjual ikan, daging, dan buah adalah laki-laki, dan penjual sayur dan sembako adalah perempuan. Entah dari mana pembagian kerja seperti ini, mungkin karena bidang kerjanya.

Maklumlah, untuk mengangkat ikan dan buah dibutuhkan tenaga ekstra. Sudah umum kalau di Batam, penjual ikan harus memotong dan membersihkan ikan yang dipesan pembeli. Mungkin karena itulah, banyak kaum Adam terlibat di sini. Jikapun ada wanita yang jualan ikan, itu hanya menjadi teller saja.

Yang paling menarik perhatian saya saat ke pasar ini adalah mengamati pedagang tahu. Saya sangat asyik melihat kepiawaiannya membungkus tahu. Hal ini mereka lakukan dengan teknik tertentu, sehingga tahu tidak hancur.

Caranya seperti ini, mula-mula sebuah kantong plastik kecil dia beber di telapak kanan kiri yang dikembangkan mirip orang meminta-minta. Selanjutnya, tahu-tahu itu di letakkan di atasnya. Dan... hup, tngan kanan langsung menutupnya. Jadilah tahu itu masuk ke dalam plastik tanpa cacat sedikitpun.

Hal lain, saya cukup kagum kemahiran tukang daging membelah daging ayam dan sapi dalam sesaat hingga seukuran dadu. Yang manarik saat melihat proses pemotongan ayam beku. Sampai-sampai si penjual sering menegur saya yang keheranan.

”Kenapa bang?” tanyanya.

”Kok cepat sekali? Apa tak takut tangannya kena pisau?” tanya saya heran.

”Nggak, kan sudah biasa,” jelasnya.

Penasaran pada Ippho


Ippho Santosa, BBA.(Hons)(Mktg). Anak muda ini begitu terkenal di Batam. Dia adalah ahli marketing. Buah pikirannyapun sudah banyak dibukukan.

Karakteristik buku Ippho selalu menghadirkan banyak ”bintang tamu” yang lagi tren. Dulu, dia menggandeng AA Gym dan di buku terbarunya, beberapa pakar marketing sekelas Hermawan Kertajaya, ikut memberi pendapat.

Saya pun sempat penasaran. Tak sabar, sebuah buku Ippho pun saya petik. Beberapa jam saya larut mendalami buah pikir sang Ippho ini. Namun, di babak akhir saya kecewa berat, sebab di bukunya banyak sekali mengutip pendapat pakar marketing barat. Intinya, Ippho saya nilai hanya memanggil kembali ”mayat” hidup.

Dalam retorika sufisme, memang mengutip kata-kata pakar bisa menambah kepercayaan penerima informasi. Selain itu, bisa menambah citra bahwa si penyampai informasi adalah orang yang berwawasan luas.

Namun jika kita berkaca pada pendapat Bob Sadino, mestinya marketing bisa menciptakan trik dan kiat yang lebih baru yang bersumber dari penggaliannya (studi) sendiri, bukan hanya mengutip pendapat orang yang zamannya sudah berbeda dari saat ini.

Tapi bukan berarti uraian ini menggambarkan semua buku Ippho seperti ini. Mungkin saya saja yang lagi sial, sehingga dapat buku yang isinya kurang pas.

Meski demikian, saya salut pada Ippho yang mengerti betul bagaimana menarik perhatian khalayak. Lihat saja, baru-baru ini dia meluncurkan bukunya di dua negara dan di tiga tempat dalam satu hari, 13 April 2008. Negara Singapura dan Indonesia. Tiga tempat, laut, udara dan darat. Katanya, ini tercatat Musium Rekor Indonesia (MURI)sebagai Peluncuran Buku di 3 Sarana Transportasi (Laut, Udara, Darat), di 2 Negara (Singapura, Indonesia) dalam 1 Hari.

Kayaknya Ippho bisa merangkap jadi konsultan publisitas dan iklan ya...

Senin, 09 Juni 2008

Alain ''Spiderman'' Robert


Alain Robert, baru-baru ini lelaki asal Parncis itu bikin heboh dunia lagi, ketika dia berhasil memanjat gedung The New York Times. keberhasilan kali ini kembali menggali ingatan saya saat bertemu langsung dengan lelaki kerempeng ini pada tahun 2005 lalu.

Kala itu, saya menghadiri undangan Vice Presiden Indosat, Jakarta. ”Nanti Spiderman (julukan Alain Robert) akan memanjat gedung Indosat Jakarta,” sebut sang Bos. Saya pun tertarik. Hingga akhirnya atraksi itu terjadi.

Kali pertama melihat Alain Robert, saya excite juga. ”Oh, ini pria yang bikin repot polisi itu.”

Posturnya sangat pendek untuk ukuran bule, tingginya hanya 160 cm. Tubuhnya kurus, dan rambutnya pirang terurai sebahu. Mungkin karena postur seperti itulah, sehingga memudahkan Robert merayap di sela-sela pencakar langit.

Celana yang dikenakannya berbahan karet ketat, dan di pinggang terpasang sekantung kapur, senjata khas pemanjat.

Singkat kata, aksi menegangkan itu usai. Robert sukses memanjat gedung Indosat. rekor baru trcipta. Saat istirahat itulah saya berhasil bertemu Robert. Dari perbincangan yang dilakukan, robert ternyata lelaki yang cukup kalem. Omongannya lembut. Di sana dia bercerita tentang segala hal.

Menurut Robert, selama bentuk gedung itu masih memiliki celah, maka dia bisa menaikinya. maka dari itu, mengapa dia menolak saat beberapa wartawan menantang dia memanjat Monas. ”Tidak bisa,” katanya.

Sebagai kenangan, saya meminta tandatangan Robert di sebuah kertas. Dia pun melayani dengan baik. Namun sayang, kertas tersebut tak bisa dibawa pulang. Sebab, tertinggal di markas Indopos, Graha Pena Jakarta, saat saya berkunjung ke rekan saya di sana.

Kejujuran di Pasar

Sejak berumah tangga, ada kebiasaan baru yang tiap minggu tengah saya lakoni saat ini. Apa lagi kalau bukan mengantar istri ke pasar basah, beli ikan dan sayur-mayur untuk keperluan seminggu.

Pasar basah yang kami tuju adalah Mitra Raya. Maklum, tempatnya sangat dekat dengan rumah. Hanya 100 meteran saja. Selain itu, ikan dan sayurnya segar-segar dan murah.

Bagi saya main ke pasar ibarat de ja vu. Masa kecil saya banyak dihabiskan di sini. Maklum, almarhum orang tua kami adalah pedagang kelontong di Pasar Sangkapura, Bawean, Jawa Timur. Jadi saat pulang sekolah, saya sering main ke pasar, lalu ikut ibu membeli sayur mayur dan lauk pauk yang letaknya satu blok dari pasar kelontong.

Kini setelah berumah tangga, hal itu terulang kembali. Benar juga kata orang, hidup ini hanya melakonkan kisah yang dulu pernah dipentaskan kita atau orang-orang tua kita.

Di balik amisnya darah ikan, ada hal yang menarik bisa di petik di pasar basah ini. Yaitu, pengunjungnya sangat jujur.

”Jujur” di sini saya maksudkan adalah dari penampilannya. Karena beda dengan pengunjung mall, yang cenderung hedonis dan bertopeng make-up, pengunjung pasar basah tampil apa adanya. Paling banter, bagi kaum hawa, hanya memakai bedak. Itupun sangat tipis. Bedak apa? ya sembarang, bisa jadi bedak bayi warna putih atau bedak Viva nomer 4. Yang penting tak berminyak.

Sehingga, kalau mereka menarik dilihat, ya aslinya memang demikian. Tak bermake-up saja sudah oke, apalagi pakai? Inilah yang saya sebut jujur.

Pakaian yang mereka kenakan juga ala kadarnya. Mayoritas bagi yang paruh baya memang daster motif batik, namun bagi ibu-ibu muda tren tersebut mulai bergeser dengan memakai t-shirt dan celana 3/4.

Selain itu, bagi ibu-ibu muda tersebut juga tak mengharamkan memakai parfum. Dari jenisnya, umumnya merek yang harganya Rp400 ribu per300 mili.
Untuk sandal, umumnya sama saja, sandal jepit karet. Selain murah, juga anti slip.

Belajar pada Markus


Markus hanyalah seorang satpam di perumahan kami yang terletak di Batam Center. Usianya, menginjak angka 40. Rambutnya keriting, perutnya buncit, tingginya hanya 155 cm. Dengan postur tubuh seperti ini, Markus kayaknya kurang pas menjadi satpam.

Meski begitu, soal nyali jangan ditanya. Dulu saat perumahan kami masih jarang penghuni, Markus lah yang patroli tiap malam. Di tangannya menenteng klewang besar. Namun kini, seiring mulai padatnya penghuni, kebiasaan itu tak lagi dia lakukan. ”Kan sudah ramai Bos...” jelasnya.

Tunggu dulu... ”Bos?”
Ya, Markus kerap memanggil warga perumahan dengan sebutan ”Bos”. Karena itu pulalah, saya lebih memilih memanggil Markus dengan ”Bos”, dari pada namanya. Bahkan kini, gara-gara saya kerap memanggil demikian, nama ”Bos” lebih populer dari pada nama ”Markus” sendiri.

Dari diskripsi ini, jelaslah, bahwa Markus bukanlah siapa-siapa. lalu, kenapa saya memilih judul Belajar pada Markus. Karena ada yang bisa dipetik pelajaran dari lelaki ini, yaitu soal ketegarannya menghadapi hidup.
Di saat himpitan hidup di Batam yang serba mahal, ditambah lagi dengan naiknya harga minyak, Markus tetap sabar, penghasilannya sebagai Satpam yang minim tak membuatnya mengeluh.

Untuk ”menambal” dapur, menanggung seorang istri, dan seorang bayinya yang baru lahir, Markus memiliki sidejob dengan memulung. kebiasaan ini dia lakukan ketika jam kerja di pos berakhir.

Selain itu, dia kerap membantu warga merapikan taman. Dari sana, dia dapat selembar dua uang bergambar Sultan Palembang.
”Beginilah Bos. Kalau si Bos tak ada uang di kantong, mungkin di ATM masih ada. Tapi kalau saya, kalau tak ada uang, ya memang tak ada. Tapi ya bagaimana lagi, dinikmati aja Bos,” urainya.

Yang lebih menarik, soal kesantunannya terhadap binatang. Hal ini terbukti saat saya meminta dia meletakkan racun tikus di got. Sembari mengerjakan tugasnya Markus berucap yang dia tujukan pada binatang pengerat itu.
”Ini saya kasih makan, besok pagi saya ambil makanan (ini). Kalau (mau) makan, saya tidak suruh (dan) tak dilarang...”

Sayapun penasaran apa maksudnya. Markus menjelaskan, ini adalah kebiasaan petani di kampungnya, NTT. Tujuannya agar sang tikus tidak menaruh dendam jika nanti melihat kawan-kawannya mati. ”Ya kalau (racunnya) dimakan, salah sendiri Bos, kan saya tak nyuruh, tapi juga tak melarang!” sergahnya.

(Terimakasih Batam Pos sudah menerbitkan tulisan ini)