Jumat, 31 Oktober 2008

Rantai Makanan, Berubah dan Mengubah

Raja media di Sumatera, Rida K Liamsi (semoga beliau dan keluarganya dimuliakan Allah) menggambarkan potret kehidupan masyarakat seperti laron. Terbang ke sana ke mari untuk mencari cahaya lampu, dan saling berebut untuk mendapatkan cahaya.

Yang Amat Berhormat pemimpin orang-orang bijak itu melanjutkan, ''Terkadang kita harus mengorbankan jiwa dan harta, hanya untuk sekedar mendapatkan cahaya untuk diri sendiri.'' Cahaya di sini tentu bermakna luas. Bisa berarti makanan, karir dan hal-hal gemerlap lain.

Analogi lebih eksterem lagi muncul di Barat yang mengidentikkan manusia seperti belalang. Di mana selalu menyebar mencari sumber makanan baru. Di mana ada sumber makanan baru, di sanalah mereka membentuk koloni (kota). Setelah sumber makanan itu habis, mereka akan hengkang mencari sumber makanan baru lain di belahan bumi lain.

Charles Darwin dalam teori evolusinya lebih “garang” lagi. Sumber makanan ini memunculkan slogan teori survival of the fittes (mereka yang mampu bertahan, serasi, cocok, sesuailah yang akan tetap hidup).

Darwin banyak mencontohkan bahwa dulu Jerapah itu hanya setinggi rusa. Namun, karena harus bertahan hidup dengan memakan pucuk-pucuk pohon, maka lehernya memanjang. Sedangkan yang lehernya tak berubah panjang, akan mati karena kehabisan makanan.

Bahkan katanya, banyak beruang yang mencoba mencari makan di air berevolusi menjadi ikan paus. Meski teori evolusi ini akhirnya ambruk di awal abad ke 19 setelah ditemukannya teori genetika oleh peneliti Austria, semua ini berurai akan keterikatan manusia akan rantai makanannya.

Beberapa gambaran di atas seakan mengingatkan kita akan demam emas di Pegunungan Calofornia, Amerika. Hal ini bermula ketika James Wilson Marshall menemukan emas ketika membangun sebuah tempat penggergajian untuk John Sutter pada tahun 1848.

Bak laron tadi, berduyun-duyun manusia pergi ke sana, membuat pegunungan tersebut dari mulai tak berpenghuni menjadi sebuah kelompok caravan, lalu berkembang menjadi desa kecil, dan akhirnya kota.

Banyak orang yang menjadi kaya, namun ada pula yang tidak. Demam Emas California berakhir tahun 1855, yang saat itu, penambang emas kembali ke rumah karena emas makin sulit ditemukan.

Hingga kini kisah ini tetap abadi. Jadi kisah turun temurun tentang sejarah sebuah peradaban, yang berbumbu epos, mitos hingga legenda. Dari sinilah Levi Strauss menemukan dan menjual jins yang dibuat dari denim.

Kisah lain, semasa di madrasah dulu, saya sering juga mendengar hikayat Nabi Khaidir. Dalam perjalanannya beliau melihat sebuah kota yang ramai. Hingga beratus tahun kemudian beliau datang kembali, kota tersebut sudah kosong berganti padang rumput yang luas.

Beratus tahun kemudian beliau datang lagi, tempat tersebut menjadi danau. Dan setelah beratus tahun lagi datang, telah menjadi kota yang padat kembali.

Seiring perkembangan zaman, manusia juga berkembang. Dari mulai hanya kelompok berburu, kelompok budaya, hingga kini membangun peradaban, mereka selalu tinggal di dekat rantai makanannya. Makanan di sini sudah diartikan sumber daya yang terbagi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

Manusia terus berkembang, manusia terus bertahan. Sementara sumber daya kian menipis dan tak bisa bertahan, memaksa mereka harus berubah dan mengubah. Kalau dulu jarapah tak bisa bertahan karena tak memiliki leher panjang, kini manusia akan bernasib sama jika tak mampu berubah dan mengubah tadi.

Wajarlah jika Nabi Muhammad pernah bersabda, agar ummatnya tak mendidik anak-anaknya sama dengan cara mendidik yang diterima di masanya. Karena zaman para orang tua itu, berbeda dengan zaman anak-anak kini.

Kebutuhan kian meningkat, sementara sumber daya terbatas membuat dari zaman ke zaman kian keras dan memaksa manusia memiliki pertahanan yang keras pula. Dengan didikan yang tepat, maka mereka akan mampu menciptakan strategi, ilmu pengetahuan yang baru, alternatif sumber daya baru, sehingga tetap mampu bertahan di bumi, pemimpin di bumi.

Mungkin dari sinilah Hollywood memfilmkan, suatu saat sumber daya di Bumi habis, sehingga manusia akan pindah ke Mars membangun peradaban baru di sana. Ada juga kisah petualangan tentang mahluk asing yang menjajah bumi karena sumber daya (baca energi) di planetnya sudah habis.

Bisa jadi semua hayalan ini akan nyata, senyata hayalan film Flash Gordon yang mengisahkan akan perjalanan manusia ke bulan. Dulu film ini sempat dikecam, namun kini manusia bisa membuktikannya. Manusia berubah, manusia mengubah.

----------
Tak ada yang abadi, termasuk masalah kita.

Jalaluddin Rakhmat



Setelah berdasawarsa menunggu kelahiran kembali sosok (baca pemikiran) Buya Hamka, kini akhirnya saya temukan dalam diri Jalaluddin Rakhmat.

Awal kecintaan saya akan pemikiran Kang Jalal, demikian dia disapa, sejak awal semester 3, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, awal 94-an. Kala itu, buku Psikologi Komunikasi Kang Jalal menjadi acuan literatur kami.

Saat menelusuri bab pertama, hati saya sudah mulai terpikat. Dengan indah, Kang Jalal mempu mengurai teori-teori dasar yang rumit dengan sangat lugas dan enak dicerna hati dan pikiran.

Membacanya tak kaku dan menggurui, sehingga membaca konsep-konsep ilmu yang berat tersebut ibarat bertamasya ke dalam alam imajinasi bak buku pendongeng dunia kelas wahid, Hans Christian Anderson.

Hal ini tampak –sa;ah satunya- saat Kang Jalal mengurai konsep jiwa gnoti seaton. Dia mengisahkan, saat itu di Yunani ada orang yang ingin mencapai kebahagiaan hidup lalu datang ke tokoh kepercayaan di kuil. Saat itulah dia dianjurkan agar ber- gnoti seaton. Artinya, jadilah diri sendiri.

Konsep inilah juga yang akhirnya mampu mengubah cara pandang saya dalam menjalani hudup.

Memang, banyak orang yang bisa menulis, namun jarang yang bisa bertutur. Dalam perkembangannya, bertutur dalam tulisan inilah yang menjadi cikal-bakal jurnalisme sastrawi.

Sebagaimana para penulis lain, Kang Jalal tentu saja juga banyak mereferensi beberapa buku ilmu pengetahuan dari ilmuan barat masa kini hingga sebelum masa kebangkitan. Tak ketinggalan juga para cenderkiawan muslim, semacam Al Ghazali.

Namun, semua referensi buku itu tak dia kutip mentah-mentah (baca jiplak) sebagaimana yang kita temukan dalam buku-buku karya pengarang amatir. Kang Jalal -layaknya Dahlan Iskan- mereferensi buku sebagai landasan kerangka perpikirnya untuk menemukan teori-teori baru.

Bukan hanya copy paste pendapat para ahli itu yang rata-rata hidup di zaman yang sudah lewat. Penulis-penulis semacam inilah yang disindir pengusaha nyentrik Bob Sadino saat seminar beberapa waktu lalu di Batam, agar diacuhkan saja. Menurutnya sudah tak relevan dengan zaman.

Kadang orang bangga karena dalam tulisannya banyak mengutip teori atau pendapat para ahli. Retorika sufisme berpendapat, banyak mengutip pendapat para pakar, memang sepintas dapat menguatkan pandangan dan menggambarkan bahwa si penulis memiliki pengetahuan luas, namun juga bisa membuat si penulis hanya jadi penjiplak ulung, tak kreatif, teoritis dan kaku.

Buku-buku Kang Jalal bukanlah seperti itu. Kang Jalal tak mengajak pembacanya menjadi introvert dan susah mendengar pendapat orang lain. Kang Jalal justru mengajak pembacanya agar tak hanya “percaya” dengan apa yang ditulisnya, juga harus melakukan kajian ilmiah di alam nyata. Karena, menurutnya, masyarakat itu bergerak.

Di balik semua uraian ini, Kang Jalal selalu memadukan unsur agama dalam hal ini Islam, sebagai pelengkap dan sandaran kajiannya. Inilah kenapa, saya seolah menemukan kembali Buya Hamka yang telah lama berpulang itu.

Menurut saya, Kang Jalal dan Buya adalah Al Ghazali-nya Indonesia. Mereka ahli dalam bidang kemasyarakatan, komunikasi yang juga ahli agama.

Kamis, 30 Oktober 2008

Antara Aku, Kau dan Caleg Bokek

“Aduh… Caleg PKB sekarang bangkrut semua. He he he… Tapi Abang janji tetap bantu carikan siapa yang mau.” Begitu jawab Pak R, pejabat teras PKB Batam, saat saya menawarkan sebuah publisitas mingguan.

Di sini mereka hanya diminta membeli produk kami, gantungan kunci cantik, sebanyak 1.000 buah. Satu item Rp2000, jadi total Rp2 juta. Ini adalah harga pabrik, sebab harga jualnya sebenarnya Rp2.500.

Deretan caleg PPP juga tak kalah bangkrutnya. Adalah Pak M. Saat saya hubungi pertelepon dia menyambut antusias. Namun setelah saya sebut bahwa dia harus mengeluarkan uang Rp2 juta untuk membeli gantungan kunci cantik kami, tiba-tiba dia berkata.

“Oh gitu ya? Uang segitu sudah termasuk uang kopi untuk kamu kan?”
“Maksud abang apa?”
“Endak, kan saya harus tahu juga.”
“Sebenarnya saya hanya mau bantu Abang saja, mengingat hubungan dekat saya selama ini dengan ketua DPW dan DPC. Kalau harga aslinya Rp2.500.000 dengan hitungan Rp2.500 perbuah. Soal uang untuk saya, tak usahlah abang pikirkan. Saya udah dapat tiap bulan gaji dari kantor,” jelas saya.

Saya agak keki juga. Karena tiap kali menawarkan soal ini, selalu saja dipandang uang itu untuk saya. Ada juga yang nawar saya mirip pelacur di club malam. “Wah banyak kali. Lima ratus (Rp500 ribu) saja boleh? Kan cukup untuk kamu?”

Aku bingung juga. Kok saya selalu mereka identikkan dengan minta uang ya? Saya rasa ini pasti ada yang tak beres. Sistemnya-kah atau oknumnya? Sebab tak mungkin ada pomeo atau stereotype jika tak ada realitas yang meneguhkan persepsi.

Bahkan, ada Ak humas di salah satu Pemda, saat saya telepon untuk minta komentarnya saja, dia bilang, “Wah sori, untuk saat ini kami tak punya anggaran untuk Anda!”

Saya pun berang, lalu saya bentak saja.

“Hei! Saya nelepon Anda bukannya minta uang. Saya murni hanya minta pendapat Anda saja. Tak lebih dari itu!”
Lalu si humas yang mantan wartawan ini buru-buru meralat, “Oh ya, boleh komentar soal apa ya?”

Kembali ke Pak M tadi.

Mendengar jawaban saya, dia berkata, “Kalau begitu Abang harus konsultasi dulu sama tim Abang. Nanti saya telepon balik ya?” ujarnya. Aku bingung, kok tiba-tiba ngomong begitu? Kan tadi sangat antusias? Bahkan mendesak ketemu segala.

Tak lama lamunanku buyar oleh dering ponsel. Pak M nelepon balik. “Setelah saya konsultasi dengan tim saya, kayaknya tidak dulu deh. Tak ada tenaga kami untuk membagikan-bagikannya.”

Pak AH, juga dari PPP provinsi, lain lagi. Dia seperti para caleg lain, lapor ke bos besar. Katanya publisitas mingguan tak adil, hanya ngangkat partai tertentu saja.

Saya pun lalu mengontaknya. Lalu mengatakan, persyaratannya harus beli seribu buah produk kami, Rp2 juta! Dia pun menyanggupinya.

“Tapi sekarang (Senin) saya masih di Tanjungpinang. Nanti saya kabari saat di Batam. Mungkin Selasa”
“Oke, saya tunggu maksimal hari Rabu ya?” balas saya. Dia menyanggupi.

Namun saat Selasa ditelepon, jawabannya, “Saya masih di Tanjungpinang. Nanti saya kabari saat di Batam.”

Hingga sore tak ada kabar. Rabu pagi saya hubungi, jawabannya “Saya masih di Tanjungpinang. Nanti saya kabari saat di Batam.” Hingga Kamis, saat ditelepon dia sudah tak mau angkat.

Sebenarnya saya sudah paham akan diperlakukan seperti ini. Selama ini AH memang dikenal sebagai ''Si Mulut Besar dari Timur''. Baginya, berjanji palsu itu ibarat menarik bernafas. Sangat biasa dan rutin. Ibaratnya berjanji palsu untuk hidup, hidup untuk berjanji palsu.

Ke PDIP, juga sama. Namun, mereka lebih berterus terang. “Maaf pak, untuk saat ini belum dulu. (pemilu) Masih jauh. Nanti tahun depan saja,” ujarnya Cak N.

Bagaimana dengan PAN? Sama saja. Saat dilobi, Pak EB bilang bersedia, “Besok telepon saya ya?” ujarnya. Namun, ketika saya telepon selalu bilang sibuk dan sebagainya, hingga satu minggu tak ada kabar berita.

Ada lagi Pak AD. Setelah saya kasih diskon separuh harga, Rp1 juta, dia bersedia. Namun, setelah publisitasnya terbit, AD yang juga humas salah satu perusahaan di Batam ini, malah susah bayar.

Rupanya akibat keseringan menerima komplen dan cacian dari pelanggan, membuat jiwanya kebal akan komplen dan cacian itu sendiri. Sehingga, tagihan hingga surat peringatan yang dikirim ke kantornya tak juga meruntuhkan rasa malunya.

Bahkan SMS bernada agak kasar yang saya kirim pun juga tak digubris. Benar-benar kebal. Kebal benar-benar. Mestinya Ad harus segera menemui psikiater, atau ke rumah sakit jiwa terdekat saja.

Apakah kini sudah dibayar? Entahlah.

Lebih sakit lagi saat melihat foto dia dengan senyum khasnya selalu naik di Batam Pos. Seolah mengejek, “Nah lihat neh, gua masih diperlukan juga kan? He he he, kaciaaan deh lu.”

Terakhir saya tahu, kalau Pak AD sudah dicoret dari daftar caleg partai yang dipelesetkan menjadi Partai Artis Nasional itu. Katanya, dia tak mau mengeluarkan dana untuk keperluan kampanye.

Ya wajar sajalah. Gimana mau ngeluarkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah, sedangkan bayar uang publisitas Rp1 juta saja susahnya minta ampun. Di dunia ini mana ada yang gratis, makanya kalau memang tak mampu atau medit tak usah belagu mau jadi caleg segala.

Begitulah lika likunya. Makanya, lebih sakit lagi rasanya, ketika si caleg sudah mau, ternyata produknya tak diantar. Jadi, apakah saya harus melobi, mengantar lalu menagih juga? Ampun.

Hingga kemarin saya mendengar divisi pemasaran, eh salah, maksud saya departemen pemasaran (departemen atau masih divisi ya? Bedanya apa?) mengumumkan menaikkan harga produk kami, dari Rp2.000 menjadi 3.000 perbuah.

Ya udah, bagaimana lagi. Yang penting sekarang harus lebih maksimal lagi kerjanya. Tunggu dulu, “maksimal”? Memangnya seperti apa kerja yang maksimal itu? menurut Anda bagaimana?

Sudahlah. Ini hanyalah sebuah occupation hazard.

Senin, 27 Oktober 2008

Juvenile Deliquency vs Global Village

Berita kenakalan remaja kembali menyeruak di kota ini. Kali ini ”genre” yang mereka usung adalah pergaulan bebas, tinggal sekamar tanpa ikatan. Reaksi publik bagaimana?

Ada yang tersentak, lalu memvonis dan menyalahkan satu sama lain. Tentu saja yang jadi sasaran orang tua, peranan sekolah hingga pemilik hotel itu sendiri. Ada juga yang bersikap biasa saja. Dengan mengusung moderenitas kota besar.

Sebenarnya, kenakalan remaja bukanlah milik orang di abad moderen ini. Di zaman Nabi Adam, kita tentu sudah menganal siapa itu Kabil yang tega membunuh Habil, saudaranya sendiri. Sejarah juga mencatat, di deretan ke sembilan sunan, kita menganal Sunan Kali Jaga yang semasa bernama Raden Mas terkenal kebengalannya.

Apa penyebabnya? Tentu saja pengaruh lingkungan yang mendorong perilaku itu sendiri. Perilaku yang selalu berdasar pada biologi, psikologi dan sosiologi.

Dulu lingkungan hanya diartikan sebatas wilayah dalam arti sempit; rumah, kampung atau sekolahan. Namun kini seiring globalisasi komunikasi dan informasi, lingkungan sudah tak lagi sesempit itu.

Lingkungan apa yang dikatakan pakar komunikasi awal abad 20 Mc Luhan, sebagai global village (desa global). Di mana interaksi penduduk tak lagi dibatasi ruang, waktu dan wilayah.

Sebenarnya yang berbahaya bukan masalah global village-nya, namun efek instrumen yang dibawaya, yaitu teknologi informasi.

Seperti kita ketahui, informasi adalah komunikasi yang bergerak. Tuganya mempengaruhi audience-nya. Karena berdasar namanya, komunikasi semula berasal dari kata “komunis” berati sama.

Di sini efek komunikasi selalu mencari kesamaan persepsi akan sesuatu. Melalui beragam teknik, mulai apa yang disebut jarum suntik hingga bola saju, efek ini dapat membuat orang meniru atau disebut identifikasi dan imitasi. Caranya, melalui beragam teknik, mulai apa yang disebut jarum suntik hingga bola saju.

Dulu kita bisa saja mengunci siaran televisi di rumah dengan sistem partental lock, namun kini sudah tak bisa lagi. Dengan ponsel di tangan, si anak dapat mengakses semua informasi tadi.

Jadi, meski mereka berada di sebuah ruang tertutup pun mereka mampu mendapat akses program ideologi baru, kekerasan hingga seksualitas. Jika tanpa sandaran dan bekal yang cukup, maka efeknya bisa mempengaruhi mereka.

Tak heran, jika dulu kenakalan hanya sebatas menyentuh remaja lelaki saja, kini juga menular hingga anak sekolah dasar. Inilah yang disebut juvenille delequency.

Baru-baru ini kita tentu mendengar bagaimana kekejaman geng Nero, geng siswi SMA di Pati, Jawa Tengah. Belum lagi lidah kita kering berdecak miris, kita sudah dikejutklan akan perilaku Geng Brinkar, genk siswa anak SD Gunung Pereng, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Setelah dirazia, sebanyak 15 kartu anggota geng yang berasal dari singkatan Bring Kadiue Bring Kaditu (ramai-ramai ke sana ke mari), berhasil diamankan.

Kondisi masa remaja merupakan masa mencari identitas, menjadi pupuk subur untuk mempengaruhi perilakunya. Ada yang berhasil mendapat identitas dengan menorehkan prestasi di sekolah, namun yang gagal mereka akan mencari pengakuan dengan cara memamah semua informasi tanpa mengolahnya terlebih dulu.

Ada yang terjebak pada ideologi brain wash, ada juga yang tertaut pada pola pergaulan bebas, hanya karena mereka melihat banyak artis yang jadi pembicaraan karena sering gonta-ganti pacar atau kawin cerai.

Dari semua uraian ini, memang menangani juvenille delequency di zaman ini teramat susah. Namun, bukan berarti dibiarkan sama sekali. Kita dapat bergerak dengan cara mengetahui akar masalah, hingga faktor-faktor penunujangnya. Untuk itu, orang tua, sekolah, pemerintah dan DPRD harus kian giat bergerak lagi, tentunya berdasar wilayah masing-masing.

Orangtua harus lebih giat memantau dan membimbing (bukan membatasi) si anak, mulai dari pergaulan hingga serapan informasi apa yang mereka terima. Jangan pelit memberikan kompensasi positif pada anak dengan giat mencari apa keunggulannya. Semua anak Adam pasti memiliki keunggulan, sebagaimana firman Allah.

Jangan terjebak menilai keunggulan anak dengan hanya terpaku pada ranking, juara atau prestasi publik lain, lalu membanding-bandingkan. Hal ini hanya akan membuat si anak merasa kesuilitan mencari identitasnya, sehingga mencari pengakuan lewat hal-hal negatif.

Adapun peran guru kurang lebih sama, cuma lingkupnya di sekolah. Yang penting Jangan hanya melihat Intelligence quotient-nya saja, eqmosional quotient juga harus diperhatikan. Kalau hanya cerdas tapi tak terkendali, kadang merepotkan juga.

Sedangkan peran pemerintah, harus kreatif melihat perkembangan zaman, agar dapat membikin perangkat untuk mengantisipasi agar masalah ini tak kian subur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Khusus kasus bobok bareng di hotel, misalnya, pemerintah harus lebih ketat lagi menerapkan aturan dan pemantauan agar pengelola penginapan mulai kelas kaki lima hingga berbintang, lebih ketat lagi menyeleksi tamu-tamunya. Terutama bagi anak remaja.

Karena kita tak bisa membendung semua pengaruh ini datang pada remaja, kita hanya bisa memilih dan mengarahkannya saja.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Sakit Pertama Regalia (1)

Badan Regalia tiba-tiba hangat. Kadang datang, kadang pergi. Sang Bunda mulai gelisah. Saya juga demikian, hati deg-degan. Maklum, ini baru petama kali terjadi. Namun, saya berupaya agar ekspresi ini tak terlihat, supaya jadi pengimbang.

Hal ini bermula ketika Minggu 19 Oktober lalu, Regalia kami bawa ke acara Aqiqah anak kerabat di Bengkong Laut. Sembari menikmati hidangan, Regalia kami baringkan di ruang tamu tuan rumah.

Ternyata, tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat pada sahibul hajat, silih berganti pula mencium dan kadang mencubit pipi Regalia yang tengah terlelap. Sampai-sampai tuan rumah berseru, “Anak ini yang aqeqah,” ujarnya sembari menunjuk anak yang dia gendong. Dari pupil matanya, saya melihat rasa kurang senang.

Namun para tamu seolah tek memeduliknnya. Mereka hanya berkata, “O….” lalu kembali mengerubung putri kami.

Karena tak enak pada tuan rumah, saya berbisik pada istri supaya menggendong Regalia, lalu kami pamit pulang.

Sesampainya di rumah, hampir maghrib, Regalia muntah. “Yah, badannya panas,” kata istri saya.

Sejenak saya diam. Saya cek keningnya, memang agak hangat. Malam itu akhirnya berlalu, hingga Senin (20/10) pagi menjelang, panas di kening Regalia hilang.

“Tit tit tit tit…” Ponsel berbunyi, sebuah SMS datang, undangan rapat dengan pimpinan umum pukul 10.00. Katika akan berangkat, istri kembali berkata,

“Yah, panas lagi.”
“Lho, tadi sudah dingin, kok panas lagi?”
“Entahlah. Coba aja lihat,” pintanya. Saya cek ternyata benar.
“Aduh, mana saya mau rapat lagi.”
“Ya berangkat aja. Tapi nanti kalau udah selesai langsung pulang saja.”

Saya menyanggupinya. Berat juga mau melangkahkan kaki. Maklumlah, di rumah tak ada orang. Apalagi, Regalia mulai menangis saat tahu saya tak lagi ada di sisinya. Sementara, waktu sudah menunjukkan pukul 09.45.

Di tengah kesempitan itu, saya menyempatkan diri memberi pengertian. “Ayah ke kantor dulu ya… Nanti langsung pulang,” pamitku. Sebuah kecupan hangat di kening, saya hadiahkan sebagai penenang jiwanya.

Syukurlah, tak terlambat rapat. Sekadar diketahui, dalam kecepatan sedang jarak kantor dan rumah bisa saya tempuh dalam waktu 10 menit. Namun jika mendesak, bisa saya ringkas hanya 5 menit saja.

Sebelum masuk ruang rapat, saya masih menyempatkan diri menemui rekan sekantor, Ikbal di mejanya, lalu membincangkan masalah ini. Anak Ikbal sudah masuk usia balita, jadi saya rasa dia memiliki pengalaman yang lebih dalam urusan ini.

“Anak saya demam, Bal. Apa ada pengaruhnya dengan imunisasi HIB (miningitis) ya?”
“Biasanya memang gitu Mas. Imunisasi itu bawaannya panas. Biasanya sampai dua hari.”
“Tapi ini imunisasinya Senin lalu Bal. Sudah seminggu.”
“Wah, saya kurang tahu kalau begitu,” pungkas Ikbal.

Akhirnya saya manelepon tempat Praktik dr Rudi Ruskawan di Vetka Farma. “Saya mau daftar anak saya untuk cek nanti malam. Badannya panas,” ujarku pada petugas di sana.

Rapat pun dimulai. Hingga pukul 11.45, SMS ponselku berbunyi. Istri mengirim kabar, “Udah selesai rapaynya? Saya lihat tadi (Regalia) agak kejang. Saya takut ada apa-apa, ” katanya. Saya jawab, “Belum. Nanti pukul 12.00.”

Meski terkesan tenang, namun degup jantung kian kencang. Selama ini kami memang punya komitmen agar tak membawa urusan kantor ke rumah, dan urusan rumah ke kantor. Jadi, jika sudah istri berani SMS saol rumah saat saya di kantor, berarti memang sudah genting.

Apalagi mendengar kata “kejang” tadi. Meski pikiran tetap menyimak uraian sang pimpinan, namun sebenarnya hati ini berharap rapat ini berakhir. Kue brownies yang teronggok di meja bundar pun pun tak lagi menggugah selera saya.

Kekesalan melonjak, saat pimpinan akan menutup rapat, masih ada saja yang melontarkan pertanyaan tak nyambung. Sehingga pimpinan lagi dan lagi mengulang penjelasannya tadi, apa itu bussines plan, apa itu action plan, apa itu fix cost, apa itu variable cost.

Sampai-sampai saat itu saya ingin berdiri lalu berkata pada si penanya, “Hei, rasional dikit dong tanyanya? Bos mengangkat kamu di sini bukan untuk melawak!” tapi itu tak aku lakukan.

Pukul 12.00. Rapat ditutup. Tergopoh saya menuju tempat parkir. Lalu tancap gas pulang.

“Mana… mana Regalia?” teriakku di pintu rumah.
“Dia tidur. Tadi habis mimik,” ujar istri.
“Katanya tadi kejang?”
“Ya sih, agak kejang gitu. Aku takut ada apa-apa.”
“Ada apa-apa gimana?”
“Soalnya di Bengkong kemarin, aku dengar anak Kak Wati (kenalannya) kena DBD!”
“Oh gitu? Begini, kita boleh saja khawatir, namun jangan terlalu dihubung-hubungkan,” balas saya.
“Habis, tadi pagi saya baca di Metropolis Batam Pos, katanya akibat wabah DBD PMI sampai kekurangan trombosit.”
“Ah, itu pandai-pandai si Dewi (wartawati) saja. Sudahlah,” ujarku, padahal dalam hati khawatirnya bukan main.

“Tadi aku udah telepon tempat praktik dokter Rudi. Kita dapat antrean nomor 11.”
“Oh ya. Kalau gitu, kita berangkat habis maghrib saja. Dokter Rudi kan praktik jam tujuh (19.00), jadi biar tak lama antre-nya. Biasanya nomor urut tak berlaku jika kita cepetan datang,” saran istriku menebar kiat. Sayapun setuju.

Hingga sore pukul 16.00, saya kembali ke kantor. Tetap beraktivitas seperti biasa. Tebar senyum, meski hati gundahnya minta ampun. Pukul 17.00 pulang lagi. Saya lihat kening Regalia sudah dibalur minyak dengan bawang merah. Resep turun-temurun orang tua kami untuk meredakan panas.

Hingga pukul 18.45, kami tiba di tenpat praktik dokter Rudi. Lima menit berselang, kami dipanggil.

“Kenapa Pak?”
“Ini Dok, badannya panas. Apa karena imunisasi HIB yang seminggu lalu itu ya?”
“Ha ha ha, anak panas ini karena bakteri. Tak ada kaitannya dengan (imunisasi) HIB,” ujarnya. Setelah memeriksa kedua telinga Regalia dengan senter khusus, sang dokter memberi kami resep.

“Ini ada obat, ada dua botol. Botol ke satu harus habis. Botol ke dua ini hanya (diminum) untuk panas. Kalau tak panas, distop. Ini harus diminum tiga kali sehari. Ngerti?”
“Baiklah Dok,” jawab saya.

Selanjutnya, bergegas kami menebus resep ini ke apotek yang berada di lantai dasar. “Ini pak, yang satu antibiotik harus diminum tiga kali sehari, 1 sendok sampai habis. Yang satu ditetesin saat panas saja. Ukurannya 0,7 mili. Semuanya Rp95 ribu!” jelas apoteker.

Sampai di rumah, hanya antibiotik saja yang kami minumkan. Maklum, badannya sudah dingin lagi. Tahu sendirilah, anak kecil minum obat. Susah. Masuk sedikit dimuntahkan lagi. Begitu terus. Harus sabar.

“Kalau menilik dari keterangan dokter, ini pasti akibat terlalu banyak dikerubung orang di acara aqiqah kemarin. Entah dari mana-mana orang itu. Salah satunya bisa saja membawa kuman!” rutukku. Istri hanya diam saja.

“Lain kali harus dijaga. Jangan terlalu dibiarkan Regalia terlalu banyak bertukar nafas dengan orang, apalagi yang kita tak tahu riwayat penyakitnya. Bisa jadi golongan darahnya ada yang nyambung, sehingga mudah ditularkan!” lanjutku, mirip dosen ngasih kuliah saja.

Hingga pukul 03.00 Regalia terbangun. Istripun sudah sigap dengan sebotol susu. Usai ngedot, Regalia ogah tidur. Dia merengek minta saya gendong. Hingga satu jam saya gendong, namun tak lelap juga. Badannya kembali panas.

Lalu saya memutuskan memberi obat panas. Gotong-royong pun dimulai. Badan Regalia saya terlentangkan di pangkuan, sementara istri meneteskan obat warna merah, bermerek Sanmol itu.

Setetes dua, berhasil masuk. Namun diludahkan kembali. Lalu kami seka lagi, masuk lagi. Rupanya Regalia tak suka. Segala macam rayuan pengalih perhatian, mulai siulah hingga celetuikan-celetukan tak berhasil menggoyahkannya.

Hingga akhirnya, “Oaaak…..” Regalia muntah. Susu yang sudah diminum satu jam lalu bersama obat itu keluar semua. Habislah baju saya.

Kesibukan kecil mulai di pagi buta itu. Ganti baju dan mengelap tubuh Regalia dengan air hangat dilakukan. Akhirnya, setelah semua usai, kembali saya gendong-gendong. Hingga pukul 05.00 Regalia mau terlelap.

Saya tempelkan pipi ke keningnya, ternyata masih panas. Rasanya saya ingin menyerap panas anakku. Pindahkan saja ke saya. Tak tega rasanya. Saya ingin Regalia ceria lagi, ngomong “Accha accha…. Atca tca tca… wa wa wa…”

Lalu saya memandang wajah anakku. Tenang dan damai. Pelukanku kian erat. Regalia makin lelap.

Anakku sayang, regalia Khairunnisa
Tidurlah intan, tidurlah nyawa
Palita hati penghibur duka
Pujaan ayah beserta bunda

Bila kau dewasa janganlah lupa
Menuntut ilmu bekal hari tua
Agar menjadi orang yang berguna
Setia kepada ayah dan bunda

Lenalah sudah, pejamkan mata
Di sampingmu ayah menyanyikan
Lagu untukmu
Sebagai ganti kasih sayangku

Sakit Pertama Regalia (2)

Rabu, pukul 04.00 pagi, saya tersentak dari tidur oleh pekik tertahan istri yang mengatakan Regalia muntah. Terhenyak, saya lalu berhambur menuju box bayi yang terletak di samping tempat tidur, tempat Regalia kami baringkan.

Saya terkejut bukan kepalang, melihat wajah dan sekitar dada Regalia penuh dengan muntahan susu. Sebelumnya, sekitar pukul 03.30 dini hari, saya memberikan 100 mili susu botol untuk Regalia yang terbangun karena lapar. Hal ini merupakan kebiasaannya saat bangun tidur.

Kontan saya bergerak cepat mengangkat Regalia, lalu memiringkan tubuh dan menepuk-nepuk punggungnya di pelukanku, sehingga pakaian yang saya kenakan basah oleh muntah.

Tindakan yang saya lakukan ini merupakan standar operasioanal saat bayi muntah. Tujuannya agar muntahan tak kembali masuk menuju rongga paru. Biasanya, selang menit baru bisa di beri susu lagi.

Setelah istri mengganti bajunya yang berlumur muntah, saya akhirnya mengganti baju dengan pakaian yang bersih lalu menggendong Regalia. Hampir pukul 05.00 saya menggendongnya, sambil berjalan mondar mandir mulai ruang rtamu hingga dapur lalu kekamar. Begitu terus.

Setelah lama digendong, Regalia kami baringkan. Kali ini tidak di box-nya, melainkan di tempat tidur kami. Dari sini saya berpikir ada apa gerangan? Muntahnya keluar begitu saja, nyaris tanpa pemicu.

Bersamaan dengan itu, saya peluk dan mencium keningnya. Agak sedikit hangat. Karena terlalu letih, akhirnya saya terlelap.

Mungkin karena terbawa perasaan haru, dan terus menahan agar tak terlihat oleh istri, sehingga semua ini terbawa dalam mimpi. Dalam mimpi itulah saya menangis sejadi jadinya, hingga sesenggukan. Tak lama saya tersentak.

“Ada apa Yah?! Tadi saya dengar tidurnya agak sesenggukan gitu?”
“Ah, tak apa-apa jawab saya, lalu melirik ke Regalia. Saya lihat dia terlelap.
“Kita kasih susu lagi Yah. Kasihan dia,” ujar istri.

Melihat tubuhnya lemas, sayapun setuju. Tugas ini saya lakukan, karena kasihan melihat istri yang sudah kelelahan menjaga Regalia yang terus rewel semalaman.

Tak lama, susu 50 mili itu bisa dia habiskan. Namun selang 10 menit, “Clashhh…” bagaikan air yang terlepas dari selang, Regalia kembali muntah. Saya langsung mendekap, memiringkan tubuhnya di dada sambil menepuk-nepuk punggungnya lagi.

Kali ini muntahnya cukup deras, sehingga tak hanya baju saya yang basah, namun juga lantai kamar. Bahkan saking derasnya muntahan, sampai-sampai nyiprat ke seprai. “Muntah lah Nak… Muntahkan semua sayang…” pinta saya, sembari memijit halus tulang punggungnya dan membawa ke belakang.

Dalam perjalanan ke belakang itu, Regalia kembali muntah sehingga berceceran di lantai. Dia terus muntah, meski isi perutnya sudah terkuras habis. Wajahnya tegang, “Hoak…. Hoak…”

Dari sini, saya mulai bergidik. Tak tega rasanya melihat pemandangan ini. “Ada apa Nak… Ada apa? Bilang pada ayah?!”

Tentu saja Regalia tak bisa menjawabnya, namun paling tidak komunikasi ini sudah menjadi sugesti baginya bahwa kami sangat peduli sehingga dia benar-benar merasa di tangan yang aman.

Selanjutnya saya kembali ganti baju, hingga stok pakaian rumahan habis. Sementara waktu sudah pukul 05.30. Regalia makin lemas, badannya makin panas, Kami pun mulai sedikit risau. Maklumlah baru pertama kali menghadapi peristiwa semacam ini. Untuk itu, kamipun mengontak orang yang lebih berpengalaman.

Istri menelepon ibunya, sedang saya menepon kakak tertua di Surabaya (karena saya sudah yatim piatu sejak kelas 3 SMA). Intinya sama; bagaimana menangani hal ini. Beragam resep yang didapat, namun tetap tak menentramkan hati.

Saat itulah saya teringat Ikbal. Ikbal lagi? Entah mengapa Ikbal selalu ada saat saya dalam krisis. Saya teringat akan kenalannya, namanya dr Asteria spesialis anak. “Dia dokter anak di Rumah Sakit Elisabeth. Orangnya baik Mas, dia kadang mau malayani kita lewayt SMS,” ujarnya saat itu.

Namun, tak mungkin saya telepon dia. Ini pukul 05.30 pagi Bung! Masih cukup gelap untuk ukuran Batam yang berada di garis paling barat WIB ini. Saya pun kirim SMS, isinya, “Udah bangun Bal? Penting banget nih.”

Kalau SMS ini dijawab, pasti Ikbal sudah bangun. Saat itulah aku bisa neleponnya. Jadi tak mengganggu. Namun harapan saya hampa belaka.

Saat itulah saya teringat Lilis Lishatini, redaktur Batam Pos. Saya ingat, dulu Asteria sering mengisi kolom konsultasi tiap hari Minggu di Batam Pos. Lilislah redakturnya. Saya SMS dia, “Udah bangun Teh?”

“Teh”. Begitulah saya memanggil mojang Pariangan itu. Asalnya dari kata “Teteh”, yang berartti “kakak” dalam bahasa Sunda.

Kali ini SMS berbalas. “Ya, ada apa?” Langsung saja saya meneleponnya, sembari meminta nomor Asteria. Selanjutnya nomor Asteria dalam bentuk bussiness card saya terima. Dari sanalah, harapan saya seakan timbul.

Saya SMS Asteria yang mengatakan ada hal apa sebenarnya. Namun tak berbalas. Lalu saya menelepon RS ST Elisabeth dan bertanya tentang dr Asteria dan kapan mulai buka praktik.

“Biasanya praktik jam 09.30. Tapi, jam delapan (08.00) bapak harus sudah di sini ya?” jawab suster rumah sakit di ujung telepon.

Hingga jelang pukul 06.30, kami memberi susu pada Regalia. Dan tak lama dia muntahkan kembali. Tak lama ponsel saya berbunyi, sebuah jawaban dari Asteria yang katanya, bisa jadi itu mentaber.

Meski sangat risau, namun bukan main gembiranya saya menerima SMS ini, seolah menemukan oase di padang gurun. Selanjutnya, saya telepon Asteria dan mulai menceritakan apa yang terjadi. Asteria pun menyarankan agar diberi obat penghilang muntah saja, namanya Vometa.

“Nanti ditetesin 0,40 mili saja, tiga kali sehari.”
“Sudahlah Dok, biar nanti kami bawa ke dokter saja. Biar Dokter periksa.”
“Baiklah kalau begitu. Nanti kita ketemu.” Ujarnya.

Legalah sudah. Sementara.

***

Pukul 07.40, kami berangkat ke St Elizabeth yang berada di Blok III Baloi. Jaraknya hanya 10 menit perjalanan dari rumah kami di Orchard Suite, Batam Center. Jika ditambah kemacetan lampu mereh Simpangjam, maka sekitar 20 menitan.

Hingga pukul 08.45, kami pun berhasil bertemu dr Asteria. Wajahnya memang keibuan, dengan rambut keriting sebahu.

Dengan melihat ruang praktiknya, saya sedikit bisa menganalisa profil Asteria yang sangat terorganisir dan cinta kaluarga. Hal ini tampak dari beberapa foto keluarga yang dipajang menonjol dari beberapa hiasan lain.

Kamis, 23 Oktober 2008

Sakit Pertama Regalia (3)

Selanjutnya, Asteria memeriksa kondisi putri kami. Regalia pun terus mangis. Tak biasanya dia begitu. Senyumnya seolah telah direnggut dari wajah lucunya.

Saat masuk diagnosa, saya ceritakan semua. Mulai peristiwa di Bengkong, hingga periksa ke dokter Rudi. Dari sinilah, Asteria meminta agar Regalia cek darah. “Kita harus pastikan, mengingat saat ini banyak berkembang wabah muntaber dan DBD.”

Kamipun setuju, lalu keluar menuju ruang cek darah.

Tak lama kami dipanggil. Seorang suster bertampang khas Tapanuli telah menunggu. Dengan jarum steril dia merobek jari manis kanan Regalia, lalu memerahnya. Darah yang keluar itu dia tampung di sebuah wadah kecil, seukuran tutup pulpen.

Saat itulah, jeritan Regalia pacah. Saat jarinya diperas, saat itu pula separo nyawa saya seakan ikut dihentak. Saat darahnya keluar, saat itu pula air mata menetes. Tak tega saya melihatnya, sehingga saya peluk dan terus menciumnya sembari membisikkan kata peneguhan.

“Sabar Nak… Sabarlah… Ini demi kesembuhanmu. Ayah di sini, yakinlah…”
Di saat-saat haru ini, SMS saya berbunyi sebuah pesan pendek dari kawan di kantor bahwa orang Otorita Batam sudah menunggu untuk meninjau 4 lokasi. Ya, memang hari ini saya ada janji menunaikan sebuah tugas kantor, amanat dari head departemen.

Dengan air muka basah, saya membalas SMS ini. Bahwa semua sudah didelegasikan pada Hasanul, anggota tim yang cukup educated dan rakus saat bekerja.

Selanjutnya via SMS, saya menyusun program kerja, tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan dan saya kirim. Syukurlah, semua bisa dimengerti.

Saat itulah saya baru sadar telah memiliki rekan tim yang sangat serius, merasa bodoh dan ingin selalu belajar dan bekerja. Mereka mengartikan tugas (jabatan) sebagai wewenang dan tanggung jawab, bukan kekuasaan untuk mencari keuntungan sehingga melupakan rasio.

Ibarat penari, semua rekan tim saya, paham akan irama gendang. Bahkan improvisasinya sungguh menarik. Bukannya sekumpulan pemalas yang mahir dalam mengeluh, pandai ngomong namun tak bisa berbuat dan orang-orang megalomania yang takabur.

Saat itu, sebenarnya saya ingin menelepon langsung. Namun tak berani, karena tak ingin kawan-kawan tahu apa yang saya hadapi saat ini. Takut disangka minta simpati, atau malah membuat mereka bersimpati. Tentunya ini hanya akan melemahkan mental saja.

***

Usai cek darah, kami kembali ke Asteria. “Kalau dilihat dari hasil cek darah ini, semua kekhawatiran seperti DBD dan muntaber, tak terjadi. Cuma saya lihat sel darah putihnya cukup tinggi. Anak Bapak dehidrasi!”
“Dehidrasi Dok?”
“Ya. Ini lihatlah, Lekositnya (sel darah putih) mencapai 10.700! Ini tinggi sekali. Biasa normal hanya 10.000-an saja! Sedangkan trombositnya 436 ribu mm3.”

Dehidrasi? Saya ingat, mungkin akibat pil yang diberikan dokter Rudi, saat periksa Senin lalu, kami memang menanyakan kenapa Regalia sudah tiga hari belum buang air besar. Saat itu, kami diberi pil. Dan memang, tak lama regalia bisa buang air besar, banyak sekali, sampai dia banjir keringat dan tidur pulas sesudahnya akibat kelelahan.

“Wah. Mestinya tak usah. Kan baru tiga hari. Apa sih susu-nya?”
“BMT yang biasa Dok.”
“Oh, sama dengan (susu) anak saya. Memang susu itu mengandung zat besi yang tinggi, jadi sudah biasa jika tak bisa buang air besar hingga tiga hari. Bahkan anak saya sempat tak buang air sampai lima hari. Namun saya biarkan. Kalau sudah seminggu, barulah dikasih tindakan,” ujar Asteria panjang lebar. Dari sana kami mengerti.

Selanjutnya kami diberi resep oralit merek Renalit. Jumlahnya dua botol, masing-masing 200 mili. Oralit ini harus habis dalam waktu 4 jam! Caranya, satu sendok diminumkan, setelah itu istirahat 5 menit. Begitu terus.

Kami juga diberi obat anti muntah, namanya Vometa. “Tetaskan 3 kali sehari, sebanyak 0.40 mili. Sedangkan obat penurun panas dari dokter Rudi dan antibiotik lanjutkan saja,” pesan dokter Asteria.

”Jadi tak usah dirawat iap Dok?”
”Tak usah saja. Tapi, lihat nanti sore. Kalau yang (makanan) keluar baik dari muntah atau dari buang airnya lebih banyak dari yang masuk, maka itu tanda harus segera dirawat di sini,” ujar Asteria menutup.

Pukul 10.00 Kamipun pulang. Misi pertama, bagaimana menghabiskan oralit dalam 4 jam! Selama perjalanan saya pesan pada istri, bahwa tugas ini amat berat. Maka itu, jangan sampai orang tuanya ikut sakit. Ini adalah standar pertolongan untuk anak. Sebab kalau sakit, siapa yang bisa merawatnya?

Kamipun berhenti sejenak di rumah makan Padang. Ayam gulai jadi menu pilihan untuk dimakan di rumah, karena sedari pagi perut tak terisi.

Sampai di rumah pukul 11.00, saya mulai bekerja. Sementara istri membereskan pekerjaan dapur. Langkah pertyama, meneteskan obat muntah. Yang kedua, meminumkan oralit. Saya berpikir, kalau meminumkan satu sendok ukuran 2 mili lalu istirahat 5 menit, tentu waktu 4 jam tak akan terkejar.

Untuk itu, saya memasukkan saja semua dalam botol susu. Saya hitung, tiap dua menit regalia mampu menghabiskan sekitar 30 mili. Lalu istirahat sekitar 10 menit. Dari sini, target bisa dikejar. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Jelang pukul 14.00 oralit bisa dituntaskan. Target 4 jam, bisa dikejar dalam 3 jam saja.

Hari itu, benar-benar melelahkan. Mulai siang hingga sore, saya terus menggendong Regalia, sembari melakukan aktivitas, seperti membuat susu atau meminumkan obat. Semua saya lakukan dengan satu tangan kanan. Sebab, tangan kiri harus mendekap Regalia.

Di sela-sela itulah, saya mendapat SMS dari rekan kerja, yang mengatakan bahwa rencana tak bisa dijalankan karena topik yang ditentukan tak bersedia ditemui. Akhirnya saya minta agar dia mencari ganti yang lain saja.

Hingga malam hari, Regalia masih lemas. Sayapun masih belum melepaskan gendongan. Saya hanya istirahat saat waktu salat saja, selanjutnya gendong lagi. Sebab, Regalia tak mau dilepas dan matanya belum mau terpejam.

Saat itu, satu persatu pula, obat kami minumkan. Tentunya agak susah, sebab selalu diludahkan lagi. Maklum, dia belum bisa menelan. Akhirnya kami menemukan akal, tak lagi menggunakan sendok, namun memakai alat penetes saja. Alhamdulillah bisa masuk.

Pukul 20.00 Regalia baru bisa lelap. Namun satu jam berikutnya terbangun lagi. Kali ini susu sudah diminumkan, namun hanya 40 mili saja (sesuai ukuran jumlah air dalam takaran satu sendok susu BMT). Kami belum bisa memberikan 100 mili sekaligus, sebab pencernaannya masih belum normal.

Hingga pukul 22.00 Regalia terlelap, dan pukul 23.00 terbangun. Hingga jelang pukul 01.00 Reglia bisa terlelap. Selanjutnya dia bangun lagi, kali ini sampai jam 05.00 pagi. Selama terbangun itulah, selama itupula Regalia saya gendong. Alhasil, pada Kamis siang saya baru merasakan sendi-sendi sakit semua.

Hingga Jumat, kondisi Regalia mulai normal. Senyum-senyum lagi, berbinar lagi. Ada sebuah perkembangan baru yang kami lihat, dia sudah sangat mahir menggerakkan tangannya. Alhamdulillah.

Cepat baikan ya Nak, doa ayah bunda selalu menyertai.

-----------
Terima kasih untuk:
Allah SWT, telah mengizinkan Islam jadi agama ku
dr Asteria SpA atas segala ketelatenannya.
Pak Socrates, sudah mau membaca SMS hatiku.
Teh Lilis, untuk nomor Asteria dan udah mau direpotin di pagi buta.
Said Effendi, penyanyi top era 50-an atas inspirasinya.

Hari Terakhir Ketua OB

Ada awal, pasti ada akhir. Adalah sebuah kesempatan hebat pula jika kita bisa menyaksikan awal dan akhirnya sesuatu yang besar pula. Dalam hal ini Otorita Batam.

Saya pribadi, tentu tak bisa menyaksikan lahirnya lembaga yang telah membangun Batam dari pulau sekala kelurahan hingga kini menjadi kawasan yang megah setara dengan kota provinsi-provinsi top yang lebih dulu hadir di Indonesia. Sebab saat itu, tepatnya tahun 1971, saya belum lahir.

Namun, saya diberi kesempatan oleh Allah menyaksikan akhir Otorita Batam yang akan berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) Batam tepat di ulang tahunnya ke 37. Usia ini berdasarkan Keppres No 74 tahun 1971 tertanggal 26 Oktober 1971, yang oleh Presiden RI menetapkan sebagian Pulau Batam sebagai Kawasan Pengembangan Industri Pulau Batam.

Sekadar diketahui, OB dibentuk pemerintah pusat untuk mengambangkan pulau Batam sebagai kawasan industri. Saat itu, Batam yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura masih berstatus kawasan bonded zone dan free trade zone.

Saat pertama dikembangakan, pusat kota Batam berada di Sekupang, bukan Batam Center seperti saat ini. Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya kantor kepala Satuan pelaksana (Kasatlak) OB, perumahan karyawan, Pelabuhan Feri dan infratruktur lainnya, berupa jalan pemukiman penduduk di kawasan itu. Jadi, jika ingin melihat pembangunan Batam yang terukur dan rapi, lihatlah di Sekupang.

Selain itu, OB membangun kawasan bisnis di Jodoh dan Nagoya. Di sana juga dilengkapi pelabuhan feri internasional di Batuampar. Dalam perkembangannya, Jodoh Nagoya berkembang pesat.

Pemukiman penduduk mulai padat, hingga pada tahun 90-an kebakaran besar melanda Jodoh, penduduk yang kehilangan tempat tinggal diberi tanah di kawasan Bengkong hingga Sungaipanas. Inilah yang menandai era konsentrasi perkampungan penduduk di Batam.

Hingga era Habibie, sebutan kasatlak sudah berganti dengan ''ketua'' saja, jabatannya setara mentri. Kantor OB pun dibangun di Batam Center, setinggi 9 lantai.

Di era Habibie inilah, Batam mengalami pembangunan besar-besaran. Mulai industri hingga ikon wisata, semacam Jembatan Batam Rempang Galang (Barelang). Hal ini berlanjut di era Ismeth Abdullah yang kini menjabat Gubernur Kepri.

Di akhir masa jabatan Ismeth, yang akhirnya digantikan Mustofa Widjaja, kejayaan OB mulai tergusur, setelah Pemerintah Kota Batam mulai defenitif dan memiliki wali kota yang representatif. Dengan demikian, keistimewaan Batam sebagai bonded zone dan free trade zone, mulai dicabut.

Apalagi seiring berhembusnya otonomi daerah. Hingga pada tahun 2008 ini, sesuai amanat undang-undang, OB harus dibubarkan dan berganti dengan sebutan BPK. Berkaca dari inilah saya ingin menemui Mustofa Widjaja, mantan Deputi Wasdal OB ini.

***

Selasa, sekitar pukul 13.00 ponsel saya ada SMS masuk dari Jamil, rekan di kantor. Saya hitung tiga kali SMS itu dikirim, semua bunyinya sama, “Nanti ketemu di Otorita (Batam) jam 2 (14.00).” Tampaknya ini SMS penting, sampai dikirim tiga kali segala.

Pukul 13.30, saya dan Jamil sudah tiba di Otorita Batam. Saya pun mengenang. Pada tahun 2000 lalu gedung ini pernah diserang demonstran yang menolak berlakunya PPn dan PPn BM di Batam.

Mereka memecahkan kaca dekat pos Direktorat Pengamanan OB, selain itu salah seorang pendemo bernama Kholik berhasil naik ke dekat meja penerima tamu dengan gas gun ditangan, mengancam seorang anggota Ditpam hingga pucat pasi. Seru sekali masa itu.

Kholik pun sempat ditahan oleh Kapolresta barelang saat itu, Nicolaus Eko. Namun dibebaskan oleh pengacara Soerya Respationo. Kini Kholik duduk sebagai anggota DPRD Batam dan Soerya sebagai Ketua DPRD Batam.

Selain kenangan itu, ada kesan yang sangat berbeda saat saya menginjakkan kaki di gedung ini. Semua serba sepi, tak ada lagi lalu lalang orang bule berdasi, atau antrean pengusaha lokal di depan-depan pintu para deputi hingga sore hari, seperti yang saya saksikan pada tahun 2000 lalu.

Naik ke lantai 8, tempat Ketua OB berkantor, jantung ini tak lagi berdegup. Ya, apalagi yang mau didegup-kan? Ikon-ikon kebesaran itu sudah tercabut. Paling banter ketemu cleaning service atau pegawai rendahan saja yang kini juga bisa leluasa masuk lift.

Hingga di lantai 8, saya dan Jamil menunggu di ruang tamu ketua OB. Bentuknya masih sama dengan dulu, saat saya ingin bertemu Ismeth Abdullah tahun 2002 lalu. Ruangnya berukuran 3 x 3 meter berskat dinding tipis. Delapan buah kursi berukir khas Jepara mengelilingi sebuah meja lebar siap menyambut tamu.

Di sisi dindingnya terpasang profil misi dan misi OB, hingga beberapa macam pembangunan yang telah dilakukan. Bedanya, kalau dulu gambarnya masih jelas, kini mulai pudar kemerahan akibat sengatan waktu dan sinar matahari yang mampu menembus di pagi hari.

Saya pun melongok ke jendela kaca lantai 8 tersebut. Dari sini, pemandangan yang tersaji dari atas sudah berbeda dengan 5 tahun lalu. Dulu saya hanya bisa melihat Pelabuhan Feri Batam Center, Dataran Engku Putri, gedung Pemko Batam dan Bukit Clara yang masih hijau. Selebuhnya masih kosong.

Kini pemandangan itu bertambah, dengan berdirinya gedung DPRD, Gedung Sumatera Ekspo, Mega Mall dan selebihnya pemukiman penduduk dan Bukit Clara yang tinggal separuh.

“Mau ketemu Pak Mustafa ya?”. Sapa lelaki berbadan tegap, membuyarkan lamunan.
“Ya!”
“Apa sudah janji?”
“Sudah, katanya mau ketemu jam 2 ini!” jawab Jamil.

Selanjutnya lelaki itu berlalu. Tak lama kemudian datang lagi. “Silakan ikut saya,” ajaknya, membimbing kami ke sebuah ruang. Dalam ruang itu ada pintu berukir. “Ayo masuk sini,” pintanya. Kamipun ikut.

Di sini ada sebuah meja bundar kayu berukir khas Jepara yang dikeliligi kursi mermotif sama.

“Ini ruang rapat petinggi OB ya Mil?” tanyaku pada Jamil yang sejak tahun 2002 lalu memang ngepos di OB.
“Ya. Bisa juga ini dijadikan tempat Ketua OB bertemu orang petingginya,” jawab Jamil.
“Dulu saat ke bertemu Pak Ismeth, bersama Bang Edy (pimpinan saat itu) saya tak diterima di ruang ini Mil. Tapi di ruang utama Ismeth. Agak lebar bentuknya.”
“Ya, kan saat itu bersama Bang Edy (baca pimpinan), tentunya beda jika kita yang datang sendiri, he he he,” seloroh Jamil.

Selanjutnya, staf Humas OB Joko Wiwoho ikut nimbrung membawa buku catatan. Ini sudah standar protokoler. Beda dengan dulu, yang menyambut pertama langsung Kepala Humas dan Pemasaran OB Ahmad Dahlan yang kini menjadi Wali Kota Batam.

“Hallooooo… apakabar…” sapa Dahlan dengan lentur, disusul kemudian Ismeth muncul dengan peci dan senyum khasnya. Kini, semua formasi ini tak saya lihat lagi.

Setelah lama berbincang dengan Joko, Mustofa pun datang dan langsung duduk di kursi ''point of view'', dekat kursi yang saya duduki di sisi kiri meja.

“Apa lagi yang ingin kalian ketahui, semua sudah saya sampaikan saat pertemuan lalu. Jangan saya terus lah.”

“Pak, diminta atau tidak, saya tetap akan bertemu Bapak. Ini sebagai apresiasi kami kepada lembaga ini. Apalagi ini akhir usia OB sebelum berubah BPK! Bagaimanapun juga Bapak Ketua OB kan?” sergah saya.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Mustofa. Selanjutnya dia memaparkan hal-hal yang umum saja. Tentang OB dan peralihan ke BPK. “Tak ada yang berubah, cuma ganti nama saja,” ujarnya.

Sepanjang pertemuan ini staf protokoler kerap masuk ruangan memberikan selembar kertas warna kuning pada Mustafa. ''Ya sudah, ini saya masih ada tamu,'' ujar Mustofa usai menerima kertas tersebut.

Hingga 15 menit di awal, saya merasa pertemuan ini kurang bumbu. Ada sedikit sikap under-estimate yang secara tak disadari diperlihatkan Mustofa. Untuk itu saya mencari cara bagaimana “ngerjain” arek Suroboyo, kelahiran Kediri 15 Desember 1951 ini. Paling tidak dia tahu who they deal with.

Modal awal sudah saya peroleh, yakni sikap under-estimate-nya tadi. Dengan demikian, saya bisa menyerang dari sisi eksistensinya. Apalagi saat itu disaksikan staf dan kawan saya, Jamil. Tentunya dia tak mau jika disangka bahwa saya, yang pegawai rendahan ini, lebih pinter darinya.

Mulailah saya bekerja. Sejak tadi saya dengar Mustofa selalu mengemukakan soal konsep-konsepnya, misal paradigma baru atau menuju era elektronik. Hal inilah yang saya pakai untuk menguras isi otaknya. “Bapak sedari tadi bilang tentang konsep paradigma baru. Bagaimana caranya?”

Berhasil! Mustofa terpancing. Hal ini memang kerap saya lakukan untuk menakar kepala seseorang. Sering saya jumpai orang-orang yang hafal apa teori ini dan itu, namun saat ditanya “bagaimana caranya” mereka diam seribu bahasa.

Namun hal ini tak saya temui pada Mustofa. Dia memang seorang yang berotak encer, tak hanya bisa teori, juga cara melaksanakan.

Selanjutnya, saya pahami bahwa Mustofa ini berasal dari Kota Santri, Surabaya, Jawa Timur. Dari sinilah pendekatan itu saya lakukan. Saat dia menjawab soal perubahan yang katanya bersifat abadi, saya menentang pendapatnya dengan membelokkan ke konsep Alquran.

“Hanya Alquran yang tak berubah Pak!” potong saya. Mustofa tersengat. Ego dan eksistensinya terlecut.

“Ah kata siapa itu? Alquran juga berubah! Tentu bukan dari segi isi, melainkan dari cara penyampaiannya. Dulu Alquran dihafal, lalu ditulis dalam lembar suhuf, terus dicetak hingga kini dihafal lagi. Selain itu, selain terjemahan, kini juga ada tafsir. banyak sekali tafsir ini, ada juga tafsir karangan Quraisy Shihab. Apa itu?”

“Almanar?” kata Jamil.
“Bukan. Almisbah!” jawabnya.
“Kalau saya tak suka Almisbah Pak. Saya lebih suka Al Azhar, karya Buya Hamka,” jawabku.

“Ya, kalau saya ini semua suka. Saat Ramadan saya sering mendengarkan acara Quraish Shihab. Rasanya sejuk. Di sana dijelaskan bahwa membunuh dengan alasan jihad itu tetap salah.”

“Pak, selama masih ada satu Tuhan, akan banyak manusia membunuh atas namaNya!” sela saya.

Mustofa terdiam, lalu melanjutkan. ”Ya, tapi juga saya senang membaca aliran yang lain, semacam Hizbut Tahrir. Bahkan ceramah pimpinan FPI Habieb Rizieq pun saya dengarkan.”

Mustofa lalu berkisah soal isi ceramah Rizieq, bahwa jika Tuhan ingin menurunkan musibah selalu tak pandang bulu. Contohnya jika naik kapal, ada satu orang yang mungkar dengan mengebor kapal itu, maka seluruh isi kapal termasuk orang beriman akan ikut tenggelam.

Setelah Mustofa selesai berurai, saya pun memotong. “Sudahlah Pak, cukup masalah agama ini. Kita beralih ke yang lain, soal perubahan OB ini,” pinta saya.

Selanjutnya saya mengeluarkan amunisi, beberapa pertanyaan yang membuat eksistensi Mostofa sangat terusik. Misalnya tentang kabar bahwa OB menghambat FTZ hingga menempatkan porosnya di DPRD Batam. banyak lagi hal lain yang tak bisa saya sebut di sini.

“Ya. Saya sudah lama mendengar. Bahkan ada yang lagsung mengatakan lewat SMS. Namun seperti yang saya bilang tadi, bahwa manusia ini tak sama isi pikirannya!”

Selanjutnya saya potong lagi, lalu mengemukakan masalah yang lain lagi. Kali ini Mustofa tak bisa berlagak cool lagi.

“Itu tak bisa saya jelaskan di sini! Panjang ceritanya, waktu kita tak cukup!”
“Tapi saya kan harus tahu Pak. Saya adalah warga Batam. Jadi benar atau tidak apa yang saya saya sampaikan tadi?” kejar saya.
“Ya, nanti kita ketemu. Nanti akan saya jelaskan semuanya.”

Melihat rencana kian terarah, saya bom dengan satu pertanyan lagi. Kali ini Mustofa langsung bangkit dari kursi.

“Ya, seperti itu tadi, panjang penjelasannya, tak bisa sekarang. Saya harus menemui tamu. Ini sudah banyak yang nunggu,” ujarnya sembari memperlihatkan kertas kuning berisi memo yang dia terima dari staf protokoler.

Sesaat Mustofa menuju pintu keluar, saya bangkit keluar, karena pertemuan sudah berakhir. Tiba-tiba, Mustofa berbalik, lalu bertanya dengan lantang. Tak biasa saya melihat ekspresi Mustofa seperti ini saat di luar sana.

“Eh, kamu dari mana?!”
“Saya dari Jawa Timur Pak.”
“Oh ya sama, saya juga dari sana, Surabaya!”

“Ya, saya tahu itu. Bapak pernah mengatakannya pada saya di acara penyembelihan hewan kurban OB, usai salat Idul Adha tahun 2000 di Dataran Engku Putri. Saat itu Bapak bersama istri dan dua anak!”

Mustofa tampak kian bingung. Lalu dengan intonasi tinggi dia berkata, “Pantas saja bicara kamu meledak-ledak. Biasa memang orang dari sana (Jawa Timur) memang begitu!”
“Nanti kita ketemu! Akan saya jelaskan semuanya pada kamu!”

“Jangan sampai itu tak terjadi Pak. Saya akan tunggu kapan dan di mana!” jawab saya, lalu kami berpisah.

Politik Keluarga, Salahkah?

Akhir-akhir ini marak diberitakan tentang trah keluarga dalam sistem politik Indonesia. Di Pusat ada Megawati dan putrinya Puan Maharani, Gus Dur dan putrinya Yenny Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono dan Putranya Baskoro.

Di Batam, tak mau kalah. Ada Soerya Respationo dan istrinya Rekaveny, Ismeth Abdullah bersama istri Aida Ismeth dan anaknya Danny Ismeth, Ahars Sulaiman dan istrinya, ada juga Hood Brother, mulai Hoezrin Hood, Hoenizar Hood hingga Hardi Hood. Banyak lagi contoh lain yang tak bisa disebut.

Lalu apakah salah? Inilah mestinya media harus bijak menyikapi.

Trah keluarga masuk dalam sistem politik, tentu bukan hal baru. Dunia telah mencatat hal ini sudah ada jauh sebelum zaman hilafah yang paling menonjol saat khalifah Usman bin Affan memimpin. Hal ini terjadi akibat turunan dari sistem monarki. Hal ini tak semuanya jelek. Sejarah mencatat, banyak pemimpin besar dunia yang lahir dari sini.

Tentunya, kita masih ingat trah Jawaharlal Nehru. Di India, dynasti ini sangat kuat berakar. Hingga semasa dalam kandungan pun, anak turunnya seakan sudah diakui sebagai “Perdana Mentri” yang dirindukan publik di India sebagai penyelamat negara Hindi itu. Karena terbukti, dinasti mereka memang mampu dan bersih.

Dunia tentu tak dapat melupakan kiprah Indira Gandhi. Setelah bom bunuh diri pada tahun 1984 meluluh lantakkan jazadnya, rakyat India masih berharap pada putranya Rajiv Gandhi.

Rajiv pun mulus memimpin India, hingga serangan bom bunuh diri di tahun 1989 menamatkan riwayatnya, mirip sang ibu.

Meski demikian, pamor Rajiv Gandhi tak luntur. Melalui istrinya, Sonia Gandhi, trah ini terus bergerak. Terbukti, meski tanpa suami Sonia berhasil memenangkan pemilu India. Namun, karena dia warga negara Itali, Sonia tak bisa memerintah langsung. Maka ditunjuknyalah Dr. Manmohan Singh sebagai pemimpin India saat ini.

Tak hanya di India, generasi Bhutto pun sangat diagungkan di Pakistan. Meski nasibnya sangat tragis. Zulfikar Ali Bhutto digulingkan lalu digantung, namun tahta kepresidenan berhasil direbut putrinya Benazir Buhutto, yang juga mati mengenaskan akibat ditembak pada 27 Desember 2007.

Bahkan di Eropa, ada duet saudara kembar yang gantian jadi Perdana Mentri di sana. Mereka hingga kini masih memimpin, sehingga pabrik bir Guinnes, memasukkan mereka dalam buku rekornya.

Contoh lain, pemimpin Kuba, Fidel Castro yang dicap sebagai diktator oleh Amerika, juga mengikutkan saudaranya dalam memimpin. Bahkan sang adik yang menjabat jendral di angkatan darat inilah yang sebenarnya menjadi sutradara pemerintahan di Kuba, sedangkan Castro hanya produsernya saja. Kini melalui anaknya, Castro bersiap melanjutkan dinasti pemerintahannya di Kuba.

Belum cukup? Contoh yang lebih pas mungkin, masyarakat Amerika yang katanya demokrasinya sudah paling wahid, masih mengakui masuknya trah keluarga dalam sistim politiknya. Ah, siapa sih yang tak kenal Kenneddy?

Atau mungkin Anda masih ingat Bill Clinton dan istrinya Hillary Rodham Clinton? Kalau ingatan Anda masih belum pulih juga, yang ini pasti Anda tahu. Siapa Presiden Amerika saat ini (2008)? George Walker Bush, putra George Bush (sebut saja Bush senior) mantan presiden AS.

Kalau mau contoh yang lebih dekat, berkacalah pada pemimpin besar Filipina, Corazon Aquino (1986-1992). Janda senator Benigno Aquino inilah yang berjuang menumbangkan rezim Marcos dan sukses menjadi presiden di negara kepulauan itu.

Lalu, Perdana Mentri Filipina saat ini, Gloria Macapagal Arroyo juga merupakan putri mantan presiden Diosdado Macapagal, yang dulu aktif di senat.

Berkaca dari beberapa contoh ini, memang tak selamanya trah keluarga dalam sistem politik salah. Tergantung bagaimana kita bijak menyikapinya saja.

Saya kurang sepakat jika kata “nepotisme” dalam arti negatif atau tudingan antireformasi terselip di dalamnya. Ini adalah politik, bukan pemerintahan. Beda konsepnya.

Sistem politik adalah sistem kepercayaan, kuncinya di masyarakat. Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Jadi masyarakatlah nanti yang menentukan melalui mekanisme pemilu.

Kalau memang masyarakat berkenan, kenapa tidak? Namun, tentunya jangan pula semboyan ini malah dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, seperti yang terjadi di era Orba. “Kalau memang masyarakat berkenan, saya tak bisa nolak,” kata Suharto. Begitu kan?

Meski demikian, partai sebagai dapur calon pemimpin, juga harus transparan soal apa dan bagaimana kriteria si calon yang diusung. Jangan asal comot saja.

Untuk itu, pers pun harus benar-benar bijak. Perlu referensi yang lebih banyak lagi sebelum menebar tudingan. Pelajarilah masa lalu untuk mengerti masa kini.

Kalau memang mau mengupas masalah trah keluarga dalam sistim politik, masuklah pada bagian bagaimana si istri, adek, kakak sang tokoh bisa masuk, lalu bagaimana kiprahnya selama ini di masyarakat. Lihat bagaimananya, bukan siapanya.

Kalau memang trah keluarga ini memang memiliki kemampuan dan sangat disayangi masyarakat, kenapa tidak? Corazon Aquino, misalnya, sebelum menjabat presiden dia sudah lama dikenal masyarakat hingga dunia sebagai advokat demokrasi, perdamaian, pemberdayaan perempuan.

Tapi kalau memang sebelumnya kiprah keluarga di politik ini tak pernah terdengar, atau malah dibenci masyarakat, inilah yang salah.

Jadi hati-hati. Pendapat ibarat publisitas, bagai pisau bermata dua. Jika bagus, maka penyebarnya akan diagungkan, namun jika jelek dan asal-asalan, maka penyebarnya akan dicap sebaliknya.

---------------------
Aku memilih temanku karena mereka rupawan, kenalanku karena mereka berkarakter baik, musuhku karena mereka cerdas.

Minggu, 19 Oktober 2008

Behavioral Identity

Ada sebuah jurus ampuh kepolisian saat melakukan oleh tempat kejadian perkara (TKP/crime scene). Ini bukan metode baru, namun menarik untuk diamati. Hal ini apa yang disebut behavorial analysis, menelaah tingkah laku atau kebiasaan.

Metode ini dinilai cukup ampuh untuk mendukung metode lain yang telah ada, seperti mencari jejak semisal sidik jari, alibi, mengendus dengan mengerahkan unit anjing pelacak atau dikenal K-9 hingga olah DNA.

Maklumlah, seiring kemajuan piranti moderen, pelaku kejahatan kian tinggi pula ilmunya untuk mengelabui polisi atau menghilangkan jejak. Sidik jari bisa ditutup, alibi bisa diatur dan seterusnya. Namun tingkah laku? Saya rasa ini sulit ditinggalkan.

Ada tiga hal yang mempengaruhi tingkah laku, yaitu biologi, psikologi dan sosiologi.

Setiap kita, tentu memiliki profil berbeda dengan yang lain. Nah, jika dianalisa tiap profil itu memiliki kekhasan tingkah laku tersendiri dan melekat sehingga menjadi ciri sosialisasi Anda.

Contoh kecil dalam keseharian (bukan dalam situasi formal), mungkin saat hendak menyikat gigi Anda lebih suka memencet odol dari tengah, namun saudara Anda lebih suka mememcet dari dasar lalu menggulungnya. Ada pula yang ceroboh, sering tumpah dan tak pernah mengembalikan tutupnya.

Inilah yang disebut ciri kekhasan tingkah laku yang melekat. Sehingga tanpa melihat langsungpun “pelakunya”, Anda sudah bisa menebak siapa yang baru saja menggunakan odol tadi.

“Ah pasti ini kerjaan si fulan! Lihat saja, mencet odolnya dari tengah. Siapa lagi yang begini di rumah ini?!” begitu ungkapan yang sering kita dengar.

Wakil Wali Kota Surabaya Arif Affandi, semasa menjadi Pemred Jawa Pos pernah berbincang dengan saya bahwa Bos Jawa Pos Grup Dahlan Iskan, mampu mengenali apakah saat itu dia ngantor atau tidak, dari hanya membaca tulisan. Rupanya tulisan Arif memiliki kekhasan sehingga mampu dikenali.

Kawan saya di kantor bahkan mampu mengenali kehadiran bosnya, dari puntung rokok yang ditinggalkannya.

“Ah ini pasti tadi Pak (dia menyebut nama bosnya) datang ya? Lihat saja, pokoknya kalau ada puntung rokok Sampurna mild yang tinggal seperempat, pasti dia tuh.”

Inti analisa tingkah laku bisa dilakukan dari cara pelaku berinteraksi, simbol-simbol yang dikenakan hingga kondisi kejiwaannya. Semua instrumen inilah yang selanjutnya membentuk sebuah profil.

Manusia adalah hewan yang berbicara dan tentu saja berpikir. Pendapat ini berarti bahwa sifat dan perilaku manusia tak beda dengan hewan, mulai berkembang biak, bersosialisasi dan mempertahankan diri. Inilah apa yang disebut Darwin dengan survival to the fittes sebagai penunjang teori evolusinya.

Karena bisa berbicara dan berfikirlah mereka membentuk sebuah peradaban sehingga kebinatangannya mampu disembunyikan dengan baik. Inilah dengan apa yang disebut manner. Namun, dalam saat tententu kadang naluri hewan ini biasanya lebih dominan dari pada akalnya. Dari sini pulalah perilaku yang melekat tak bisa dihindari.

Kadang kita dikejutkan melihat perilaku orang yang kita lihat tak biasanya itu. Sehingga sering ada ungkapan “Padahal anaknya diam lho, kok bisa berbuiat sekeji itu ya?”

Sebenarnya, bisa jadi manusia tersebut memiliki sifat keji. Namun, selama ini mampu ditutup dengan baik berkat keterampilan yang dimiliki. Tak heran apabila muncul ungkapan, kalau ingin mengetahui sifat asli manusia lihatlah saat mereka sangat tertekan dan sangat senang. Atau kalau mau memakai ilmu setan; godalah dia dengan harta, tahta dan wanita.

Dalam kehidupan pun, manusia lebih banyak mengadopsi ilmu binatang. Tahukah Anda, sebelum prajurit tempur menemukan seni kamuflase, bunglon sudah melakukannya.

Saat Archilles belum memikirkan kuda trojan, sejenis kumbang sudah menyusupkan telur-telurnya ke sarang semut. Sehingga saat menetas nanti, anak-anaknya bisa memakan stok makanan semut itu.

Sebelum manusia membentuk organisasi berdasarkan pembagian tugas kerja, semut sudah membentuknya. Bahkan saat seni akting belum ada, sejenis ular sawah sudah melakukan hal ini. Saat ancaman datang, ular ini akan berpura-pura mati dengan menelentangkan badan lalu mengeluarkan bau bangkai.

Contoh lain, sudah lama harimau selalu menandai teretorinya dengan air kencing, manusia pun juga “tak mau kalah” dengan menandai teritorinya dengan warna, brand, tato, grafity, panji-panji dan semacamnya.

Jadi, inilah behaviorial identity. Dengan menganalisanya, kita akan mengenal siapa kawan atau bahkan musuh kita.

Inferioritas Complex

Siksaan pengalaman yang buruk adalah siksaan pada nurani yang hidup.

Kita mungkin memiliki kenangan masalalu kurang menyenangkan, semisal kemiskinan, penindasan dan semacamnya yang lalu membikin trauma atau dendam pada keadaan masa lalu. Bahkan saat itu kita sudah menghayalkan apa yang akan dilakukan jika suatu saat terlepas pada kondisi ini.

Saat masa kanak-kanak, kawan sepermaianan saya banyak dari anak-anak kurang mampu. Mereka kebanyakan merasa sekali lagi merasa kurang diterima bergaul dengan kalangan berada atau berkuasa, sehingga menimbulkan rasa minder dan rendah diri saat bersosialisasi dengan kalangan berada atau berkuasa.

Mereka mulai dendam akan keadaan, sehingga mulai berhayal langkah apa yang akan dibuatnya jika suatu saat menjadi orang kaya. “Nanti saya akan beli mobil, lalu akan saya bawa tiap hari melintas rumah Pak Haji itu, biar dia tahu siapa aku!” katanya.

“Ah, tengok saja nanti saya mau melamar jadi perwira, biar Pak Sersan itu hormat pada saya!” timpal yang lain.

Inilah yang disebut inferioritas komplek. Sebuah respon dari beragam perasaan rendah diri akibat dendam dan keinginan pada masa lalu yang kurang beruntung.

Inferioritas komplek ini hanya dapat dilihat pada orang-orang yang sudah berhasil, entah dalam harta atau kekuasaan. Bagaimana kesehariannya? Biasanya, banyak sikap-sikap yang dipertunjukkan kurang wajar.

Seorang rekan pernah berkisah, di kantornya ada tukang kebun tamatan sekolah rendah. Karena nasib yang beruntung, dia bisa menjabat posisi penting tak kalah dari para sarjana.

Apa yang terjadi, si rekan ini sangat “resisten” dengan kalimat perintah. Jika ada rekannya yang minta tolong, selalu saja menolak. Meski itu kadang hal-hal yang kecil. Dia hanya akan mau jika yang minta tolong itu atasannya saja.

Ada juga artis baru yang dulunya miskin. Namun setelah impiannya tercapai, malah sibuk gonta-ganti cewek, padahal dia sudah beristri. Rupaya dulu dia sempat tertekan hingga terobsesi oleh kisah artis yang kawin cerai.

Selain itu ada juga yang bertingkah ingin tampak bos saat di dalam kantor dan ingin tampak punya jabatan saat di luar. Semua ini dia asopsi dari pengalaman masa lalu. Apa yang dia lakukan sekarang, begitulah yang dia persepsikan dulu.

Jika tak segera dikendalikan dengan cara introspeksi, inferioritas komplek ini akan bermuara pada krisis yang lebih berbahaya, dengan apa yang disebut krisis krisis eksistensi.

Dia ada, tapi merasa tak ada. Dia kaya, tapi dibuat takut oleh kekayaannya. Dia berkuasa. Tapi dibikin takut oleh kekuasaannya, dia hebat tapi merasa tak hebat.
Misalnya ada orang kaya akan sangat ketakutan jika hanya memakai telepon genggam murahan. Atau takut jika suatu saat mobilnya harus berganti ke CC yang lebih rendah dan sebagainya.

Ada juga seorang bos yang selalu resah dan selalu ingin selalu tampil hebat di depan bawahannya. Maka mulailah dia membikin tingkah laku tak biasa, misal sok jaga image, atau sok tahu akan segala hal.

Atau seorang pejabat yang selalu ingin dikawal meski sebenarnya itu tak perlu. Dia takut jika dipandang orang tak berkuasa, dia takut jika suatu saat merasa kalah dan sebagainya.

Yang dia takutkan sebenarnya tidak nyata, yang dia takutkan hanyalah perasaannya saja.
Namun ini hanyalah krisis, bukan penyakit. Intinya kadang ada kadang juga tiada.

Sabtu, 18 Oktober 2008

Stockholm Syndrome

Kisah ini bermula di Stockholm, Swedia. Kala itu, terjadi penyekapan beberapa warga setempat oleh penjahat.

Dalam situasi ini, para korban ketakutan dan sangat berharap pasukan pemerintah datang menumpas kawana begal itu dan membebaskan mereka. Namun, lama ditunggu tuan penolong yang mereka harapkan belum juga muncul.

Akibat harapan yang terlalu tinggi ini, menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Kini situasi berbalik, para korban yang semula membenci si penjahat berbalik malah memujanya.

Bahkan semakin buruk perlakuan yang diterimanya dalam sekapan, makin dalam pula dukungannya akan aksi penjahat tersebut.

Saya kurang pasti bagaimana akhir dari kasus ini. Apakah pasukan pemerintah berhasil menumpas para penjahat? Lalu bagaimana nasib penjahatnya? Dihukum apakah mereka? Lalu bagaimana nasib para korban? Apa mereka trauma, atau malah berhalal bi halal dengan penjahat yang menyebabkan mereka menderita tadi?

Entahlah. Sebab, yang menarik dari kasus ini bukanlah alur ceritanya, melainkan dampak yang disebabkan peristiwa ini banyak melahirkan film-film Hollywood bertema seorang korban penculikan yang mencintai penculiknya. Seperti dalam film The Chase yang dibintangi Charles Sheen.

Dan yang lebih penting, dampak peristiwa ini telah melahirkan sebuah analisa ilmu psikologi yang disebut Stockholm Syndrome.

Kita atau kawan kita tentu pernah mengalami kisah (kondisi jiwa) yang mirip dengan Stockholm Syndrome ini. Bahaya Sindrom ini memang tak bisa dirasakan langsung, namun sangat menghawatirkan dan menular. Karena sifat manusia itu sendiri tak lepas dari pengaruh lingkungan.

Meski sindrom ini sangat mudah disembuhkan, namun gampang juga kumat. Indikasinya hanyalah harapan dan kekecewaan tadi.

Dalam keseharian mungkin kita kerap melihat, seorang karyawan yang kecewa dengan kebijakan bosnya, memilih mendukung (memuja) pesaingnya dan mendoakan agar perusahaannya bangkrut. Semakin hebat krisis di perusahaan tempat dia bekerja terjadi, semakin nyaring jua sorak sorai di hatinya.

Saking bangganya, sehingga di WC kantor pun sampai hati ditulis, “Selamat hancur (nama perusahaannya) oleh orang dalam, he he he!” Namun, saat kebijakan bosnya sudah dirasa tak mengecewakannya, maka dengan sendirinya Stockholm Syndrome ini akan hilang.

Kawanku pernah berkisah, dulu atasannya langsung sering memuji-muji bahwa perusahaan tempat dia bekerja sangat bonafid. ”Di sini kamu akan mendapat peluang cukup bagus,” katanya.

Namun setelah si atasan tersebut dimutasi oleh sang big bos, malah dia berkata sebaliknya, dengan mengisahkan perusahaan tempat dia bekerja sangat buruk. ”Cepatlah kamu ke luar, ngapain bertahan dis itu.” Katanya. Bahkan dia berani menuji perusahaan pesaing setinggi langit.

Atau contoh lain, seorang bos yang panik melihat sepak terjang pesaing, malah berbalik memuji-muji pesaing daripada timnya sendiri. Bahkan ketika bawahannya bertanya, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi pesaing, si Bos malah bilang, “Ya contoh saja bulat-bulat pesaing itu!”

Namun, saat timnya mampu melawan langkah pesaing, tentu saja omongan si bos ini tak lagi menebar sanjung puja pada pesaing.

Apakah mental Stockholm Syndrome sama dengan musuh dalam selimut atau penghianat? Menurut saya, tergantung kadarnya. Kalau hanya sebatas ucapan atau surat kaleng saja, masih belumlah. Beda apabila sudah menjadi sebuah tindakan, misal menjual rahasia perusahaan terhadap pesaing, tentu itu lain cerita.

Salat Jumat di Novotel

Usai menemui seseorang di Hotel Novotel Batam, Jumlat (17/10) lalu, saya terkurung hujan, Sementara jam sudah memukul angka 12.00. Bagi muslim seperti saya, ini saatnya harus menunaikan kewajiban salat Jumat. Namun mau salat di mana? Masjid yang terdekat saja jaraknya 1 km.

Sempat ada bisikan agar tak salat saja. “Hei, musafir tak wajib menunaikan salat Jumat. Bisa nanti dirapel di rumah!”

“Ah, alasan yang dicari saja itu. Rasulullah saja dulu jalan kaki 4 km dari rumahnya menuju Masjid Nabawi utnuk salat Jumat. Ini zaman moderen masih cari alasan saja. Masak takut sama hujan?!”

Di tengah debat dalam hati itu, saya memutuskan melangkah ke lantai dasar dekat ballroom.

Setibanya di sana, sayang bingung campur heran melihat banyak orang silih berganti keluar masuk ke ruang itu. Dari celananya yang diangkat setinggi lutut, saya tak yakin orang itu tengah menghadiri seminar.

Setelah saya amati lebih dekat, ternyata mereka akan melaksanakan salat Jumat. “O, rupanya orang-orang ini hendak mengambil air wudu.”

Girang, sayapun menanggalkan sepatu. Kebetulan pula, pihak hotel menyediakan sandal jepit karet merk Swallow untuk alas kaki jamaah saat berwudu.

Lalu saya ikuti ke mana arah orang yang hendak mengambilo air suci itu menuju. Ternyata mereka masuk ke toilet. Antreannya sangat panjang, hingga ke luar pintu masuk.

Sekadar diskripsi; toilet dekat ballroom Novotel ini berukuran 6x6 meter. Di dinding sebelah kiri ada sebuah kaca besar selebar 2 meter yang di bawahnya berderet tiga wastafel. Di sisi kanan, ada empat tandas untuk buang air kecil. Satu ukuran kecil satu lagi tinggi yang ditujukan bagi penyandang cacat.

Di antara wastavel dan tandas air kecil itulah, ada tiga ruang tertutup 1x1 meter yang di dalamnya ada toilet duduk untuk buang air besar. Di sinilah muara semua antrean itu. Rupanya, jamaah memanfaatkannya untuk ambil wudu dengan mengambil air dari selang sepanjang 1 meter di samping toilet duduk yang sedianya untuk membasuh usai buang air besar.

Selain mengambil wudu di sini, mereka bisa melaksanakan buang air kecil. Maklum, untuk buang di tandas kecil tentunya malu dilihat banyak pengantre. Meski begitu ada juga yang nekad buang air kecil di sana, tak peduli dengan mata para pengantre. Umumnya yang melakukan ini adalah anak muda.

Selain ambil wudu ruang di toilet duduk itu, ada juga yang melakukannya di wastafel. Caranya, lubang air di dasar wastafel ditutup. Begitu air sudah tertampung, mulailah mereka berwudu.

Tentu hal ini merepotkan, karena wastafel tidak dirancang untuk orang yang akan ambil wudu. Terutama saat hendak membasuh ke dua kaki. Mau tak mau, mereka mengggayung air di wastafel itu dengan kedua tangan untuk membasuh kakinya.

Melihat pemandangan ini hati saya sumpek. Tak tahan, lalu saya keluar menuju musala An-Naas yang berada di samping hotel. Nama An-Naas ini diambil dari nama Anas, panggilan owner Novotel yang seorang warga Tionghoa itu.

Meski berjalan agak jauh, dan harus hujan-hujan sebentar, namun saya puas. Saya bisa ambil wudu dengan baik. Namanya juga musala, tentu ada tempat wudunya. Barisan orang antre pun nyaris tak saya temui.

Usai ambil wudu, saya bergegas masuk ke Ballroom yang sudah difungsikan sebagai tempat salat itu. Saya perhatikan, di dalam telah terhampar karpet bermotif sajadah. Karena gedung Novotel asimetris dengan arah kiblat, maka karpet tersebut disusun melintang di sesuaikan dengan arah kiblat ke pojok kanan.

Mimbar khatibnyapun diambil dari mimbar (baca podium) konferensi dengan tulisan “Novotel” di tengahnya. Di sini saya memilih salat shaf paling depan, sekitar 2 meter samping kiri mimbar khatib.

Hingga khutbah dimulai, disini sang khatib mencermati soal banyaknya spanduk caleg non muslim, dibanding yang muslim, yang mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri. Menurutnya ini sangat membanggakan, namun kadang meresahkan.

Membanggakan, mengingat respon mereka akan Islam itu sendiri. Namun, hal ini dipandang meresahkan, kerena secara tak langsung mereka hanya memanfaatkan Islam untuk mencari simpati dari pemilih belaka.

Apalagi, ada kalanya bahasa-bahasa yang digunakan dalam spanduk kerap salah. Sehingga mengaburkan makna yang ada dan seakan mengolok-ngolok Idul Fitri itu sendiri.

Hal ini saya resapi memang cukup beralasan. Saat akan berangkat ke kantor, saya melintas di perempatan Simpang Frengki, Batam Center. Di sini banyak sekali spanduk caleg non muslim yang mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Yang bikin geli, saking “semangatnya”, ada kata-kata yang ditulis sampai keliru, mestinya Minal Aidin Wal Faidin, menjadi Minal “Aidil” Wal Faidin.

Berkata Regalia


Anakku Regalia kini telah memasuki bulan ke 5. Kini dia memasuki fase “lapar kata”. Tak heran, Regalia kini giat melakukan “olah vokal” dan mencari padanan kata-kata baru. Meski menurut saya itu bukanlah sebuah kata, melainkah hanya sebuah ocehan.

Kalimat yang sering terlontar dari mulutnya adalah, “Waaaa (panjang lalu berhenti dan disusul) Wa aaa (kali ini pendek-pendek). Selanjutnya, ”Eaaaaa… aeeeee… mbeaaaaaa… eeeee… emmmmmmhhnggg… enyaaaa… yaaaa… nyaaaeeee… aong… mbang….” Bahkan, ”Ayaaaahhhhhh….!”

Semula saya sempat ge-er. Tapi saya buru-buru sadar, bahwa kata ”Ayah” lebih mudah diucap anak seusia Regalia daripada ”Bunda”, tentunya.

Adakalanya Regalia melakukan eksplorasi pada tenggorokannya. Biasanya hal ini dialakukan di saat kesendirian, karena mungkin harus melakukan konsentrasi yang agak rumit.

Maka keluarlah suara tenggorokannya yang has itu. Kadang ada bunyi falseto dan yang paling sering keluar adalah suara seraknya, sampai-sampai dia terbatuk-batuk.

Semua ocehan atau lebih tepatnya teriakan ini, dilakukan Regalia ketika bangun tidur, saat mandi atau usai ngedot. Wah, ramai jadinya.

Jika dirunut, cikal fase “lapar kata” Regalia dimulai sejak usianya menginjak 3 bulan. Meski tak seheboh sekarang, saat itu Regalia sudah mampu mengaluarkan tiga bunyi yang berarti kata resah atau ingin keluar dari suasana gerah dan sumpek, senang dan gembira.

“Hni… hnni……. (panjang dan berulang).” Ini berarti dia sedang dalam keadaan tak menyenangkan. Kalau tak diindahkan, biasanya jeritan ini akan berakhir dengan suara mirip batuk kecil, hik hik hik, lalu menangis.

Sedangkan saat gembira Regalia selalu mengeluarkan kata “Hndi…” Namun saat tenang dan ngoceh, Regalia hanya mengeluarkan kata, “Hnti….”

Yang menarik melihat bahasa tubuh yang dia lakukan saat melafazkan kata-kata ocehan itu. Biasanya tangannya mengacung-ngacung mirip orasi Bung Karno, sedangkan kedua kakinya menghentak-hentak.

Selain hal tersebut di atas, Regalia kini sudah lebih baik mengenal lingkungannya. Bahkan, dia kini sudah mempu menandari perilaku orang tuanya.

Misal begini, wajahnya akan berubah ceria, mata berbinar dan senyum selalu mengembang, manakala dia melihat ibundanya memakai jilbab. Karena itu pertanda dia akan segera diajak jalan-jalan ke mall atau ke rumah sanak saudara di Batam.

Namun, wajahnya akan tegang, matanya liar manakala melihat saya berdiri rapi di depan kaca. Karena itu adalah pertanda bahwa saya akan pergi tanpa mengajaknya.

Ini kembali lagi terjadi pada Jumat pagi lalu. Saat itu saya akan berangkat ke BTN untuk membayar KPR. Regalia pun mulai resah, tangisannya meledak begitu saya tak tampak lagi di pandangannya.

Agar diam, saya harus memberi pengertian. Saya gendong, lalu saya ajak bicara bahwa saya akan bayar kredit rumah. “Ayah harus berangkat sekarang. Kalau sampai telat, nanti ayah akan kena denda,” jelas ku.

Ya begitulah. Saya memang selalu berkomunikasi dengan Regalia, seperti saya berbicara dengan cara memberi pengertian apa adanya.

“Tapi bukankah dia masih kecil?” kawan saya bertanya. Justru di masa-masa inilah pembentukan jiwa dimulai. tentunya kita tahu, di masa tiga tahun ke bawah ini 100 miliar sel otaknya akan bekerja seperti super spon. Apa saja bisa diserap dengan cepat. Karena itulah, maka harus diajar memahami persoalan dengan jelas dan benar.

Saya menolak saran kawan yang menyuruh agar saya mengatakan akan ke dokter saat anak saya rewel ingin ikut.

“Bilang aja, ‘Ayah mau suntik. Kalau kamu ikut, nanti kamu disuntik juga. Atau bilang aja mau ketemu Pak Polisi. Kalau kamu ikut, nanti ditembak!” saran kawanku.

Menurut saya, ini saran tak mendidik dan dapat merusak perkembangan mental anak. Lagian, apa salah dokter dan polisi? Profesinya terlalu mulia jika karakternya harus saya rusak hanya demi menenangkan anak.

Selain itu, menenagkan anak dengan cara menakut-nakuti hanyalah membuat anak bermental lembek dan manja. Cukuplah saya mengajarkan padanya agar takut pada Allah semata. Bukan pada jarum suntik Pak Dokter, pistol Pak Polisi bahkan hantu sekalipun.

Dan yang lebih tercela dari semua ini adalah, saya telah mengajar anak saya berbohong!

Anak adalah suatu yang bersih. Ajaran orangtuanya-lah yang membuat mereka tambah bersih atau malah penuh coretan.
-----------
Klik foto untuk membesarkan

Rabu, 15 Oktober 2008

Bingungkan atau Senangkan

Bagaimana cara mempengaruhi seseorang? Gampang, bingungkan atau senangkanlah mereka.

Seorang kawan bertanya, ‘’Kalau mempengaruhi seseorang dengan menyenangkannya itu masuk akal. Tapi dengan membikin bingung, bagaimana caranya? Tentu mustahil,” ujarnya bersemangat.

Mari kita urai.

Tentunya, banyak peristiwa yang kita lihat soal betapa mudahnya seseorang dipengaruhi saat mereka bingung, atau dibikin bingung.

Contoh kecil, jika Anda sedang duduk berlima di sebuah bangku lalu tiba-tiba ada kawan Anda berdiri lalu berlari, maka reaksi yang timbul keempatnya akan mengikuti langkah orang pertama. Minimal akan berdiri dari tempat duduk lalu tolah-toleh sambil berkata, “Ada apa ya?”

Contoh lain yang lebih besar, tentu kita sudah melihat berapa banyak tokoh masyarakat atau pemimpin kelompok yang dihasilkan dari situasi chaos? Tak usah terlalu jauh ke Eropa, di Batam saja sudah cukup.

Masih ingat tahun 2000 lalu, saat demo penolakan PPN/PPn BM meledak. Apa yang tejadi? Dalam sekejap, muncul tokoh-tokoh masyarakat baru. Banyak bendera yang mereka usung, baik bersifat paguyuban dan patembayan.

Si tokoh muncul atau dimunculkan oleh orang orang yang merasa sedarah dan seide. Tujuannya, untuk melepaskan diri dari kekalutan yang saat itu melanda.

Ini terjadi karena sifat dasar manusia yang fragile dan selalu mencari pegangan saat panik dan bingung. Ibarat sedang dihanyut arus, tak ada dahan rumput pun dipegang.

Konsep ini sudah terjadi dari saat awal terbentuknya sebuah peradaban. Bermula dari hunting band (kelompok berburu), lalu menuju tribe (kesukuan) akhirnya memunculkan sebuah rural (kelompok pedesaan) hingga society (kelompok perkotaan).

Baik hunting hingga society selalu ada seorang pemimpin kelompok atau chief yang biasanya dipilih atau diangkat setelah dia berhasil menyelamatkan kelompoknya dari sebuah kebingungan atau krisis, misal peperangan dan masalah pangan.

Hingga kini, pemimpin kelompok ini terus berkembang dengan beragam sebutan yang terbagi dalam sistem tatanan masyarakat, kerja, hingga opini. Namun caranya tetap sama, yakni melalui proses krisis.

Sedangkan mempengaruhi orang dengan cara menyenangkan, tentunya kita sudah sangat mengerti.

Silakan Anda putar televisi saat ini. Di sana akan ada iklan sebuah produk yang meminta anak-anak hingga orang tua menjewab sebuah pertanyaan atau menyanyikan jinggle sebuah produk. Jika mereka berhasil, maka segepok uang langsung diberi.

Bayangkan. Seorang anak-anak hingga nenek-nenekpun sanggup menanggalkan image-nya dengan bernyanyi dan menari demi segepok uang ini. Mau apa lagi, mereka sedang senang sehingga sanggup menghilangkan rasio dan nilai-nilai yang ada.

Sebenarnya metode ini sudah dipakai zaman PKI dulu. Ayah saya sering bercerita, dulu orang akan diberi uang atau beras jika berhasil menyanyikan jargon-jargon partai palu arit itu.

Inilah yang dalam ilmu psikologi moderen disebut sugestible. Mempengaruhi seseorang dengan menyenangkan atau membingungkannya.

Dan kini jelang pemilu, kita akan lebih banyak lagi disuguhkan permainan suggestible ini. Model yang paling umum yang biasa dilakukan dengan menjadi pahlawan melalui momen kenaikan harga dan tarif hingga membagikan sembako.

Kita lihat saja, partai atau caleg mana yang mampu menyuguhkan atraksi ini dengan baik hingga dapat mempengaruhi manusia untuk mendukungnya.

Akhirnya, selamat membingungkan dan menyenangkan orang. Selamat datang suggestible game.

Senin, 13 Oktober 2008

Pendapat

Sebuah thread posting bertanya, kenapa sih orang Indonesia kebanyakan susah dan takut untuk tampil mengemukakan pendapat? Bahkan temannya yang ketua RT-pun kadang paling susah untuk tampil dan memilih menunjuk rekannya. Ada apa ya?

Selanjutnya, scroll mouse saya langsung menjelajah tanggapan-tanggapan dari para netter di komunitas itu. Dari beberapa jawaban yang cukup bagus mengatakan, bahwa hal ini akibat sistem pendidikan yang kita yang kurang melibatkan siswa dalam proses belajar.

Siswa di Indonesia sudah lama dididik dengan komunikasi satu arah, doktrin dan dipaksa mendengar daripada berpendapat. Jika ada yang nekat melanggar, tak jarang banyak yang diintimidasi lalu dibungkam hingga mereka jera dan benar-benar mengerti bahwa ternyata mengemukakan pendapat itu tak baik bagi kelangsungan hidupnya.

Hingga kini, lanjutnya, sekolah-sekolah Indonesia masih melakukan hal semacam ini. Tak heran jika atmosfirnya santat beda dibanding sekolah-sekolah internasional yang kini berserak di Jakarta.

Di sana, siswanya sudah biasa mengemukakan dan berbeda pendapat, sehingga dalam bersosialisasi sudah tak terlalu canggung dan resisten saat menghadapi suatu pandangan yang berbeda dengannya.

Memang cukup beralasan juga. Sedikit ke belakang, memang pada mulanya metode pendidikan di Indonesia berasal dari pesantren. Metode yang dipakai di sana adalah weton dan sorogan. Metode ini umumnya hanya mempelajari ilmu dengan menghafal.

Dalam perkembangannya, tentunya kita masih ingat apa yang kita pelajari dulu saat SD, saat itu selalu saja kita diajak untuk menghafal dan mendengar begitu terus.

Saat itu para guru selalu menanyakan tentang apa, bukan mengapa. Sementara pintu diskusi tertutup rapat. Jadilah murid selalu menerima apa itu pemikiran guru. Padahal guru juga bukan bersih juga dari kesalahan.

Tak hanya itu, buku-buku pelajaran saat itu juga tak mengajar berpikir kritis yang ada hanya doktrin.

Tentunya kita masih ingat bacaan ini,
Ini Budi
Ini ibu Budi
Ini Pak Madi
Pak Madi Ayah Budi
Kerbau Pak Madi dua ekor (dan seterusnya).

Dari membaca buku ini, murid-murid selanjutnya disuruh menghafal. Tak ada dikisahkan di sini, mengapa kerbau Pak Madi dua ekor dan sebagainya. Terus murid-murid tak pernah ditanya, mengapa Pak Madi punya kerbau dan sebagainya. Yang penting dengar, tulis dan hafal bukan dengar, pikir, olah, tulis.

Hingga puncaknya pemerintah mengeluarkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang isinya harus dipatuhi dan tak boleh diganggu gugat.

Jika ada yang macam-macam, maka akan dikenakan pasal subversif lalu ditangkap karena dinilai melanggar arahan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo. Siapa yang tak ngeri.

Selain itu, para guru sendiri memposisikan diri sebagai orang tiran-tiran kecil. Jika ada murid yang memiliki pemikiran kritis barang setitik, maka dianggap melawan. Selanjutnya hukuman ceples (pangkal rambut dekat telinga ditarik), jewer dan selentik
sudah menunggu. Kalau bernasib “mujur”, disuruh berdiri di depan kelas.

Hal ini saya alami sendiri saat kelas VI SD. Kala itu Guru IPS menerangkan bahwa gunung tertinggi di dunia adalah Himalaya. Saya yang merasa itu salah lalu mengacung dan berkata bahwa Gunung tertinggi di dunia itu adalah Everest. Himalaya bukan gunung, tapi pegunungan.

Apa yang terjadi? Hingga pada minggu selanjutnya, saat pelajaran yang sama, saat itu ada kawan saya ngajak bicara, namanya juga anak-anak. Rupanya si guru melihat hal ini, lalu, “Plaaakkkk…” buku IPS setebal 100 halaman yang dipegangnya mendarat di belakang kepala saya. Keras sekali tamparan itu.

Dari sini saya sadar, rupanya saya didendam kerena guru ini merasa saya meruntuhkan wibawa dia saat “insiden Everest” terjadi.

Bagaimana dengan perilaku murid-murid yang lain? Juga tak kalah ganasnya. Mereka tak diajar untuk mendengarkan pendapat rekannya. Malah, terbiasa untuk nyeletuk dan ngejek dari belakang saat rekannya mengemukakan pendapat.

Akibatnya, jika tak kuat mental, kian jadilah ketakutan untuk tampil mengemukakan pendapat ini. Hal inilah yang terus terpupuk hingga dewasa. Maka tampillah sebuah generasi yang sebenarnya mengulang dari masa lalu; takut tampil di depan umum, tak terbiasa melihat dan mendengar perbedaan, suka mengejek atau nyeletik saat rekannya menyampaikan pendapat dan sebagainya.

Jika mereka jadi pemimpin, maka akan menjelma menjadi pemimpin yang mendikte dan otoriter *). Ngomooooong terus. Omongannya tak boleh dibantah, meski itu salah sekalipun. Kalau ada yang nekad, maka akan didendam, diintimidasi, dibungkam dan seterusnya.

Kalau sudah begini lalu apa? Yang tumbuh adalah tatanan, asal bapak senang, nggih-nggih kepanggih (ngomong iya, tapi tak dikerjakan), menjilat dan semacamnya.

_________________

Catatan:
*) Khusus yang ini saya memberi catatan, bahwa tak semua pemimpin model begini dihasilkan dari metode pandidikan yang searah. Bisa jadi karena sistem sosial, nilai yang dianut dan psikologinya. Sebab, orang sekaliber CEO Apel Steve Jobs pun sangat kasar. Suka berteriak, bahkan sering langsung memecat bawahan yang dinilai melakukan pelanggaran kecil, meski di lift sekalipun.

Minggu, 12 Oktober 2008

Surat untuk DPRD Kepri

Akhir-akhir ini koran-koran ramai mengungkap sebuah berita tentang anggota DPRD Kepri yang membahas APBD di sebuah hotel mewah di Batam.

Sebenarnya apa yang menarik dari berita ini? Memangnya tak boleh membahas APBD di hotel? So wahat gitu loh?

Kalau hanya dilihat sepintas sih memang tak ada yang aneh. Namun, mari kita amati lebih seksama lagi.

DPRD Kepri berdomisili di Tanjungpinang, tepatnya Pulau Bintan. Hal ini terkait peraturan daerah, yang mewajibkan semua kantor lembaga pemerintah maupun swasta skala provinsi, bertempat di sini.

Untuk itu Pemprov Kepri membangun gedung DPRD di daerah Dompak. Namun selama gedung permanen ini belum selesai, pemerintah provinsi menyewa sebuah gedung yang berada di Batu 12 arah Kijang (1 batu = 1 mil atau 1,6 kilo meter), sekalian merenovasinya. Anggran yang dirogoh mencapai Rp7 miliar!

Harusnya, semua kegiatan yang ada dilaksanakan di kota ini. Bahkan, seluruh anggotanya harus bermukim di sini. Sekadar diketahui, ada anggota DPRD Kepri ada 45 orang, sekitar separo berasal dari dapil Batam, seedang sisanya dari Tanjungpianng, Bintan, karimun, Natuna dan Lingga.

Namun apa kenyataannya? Selama ini banyak anggota DPRD Kepri masih enggan tinggal di Tanjungpinang, ngontrak rumah misalnya. Jadilah mereka tiap hari naik feri pulang pergi.

Efektifkah? Apa gaya semacam ini bisa menunjang pekerjaan mereka sebagai wakil rakyat? Mari kita lihat dengan mengambil contoh wakil rakyat dapil Batam.

Katakanlah wakil rakyat yang paling rajin, berangkat ke Tanjungpinang pada feri pertama pukul 08.00. Perjalanan feri Batam-Tanjungpinang memakan waktu satu jam, jadi sekitar pukul 09.00 mereka tiba di pelabuhan.

Selanjutnya, bermobil lagi menuju kantor DPRD yang berada 12 mil dari pelabuhan, jadi paling cepat 45 menit sampai di sana yang berarti pukul 09.45 baru tiba di kantor. Ini yang paling rajin, bagaimana yang tidak? Mulai jam berapa baru bisa ngantor?

Lalu, bagaimana saat ada pembahasan yang menuntut sampai malam? Tentu mereka tak bisa balik ke Batam, Karimun, Lingga bahkan Natuna. Karenanya, harus nginap yang umumnya di hotel.

Dari sini saja kita sudah mendapatkan gambaran berapa biaya yang diperlukan untuk transportasi saja, berapa biaya tiket PP feri, atau jika kadang nginap di hotel?

Terus bagaimana nasib mobil dinas mereka? Karena tak mungkin dibawa ke Tanjungpinang.

Dari pengamatan yang saya lakukan, umumnya anggota bagi anggota dewan dari Batam, mobil mereka diparkir di Pelabuhan feri Telaga Punggur (tempat penyeberangan ke Tanjungpinang). Namun ada kalanya yang melakukan sistem antar jemput.

Ini berarti, selama sang tuan berada di Tanjungpinang, selama itu pulalah mobil dinasnya nganggur. Lalu ke manakah roda-roda mobil dinas itu berputar?

Tak perlu dipungkiri lagi dan sudah menjadi rahasia umum, jika ada di antaranya mobil dinas itu beralih menjadi mobil keluarga. Lalu bensinnya dari mana, terus kalau rusak bagaimana? Apakah semua ditanggungkan ke anggaran transportasi yang nota bene didapat dari pajak rakyat? Ini yang mestinya harus jelas.

Kan kasihan rakyatnya, jika uang yang dia bayar ke daerah hanya untuk memanjakan kepentingan pribadi para oknum ini.

Sekarang kembali ke rapat di hotel tadi. Tentu bukan masalah rapat di hotelnya, melainkan mengapa harus di bukan di Kota Batam yang jaraknya terpaut puluhan mil laut dari Tanjungpinang?

Mengapa tak rapat di Tanjungpinang saja. Toh hotel-hotel di kota Gurindam ini –kalau meminjam istilah orang tempatan— berserak dan bersepak. Mau yang biasa atau kelas bintang lima pun ada.

Selain efektif, rapat di Tanjungpinang dapat menghemat anggaran transportasi sang wakil rakyang yang terhormat itu. Coba bayangkan, berapa ongkos feri yang dianggarkan untuk mengangkut mereka yang berjumlah 45 orang itu.

Kadang mereka tak sendiri, sebab masih membawa staf dan lainnya, belum lagi harus sewa kamar, makan, minum dan tentu saja SPPD-nya alias biaya perjalanan yang tiap orang jumlahnya cukup besar. Jadilah kian bengkak dan bengkak. Semua ini dibayar dari mana? Ya tentu dari APBD.

Tentu ini tak lucu, di tengah ngos-ngosannya pemerintah daerah mendongkrak APBD dan susahnya membuka sumber daya yang baru. Belum lagi rakyat harus dihadapkan oleh tekanan keuangan global yang memaksa mereka harus berhemat.

Dari semua ini, tak ada alasan lagi, segeralah dibentuk aturan yang benar-benar tegas agar semua anggota DPRD Kepri berdomisili di Tanjungpinang saja.

Sebenarnya apa alasan mereka menolak tinggal di Tanjungpianng yang nota bene dekat kantor?

Beberapa waktu lalu saya sempat mendengar dan membaca alasan keengganan mereka menetap di Tanjungpinang. Katanya, daerah ini belum siap menyambut mereka. Insfrasrtukturnya belum bagus, beda dengan di Batam. Banyak lagi alasan lain.

Ini tentu bukanlah jawaban seorang wakil rakyat yang terhormat. Mestinya, bukan sistem yang harus menyesuaikan pada mereka, tapi mereka lah yang harus menyesuaikan pada sistem. Ini jelas mengingkari komitmen yang diucapkannya sendiri saat pengambilan sumpah jabatan.

Kalau memang tak siap, ya mundur saja. Jangan dulu berebut mau jadi anggota dewan, namun setelah terpilih malah ogah-ogahan dan bersikap oportunis. Jangan hanya enaknya saja yang dikecapi, tapi pahitnya juga harus dirasakan.

Menjadi anggota dewan bukanlah untuk bermewah-mewah, namun harus menjadi tauladan terdepan di masyarakat. Jadi, jangan bicara soal untung rugi di sini sebab DPRD bukanlah gedung bursa saham.

Sebuah hikmah; suatu hari di kantornya, Umar bin Abdul Aziz kedatangan anaknya. Umar bertanya, ada apakah gerangan? Saat si anak menjawab ingin membicarakan masalah ekluarga, Umar langsung mematikan lampu, sehingga kantornya gelap gulita.

Si anak bertanya, ada apa gerangan. Umar menjawab, berbicara masalah keluarga tak baik jika harus menggunakan lampu yang minyaknya dibiayai dari uang rakyat.

Masyaallah. Ini baru masalah kecil, bagaimana lagi masalah yang besar.
Masih adakah anggota dewan di Kepri yang seperti ini?

Homo Simbollicum

What is the name. Apalah arti sebuah nama

Demikian diucap sastrawan Inggris Shakespear dalam buku roman Romi dan Yuli. Menurut Anda bagaimana?

Kalau menurut saya, nama tentu sangat berarti. Sebuah teori dasar manusia menyebut, manusia adalah, homo symbollicum. Artinya, mahluk yang bersimbol, gemar membuat dan memberi simbol (bisa juga disebut logo atau merek).

Tak percaya, berapa banyak simbol yang Anda kenal saat ini? Bahkan nama atau jabatan Anda sendiri sebenarnya adalah sebuah simbol, sebagai pembeda atau penanda karakter, status atau peran sosialisas (rule) antara manusia/mahluk/benda yang satu dengan manusia/mahluk/benda lainnya.

Misalnya begini, nama saya Riza. “Riza” di sini adalah merek yang melekat dalam diri saya. Ciri-cirinya, suka warna biru, kulit coklat dan lain-lain. Demikian pula dengan nama Anda dan lainnya.

Apa jadinya jika Anda dan tatanan peran tak memiliki nama, tentu akan membingungkan dan sulit membedakan dengan orang lain.

Selain itu, mengulang di atas, manusia suka memberi simbol terhadap sesama dan mahluk lainnya. Misal si pendek, si kurus. Atau, jika berkokok dan kakinya bertanduk itu namanya ayam, jika rodanya dua dan bermesin itu namanya sepeda motor dan lain-lain.

Setiap tempat, tentu tak sama dalam memberikan dan menyebut sebuah simbol. Ini tentu tergantung dari bahasa masing-masing.

Selain itu, di setiap tempat memiliki pengakuan dan penghormatan berbeda akan sebuah simbol. Misal, di Amerika orang berjubah putih dengan topi kerucut identik dengan kelompok rasial bernama Ku Klux Klan.

Namanya memang lucu, namun sangat sadis. Kelompok inilah yang menangkap lalu membakar hidup-hidup orang-orang kulit hitam. Tak heran, Ku Klux Klan merupakan kelompok paling dikutuk di Amerika.

Namun di Spanyol, orang berjubah putih dengan topi kerucut ini sangat dihormati. Karena mereka merupakan pimpinan tertinggi dalam sistem keperecayaannya. Orang ini diagungkan sebagai orang suci. Jadi sangat berbeda.

Di Batam sendiri, jarang ditemukan angka 4 tak pernah di pasang pada nomor rumah atau kamar dan lainnya. Karena menurut kepercayaan orang Tionghoa di sini, 4 (tse) adalah simbol kematian. Maka itu, di Batam angka 4 banyak di ganti 3a.

Namun di Jawa ini tentu tak berlaku, di sana angka 13-lah yang lebih disimbolkan angka sial!

Contoh lain, dalam mitologi Eropa (Yunani) ular selalu identik dengan hal yang jahat. Dia adalah rambut Dewi Hera, ibu tiri Hercules yang selalu menurunkan bencana di Bumi dan berusaha membunuh manusia kawat itu. Ular jugalah yang menyebabkan Adam dan Eva terusur dari Surga.

Namun di Timur Jauh, ular malah dianggap sebagai mahluk Dewa. Bahkan menjadi mahluk penyembuh bagi manusia.

Ada juga simbol yang sama, namun diakui berbeda. Misal begini, bila Anda baru keluar sidang lalu mengacungkan dua jari, orang akan berpikir bahwa Anda telah memenangkan persidangan. Karena dua jari berarti “menang”.

Namun, mengacungkan dua jari bisa disimbolkan perdamaian, ketika ini dipakai saat terjadi kerusuhan.

Seiring perkembangan juga, masyarakat sangat mengagungkan si pemegang simbol itu sendiri, namun ada yang mengacuhkannya.

Contoh dekat, dulu di Kerajaan Riau Lingga di Penyengat, rakyat akan mengakui kekuasaan rajanya jika yang bersangkutan memegang regalia. Sebuah simbol kerajaan yang bentuknya dari daun sirih.

Namun jika regalia tak lagi dipegang, maka rakyat tak lagi mengakuinya. Ini terjadi pada nasib raja riau lingga bentukan belanda. Meski sudah ditabalkan (lantik) namun karena regalia tak dia pegang, maka rakyat tak mengakui. Akhirnya si raja lengser dengan sendirinya.

Sedangkan contoh yang mengacuhkan pemegang simbol, kita bisa lihat pada warga Batam sendiri. Di sini, masyarakatnya sangat acuh akan orang-orang yang memegang simbol-simbol selebriti, keartisan maupun jabatan.

Di Batam, mungkin ada juga masyarakat lain, melihat kapasitas seseorang bukan dari simbol yang diasandang, melainkan keuntungan yang dia dapat. Istilahnya, yang penting khasiatnya, bukan mereknya.

Contoh. Saya sering melihat, pementasan orang-orang yang memiliki nama besar tak begitu dielukan.

Misal, pementasan artis sekaliber Iwan Fals, Bimbo, hingga anak band top ibu kota tak pernah terlalu dielukan. Ya biasa saja. Setelah nonton konser pulang. Bahkan ada kalanya sebelum acara usai sudah pulang.

Yang paling baru, ada pementasan tari skala nasional. Tapi sepi-sepi saja. Padahal panitia sudah menjual nama besar Danny Malik sebagai sutradaranya.

Mereka tak perduli kalau yang sedang mereka saksikan adalah orang yang memiliki simbol keartisan cukup bagus. Sehingga sering keluar ucapan, “Wah kalau di Jakarta acara ini pasti sudah ramai pengunjung!”

Bahkan dulu artis Iga Mawarni mengeluh, karena belum selesai nyanyi sudah ditinggal penonton. “Aduh, selama saya berkarir baru sekrang dicuekin,” katanya.

Hal seperti ini juga terjadi saat kunjungan Presiden maupun tamu penting lain. Jika di kota lain identik dengan sambutan yang ramai hingga perlu pengerahan keamanan ekstra, di Batam kedatangan presiden kurang begitu diagungkan.

Di jalan-jalan jarang orang yang berniat melihat presidennya secara langsung. Meski ada, itu pun kebetulan saja melintas di jalan itu untuk menunggu angkutan.


Jadi, masih berpikir tentang arti sebuah nama?