Jumat, 28 November 2008

Jual "Diri" di Televisi

Sebagian publik di Indonesia terbengong-bengong saat melihat Sutrisno Bachir, siang malam, megiklankan diri di televisi. Siapakah orang ini? Namun, lama-kelamaan akhirnya mereka mulai terbiasa hingga akhirnya mengakrabi sosok Sutrisno.


Bahkan tanpa melihat orangnya pun, publik tahu bahwa itu Sutrisno Bachir yang Ketua DPP PAN itu, hanya dengan mendengar kalimat “hidup adalah perbuatan”. Kalimat ini sangat lekat mengikat, seakan jadi pelengkap nama pengusaha mebel ini.

Enam bulan sudah Sutrisno Bachir menayangkan iklannya di televisi, semua momen dia masuki, mulai Hari Kebangkitan Nasional, Euro 2008, dan tentu saja Hari Raya. Setiap iklan yang tayang di momen tersebut, memiliki gaya dan narasi berbeda. Sutrisno tampil sangat patriotis di iklan Hari Kebangkitan Nasional, namun sangat lentur dan funky di iklan Euro 2008.

Dan berkat semua jerihpayahnya ini, kini hampir 75 persen penduduk Indonesia mengenal nama dan wajah Sutrisno Bachir, meski “perbuatannya” itu harus dia bayar dengan kucuran uang miliaran rupiah.

Hal ini mencakup bayaran untuk produksi iklan, dan penayangan di beberapa televisi swasta dan media cetak yang di saat jam-jam utama mencapai Rp80 juta permenit!

Setelah Sutrisno ini, muncul Prabowo yang mengusung isu kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, Prabowo muncul di pawah patung Partai Gerindra, dengan mengusung isu meningkatkan lapangan pekerjaan.

Disusul PKS dengan iklan kontroversi sekaligus fenomenalnya itu. Dengan memanfaatkan hari Pahlawan, partai ini mengusung soal “Guru Bangsa”, dengan memunculkan Soeharto dari beberapa tokoh lain, mulai Soekarno, Hatta, Bung Tomo, Kyai Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan. Terlepas dari semua kontroversi ini, iklan PKS sangat sukses menarik perhatian khalayak.

Disusul, tak lama lagi, publik akan “dihibur” oleh iklan PDIP yang akan mengangkat isu perbaikan ekonomi. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di tengah merosotnya ekonomi akibat pengaruh krisis keuangan yang ditularkan Amerika.

Di Amerika sendiri, Barrack Obama tampil memukau dengan tayangan iklan televisinya, berupa lagu berjudul “Yes We Can” yang bersyairkan pidato kampenyenya. Iklan bernilai jutaan dolar ini, sangat memikat hati masyarakat. Bahkan analis mengatakan, kemenangan Obama salah satunya tak lepas dari iklan ini.

Di Batam juga tak kalah gencar. Kian dekatnya pemilu legislatif, dimanfaatkan calon legislatif dan partai untuk membeberkan visi dan misi. Tak ayal, acara sejenis, semacam Halo Partai di Batam TV ramai diantre.

Mengapa mereka memanfaatkan televisi? Tentunya tak lepas dari keunggulan media ini yang mempu menghadirkan secara audio visual, sehingga 100 miliar sel otak akan dengan mudah dirangsang. Ini berarti efek psikologisnya lebih tepat sasaran.

Apalagi di zaman kian canggih semacam ini, efek-efek khusus pada gambar makin dapat ditingkatkan dan disempurnakan, membuat tokoh dan pesan yang diusungnya kian bertenaga, melebihi jika hanya tampil di media cetak yang bisu.

Dan mengapa televisi memanfaatkan mereka (iklan politik)? Karena mereka memiliki dana kampanye yang besar. Seperti yang sudah saya singgung tadi, tiap caleg dan partai telah menganggarkan dana puluhan bahkan ratusan miliar rupiah, untuk iklan.

Inilah yang kini harus pandai-pandai dimanfaatkan dan direbut oleh televisi (termasuk juga media jenis lain). Kiatnya mulai diskon iklan dan acara berbau kampanye menarik.

Namun, akibat terlalu semangat tanpa sadar kadang ada beberapa iklan politik itu terjebak pada menyanjung-nyanjung diri sendiri. Akulah yang hebat, orang lain tidak. Bahkan banyak menjual kemiskinan dan kemelaratan rakyat sebagai bumbu penarik.

Sebuah contoh, belum lama ini di televisi lokal, Batam, ada talkshow politik. Saat itu caleg dari partai A ditanya, apakah partainya akan mampu meraih suara yang besar, setelah tokoh besarnya tak lagi ada? Si caleg menjawab, bahwa justru partainya akan kian besar setelah si tokoh besar itu keluar. Caranya bagaimana? Tak disebut.

Hal inilah yang kadang membuat masyarakat malas menyaksikan hal semacam ini. Cuma ngomong, siapa yang tak bisa?

Bagaimanapun juga, iklan politik atau talkshow politik di televisi, harus mampu mendidik masyarakat. Bukan malah membikin bingung. Berilah solusi bukan janji. Beri jalan, jangan hanya kritik.

Sungguh mudah menjadi kritikus, hanya bisa melihat kesalahan saja. Bisanya ngejek. Namun percayalah, tak ada orang yang besar dan dihargai di dunia karena menjadi tukang kritik. Justru banyak yang menjadi besar, karena mampu membangun, menumbuhkan semangat dan inspirasi bagi sesamanya

Bukankah pribadi yang besar selalu mengutamakan kebaikan? Bukan malah menyusahkan orang supaya dia kelihatan baik? Karena pemimpin sejati akan selalu membuat orang lain lebih baik.

Akhirnya, waktulah yang akan membuktikan apakah mereka mampu memberikan bukti atau janji. Karena hidup bukan hanya narasi iklan, hidup (yang baik) adalah perbuatan (yang baik).

Selasa, 25 November 2008

Menjelajah Pulau Terung (1)

Selasa 25 November, saya menjelajah ke Pulau Terung, ikut rombongan Ketua OB merangkap Ketua Dewan Pengusahaan Kawasan Mustofa Widjaja. Kedatangan kami atas undangan ketua Forum Silaturahmi Kebangsaan Abdul Basith Has.

Speedboad fiberglass putih, bertulis bida – I, dengan setia menunggu di sisi kanan dermaga Pelabuhan Internasional Sekupang. Sesekali badannya yang sebagian berlumut kehijauan itu, bergoyang digoda ombak.

Boat ini baru tiba sekitar pukul 13.00 dari pool-nya di Marina, setelah menerima perintah untuk mengantar petinggi OB ke Pulau Terung. Tiga mesin masing-masing 200 PK merek Yamaha, berderet rapi di belakang, membuat boat ini memiliki kecepatan cukup andal.

Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 14.50 Mustofa Widjaya, dengan amsih mengenakan seragam kebesarannya, stelan abu-abu lengan panjang, tiba bersama beberapa kepala stafnya. Bersamanya ikut Basith Has yang juga membawa beberapa orang kepercayaannya.

Selanjutnya, kamipun masuk dari pintu depan melewati ruang kemudi seluas 1x2 meter. Idrus sang nakhoda, sudah siap dengan panel-panel untuk membawa para petinggi ini mengarungi laut. Tangannya tak henti meraba kemudi kecil, dekat sebuah kompas bulat.

Dari ruang kemudi ini ada pintu ke kabin penumpang. Jaraknya hanya dipisahkan skat tipis, sehingga meski pintu ditutup, nakhoda masih akan mendengar suara percakapan di kabil pun sebaliknya.

Di kabin penumpang ini, kondisnya sangat sederhana. Lebarnya hanya 4 meter, panjang sekitar 10 meter. Interiornya minim, tak ada wallpaper dan karpet mahal. Yang ada hanya dinding fiberglass putih.

Beberapa lembar tirai biru menutup jendela, setia lindungi penumpang dari terjangan sinar matahari. Kaca di jendela pun sudah buram, membuat pandangan terbatas saat akan melihat penorama laut.

Di bagian depan kabin, ada dua sofa kecil warna abu-abu, terpasang setengah lingkaran di kanan kiri, cukup untuk duduk masing-masing tiga orang ukuran sedang. Sebagian kulitnya yang berbahan vinyl itu sedah mengelupas.

Di tengah sofa ada sebuah meja kayu kecil, ukuran setengah meter yang kaki-kakinya dipancang dengan baut. Di belakang sofa inilah, berderet 12 kursi penumpang menghadap ke depan. Warnanya juga abu-abu. Yang mengenaskan melihat lantainya, hanya berlapis semacam terpal warna merah kusam.

Agar tak jenuh, di sisi kiri atas kabin terpasang televisi Sony 14 inc. Saat itu siaran yang kami saksikan adalah sinetron Indosiar. Sepanjang perjalanan, hanya gambar yang bisa dilihat, sebab suara sudah hilang ditelan deru mesin boat. Itupun kadang terang, kadang juga tidak.

Selain suara masuk ke kabin, bau bensin pun kadang menyeruak tajam ke kepala. Sesekali bau ini diusir oleh parfum di atas pintu depan, yang menyemprotkan aroma bunga lili setiap 15 menit.

Sepanjang perjalanan Mustofa duduk sofa beberapa kepala stafnya. Dia mengambil posisi di pojok kanan, sedangkan Basith di kiri. Selama itulah, mereka terlibat perbincangan santai. Saat itu Basith banyak memaparkan tentang kondisi Pulau Terung.

Pulau terung masuk Kecamatan Belakangpadang, letaknya tepat di tengah antara Batam dan Karimun. Dulu tahun 1912, sebelum Belakangpadang bahkan Batam sendiri ada, di pulau ini sudah dibangun Sekolah Rakyat (SR), ngajar orang Belanda.

Keutamaan ini berdasar, karena Pulau Terung adalah tempat pemandian raja-raja. “Letaknya di bawah Masjid Raya, di sana ada kolam besar,” papar Basith.

Pulau Terung juga menjadi saksi sejarah saat Indonesia konfrontasi dengan Malaysia. Di sinilah Soekarno membangun basis KKO. “Banyak juga dari personelnya yang dapat (menikahi) orang sini (Pulau Terung),” lanjut Basith.

Mustofa menyimak. Selanjutnya, gantian dia bertutur, kadang melempar kisah lucu, kadang juga masalah serius, seperti kondisi krisis keuangan duania hingga peralihan lembaga yang dipimpinnya.

Druk… Druk… Druk… Suara keras berkali-kali memukul bawah boat, membuat penumpang kaget. Rasanya ibarat mobil terperosok jalan berlubang. Padahal, Idrus sudah mengurangi laju boat, dari semula yang hanya 45 km perjam. Sebab, ada peraturan tak tertulis untuk mengurangi kelajuan, mengingat di perairan yang dilewatinya banyak terdapat lahan nelayan.

Basith yang asli Pulau Titupun melongok ke jendela. “Kita sudah sampai. Sebentar lagi merapat,” katanya. Ternyata benar. Sekitar pukul 15.30 atau sekitar 40 menit, kami mendarat di pelantar Pulau Terung.

Untuk menuju daratan, kami masih menaiki tangga pelantar. Sebuah gapura bercat kusam, menyambut kami. Sesaat saya mengamati, sekitar 75 persen penduduk di sini menggantungkan nafkahnya pada hasil ke laut.

Rumah-rumahnya banyak dibangun di bibir pantai, antara satu dan lainnya dihubungkan pelantar kayu yang kaki-kakinya tertancap kokoh ke dasar laut. Di antara kaki-kaki tersebut, terparkir jongkong dan perahu penduduk setempat, sebagai senjata mengais nafkah.

Menjelajah Pulau Terung (2)

Luas pulau ini hanya 600x300 meter persegi. Dihuni 3.000 jiwa terbagi 1.000 kepala keluarga dan 3 RW. Tak heran jika pulau ini cukup padat.

Rumah-rumah penduduk sangat rapat, dibangun berundak mirip konsep sawah terasiring, mengikuti topografi pulau yang berbukit-bukit. Umumnya rumah di sini berbentuk panggung, sebagian masih berbahan kayu.

Di pulau inilah, kantor Kelurahan Pulau Terung bermukim yang membawahi beberapa RW di Teluk Kangkung, Pulau Pekasih, Teluk Sunti, Teluk Bakau, Pulau Geranting, dan Pulau Tumbar. Semua berpenghuni.

Pulau yang dipimpin Lurah Salimi ini, masuk wilayah Kecamatan Belakang Padang, berbatasan langsung dengan Pulau Air Kiah, Kabupaten Karimun.

Jalan lingkar yang membelahnya hanya selebar 1 meter, berbahan beton campur. Yang unik tak ada satupun sepeda motor, apalagi mobil, berkeliaran di pulau ini. Semua penduduknya hanya berjalan kaki.

Saat saya masuk ke pulau ini, di belakang rumah-rumah penduduk banyak berjejer aneka tong-tong plastik dan jerigen.

Dari Zainuddin, staf lurah setempat, saya mengetahui bahwa tong-tong tersebut digunakan untuk meyimpan air bersih. Kadang mereka tampung dari air hujan, kadang juga dibeli dari pedagang air bersih. Satu tong, Rp5.000.

Air ini diambil dari pulau-pulau sekitar, seperti Teluk kangkung, Pulau Batu Gajah, Pulau Telan bahkan Pulau Air Kiah, Kabupaten Karimun. Sebab di Pulau Terung, air sumur tak keluar.

“Air-air (tawar) itu diangkut dengan sampan kecil ke Pulau Terung. Air itu berasal dari bukit-bukit,” jelas Zainuddin.

100 meter dari pelabuhan kaki melangkah ke dalam, di sini ada balai kelurahan, luasnya 100 meter persegi, bentuknya mirip pendopo. Kanan-kirinya berpagar tembok setinggi 1 meter, dilengkapi pilar-pilar kokoh menyanggah atap.

Di belakang, ada lapangan badminton dan di dapan ada sebuah gardu PLN, dan sebuah pintu gerbang proslen megah bertulis, “Selamat Datang di Pulau Terung.” Sebuah logo Pemko Batam terlukir di tiang kiri.

Di sinilah rupanya, tempat penduduk bersosialisasi. Pendopo untuk pertemuan, sedangkan lapangan badminton sebagai tempat aktivitas lain. Selain sarana olahraga, anak-anak kecil juga memanfaatkannya sebagai tempat bermain.

Sore itu, saya melihat mereka bermain kejar-kejaran hingga ada yang terjatuh, menangis, kemudian didiamkan neneknya. Ada sebagian anak prea sekolah yang sudah mandi, memilih jalan-jalan. Wajahnya penuh bedak, di tangannya memegang opak-opak, sejenis makanan tradisional mirip kripik ukuran agak besar dan di tengahnya dioles gula merah.

Opak-opak ini dibeli Rp500, di warung-warung di teras rumah penduduk. Memang, untuk menambah penghasilan, sebagain warga membuka warung kecil di depan rumahnya. Karena di pulau kecil ini tak ada pasar. Umumnya yang dijual di warung-warung tersebut berupa aneka minuman ringan, rokok hingga obat-obatan pasar.

Ada juga yang menjual nasi sebagai sarapan warga sebelum beraktivitas. Saat pagi, warung-warung ini ramai pembeli, namun di sore hari, warung-warung ini jadi tempat ibu-ibu dan remaja putri nongkrong (ngerumpi).

Setelah listrik PLN menyala, sekitar pukul 17.00, mereka berhambur masuk ke rumah, ada yang nonton TV ada yang beraktivitas sembari menunggu salat Magrib menjelang.

Memang, setelah listrik menerangi pulau ini, sejak 10 tahun lalu, ikut mengubah denyut hidup penduduknya. PLN Pulau Terung merupakan cabang dari PLN Tanjungpinang. Generatornya berpusat di Pulau Pekasih. Tiap hari, listrik disini menyala sekitar pukul 17.00 sore-07-00 pagi.

Di hari Jumat, listrik kembali hidup di sing hari sekitar pukul 12.00-15.00, tujuannya menemani salat Jumat. Khusus hari minggu, ada ekstra panjang, di siang hari mulai pukul 08.00-14.00.

***
Saya makin tertarik menjelajah pulau ini, saya pun mengayun langkah mengikuti jalan menanjak yang mengelilingi pulau ini. Di atas (puncak) ada sebuah kantor Puskesmas Pembantu (Pustu), bagian Puskesmas Belakang Padang. Yang berjaga di sini hanyalah seorang perawat. Kadang seminggu sekali, dokter dari puskesmas kecamatan datang berkunjung.

Di samping kanan Pustu ini berdiri SD 0012 Belakangpadang. Bangunannya tinggi, sekitar dua lantai. Untuk masuk ke sana, harus melalui gerbang dan tangga berundak. Di dapan nya ada lapangan luas. Sore itu, saya melihat banyak remaja putri sedang bermain bola voli. Mereka tetap semangat, meski jaring volinya sudah hancur.

Di samping kiri Pustu terdapat lapangan bola yang luas, di sebelahnya ada Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) Al Kautsar. Di Pulau terung, sarana pendidikan yang ada hanya SD dan Mts saja. Untuk SMA, mereka harus nyeberang ke Teluk Sunti, 5 menit memakai pompong.

Agar memudahkan aktivitas, penduduk setempat sudah mengajukan untuk membangun jembatan. Mengingat jarak Teluk Sunti dan Pulau Terung sangat dekat. Jembatan itu kini sudah dalam tahap pengerjaan.

Menjelajah Pulau Terung (3)

Saat melihat-lihat sarana sekolah itulah, saya melihat kelompok-kelompok kecil remaja duduk-duduk di sebuah warung-warung yang sudah kosong, di bawah pohon sawo manila yang hampir mati. Di pulau ini memang banyak ditanami pohon sawo manila. Saat ini sudah musim buah.

Yang laki-laki asyik bermain gitar dan yang perempuan duduk-duduk bercengkrama satu sama lain. Di tangannya mengepit sebuah buku pelajaran Bahasa Inggris. Mungkin mereka usai belajar kelompok.

Saat saya dekati, yang laki-laki menyingkir pindah ke dekat Mts Al Kautsar, sembari melanjutkan bermain gitar, menyanyikan lagu Puspa dari St 12, dengan suara keras. Biasalah, lelaki ABG, cari perhatian saja.

Tinggalah remaja putri saja. Seperti biasa, mereka selalu malu-malu. Saat saya bertanya, kadang dijawab pendek, lalu mengerling manja ke sesamanya dan ditutup koor tawa renyah, khas cewek-cewek ABG.

Salah satu dari mereka bernama Nur Ain. Gadis ini berkulit bersih, matanya lebar alisnya tebal. Rambutnya pun panjang melebihi bahu, dengan diskripsi ini, Nur Ain sepintas mirip bintang sinetron remaja, Asmirandah. Nilai plus lain, Nur Ain sudah hatam Alquran.

Sayang saat akan difoto, dia terus menutupi wajahnya, sembari tertawa kecil dan menebar kata manja. “Enggak ah, malu,” katanya, disambut tawa koor yang lain.

Nur Ain masih duduk di MTs Al Kautsar. Sore itu, dia dan kawan-kawannya sengaja kongkow, kebiasaan yang dilakukan saat sore menjelang, sembari menunggu listrik PLN menyala pukul 17.00 .

Selayaknya remaja di kota-kota lain, remaja di Pulau Terung ini juga mengikuti perkembangan zaman. Cuma saja, sarana hiburan yang didapat cukup terbatas. “Biasanya untuk mencari hiburan, kami kadang ke Batam,” jelasnya.

Sekadar diketahui, untuk menuju Batam, penduduk setiap hari kecuali Jumat, biasa naik dengan apa yang mereka sebut feri kayu tujuan Belakangpadang. Dari sinilah kemudian penduduk naik pompong ke Pelabuhan Domestik Sekupang. Namun ada juga yang ke Batam naik sampan sendiri.

Lalu, di manakah tempat remaja di sini melewatkan malam minggu? Pacaran misalnya, “Ya, di lapangan bola itu,” tunjuk remaja putri ini. Menurutnya, umumnya para muda-mudi kasmaran tersebut hanya duduk-duduk saja, menikmati panorama.

Dari Nur Ain saya tahu, bahwa di sinilah pusat remaja Pulau Terung kongkow. Dan memang setelah saya perhatikan, pemandangan yang disajikan cukup bagus. Letaknya di puncak, memudahkan pandangan mata menatap panorama laut dan gugusan pulau-pulau di Kabupaten Karimun yang indah.

Kalau malam, pemandangan kian tersaji indah ribuan lampu kapal dan pemukiman penduduk. Bagaikan intan, berkelap kelip. Hal ini kian disempurnakan oleh sinar purnama. Sangat romantis.

Setelah puas menjelajah di puncak, saya pun melanjutkan berkeliling. Kali ini agak ringan, karena jalannya menurun. Tapi tunggu dulu, mana kaum prianya? Dari tadi saya hanya melihat kaum wanita saja. Pulau terung bak Pulau Putri saja.

Dari keterangan Abdul kadir, tokoh masyarakat setempat, saya mengerti ternyata semua kaum pria di sini melaut. Umumnya di pagi hari pergi memancing, saat malam melaut di sekitar Pulau Nipah dan perbatasan Singapura-Malaysia. Mereka berangkat setiap habis salat Asar, sekitar pukul 15.00.

Tak lama, jalan yang saya lalui menuntun kembali lagi ke balai kelurahan. Total waktu saya jalan kaki berkeliling pulau kurang dari 15 menit. Di sana, Rombongan Ketua OB dan Basyith Has sudah menggelar pertemuan dengan penduduk.

***

Selain pemandangan ini, hal menarik lainnya yang saya temukan adalah, banyak saya lihat penduduk menjemur rumput laut di kiri-kanan jalan. Zainuddin menerangkan, rumput laut ini bukan hasil budidaya namun diambil dari karang.

“Sudah lama, rumput laut tak bisa lagi ditanam lagi. Setiap ditanam mati,” jelas Zainuddin.

Hal ini tentu menyedihkan, mengingat hasil budi daya rumput laut ini banyak membantu nelayan menyekolahkan anak-anak hingga ke perguruan tinggi.

“Kini banyak anak-anak mereka, khususnya yang kuliah di Universitas Riau Kepulauan (Unrika) memilih mundur, akibat kesulitan biaya,” kisah Zainuddin.

Lalu, apa penyebab rumput laut tak bisa lagi ditanam? “Ada yang bilang ini akibat pencemaran, juga akibat (radiasi) bocornya pipa gas. Entahlah Pak,” lanjutnya.

Sekadar diketahui, Pulau Terung memang dilalui juga dilalui pipa gas dari Jambi menuju Batam. Selain itu, pulau ini menjadi jalur lalulintas kapal, mulai feri domestik dari Batam ke Karimun, Selatpanjang dan sekitarnya, hingga kapal-kapal besar yang melintas di Selat Melaka.

Hal ini kadang membikin gangguan tersendiri bagi penduduk, sebab ada kalanya mereka ngebut gelombangnya mengganggu lahan perikanan penduduk. Seperti yang dikeluhkan Nahar Umar, tokoh masyarakat setempat kepada Mustofa Widjaja, yang saat itu menggelar pertemuan di balai kelurahan bersama Basith Has.

“Padahal kalau kapal asing, semisal tanker, sangat sopan. Mereka tanpa diminta langsung menurunkan kecepatan,” ujarnya.

Banyak lagi keluhan yang dilontarkan. Misalnya soal apakah FTZ tak lagi menyulitkannya membeli sembako ke Batam? Karena selama ini tudingan penyelundup kerap mereka terima, ada juga soal pembenihan kerapu.

Semua ini didengarkan oleh Mustofa. Hingga akhirnya, untuk mengangkat taraf hidup penduduk, pihak OB melalui Direktur Politeknik Batam Eko Priyanto menggelar kesepakatan dengan warga yang diwakili Basith Has dari Forum Silaturahmi Kebangsaan.

Ke depan, mereka akan menyeleksi 20 siswa SMA berprestasi untuk dibina masuk ke Politeknik. “Mereka akan diberi kursus untuk menghadapi ujian masuk di Poltek,” ujar Basith.

Tak hanya itu, minggu ini Forum Silaturahmi Kebangsaan bersama Kepala Biro Keuangan Omen D akan ke tempat penangkaran ikan kerapu di Tanjungriau. Tujuannya untuk belajart budidaya pembenihan kerapu, sehingga bisa diterapkan ke masyarkat Pulau Terung dan sekitarnya.

“Agar jangan sampai mereka hanya menggantungkan hidup sepenuhnya dari laut atau tangkapan ikan di laut luas,” sebut Basith.

Usai berdiskusi, ketua OB, Basyith dan rombongan melaksanakan salat Asar di Masjid Raya Al Ansar, dilanjutkan berjalan kaki mengelilingi pulau ini. Di sepanjang jalan, rombongan banyak disambut penduduk sambil duduk bergerombol di depan rumah.

Setelah usai, sekitar pukul 16.48, rombongan kembali ke Pulau Batam. Pukul 17.30, akhirnya tiba di Pelabuhan Internasional Sekupang.

Minggu, 23 November 2008

Mengawal Gus Dur di Batam (1)

Mendatangkan seorang Gus Dur ke Batam, ternyata bukanlah sebuah pekerjaan gampang. Banyak aturan yang harus ditaati. Sebab, bagaimanapun dia adalah seorang mantan presiden yang keselamatannya dijaga oleh negara, khususnya empat matra aparat keamanan.

Hal inilah yang dirasakan panitia Forum Kebangsaan, khususnya Abdul Basith Has selaku pihak yang memprakarsai atau yang mengundang Gus Dur datang ke Batam.

Seperti diketahui, saat PKB pecah, Basith-lah diantara segelintir orang yang bertahan berimam ke Gus Dur, meski untuk itu dia harus mengorbankan pencalonannya di legislatif kota Batam.

Basith sangat menghormati Gus Dur, melebihi kursi dewan. Tak heran, mengapa, Basith sangat senang mengetahui orang yang sangat dikagumi dan dihormatinya itu mau menjawab undangannya.

Semua ini bermula dari telepon Basith dengan orang dekat Gus Dur yang akan mengadakan pertemuan di Zona Sumatera. Dari sini Basith langsung menyanggupi kesediannya.

Berhari kemudian, kepastian belum jua didapat. Hingga akhirnya Jumat malam, Yuli staf khusus Gus Dur menelepon, bahwa cucu pendiri NU itu bersedia menyambut undangan Basith, pada Senin (24/11).

Bukan main giragnya Basith. Dan pada Sabtu pagi, sekitar pukul 07.30, dia menelepon saya. Intinya mengajak bertukar fikiran tentang langkah apa saja yang pantas diambil untuk menyambut kedatangan Gus Dur. Tempatnya di Hotel Harmoni, bilangan Nagoya, Batam. “Jam sepuloh (10.00 WIB). Jangan lupe,” tutur tokoh masyarakat tempatan dan kepulauan itu.

Hingga kami bertemu, di sana Basith sudah menunggu bersama istrinya. Saat itu, pembicaraan kami hanya sebatas membahas kedatangan Gus Dur.

“Kok mendadak ya Bang?”
“Ya, kami pun baru tadi malam (Jumat malam) dikabari bahwa Gus Dur bersedia datang ke Batam,” jelas Basith.


“Santai sajelah. Kita nanti kongkow-kongkow saje di Novotel, sembari ngobrol segala macam persoalan bangsa ini. Acara ini kita ambil tema, Kongkow Bersama Gus Dur Membahas Masa Depan Bangsa,” jelasnya.

Basith juga bertutur bahwa, kedatangan Gus Dur ini juga disambut antusias kawan-kawan di PSMTI. Kebetulan pada hari Senin itu pula, mereka menggelar talkshow di UIB bersama Sri Sultan, yang membahas peran warga Tionghoa mengisi pembangunan. Untuk itu mereka mengundang hadir dalam acara tersebut.

Sebagai penyambutan, Basith sudah memesan spanduk yang bertulis ucapan selamat datang untuk guru bangsa itu, beserta fotonya.

Hingga pukul 11.00 WIB, ponsel Basith berdering. Seorang pejabat teras dari Provinsi menelepon tentang apa dan bagaimana persiapan menyambut kedatangan Gus Dur ini. Di susul aparat lain yang menanyakan jadwal, sebab akan dilakukan pengawalan standar VVIP, mengingat Gus Dur adalah mantan Presiden.

Terus dan terus. Telepon Basith tak henti berdering. Kadang datang bersamaan, sehingga harus di-swap mana sekiranya yang lebih penting. Di saat itu Yuli kembali menelpon agar mengkonfirmasi jadwal pesawat pada Senin, pukul 17.00, karena Gus Dur mau balik hari.

Basith pun kembali sibuk menghubungi beberapa agen travel. Hingga selanjutnya, pukul 11.27 Basith harus menghentikan pembicaraan, karena Yuni Sekretaris pribadi Gus Dur kembali menelepon dan mengabarkan bahwa ibu Sinta Nuriyah akan ikut serta.

Ini tentu di luar dugaan. Tak gampang mendatangkan Gus Dur, apalagi bersama istrinya. Merasa mendapat kehormatan besar, Basith langsung menyambut sumringah. Selanjutnya, dia melihat ke arah saya.

“Ini tak bisa main-main lagi Bang! Rumbak total rencana semula!” sergah saya.
“Oke, jadi apa saja yang harus dilakukan?!” tanyanya.

Sayapun memberikan beberapa saran. Misalnya perlunya membuat badge yang membedakan antara panitia dan bukan.

Antara ring 1 dan ring-rig selanjutnya. Pengamanan pun harus ekstra. Jarak antara Gus Dur dan khalayak harus diperhatikan, minimal 1 meter. “Harus ada orang yang berpostur minimal 180 cm, berjaga di sekeliling Gus Dur,” usul saya.

Undangan acara kongkow pun harus dibatasi dan teknis acaranya pun harus sudah dimatangkan. Apakah akan berbentuk seminar, atau hanya diskusi antara Gus Dur dengan beberapa tokoh batam, atau lagi, hanya melakukan tanya jawab langtsung dengan audience. Semua harus jelas.

Basith pun mengangguk. Langkah pertama, dia segera memanggil beberapa kenalannya yang memiliki usaha sablon, untuk membuat beberapa badge. Tak lupa dia memanggil orang tempat memesan spanduk.

“Tolong direvisi. Ucapan selamat datang untuk Gusdur ditambah juga untuk ibu Sinta Nuriyah, karena dia juga mau hadir. Fotonya juga ditambah ya,” jelasnya.

Selanjutnya dia mengontak Novotel, mengkonfirmasi ulang pesanan kamar Presiden Suite untuk Gus Dur dan ibu Sinta. Selain itu jangan sampai nanti tabrakan dengan Sultan, mengingat Raja Yogya itu memesan kamar Presiden Suite di hotel yang sama.

Langkah berikut, kami harus bolak-balik ke Bussiness Center di lantai II Harmoni, untuk memfaks beberapa undangan bagi petinggi daerah, seperti Gubernur, Kapolda, Kapoltabes Barelang, Wali Kota Batam, Ketua OB, Danlantamal, serta Dan Guskamlabar.

Hingga pukul 13.00 tugas ini selesai dilakukan. Selanjutnya, kami bubar, rapat akan dilanjutkan pada Minggu pukul 14.00 di Novotel.

Mengawal Gus Dur di Batam (2)

Persiapan mengawal Gus Dur terus dikebut. Panitia juga menyiapkan sepasukan Banser.

Tepat saat yang dutentukan, Basith telah menunggu di loby Novotel bersama beberapa orang panitia. Selanjutnya pertemuan dipindah ke coffee shop Novotel. Di sinilah, kami mulai menyusun apa saja persiapan yang harus dilaksanakan. Selain beberapa panitia tadi, Edy Prasetyo, wakil ketua panitia juga hadir di situ.

Setelah melakukan beberapa pendataan, dari sinilah diketahui, bahwa badge panitia masih kurang 10 lembar lagi. Agar tak tertukar dengan yang lain, Basith minta agar namanya dicetak langsung. Setelah urusan badge ini selesai, tibalah ke tata tertib acara.

Diketahui, Gus Dur bersama ibu Sinta Nuriyah akan tiba dari Jakarta di Bandara Hang Nadim sekitar pukul 08.30 pagi. Dari sanalah, Gus Dur akan langsung berangkat ke UIB tempat acara PSMTI digelar.

Dijadwalkan, Gus Dur menjadi pembicara paling awal di antara pembicara lain, yakni sekitar pukul 09.00 hingga pukul 12.00, disusul kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10.

Selanjutnya, Gus Dur dijadwalkan menuju Novotel, tempat acara Kongkow Bersama Gus Dur Membahas Masa Depan Bangsa yang digelar Forum Silaturahmi Kebangsaan di Cendana Ballroom sekitar pukul 13.30 -15.30 WIB. Ruangan ini sangat luas, mampu menampung 300 tempat duduk.

Di puncak acara ini nanti, Gus Dur dijadwalkan akan mendeklarasikan Furum Silaturahmi Kebangsaan ini, sekaligus mentasbihkan Basith Has sebagai ketua dan beberapa pengurus lainnya.

Hingga pukul 15.30 Gus Dur kembali ke kamarnya untuk istirahat sejenak. Karena pada pukul 18.50, dia dan rombongan kecilnya harus siap-siap boarding ke Bandara Hang Nadim untuk bertolak ke Jakarta.

Acara ini diformat santai. Gusdur di dampingi Ketua Forum Silaturahmi Kebangsaan Basith Has akan duduk di depan. Selanjutnya, mereka akan menjawab beberapa pertanyaan dari para hadirin. Agar berjalan dengan baik, acara ini dipandu dua moderator.

Posisi moderator di sini haruslah orang yang cakap, karena mereka selain mengarahkan, juga harus mampu merangkum (resume) apa sahja pesan dari pertemuan ini untuk bangsa dan negara.

Dari sekian banyak usulan panitia, Dosen Fakultas Hukum UIB Husain Shihab-lah yang berhasil dipilih. Tinggal satu lagi, saya pun mengusulkan Lisya Angraini, redaktur Batam Pos yang juga mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Batam.

Saat saya telepon, Lisya langsung tak percaya. “Kamu serius? Ini kan sekelaas presiden? Bukan orang sembarangan. Masak saya yang mandu?”

Saya jawab, bahwa saya tak akan salah pilih. “Saya sudah lama tahu bagaimana kepiawaian mbak Lisya. Beginilah cara saya menghargai orang, Mbak!”

Lisyapun mafhum. Selanjutnya saya minta dia sekitar pukul 19.00 bertemu saya, Husain Shihab, untuk berdiskusi mengenai format acara ini. Lisya pun setuju.

Lalu siapa yang akan mengawal Gus Dur? Untuk hal ini, Edy mengatakan agar tak terlalu khawatir. Karena Kepolisian sudah memiliki standar pengamanan untuk pejabat dan mantan pejabat.

Meski demikian, tetap diperlukan beberapa anggota Banser sebagai pagar betis, khususnya bertindak jika ada pengunjung yang perlu diambil inisiatif. “Jangan sampai nanti ada orang yang memotret terlalu dekat, apalagi mengahlangi pandangan hadirin lainnya,” pinta Basith.

Sedangkan untuk urusan antar jemput, sebagian, mulai dari Bandara ke UIB, UIB ke Novotel ditangani PSMTI. Sisanya, Novotel ke Bandara ditangani panitia Forum Silaturahmi Kebangsaan.

Selain itu, harus ada yang berada di dekat Gus Dur dan ibu Sinta Nuriyah. Akhirnya disepakati Abdul Basith, Edy Prasetyo dan saya menemani Gus Dur, sedangkan ibu Sinta ditemani Sunariah, istri Basith Has.

Sebelum rapat ditutup, Edy Prasetyo mengingatkan perlunya suvenir yang diberikan pada Gus Dur. “Tak usah yang mewah, karikatur wajah saja cukup. Karikatur ini selanjutnya dibingkai rapi,” ujarnya.

Selanjutnya Edy menghubungi orang Batam Pos, bernama Mahfud untuk mengurus masalah karikatur ini. Saya sempat bingung juga, sebab orang Batam Pos yang biasa bikin karikatur adalah Dalbo. Tapi Edy bersikeras. “Ini nomor HP-nya. Saya hubungi ya,” ternyata benar, dia Mahfud, bukan Dalbo. Saya yang keliru.

Selanjutnya rapat ditutup. Basith pun minta panitia memeriksa kesiapan perangkatnya, mulai tempat pertemuan, kamar hingga penyambut tamu. “Semua harus sudah rapi,” pintanya.

Hingga pukul 20.00 Lisa tiba bersama Husin Shahab. Selanjutnya, bertempat di Coffee Shop Novotel, basith dan Edy Prasetyo membahas tentang rambu-rambu saat memandu Gus Dur . “Kami tentu tak mau mengajar itik berenang, Cuma menjaga agar tak lari ke mana-mana,” papar Basith beranalogi.

Selanjutnya disepakati, agar acara ini tak dimanfaatkan orang-orang yang tak bertanggungjawab, dengan memanfaatkan pada kepentingn pribadinya. Misal, untuk menghantam pemerintah daerah saat ini, melalui mulut Gus Dur.

Jika ada pertanyaan semacam ini, maka tugas moderatorlah memotongnya. Selain itu, juga harus diperhatikan jangan sampai moderator menyimpulkan sendiri apa yang diutarakan Gus Dur, sebab takut akan terjadi salah persepsi.

Setelah semua sepakat, pertemuan akhirnya berakhir pukul 21.00. “Sekarang kita istirahat dulu, karena besok pagi-pagi harus sudah siap-siap menyambut Gus Dur ke Bandara,” tutup Basith.

Mengawal Gus Dur di Batam (3)

Senin 24 November. Pukul 06.30 saya sudah stand by di halte dekat Pom Bensin, 100 meter dari Simpangjam, menunggu jemputan. Tak lama, sebuah kijang kapsul tiba. Di dalamnya ada Basith Has bersama Edy Prasetyo. Tak menunggu lama, saya pun masuk lalu menuju bandara.

Sepanjang jalan, saya lihat polisi berseragam lengkap sudah berjaga-jaga setiap titik persimpangan. Seiring dengan keberadaan beberapa spanduk ucapan selamat datang untuk Gus Dur.

Hingga pukul 07.13 WIB, kamipun tiba di ruang VVIP Bandara, bersiap menunggu kedatangan pesawat garuda GA 150, yang membawa Gus Dur dari Jakarta. Di sana sudah menunggu beberapa pejabat dari Provinsi Kepri.

15 menit kemudian, pesawat yang ditunggu tiba. Dengan menumpang sebuah bus khusus, saya dan Edy menuju sebuah garbarata yang akan dilaalui Gus Dur.

Garbarata tempat kami berdiri bergetar hebat, saat moncong Garuda merapatkan badannya. Selanjutnya, pintu depan burung besi itu terbuka. Dari sana Gus Dur keluar dipapah Sulaiman, asistennya yang setia.

Sudah dua tahun saya tak bertemu dengan tokoh bangsa ini –pertemuan saya terakhir saat menghadiri acara PKB di Sumatera Ekspo 2006 lalu- ada perubahan yang saya pandang cukup menarik; Gus Dur agak gemukan. Demikian pula Sulaiman.

Saat itu Gus Dur mengenakan batik lengan penendek, motif kembang warna biru keunguan. Di sakunya terselip dua pena montblanc. Di tangan kirinya terlilit gelang benang yang dipilin, warna merah dan abu-abu. Semacam gelang persahabatan dari Bali.

Sedangkan di tangan kanannya, terlilit gelang berbahan perak yang di tiap bagiannya terukir relif berbentuk wajik, mungkin ini semacam gelang kesehatan. Saat Gus Dur bergerak, gelang ini sering tertutup kepala arlojinya, bertali kulit coklat yang sangat sederhana.

Gus Dur saat itu juga mengenakan sepatu kulit warna krem. Namun tak berkaus kaki. Kadang ujung sepatu itu dia injak dengan tumitnya. Yang menarik perhatian, sepanjang perjalanan tangan kiri Gus Dur selalu menggenggam sebuah balsam cap macan (Tiger Balm). Benda tersebut terus menerus dia cium.

Lalu, dimanakan istrinya, Sinta Nuriyah? Bukankah dia mengatakan akan ikut serta ke Batam? Ternyata rencana tersebut batal pada saat-saat terakhir.

Tak lama Gus Dur dipapah Edy dan Sulaiman menuju roda yang disiapkan pihak Garuda. Sebab, kursi roda Gus Dur masih ada di bagasi pesawat. Dari sini, dengan masih didorong Edy, kami membawa Gus Dur menuju lift khusus, menuju lantai bawah. Selanjutnya dengan bus khusus yang sama, kami menuju kembali ke ruang VVIP.

Sembari menunggu kursi rodanya tiba, Basith Has yang datang menyambut, mengajak Gus Dur menunggu di ruang khusus VVIP. Ruang tunggu VVIP ini cukup luas, sekitar 50 meter persegi.

Ada dua lukisan besar di dua sisi dindingnya. Semua bermotif perempuan berbusana tradisional menjual bunga dan satu lagi perempuan menjual buah, sejenis jeruk dan tomat. Lukisan ini kian elegan dengan bingkai berukir warna keemasan.

Setelah duduk di kursi, satu-persatu tokoh-tokoh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Batam tiba. Mereka adalah Soehendro Gautama dan Rektor Universitas Internasional Batam Handoko Karjantoro.

Selanjutnya, oleh Basith mereka diajak menyalami Gus Dur. “Gus ini Soehendro Gautama ,” bisik Basith saat Soehendro menjabat tangan Gus Dur, sembari setengah membungkuk dan mengucapkan selamat datang.

Disusul giliran Handoko. “Mereka ini adalah tokoh Tionghoa Gus,” terang Basith. Perkenalan ini penting, maklumlah, Gus Dur memiliki gangguan penghilatan.

Setelah mengambil tempat duduk masing-masing, perbincangan hangat pun mengalir. Selama itu pulalah, tangan kiri Gus Dur pun terus menciumi balsam dan agak bersikap dingin.

Mungkin tahu tingkah lakunya diperhatikan, Gus Dur pun menerangkan, “Saya lagi masuk angin. Makanya dari tadi mencium balsam terus,” jelasnya. Yang lain pun mafhum.

Pembicaraan perdana ini, berlanjut pada pembicaraan berikutnya. “Kami berterimakasih, karena Gus Durlah Barongsai bisa kami saksikan lagi,” ujar Handoko yang ternyata berasal dari Jawa Tengah ini. Tak heran, meski Tionghoa tulen, logat Jawanya sangat kental (medok).

"Karena Gus Dur-lah, inpres 1467 (tentang diskriminasi etnis Tionghoa) itu dicabut,” susul Soehendro agak detail. Maklum, lelaki perlente ini merupakan seorang notaris, jadi sangat mengerti undang-undang.

“Kan, UUD mengatakan, negara harus memberikan hak pada semua warga negaranya. Bukan hanya karena pada mayoritas saja,” jawab Gus Dur.

“Tapi ngomong-ngomong soal Barongsai, saya bukannya tak menghargai keberagaman, tapi kuping saya yang tak kuat. Bunyinya terlalu keras,” jelasnya, disusul tawa halus yang lain.

Selanjutnya satu-persatu tokoh PSMTI tiba. Mereka adalah Rudy Tan dan Eddy Hussy. keduanya memakai seragam baju lengan pendek biru kombinasi, bertulis PSMTI Batam. Rupanya ini pakaian edisi ulang tahun.

Merekapun langsung menghampiri Gus Dur, menjabat tangannya, sembari mengenalkan diri masing-masing.

Setelah mereka mengambil tempat duduk masing-masing, perbincangan kembali menghangat. Kali ini soal para founding-father, hingga masalah pilpres 2009. Menurut Gus Dur, siapaun yang terpilih nanti harus segera mengambil tindakan, juga trobosan menyelamatkan negeri ini, karena ekonomi kian memburuk.

"Saat ini saja dolar AS sudah melampaui Rp10 ribu," kata seseorang yang hadir di situ.

“Bahkan menurut analisa Burhanuddin Abdullah (mantan Gubernur BI yang kini ditahan), salah-salah bisa tembus Rp20 ribu (perdolar AS),” timpal Gus Dur.

“Yang kasihan ya Kepri ini. Daerahnya cukup makmur, tapi paling miskin. Apalagi terus menerus kena imbas Singapura,” jelasnya.

Selanjutnya Gus Dur bercerita soal pemasangan radar di salah satu pulau di Kepri ini. Setelah semua matang, tiba-tiba hal ini dibatalkan, karena intervensi langsung dari Singapura.

Menginjak pukul 08.00 WIB, Sulaiman tergopoh-gopoh masuk. Rupanya kursi roda milik Gus Dur sudah tiba. Disain kursi roda milik Gus Dur ini memang masih sama dengan yang dia bawa pada saat kunjungan ke Batam tahun 2006 lalu, namun catnya berbeda. Kalau dulu berwarna hijau dan bertulis "PKB", yang ini berwarna merah, tak ada tulisan apapun.

Akhirnya, Gus Dur bertemu kembali dengan kursi rodanya yang setia. Selanjutnya, kami pun berganjak keluar ruang tunggu. Di luar, sudah menunggu lima mobil yang akan mengiring Gus Dur dipimpin satu unit mobil Patwal Poltabes Barelang.

Gus Dur dibimbing ke mobil Mercedes S 350 BM 9 XY, warna biru langit. Di sana dia duduk di jok depan, ditemani Basith Has di jok belakang kiri dan Soehendro Gautama di sebelah kanan.

Setelah semua selesai, sirene forrijder mengaung. Iring-iringan ini pun berangkat menuju Hotel Novotel Batam yang berada di Jodoh, sekitar 60 km dari Bandara Hang Nadim. Tepat di belakang mobil yang membawa Gus Dur adalah Toyota Land Cruiser Cygnus putih BP 21 EX.

Saya sendiri berada di mobil ke tiga, di sebuah Toyota Harrier bersama Handoko dan Edy Prasetyo atau biasa disebut Edy KNPI. Menyusul di belakang Sedan Camry terbaru warna silver, kemudian Altis warna yang sama.

Mengawal Gus Dur di Batam (4)

Sekitar pukul 08.20, rombongan tiba di loby Novotel. Saat itu beberapa perwakilan dari pemerintah daerah sudah menyambut.

Ada Kadis Pariwisata Provinsi Robert Iwan Loriaux dan lainnya. Serta, tentu saja, beberapa Banser ada yang berpakain loreng namun ada pula yang memakai stelan baju warna krem. Namun semuanya tetap mengenakan sepatu lars dan baret ungu tua.

Setelah mengucapkan selamat datang, selanjutnya Gus Dur dibimbing masuk. Namun, saat akan dibawa ke private room The Square (nama restoran dekat lobi Novotel) untuk sarapan, Gus Dur menolak, karena mau ke toilet.

10 menit kemudian, Gus Dur keluar dari sana. Wajahnya sudah tampak lebih segar. Balsam cap macan yang terus menerus dia cium pun sudah tak menemaninya lagi.

Tapi untuk sementara Gus Dur tertahan, karena di ruang tersebut masih dipakai Sri Sultan Hamengkubuwono X. Mulai sibuklah beberapa manejer hotel, termasuk GM Novotel Sigit Budiarso, lari ke sana ke mari untuk memberitahukan ihwal kedatangan Gus Dur ini pada Sri Sultan.

Ternyata Sri Sultan memang sengaja menunggu Gus Dur di private room itu.
Maka terjadilah pertemuan perdana ini. Seperti diketahui, keduanya akan menjadi pembicara di UIB. Gus Dur di sesi pertama (pukul 09-00-12.00) dan Sultan sesi kedua.

Saat itu Sultan tampil dengan busana “kebesarannya”, batik tulis coklat khas Yogya yang dibiarkan keluar menutupi bagian atas celana hitamnya. Sebuah kacamata frame kecil menghias di wajahnya. Sungguh bersahaja.

Selanjutnya, Sultan dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil) menyapa Gus Dur sambil menjabat tangannya. Gus Dur pun yang masih berada di kursi roda, membalas dengan kromo inggil pula. Inti pembicaraan itu, Sultan mengucapkan selamat datang lalu
bertanya tentang kondisi kesehatan masing-masing.

Tak lama Sultan menutup pembicaraan, “Salam kageng ibu (Ibu Sinta Nuriyah), Kyai…” Ternyata Sultan memanggil Gus Dur dengan sebutan “kyai”. Gus Dur pun membalas, “Ya ya ya…”

Setelah Sultan pergi, Gus Dur dibimbing menuju meja. Di temani Basith Has (di kanan) dan Soehendro Gautama (di kiri). Sedangkan saya dan Handoko, mengambil tempat duduk berhadapan dengan Gus Dur.

“Mau sarapan apa Gus?” Tanya Soehendro halus.
“Ah, ndak usah. Tadi sudah sarapan di pesawat. Ngopi aja lah,” jawab Gus Dur.
“Pisang goreng saja ya Pak,” tawar Sulaiman. Gus Dur pun menyetujui tawaran asistennya ini.

Tak lama, beberapa pelayan hotel masuk membawa donat dan croisistant untuk Gus Dur. Tak lupa satu poci kecil kopi panas, beserta beberapa bungkus aneka gula dan pemanis. Sebagai pelengkap, juga disajikan beberapa potong roti tawar bersama selai rasa nanas dan ceri. Ada yang sudah dikeluarkan, ada juga yang masih dalam kemasan.

Hidangan ini juga dibagikan pada beberapa orang yang duduk di meja tersebut. Namun minumnya bisa pilih, kopi atau teh.

Dari sini Gus Dur lebih memilih donat sebagai kue pembuka untuk menghangatkan seleranya. Sambil menikmati sajian, dia mulai berkisah. Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Gus Dur mulai mengeluarkan koleksi anekdotnya.

“Ada anak peternak yang mengambil kuliah doktor ke Jerman. Setelah pulang dia bercerita pada ayahnya, ‘Yah, di Jerman sudah maju. Di sana ada mesin besar yang kalau dimasukkan sapi, keluarnya jadi sosis,’” kisah Gus Dur.

“Mendengar kisah ini, ayaahnya menjawab. Loh, masih lebih canggih lagi di sini. Begitu dimasukkan sosis yang keluar kamu, hik hik hik…” papar Gus Dur terkekeh, diiringi tawa yang lain.

Dari sini selanjutnya masuk Profesor Hendrawan Suprtikno, Guru Besar Fakeltas Ekonomi UKSW Salatiga. “Saya adik kelasnya Matori (Abdul jalil) Gus,” sebutnya saat mengenalkan diri.

Obrolan selanjutnya masih hal-hal yang ringan. Hendrawan pun menyebut soal Syeh Puji, yang setelah sukses menikahi Lutviana Ulfa (12), masih akan menikahi anak berumur 9 bahkan 3 tahun. “Gimana itu Gus?”

Menjawab ini Gus Dur mengatakan, bahwa sebutan “Syeh” itu semula hanya untuk mengolok-olok lelaki nyentrik bernama asli Puji Citro Widiono itu. Puji menurutnya orang yang bodoh soal agama. Namun krena banyak uang dia membangun pesantren. “Karena itu dia di-nyek (ledek) dengan sebutan Syeh,” jelasnya.

Selanjutnya obrolan beralih ke Madura. Gus Dur berkisah, saat itu bertemu dengan pejabat tinggi daerah tersebut. Selanjutnya mereka berbincng akrab. “Saya baru berhasil membangun gedung ini Gus. Namun sewa eternitnya yang mahal.”

Gus Dur pun bingung, dalam hatinya berkata, “Gedungnya bisa dibeli, kok eternitnya masih sewa?” Rupanya yang dimaksud “eternit” oleh pejabat Madura tadi bukanlah sebutan untuk langit-langit, melainkan internet! Spontan tawa hadirin tak terbendung lagi.

Masih di Madura, Gus Dur mengisahkan saat menghadiri pertemuan di sana ada pejabat yang menyuruh stafnya menyampaikan amplop bertulis “HDSS”. Gus Dur pun heran, lalu bertanya apa itu maksud “HDSS”. Rupanya si staf tak mengerti, lalu buru-buru bertanya pada si bos.

Si Bos pun geram dan memarahi stafnya itu. “Bodoh kamu, gitu saja tak ngerti. Maksud ‘HDSS’ itu, ‘harap dibantu sedikit-sedikit’,” tiru Gus Dur, tawa kembali membahana.

“Ternyata Gus Dur banyak menyimpan koleksi humor ya? Inilah mungkin yang membuat Gus Dur easy going,” komentar Handoko.

Mengawal Gus Dur di Batam (5)

Gus Dur pun makin keranjingan. Beberapa humor pun dikeluarkan, ada yang sudah pernah dia saampaikan, baik langsung atau lewat website-nya, namun juga ada yang belum. Di sela-sela banyolannya, sesekali Gus Dur batuk-batuk kecil. Mungkin tenggorokannya tergaruk kulit gorengan "elit" itu.

Seperti ini, dalam sebuah makan malam usai kunjungan resmi di Washington, seorang nyonya pejabat ditawari mau pesan makanan apa.

“Do you like salad?’ Maksudnya itu selada. Rupanya si ibu ini tak ngerti, lalu menjawab, ‘Oh ya, five time a day.’ Rupanya ibu ini mengira yang dimaksud salad itu salat lima waktu, ha ha ha…” tawa Gus Dur di susul yang lain.

Masih belum puas juga, Gus Dur kembali mengisahkan saat talkshow di TVRI, dia ditanya soal lumpur Lapindo. “Saya ndak ngerti kok ditanya ginian. Ya saya jawab, itu terjadi karena Nyi Roro Kidul dipaksa berjilbab (oleh Habib Rizik Shihab), ha ha ha…” katanya.

“Lha iya. Saya pernah bilang, di dunia ini ada negara yang imam dan dainya tak bisa menangkap habib.”

Di mana itu Gus?” penasaraan yang lain.
“Ya di sini. Lha wong imamnya Imam Samudera, dainya Dai Bachtiar (mantaan Kapolri), lha habibnya Habib Rizik (ketua FPI), ha ha ha.”

Selanjutnya hening sesaat. Makanan terus mengalir, Gus Dur pun terus menikmati hidangaan itu, hingga piring kecilnya kosong. Lalu diisi lagi, begitu terus. Agar kue tersebut mudah dicerna, sebelum disajikan, Basith Has memotongnya kecil-kecil.

Saya mencoba abadikan momen ini dengan kamera. Ketika itulah Rektor UIB Handoko setengah berseru, “Ini Pak Riza, Gus. Dia wartawan Batam Pos, Koran terbesar di sini (Kepri).”

“Batam Pos itu grup Jawa Pos, Gus, pimpinan Pak Dahlan Iskan,” Hendrawan membantu menjelaskan.
“Oh ya?” Tanya Gus Dur sembari menegakkan pandangan. Dari arahnya tampaknya dia berusaha menangkap “gambar” saya.
“Dia dari Jawa Timur, dulu di Surabaya, kuliahnya di Malang,” kembali Handoko mengenalkan saya."
“Asli saya dari Pulau Bawean, Gus,” saya buru-buru menimpali, tak enak diperkenalkan terus.

“Daerahnya luas?” tanya Soehendro penasaran.
“Ah tidak Pak. Belum selesai saya menjelaskan, Gus Dur sudah memotong. “Lha wong hanya dua kecamatan kok,” katanya. Rupanya Gus Dur sangat mengenal Bawean. Mungkin karena dulu dia memergoki maneuver F 16 Amerika di atas pulau ini.

Dari sini, Gus Dur ternyata punya banyolan soal orang Bawean. Dia berkisah, pernah ditanya tentang dari mana asal Syeh Abdul Qadir Jaelani. Dasar Gus Dur dia menjawab, “Ya endak tahu. Orang Bawean kali, ha ha ha…”

Selanjutnya Hendrawan menanyakan berapa penduduk Bawean, “Banyak ya Mas?”
Saya terangkan, bahwa hanya sedikit. Semuanya banyak merantau. Pada abad 16 pulau ini ditaklukkan Cakraningrat dari Sumenep, akhirnya terjadi akulturasi. Hingga kini penduduknya masih menggunakan bahasa Sumenep.

Gus Dur menyimak paparan saya, sembari menyantap sebuah pisang goreng yang telah dipotong kecil-kecil oleh Basit tadi. Sesekali bibirnya meniup-niup, maklum, pisang goreng itu masih panas, sebelum kemudian menyantapnya.

Setelah itu dia mulai berkisah keinginannya memperjuangkan Bawean menjadi Kabupaten yang berdiri sendiri, lepas dari Gresik.
Saya penasaran, bagaimana caranya. “Kami masih minus Gus?” Tanya saya.

“Kan bisa digali sumberdaya kelautannya?” timpal Hendrawan, seolah memberi saran.
Mendengar ini Gus Dur menerangkan, “Tiap hari harus ada penerbangan!” katanya.
“Apa lapangan terbangnya sudah ada Mas?” penasaran Hendrawan.
“Baru akan dibangun. Sementara terkendala pembebasaan lahan. Biasalah lah,” jawab saya.

“Ya, nantinya ada pesawat terbang dari Bawean menuju Sembilangan, yang berada di pantai baraat Madura,” jawab Gus Dur.
“Ya, nanti jadi tak terisolir,” sebut Soehendro.

Saya menjelaskan, sebenarnya di zaman kolonial Pulau Bawean sudah dijadikan tempat transit bagi armada-armada dagang, baik dari Palembang, Jawa, Bugis bahkan Arab. Sebab, letaknya sangat strategis, berada 80 mil utara Surabaya, bertetangga dengan Kalimantan dan Sumatera.

“Di Singapura dan Malaysia, kalau memanggil orang Bawean disebut ‘Orang Boyan’,'' lanjut Gus Dur.

“Oh ya,” hadirin pun tertarik, saat itulah saya menjelaskan bahwa memang warga Bawean sudah merantau ke negeri di Semenanjung sejak abad 16.

“Wah Gus Dur ini sangat memahami Indonesia ya. Bawean saja tahu. Opo simng ora weruh?!” timpal Handoko, sayapun mengatakan bahwa merasa terhormat, daerah saya yang terpencil dibahas di meja orang-orang besar itu.

"Saya berterima kasih Gus..."

"Apa?"

"Ya saya merasa sangat terhormat, Gus Dur masih bisa mengingat daerah saya yang terpencil," ujar saya.

Selanjutnya obrolan beralih pada anekdot lagi. Kali ini Gus Dur mengisahkan, saat Mbak Tutu (Siti Hardiyanti Indra Rukmana) menjabat Mentri Sosial, dia sempat bertanya tentang pabrik restu-nya. Mendengar ini Tutut menjawab, “Wah, sekarang malah menjadi industry Gus, lengkap dengan pemasarannya!” sebutnya.

Di sela-sela keriuhan itu, Sulaiman masuk. “Jalan sekarang Pak?” tanyanya ke Gus Dur. Gus Dur mengangguk. “Saya ini ya terserah yang ngundang saja,” jawabnya.
Namun, saat yang bersamaan panitia mengatakan bahwa masih nunggu mobil yang akan membawa ke UIB. “Sri Sultan juga masih di lobi Gus,” jelas seorang panitia lain.

“Oh, kalau begitu saya mau ngobrol dengan Sri Sultan lagi,” kata Gus Dur. Mendengar ini, beberapa penitia langsung menemui Sri Sultan. Tak lama meja-meja kembali di siapkan. Sri Sultan mau masuk kembali ke ruang privat itu.

Kembali lagi, Gus Dur dan Sri Sultan bertemu. Kromo inggil lagi. Kali ini mereka duduk berdekatan di meja. “Saya dengar di tivi-tivi mau nyalon lagi,” begitulah kira-kira terjemahan pertanyan Gus Dur pada Sri Sultan.

“Dukung kulo, mboten Kyai? (dukung sya atau tidak?)” canda Sultan. Gus Dur pun hanya tersenyum. Sultan pun lalu bertanya apa Gus Dur mau nyalon. Menurut Gus Dur, dirinya sama dengan Sultan, terus menerus diminta nyalon. Ya udah, mengalir saja.

“Nanti (di acara UIB) kita tampil ya Kyai?” Tanya Sultan. “Ya, tapi (kulo) saya duluan,” jawabnya.

Selanjutnya ikut masuk menyusul Sultan, Muslim Abdurrahman dan seorang wartawan senior Kompas. Mereka pun salam-salaman pada Gus Dur, lalu berfoto bersama. “Ini wartawan Kompas Gus,” kenal yang lain.

Mendengar ada wartawan Kompas, Gus Dur berucap, “Saya ini baru kirim opini ke Kompas. Tapi belum dimuat.”

“Sebentar lagi dimuat Gus,” timpal yang lain.
“ya gimana mau dimuat, lha wong masih dibaca sama Jacob Utama (bos Kompas). Kalau (media) yang lain, hanya redaktur saja yang meriksa. Ini Jacob Utama langsung,” katanya disambut tawa yang lain. Sementara si wartawan yang disinggung hanya ikut tertawa.

Pertemuan berbahasa Jawa ini tak berlangsung lama. Panitia acara di UIB sudah menunggu untuk Gus Dur. Selanjutnya orang-orang besar ini menuju deretan mobil dan forrijder yang telah menunggu di mulut lobi.

Gus Dur kembali masuk ke Mercedes yang sama, ditemani Basith Has dan Soehendro Gautama. Sedanghkan Sri Sultan, memilih naik bus mini bersama rombongan lain. “Di sini sama saja kok,” ujar raja Yogya itu.

Mengawal Gus Dur di Batam (6)

Sepeninggal Gus Dur ke UIB, sekitar pukul 09.30, saya memilih tak menemaninya. Waktu sempit itu saya gunakan mengitik pengalaman ini. Koordinator Liputan Batam Pos Ikbal, menelepon soal laporan ini.

“Mas nulis kan?” tanyanya.
“Ikbal kan tahu bagaimana saya. Jangankan ada momen emas begini, tak adapun saya selalu menulis. Semua bisa Ikbal pantau di blog saya. Silakan dicek, saat ini juga sudah saya posting. Tapi bijak-bijak saja milihnya. Karena semua saya tulis berdasar bahasa blog.”

“Oke Mas.”
“Eh jangan lupa, diedit ya. Potong saja, jangan ragu,” pintaku. Saya memang menekankan hal ini, sebab setiap kali saya menulis, selalu tak diedit. Entah ini sebuah penghargaan, atau penghinaan.

Misalkan saja, saat saya keliru menulis, “Persatuan Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI)”, ternyata yang keluar besok juga sama. Padahal kepanjangan PSMTI adalah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa.

Yang lebih parah lagi, dulu saat saya meliput kunjungan Gus Dur tahun 2006. Dijudul saya keliru menulis “Gus Dur” menjadi “Gus Dus”. Eh, yang terbit keesokan harinya ya tetap sama.

Usai menerima telepon Ikbal, saya menuju lobby Novotel. Disinilah saya menuangkan apa yang saya lihat dan dengar dari mulai menjemput Gus Dur di Bandara, hingga ke private roome The Square Novotel.

Kadang kalau ada detil yang terlewat, saya putar kembali rekaman video di otak saya, atau melihat kembali foto-foto hasil jepretan. Dari sanalah saya berusaha menangkap apa yang terekam, mulai kondisi ruang, bahasa tubuh dan tingkah polah masing-masing objek. Begitulah.

Kerjaan ini selesai sekitar pukul 13.30. Sesuai jadwal, Gus Dur sudah kembali ke Novotel dan berada di Cendana Room berbicara adalah acara bertajuk Kongkow Bersama Gus Dur membahas Masa Depan Bangsa, persembahan Forum Silaturahmi kebangsaan, pimpinan Basith Has.

Di sini, kursi-kursi yang ada sudah sesak terisi oleh masyarakat yang antusias. Namun ada yang aneh saat saya melihat meja utama. Mestinya yang duduk di sana adalah Gus Dur, Basith Has serta dua moderator, Lisya Anggraini dan Husin Shahab.

Ternyata malah bertambah satu orang lagi, duduk tepat di samping Gus Dur. Setelah saya cek, rupanya lelaki itu utusan Provinsi. Ada kabar berkembang, tugas pegawai protokoler tersebut memotong jika ada ucarapan Gus Dur, baik terpancing pertanyaan atau tidak, mulai nyerempet-nyerempet soal dugaan negatif Gubernur Ismeth Abdullah.

Di forum ini Gus Dur mengatakan, keengganannya untuk kembali nyalon Presiden. Dia bilang, saat ini banyak yang nanya, “Kapan kulo nyoblos njenengan maleh Gus? (kapan saya nyoblos Anda lagi?).”

Gus Dur menjawab sangat berat, “Susilo bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla berupaya agar saya tak bisa nyalon lagi,” katanya.

Selain hambatan itu, menurut Gus Dur, karena setelah dia menjadi presiden, otomatis dia harus segera membentuk inisiatif untuk menyelamatkan negara.

Tugas berat lain, dia akan membersihkan para pejabat korup. “Ada seribuan orang yang nanti akan saya kirim ke penjara. Seratusan dari Kepri,” katanya. Penonton pun bertepuk tangan. Hal ini terus diulang Gus Dur hingga tiga kali.

Diskusi terus berlanjut. Gus Dur banyak memetik ayat Alquran. Soal bagaimana hubungan dengan orang beda agama, dia berpatokan pada Surat Alkafirun. “kan sudah ada ayatnya, lakum dinukum waliyadin. Bagiku agamaku, bagimu agamamu,” jadi sudah jelas. Ngapain harus diribut-ributkan soal beda agama ini.

Ada juga pertanyaan unik soal kartun di blog, yang melecehkan Nabi Muhammad SAW. Namun Gus Dur tak mau menanggapinya. Demikian pula saat ditanya pendapatnya soal Kepri dan Megawati. “Saya endak tahu. Bukan urusan saya,” jelasnya cuek.

Sayang diskusi ini harus dipercepat, mengingat pukul 16.00 Gus Dur harus segera kembali ke Jakarta. Panitia sempat bingung, sebab sesuai jadwal, Gus Dur akan bertolak ke Jakarta sekitar pukul 18.55. Apadaya, Gus Dur menghendaki seperti itu. Alasannya, dia harus bertemu tamu dari luar negeri.

Akhirnya pukul 15.10 forum ditutup dengan ditandai penyerahan cindramata, berupa karikatur, oleh Basith Has kepada Gus Dur. Hingga pukul 15.25, Gus Dur menaiki Mercides, bertolak ke Bandara ditemani Abdul Basyith Has.

Berbeda dengan kedatangan, keberangkatan Gus Dur kali ini tak ada yang mengiringi. Hanya satuunit mobil Parwal Poltabes Barelang yang memandu dengan sirenenya yang terus meraung, seakan berteriak Gus Dur pulang… Gus Dur pulang...

Sabtu, 22 November 2008

Maafkan Saya J B H L U L

Di sini saya ingin meminta maaf kepada rekan-rekan saya. Maaf dari lubuk hati yang terdalam.

Habis salat Jumat lalu, saya merasa amat berdosa sehingga saya perlu berbincang dengan rekan satu tim saya. Ada sebuah ayat tentang azab seorang pemimpin yang tak bisa saya anggap remeh. Di depan sebuah komputer, kami terlibat percakapan.

“Sudah berapa lama kita bersama di tim ini?”
“Hampir 7 bulan, Bang.”

Selanjutnya kami terlibat diskusi panjang.

Masyaallah tak terasa putaran waktu ini begitu cepat. Sepanjang waktu itu jualah dia telah membayar pengabdian dengan umurnya untuk ku. Selama itulah, dia mencoba meneladani saya. Selama itulah dia menilai kebaikan dan keburukan saya.

Sungguh zalim jika saya ternyata tak amanah sama sekali. Enam bulan Bung! Enam bulan, for nothing! Kejam!

Padi saja jika ditanam enam bulan sudah bisa dipanen. Uang saja jika dititipkan ke bank, enam bulan sudah berbunga cukup bagus. Jadi dosa besar jika orang yang menitipkan umur ke kita just for nothing. Hanya memetik penderitaan saja, tak ada kebaikan sama sekali.

Selama itu, tentulah mereka memiliki harapan agar saya bisa membuatnya lebih hebat. Bahkan suatu saat bisa memiliki tim sendiri.

Mungkin karena inilah, Dahlan Iskan, bos Jawa Pos mengajarkan metode “menularkan” ilmunya, mungkin tujuannya agar anak buahnya suatu saat bisa lebih hebat darinya.

Karena keberhasilan seorang pemimpin adalah yang mampu mengangkat yang rata-rata itu menjadi lebih baik, bahkan terbaik. Bukan membangun karir dengan menjadi seorang kritikus.

Si Golden Ways, Mario Teguh berkata seperti ini, sungguh mudah memang menjadi kritikus, hanya bisa melihat kesalahan anak buah saja. Bisanya ngejek saja. Namun berat memang menjadi orang (pemimpin) yang mampu membangun yang bisa melihat (menempatkan) kelebihan anak buah.

Namun percayalah, bahwa tak ada orang yang besar dan dihargai di dunia karena membangun karir sebagai kritikus. Justru banyak orang yang menjadi besar, karena membangun orang lain, menumbuhkan semangat dan inspirasi bagi sesamanya.

Soal ini pun Bos saya pernah berkata yang akan terus saya camkan dalam hati. “Kalau dalam urusan mengalikan dan menambah, orang sangat pandai. Namun saat membagi, sangat susah!”

Dalam sebuah acaranya, si Golden Ways, Mario Teguh mendapat pertanyaan dari peserta “Super”nya. Dia menanyakan, bagaimana cara agar dirinya bisa membantu agar suaminya lebih hebat sehingga mampu meraih impian-impiannya.

Mario menjawab, agar si istri menjadi faktor penguat. “Jadilah pendamping yang menghebatkan. Bantu untuk membanggakan bukan merendah -rendahkan (dengan ucapan). Muliakan dia, maka kita akan dimuliakan,” ujarnya.

Soal ini, saya teringat Dahlan Iskan lagi. Konon suatu saat Dahlan melihat redakturnya belum bekerja. Pagemaker di layarnya masih kosong, belum tersentuh sama sekali. Lalu dia bertanya, ada apa gerangan?

Si redaktur menjawab, bahwa dia sedang menunggu iklan. Menurutnya, percuma saja dikerjakan, toh nanti kalau ada iklan akan dibongkar lagi. Jadi biar tak kerja dua kali.

Mendengar akan hal ini, Dahlan marah besar. “Bangsat kamu, dasar bodoh…” Pasti Anda menyangka Dahlan akan mengeluarkan kalimat rendah seperti ini kan? Sebuah kalimat yang biasa dilontarkan seorang bos besar?

Ternyata tidak. Dahlan hanya mengambil keyboard komputer redaktur tersebut, lalu dipatahkannya, “Prakkkk…” and than dibuang ke lantai. Selanjutnya dia berpesan agar bekas pecahan dan keyboard itu sendiri tak dibersihkan selama satu minggu.

Apa yang kita pelajari dari sini? Inilah wishdom yang dimiliki seorang Dahlan Iskan. Dari sini dia ingin memberi efek pengajaran yang luar biasa, selain bisa mendidik juga membangun. Dan siapapun tak akan tersakiti. Inilah yang disebut kemarahan yang fokus.

Luar biasa.

Coba kalau saat itu Dahlan mengumbar kata tajam di lidahnya, memaki dan merendahkan, maka selain membuat derajadnya merosot, juga pesan yang akan disampaikan tak akan tepat sasaran. Karena ada pepatah, bahwa teko akan mengeluarkan apa yang dikandungnya. Kalau kandungannya kotor tentu yang keluar air kotor.

Akhirnya diskusi ini saya tutup dengan ajakan, ''Marilah kita sama-sama gunakan kedua tangan kita untuk kebaikan. Tapi perhatikan, apa yang terjadi!''

---------------------------
Terimakasih Mario Teguh atas inspirasinya.

Terimakasih J amil, B udi, H asanul, uni L isya, mba U mi dan teh L ilis atas waktunya. Tujuh bulan Bung! Gila! Alangkah buruknya saya, kalau tak ada satu teladan pun yang bisa you petik!

Jangan Dibaca, Menyeramkan

Saya mohon, jangan membaca tulisan ini. isinya sangat menyeramkan, apalagi kalau Anda memiliki sifat penakut. Please jangan dibaca.

Saat ini di Batam bertambah panas. Panas dalam segala hal. Semua ini merupakan imbas krisis keuangan dunia lalu diperparah dengan kenaikan tarif PLN hingga mencapai 16 persen, di awal Oktober lalu.

Sebelumnya saat panas menyerang, orang bisa ngadem di mall. Sambil lihat-lihat barang pujaan. Ya lihat-lihat saja, beli tidak. Namun ini sudah menjadi hiburan tersendiri.

Namun kini, tidak lagi. Di Mega Mall, salah satu mall terbesar banyak tenant yang sudah mengurangi hawa AC-nya. Matahari misalnya, sudah mulai agak panas (mungkin menyesuaikan dengan namanya ya? He he he).

Akibat AC kurang dingin, membuat ruangan di toserba terlaris di Indonesia ini bau baju. Tak hanya itu, salah satu eskalator-nya (yang turun) sudah dimatikan. Jadilah kita jalan kaki.

Ke hypermart, juga tak ada bedanya. Di tempat penjualan barang-barang elektronik juga tak lagi dingin. Demikian pula di deretan rak pajang. Yang masih terasa dingin hanya di lemari tempat menyimpan sayur dan es krim saja.

Sialnya lagi, suasana dingin ini malah beralih pada wajah para penjaga tokonya. Senyum ceria tak lagi ada. Dulu saat ada pengunjung mereka menyapa dan menyambut ramah, namun kini tak ada lagi.

Mungkin mereka sudah pada stress, bos marah-marah terus, penjualan menurun, cash flow nihil, sementara mister dolar naiknya minta ampun, nyonya rupiah tak lagi mempesona. Ancaman PHK di ambang mata.

Mematikan AC dan eskalator, sengaja diambil pihak mall untuk penghematan. Kenaikan tarif PLN hingga 14,8 persen membuat tagihan rekening yang dibayar perbulannya membengkak hingga 60 persen. Jika dulu hanya Rp100 juta, kini jadi Rp160 juta!

Kok bisa bayar lebih 60 persen? Kan kenaikannya hanya 14,8 persen? Ya iyalah, masak ya iya dong. Kan dalam tarif listrik konsumen tak hanya dikenakan biaya tak tetap (variable cost) saja, juga ada biaya tetap (fix cost). Artinya, dipakai tak dipakai ya sama aja, tetap bayar.

Biaya tetap inilah yang juga mengalami kenaikan, ikut menyumbang pembayaran pada kenaikan biaya tak tetap. Bingung kan? Baca aja udah bingung, gimana lagi yang bayar?

Ke kawasan Industri lebih parah lagi. Bukan di sana panasnya sangat panas. Sudah lebih 17 perusahaan pemodal asing menyatakan diri akan tutup, karena hilangnya order akibat dampak krisis keuangan global ini. Ribuan karyawan pun tak bisa diselamatkan lagi.

Kenapa tak ada order? Karena pemesan tak lagi memproduksi. Kenapa? Karena kesulitan liquiditas. Tak ada duit. Uangnya sudah habis akibat anjloknya harga saham dan harus membayar utang yang kian membengkak. Di kiris ini, uang triliunan pun bisa menguap bagai asap.

Karena itulah mereka memilih tutup, dari pada menanggung rugi yang kian menggunung. Meski ada yang masih bertahan, namun harus mati-matian dengan mengurangi jam masuk. Bahkan uang lembur yang diharap dari over time (OT), sudah tak ada lagi. Riwayat OT sudah tamat.

Efek domino yang terjadi akibat krisis keuangan di AS ini, tentu saja menimpa usaha yang berhubungan langsung dengan lembaga keuangan. Misalnya bank, asuransi dan kredit. Di Amerika Citigroup telah mem-PHK ribuan karyawannya, menyusul tutupnya 20 bank swasta.

Sedangkan di Indonesia, Bank Century sudah masuk ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Riau Pulp and Papper juga telah berhenti produksi karena tak adanya pasokan.

Selain itu, sektor kredit-mengkredit tak kalah babak belur, setali tiga uang dengan sektor properti yang mulai ngos-ngosan. Bunga KPR terlalu tinggi, banyak konsumen menahan diri.

Sektor kendaraan bermotor juga tak kalah seram. Susah jual akibat bunga tinggi, sedangkan krediturnya susah bayar. Mau bayar dari mana? Uang dari mana? Perusahaan tempat dia bekerja sudah mau tutup. Ancaman PHK di mana-mana, kriminalitas mulai mengintai dan mengancam.

Ampun.

Runtuhnya salah satu sektor usaha ini terus bergerak, saling tindih, meruntuhkan sektor yang lain. Ibarat susunan balok-balok di iklan TV Sony Bravia, satu yang runtuh menimpa yang lain, menimpa yang lain, menimpa yang lain, begitu terus.

Inilah mengapa ada bisnisman yang menganalisa krisis ini lebih buruk dari yang terjadi di tahun 1930-an. Seperti apa itu? Saya tak tahu pasti, karena saat itu saya masih di alam azali, entah di mana.

Namun orang tua saya pernah bercerita, dulu orang tuanya bercerita bahwa di kampung kami ada seorang haji bernama Zainuddin. Orang ini adalah konglomerat besar di kampung kami, namun hanya dalam sekejap jadi orang miskin.

Mengapa? Karena berkarung-karung uangnya (karena dulu orang tak menyimpan uangnya di bank konvensional seperti saat ini) harus digunting, akibat nilainya anjlok. Yang Rp100 hanya jadi Rp1!

Ampun.

Oh tenang, kan ada Bang Barrack Hussain Obama, pasti keadaan lebih baik. Anak Menteng gitu loh. Bagaimanapun negara ini pernah menjadi tanah masa kecilnya.

Apa memang demikian? Bukankah Obamalah yang telah bersumpah akan memerangi teroris, khususnya akan menutup madrasah-madrasah yang dinilai ekstrim di Indonesia?

Bukankah Obama sangat mendukung akan negara Israel, karena dia merasa menjadi presiden atas dukungan kuat kaum yahudi Amerika?

Tentunya hal ini kurang berdampak bagus bagi Indonesia.

Apalagi, belum lagi menjabat, senat sudah meminta agar kerjasama pertahanan dengan Indonesia tak lagi diperpanjang, karena dirasa belum serius menangani pelanggaran HAM di Timor Leste.

Para analis AS juga menyimpulkan bahwa Obama bukanlah seorang yang bervisi ekonomi.

Dari uraian ini, ada sebuah pertanyaan, siapakah orang yang paling diuntungkan atas krisis ini? Ya siapa lagi, kalau bukan para politikus itu. Dari penderitaan inilah mereka mulai mengais-ngais simpati masyarakat. Bahkan, dari krisis inilah, kabarnya mereka juga bermain di kalangan pengusaha.

Maklum udah mau pemilu.

Sementara kita, rakyat kecil, hanya bisa terhibur oleh turunnya harga BBM yang hanya Rp500 perak itu. Sebuah langkah tak ihlas yang rupanya hanya menjadi bumbu kampenye dalam iklan Partai Demokrat SBY.

Akhirnya kita hanya bisa berkata, “Ah tak di-PHK saja sudah syukur.”

Kamis, 20 November 2008

Pencak Silat Bawean

Saya tak henti berdecak kagum, saat dua pendekar beradu pedang saat acara halal bi halal sekaligus pelantikan pengurus Ikatan Keluarga Bawean Batam (IKBB) periode 2008 - 2011 di Hotel Golden View, Bengkonglaut- Kota Batam, Minggu (16/11) lalu.


Setelah adu pedang usai, disusul duel tangan kosong. Keduanya sampai begulingan di atas panggung. Inilah pencak silat Bawean. Atraksi ini biasa ditampilkan pada momen-momen tertentu.

Dulu, pencak silat memang sangat terkenal di Bawean. Hal ini meruipakan bekal wajib bagi seorang yang akan ditasbihkan menjadi lelaki. Pencak silat juga menjadi sarat utama, sebelum kaum lelaki Bawean merantau.

Orang yang mahir memainkan pencak silat ini disebut pendekar (dibaca: pan-dhi-kar). Keberadaan seorang pendekar juga keluarganya, sangat dihormati dan ditokohkan oleh warga setempat, karena selain mereka dapat memberikan rasa aman, juga menjadi tumpuan penduduk untuk berobat.

Pasalnya, banyak pendekar menguasai ilmu tabib. Bahkan mereka dapat menyembuhkan orang patah tlang dengan hanya menyiramkan air. Namun, pendekar ini tidak mau disebut dukun, karena mereka tidak memelihara jin, sebagaimana umumnya dimiliki dukun-dukun di Bawean.

Karena ilmunya pula, seorang pendekar juga disegani kawan maupun lawan. Selain itu juga ditakuti. Konon dulu, jika penduduk akan membangunkan pendekar yang tengah tidur, mereka tak boleh menyentuh badannya, sebab bisa menjadi korban jurus reflek sang pendekar.

Caranya, harus berdiri dari jarak sekitar 1 meter, lalu sentuhlah ujung jemari kakinya, sembari memanggil namanya dengan halus. Dengan demikian, si pendekar akan bangun tanpa melukai.

Setiap pendekar memiliki karakteristik ilmu silat berbeda, jurus-jurus ilmu ini mereka adopsi atau menggabungkan ilmu silat dari China, semenanjung Malaysia atau dari Jawa itu sendiri.

Tak heran jika ditemukan pendekar ahli kuntau, juga ada yang ahli memakai senjata tajam, semisal tombak dan trisula (orang Bawean biasa menyebut tik-pie). Adapun daerah yang banyak memiliki pendekar terkenal adalah desa Daun dan Gunung Teguh.

Biasanya, para pendekar ini memiliki perguruan silat sendiri. Semakin besar nama si pendekar, semakin banyak pula muridnya hingga merambah daerah lain.

Sungguh menjadi kebanggaan tersendiri bagi anak muda Bawean saat itu, jika menjadi murid seorang pendekar besar atau biasa dipanggil pan-dhi-kar raje, itu. Selain stratanya dalam pergaulan ikut naik, juga dia sama diseganinya oleh kawan maupun lawan.

Karena mengusiknya, berarti tengah membangunkan tidur sang guru. Jika lebih beruntung, si murid akan mendapat warisan berupa ilmu kanuragan khusus, atau pusaka sang guru jika mangkat nanti. Namun ini sangat sulit terjadi, sebab biasanya si guru akan melihat abak-anaknya terlebih dulu.

Umumnya jenis pusaka ini berupa keris, pedang dan tombak. Namun pusaka yang paling populer adalah besi kuning (dibaca: bes-se koneng). Karena bisa membikin pemiliknya kebal senjata. Entah benar atau tidak, karena hingga saat ini saya belum pernah menyaksikan seperti apa dan bagaimana kehebatan besi kuning itu sendiri.

Pada saat-saat tertentu, pendekar-pendekar ini turun sdari perguruannya. Saat itu mereka tanding kehebatan masing-masing. Inilah cikal bakal pertunjukan seni pencak silat di Bawean.

Hingga era 80-an seni pencak silat ini masih ramai dipentaskan bersama kesenian Bawean lain seperti mandiling, samman bahkan bangsawan (saya kupas di bawah), utamanya saat ada pengantin, atau hajatan orang kaya lainnya.

Pementasan pencak silat ini biasanya selalu diiringi tabuhan, dua orang menabuh gendang dan satu orang pemukul gong. Atraksi pertama akan dilakukan oleh seorang lelaki yang selanjutnya bertindak sebagai wasit, yang melakukan jurus persembahan dengan dua pedang.

Selanjutnya, pedang tersebut diserahkan pada dua pendekar yang akan bertarung yang biasanya berbusana khas melayu (sebagai payung budaya di Pulau Bawean), dengan sarung songket digulung.

Dan, mulailah dua pendekar ini bertarung. Sebelum beradu, semula mereka memamerkan keindahan jurus-jurus masing-masing. Hingga ada aba-aba, “Sosor….” Dari sang wasit, maka mereka mulai kontak fisik.

Jika dirasa kontak fisik itu mulai membahayakan, maka sang wasit tadi akan melerai. Begitulah. Yang menang, tentu yang paling bisa bertahan dari gempuran jurus lawan.

Namun, setelah era 1980-an pementasan pencak silat ini sudah jarang digelar. Gaung pendekar dan perguruannya pun tak seperti dulu. Meski masih ada, sudah jarang. Meski begitu, tradisi berguru silat masih ada di kalangan remaja Bawean.

Jika si murid dinilai sudah tamat, maka si guru akan melakukan ritual khusus. Saat itu si murid diminta membawa ayam muda putih mulus, beberapa meter kain mori putih, dan rendaman air bunga. Semua ini bisa dibeli di Pasar Sangkapura. Tanpa menyebut pun, biasanya si pedagang akan tahu bahwa itu akan dipakai sebagai pentasbihan sebagai tanda tamatnya belajar ilmu silat.

Soal bagaimana ritual pentasbihan itu, saya sendiri tidak tahu bagaimana ritualnya, karena saya tak pernah berguru silat. Namun yang saya dengar, ritual itu dilakukan pada malam buta.


Seni Tradisi Pulau Bawean

Selain pencak silat, Pulau Bawean yang sejak dulu dijadikan pulau transit beberapa kaum di Nusantara, memiliki beragam kesenian. Hingga kini ada yang masih bertahan, namun ada yang sudah musnah. Di antaranya adalah:

Bangsawan (dibaca Bengsawen)

Kesenian ini diadopsi dari Melayu. Bentuknya mirip ketoprak Jawa atau drama. Namun bangsawan, sesuai namanya, selalu berkisah tentang kaum bangsawan (raja-raja). Di negeri asalnya, bangsawan biasa dipentaskan pada acara-acara khusus.

Di Bawean sendiri, Bangsawan terakhir dipentaskan di era sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1930-an, Mahmud Said, lurah di Kotakusuma kerap mementaskannya. Jumlah pemainnya sangat banyak, mencapai 30-an. Semua ini bukan penduduk asli, namun didatangkan dari Jawa.

Jibul

Jibul diadopsi dari aceh. Dalam pementasan ini, seorang lelaki tunanetra akan melantunkan kisah-kisah rakyat atau dongeng. Hal ini mirip pementasan yang dilakukan pendongang asal Aceh, PM Toh.

Jibul marak dipentaskan pada tahun 1950-an ke bawah. Namun kini sudah hilang. Saya sendiri belum pernah melihat secara langsung jibul ini. Namun saya sering mendengar kisah orang-orang tua dulu. Katanya, mereka paling ogah menyaksikan jibul dari dusun Kalompek, sebab pemainnya sering bolak-balik buang air kecil ke toilet.

Saman (dibaca samman).
Kesenian ini juga diadopsi dari Aceh. Diskripsinya sudah bisa kita saksikan saat ini. Namun di Bawean, seni tari samman sudah jarang dipentaskan.

Mandiling
Mandiling adalah seni pantun. Hingga kini, di Bawean masih tetap eksis dan sering juga dipentaskan. Biasanya, mereka berkelompok. Ada beberapa orang yang menabuh gendang lonjong dan gong.

Selanjutnya, orang lelaki berkebaya mirip perempuan, akan tampil menari sambil berpantun jenaka. Kadang pula pementasan ini melibatkan penonton, sehingga membuat mandiling meriah. Hingga saat ini grup mandiling yang masih eksis dan terkenal di Bawean berasal dari Desa Daun.

Korcak
Seni ini hingga saat ini masih eksis dan dipentaskan. Biasanya dimainkan secara berkelompok. Semua pemainnya adalah laki-laki. Mirip saman, mereka akan berbaris rapi lalu menyanyikan lagu padang pasior, sambil menabuh rebana.

Samrah
Seni masih eksis dan dipentaskan. Semua pemainya adalah perempuan, biasanya mereka menyanyikan lagu qasidah sambil menabuh rebana.

Kercengan
Seni ini merupakan perpaduan antara saman dan samra. Biasanya sekelompok wanita akan duduk berbaris. Semuanya berseragam dan memakai sarung tangan warna putih.
Selanjutnya mereka akan menggerakkan tangan ke sana-kemari, diiringi alunan irama padang pasir. Berbeda dengan samra yang hanya memakai rebana, di seni ini, pemakaian alat musik full diperkenankan.

Hingga saat ini, selain kerap dipentaskan, kercengan juga kerap dilombakan. Tahun 2007 lalu, kercengan asal dusun Sungai Tirta berhasil menjadi kercengan terbaik.

-------------
Masalah kyai, dukun dan tukang sihir di Bawean akan saya kupas di tulisan selanjutnya.

Jika ada warga Bawean yang mengetahui apa saja jenis kesenian yang belum saya sebut. Tulis saja di komentar.

Airmata Buaya dan Topeng

“Jangan percaya! Itu hanya air mata buaya!”

Kita kerap kali mendengar kiasan ini. Air mata buaya, artinya air mata bohong-bohongan. Tangisannya hanya bohong, hanya sebagai senjata kamuflase untuk mempengaruhi oran lain. Memanganya ada air mata bohong-bohongan?

Tentu ada. Para peneliti membagi tingkatan air mata dalam tiga kategori, basal, atraktif dan emosional. Nah, bagi yang nangisnya hanya akting, biasanya kandungan basalnya sangat tinggi.

Kandungan ini berbeda dengan yang atraktif (saat bergembira), atau yang memang sedang meluahkan emosi kesedihannya. Maka itu ada istilah, mulut bisa berdusta namun ilmu pengetahuanlah yang akan membuktikannya.

Para detektif olah tempat kejadian perkara di Amerika juga kerap melakukan ujicoba air mata pada orang yang dicurigai melakukan kejahatan, apakah tangisan di depan korban itu memang tulus atau hanya tipuan.

Di masyarakat, kadang kita melihat bagaimana seorang pecinta tersenyum lebar di depan orang terkasihnya, guna menutupi luka hati yang amat menganga. Ini juga bagian dari topeng, agar dia tampak tangguh. Contoh nyata lagi, tontonlah infotaimen. Di sana beragam jenis topeng diobral bebas.

Maklumlah di zaman semacam ini, jangankan airmata, kepribadian pun bisa diciptakan. Sekolah formalnya juga ada dan sempat booming di awal 1990-an. Di sana kita diajar bagaimana bersalaman. Dalam psikologi jenis salaman juga mencerminkan pribadi seseorang. Jenisnya bermacam-macam, ada bergaya ikan mati, mencengkram dan lain-lain.

Selain itu juga diajar bagaimana duduk di kursi bertangkai tinggi maupun tangkai empat, menaikkan satu kaki, berbicara, bergaul, bahkan menangis. Semua bertujuan mempengaruhi persepsi agar kita kelihatan sopan dan terhormat di mata orang lain.

Intinya, di sekolah itu mengajarkan bagaimana seseorang mengenakan topeng (mask) yang baik dan benar pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Topeng? Ya, sebuah topeng. Manusia, sejak zaman Adam hingga saat ini, sangat memerlukan topeng dan ini penting untuk penunjang peranannya (role) di masyarakat. Topeng tersebut berguna untuk kamuflase.

Karena itulah mengapa, agar bisa masuk di sekolah kepribadian amatlah mahal. Mahal. Dulu yang masuk di sana kebanyakan para eksekutif dan seketaris, di mana dunianya dituntut berinteraksi dengan kalangan atas yang terkenal akan manner-nya itu.

Namun saat ini, sekolah kepribadian juga ada untuk anak-anak, tentunya hanya anak orang kaya dan selebritis anak saja yang bisa masuk. Maknya kadang kita melihat anak-anak keluaran sekolah ini sopannya minta ampun.

Namun karena ini bukan sekolah agama, kadang ilmu kesopanan yang mereka miliki tak seirama dengan hati. Mereka memang sopan, tapi belum tentu baik. Semua hanya akting.

Di Belanda, (akting) kepribadian sudah menjadi industri yang menguntungkan. Selain sekolah, di sana kita juga bisa menyewa orang-orangnya.

Saat kita akan tampil di panggung, kita bisa menyewa seratusan orang untuk bertepuk tangan atau memberisemangat, tak peduli seburuk apakah penampilan kita.

Saat kita kesusahan, kita bisa menyewa orang yang mau menangis bersama. Saat kita butuh teman curhat, kita dapat menyewa seorang teman yang tampan dan cantik yang akan setia mendengarkan curhatan kita, melebihi sahabat dekat kita.

Maka itu di zaman edan seperti ini, janganlah terlalu lugu dalam menilai sesuatu. Jangan terlalu terhanyut, karena everithing has arranged, everithing has a price. Semua bisa diatur, semua ada harganya.

Topeng yang baik adalah apa yang diajarkan Islam. Di agama yang 75 persen ajarannya menekankan hubungan antar manusia ini, topeng diajar berbeda dengan materi sekolah kepribadian. Tujuannya selain untuk kebaikan antar sesama manusia juga untuk mengejar pahala Allah.

Maka itu, tingkah laku tersebut haruslah bersandar dari ketulusan serta kemurnian hati nurani. Inilah yang disebut aqidah ahlak. Sehingga kesopanan itu memang berjalan apa adanya, bukan akting.

Sebagai uraian penutup. Bisnisman nyentrik asal Amerika Donald Trump ditanya apakah saat berbisnis dia harus melakukan pertarungan tiap hari, Donald mengangguk. “Yes, everiday i must fight, not just fight, but big fat fight!”

Salah satu big fat fight-nya adalah selalu memutar otak, selain melakukan langkah kreatif juga harus berkamuflase (menggunakan topeng) tadi.

--------------------
Iam not a man with too many faces, the mask i wear's one

Senin, 17 November 2008

Pejantan Tangguh, Mitos dan Legenda

Baru-baru ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menarik 22 jenis obat tradisional dan suplemen makanan yang menambah stamina pria. Sebab, unsur didalamnya mengandung racun bagi tubuh. Efek buruknya, selain penyakit serius lain, juga bisa mengakibatkan pusing, deg-degan hingga kematian.

Yang lebih mencengangkan, ternyata pengguna obat kuat di Indonesia sangat tinggi. Umumnya kalangan menengah bawah. Bisnis ini sangat menggiurkan, sebuah kios kecil saja mampu meraup omzet Rp3 juta perbulan.

Mengapa obat-obatan semacam ini laku keras? Hal ini tak lepas dari mitos dan legenda tentang pria perkasa yang selama ini dipercaya masyarakat yang umumnya didapat dari film biru. Padahal, sejarahnya film ini dibuat sebagai bentuk protes dan obsesi kelemahan pria itu sendiri.

Berdasar penelitian para ahli di Amerika, bahwa pria yang mampu bertahan selama mungkin terhitung jarang. Umumnya hanya di atas tiga menit, lebih dari lima menit sudah selesai. Parahnya, justru kebanyakan pria mudalah yang memiliki daya tahan lemah. Yang mampu bertahan lama itu karena memiliki faktor bawaan sejak lahir.

Adapun pembuatan film biru ini sama layaknya seperti pembuatan film biasa yang mengalami editing. Bahkan pengambilan gambar ulang juga dilakukan manakala bintang pria sudah tak bertahan lama. Hingga yang tampak pada penonton hanyalah hasil bagaimana perkasanya seorang pria. Namun, hal ini tetaplah memunculkan pemahaman yang salah akan keperkasaan itu sendiri.

Tentunya kita masih ingat, betapa laki-laki moderen abad ini dilanda demam viagra yang dalam ilmu farmasi disebut sildenafil citrate. Dalam sekejap, di mana-mana obat asal Amerika ini laris keras, meski harga perbutirnya sangat menguras kantong. Semua berlomba mencoba, bahkan viagra telah menjadi ajian khusus bagi lelaki muda dan jimat wajib bagi lelaki tua. Saking gilanya, tiruannya pun juga laris.

Sukses viagra banyak menimbulkan perusahaan farmasi memproduksi obat serupa. Maka bermunculanlah, Blue Moon, Tripoten, Caligula Kapsul dan kawan-kawannya itu. Bagaimana hasilnya? Entahlah. Yang jelas banyak berita tentang kakek-kakek tewas saat bercinta, di kantongnya ditemukan menyimpan obat jenis ini.

Belum reda viagra, kaum lelaki serata Indonesia sudah dimabukkan akan demam mak erot. Ibarat tema dalam film Godzilla, mereka serentak berkata bahwa size does matter! Maka, ramai-ramailah mereka mempermak pedang pusakanya, meski harus melalui ritual yang tak masuk akal. Nasihat para seksolog bahwa ukuran bukan segalanya, tak lagi ampuh. Mak Erot pun jadi legenda.

Jika ditilik dari sejarahnya, mitos akan pejantan tangguh dan ketergantungan dan mengidolakan obat kuat ini sudah ada sejak dahulu kala. Bedanya, saat itu bahan yang dipakai serba alami, bukan campuran kimia seperti saat ini.

Sebelum farmasi menciptakan obat-obat kuat yang banyak beredar di pasaran, obat kuat tradisional sudah jadi semacam legenda dan kisah turun temurun. Karena khasiatnya yang alami, maka obat ini relatif aman dikonsumsi.

Contohnya purwaceng dari pegunungan Bromo ini sudah sangat dikenal khasiatnya. Tak heran tumbuhan rambat ini sempat menjadi buruan para turis Jepang. Keberadaan obat ini tertera pada pahatan candi-candi yang terdapat di sana.

Selain itu, kita juga sudah lama menganal tangkur buaya. Yang model ini banyak dipergunakan suku-suku di pedalaman Papua. Bagi seorang kepala suku yang memiliki istri lebih dari satu, selalu memakan potongan tangkur dengan bir. Tangkur yang asli bentuknya bergerigi dan agak keras.

Di bumi Kalimantan, seorang tetua suku dayak mengisahkan bahwa ia tetap merasa perkasa dan jantan, sekalipun sudah berusia 60 tahun. Hal ini dirasakannya semenjak mengonsumsi akar dan remah kayu yang diperoleh di tengah hutan. Akar dan remah kayu itu bila direbus dengan air panas akan menghasilkan cairan kehitaman yang rasanya pahit. Kayu itu lalu dikenal sebagai pasak bumi.

Di kaki gunung Gede dan Pangrango ada tanaman bernama poligala. Ini sudah biasa dijadikan sebagai obat kuat. Dari Indonesia Timur dikenal susu kuda liar Bima merupakan obat-obat tradisional yang dipakai secara turun menurun.

Beralih ke tanah Korea. Di sini akar ginseng juga merebak kehebatannya. Yang paling dikenal adalah ginseng dari pegunungan Maisan di provinsi Choolabukdo. Di sini ditemukan akar ginseng yang sudah berusia ratusan tahun dan bentuknya seperti pagoda. Keampuhan gingseng Korena ini akhirnya menjadikan julukan Korea sebagai negeri gingseng.

Makanan lain dari Korea yang bisa sebagai penjaga gairah adalah kimci yang terdokumentasi sekitar 170 jenis. Selain ini juga ada pulgogi dan kalbi yang berupa asinan iga sapi .

Di China dari obat yang dipercaya sudah dipergunakan sejak zaman pemerintahan para kaisar, maka janin anak rusa yang direndam dengan arak merupakan ramuan paling manjur untuk keperkasaan. Hingga saat ini, di Hongkong dan China selalu dijual arak dengan rendaman janin rusa sebagai cindramata.

Banyaknya laki-laki di masyarakat termakan mitos seks dan mengkonsumsi obat kuat karena kekurangan informasi. Celakanya, hal ini banyak menimpa kalangan menengah ke bawah. Untuk itu, pemerintah harus memberikan edukasi masyarakat. Kunci penyelesaian masalah ada pada komunikasi dan informasi.

Orang Kota dan Orang Desa

Ada yang unik pada masyarakat di kampung ku, Pulau Bawean, Jawa Timur. Warga di sana yang bermukim sekitar radius 1 kilo meter dari alun-alun Kecamatan Sangkapura, menyebut orang yang tinggal lebih dari 1 kilometer dari alun-alun sebagai “orang desa”.

Padahal, mereka juga tinggal di desa seperti Desa Sawahluar dan Desa Sawahmulya, karena Bawean merupakan kecamatan di Kabupaten Gresik yang nota bene struktur pemerintahannya bukanlah kota dan kelurahan.

Indikator mengapa penduduk di sekitar alun-alun (selanjutnya disebut orang Sangkapura) merasa tinggal di kota, karena memang pusat kegiatan masyarakat di Pulau Bawean ada di dua desa tadi, seperti pasar, PLN, Telkom, kantor kecamatan, polsek, koramil, pelabuhan, bea cekai, puskesmas, pengurus partai, organisasi, pendidikan dan lain-lain.

Hal ini memang sejalan dengan difinisi, bahwa kawasan perkotaan atau disebut juga urban, adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Tak heran jika penduduk di dua desa ini lebih padat dari yang lain. Kondisi inilah pulalah yang mempengaruhi cara berpikir, bersosialisasi dan gaya hudup mereka. Maklumlah, banyaknya kantor yang berpusat di sana, membuat orang Sangkapura selalu tahu atau merasakan lebih dulu dari warga di desa-desa lain.

Misalnya soal mendapat fasilitas listrik, telekomunikasi, informasi dan sarana infrastruktur lainnya. Dari sinilah mungkin, sebutan “orang desa” atas warga yang bermukim jauh dari alun-alun itu muncul.

Namun parahnya, sebutan “orang desa” bagi orang yang tinggal jauh dari alun-alun itu terus melekat di lidah orang Sangkapura, hingga ke rantauan. Tak jarang, meski sudah sama-sama berada di rantauan, orang Sangkapura, tetap memanggil orang-orang jauh itu sebagai “orang desa”, bukan menyebut daerahnya seperti Daun, Bululoar dan lain-lain.

Padahal, di rantauan mereka sama-sama berada di kota yang tentunya mencicipi fasilitas yang sama, baik kemajuan peradaban hingga sosialisasi. Misalnya, orang Sangkapura kuliah mereka juga kuliah, orang Sangkapura main ke mall, mereka juga main ke mall.

Demikian pula dengan konsumsi informasi lain, semisal ponsel, koran, majalah dan gaya hidup, mereka juga merasakan. Bahkan saat orang Sangkapura ke diskotek, mereka juga mencicipi diskotek. Apa bedanya?

Malah ada kalanya di rantauan, “orang desa” itu lebih unggul dari orang Sangkapura sendiri. Dari pengalaman saya selama merantau, umumnya orang yang katanya “desa” itu ternyata lebih terlatih berorganisasi.

Hal ini tampak dari setiap organisasi kedaerahan di daerah rantau hingga Malaysia dan Singapura, penggagasnya adalah orang-orang ini, bukan orang Sangkapura. Mungkin hal ini dipengaruhi domisili asalnya, dimana interaksi antar penduduk terjalin baik, sehingga sikap guyub itu masih tertanam hingga ke rantauan.

Namun mengapa masih disebut ”orang desa”, padahal sudah sama tinggal di kota danm mencicipi hal yang sama dengan orang kota? Saya rasa, ini buah budaya lisan untuk membedakan strata sosial. Sebab ujungnya bukan sebagai untuk menandai identitas asal, melainkan berbumbu stereotipe dan konotasi negatif lain. Misal orang kota itu maju, sedangkan desa tertinggal.

Hal ini, berdasarkan difinisi yang sudah saya sebut di atas, juga sama halnya yang terjadi pada warga yang bermukim di kota-kota besar lainnya di Indonesia bahkan Dunia. Orang yang tinggal di Jakarta, menyebut orang luar Jakarta, seperti yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan “Orang Jawa”.

Padahal kalau dilihat, Jakarta juga berada di Pulau Jawa. Sedangkan bagi yang tinggal di luar Jawa, mereka menyebut “orang daerah”, padahal Jakarta juga “daerah,” Daerah Khusus Ibukota.

Di Batam juga sama, orang di sini selalu menyebut orang tinggal di pulau-pulau sekitarnya dengan sebutan “orang pulau”. Padahal Batam adalah pulau.

Di Malaysia lebih parah lagi, mereka menyebut warga negara yang diangap berada di halaman belakangnya, dengan sebutan kurang enak. Semisal Indonesia disebut “Indon”, Bangladesh = Bangla. Sebutan ini selalu muncul bersama konotasi negatif dan bahan ketawaan, sebagai negara yang berada di beranda belakang.

Beda dengan negara-negara yang berada di halaman depannya. Umumnya selalu disebut dengan aksen gagah dan bangga. Semisal Inggris = “British”, Amerika dengan “US” .

***
Di zaman Belanda, sebuah kota selalu ditandai dengan tiga bangunan, yaitu Keraton sebagai tempat pemerintahan, pasar sebagai tempat transaksi bisnis, dan alun-alun sebagai tempat berkumpul bagi masyarakat. Jika ketiganya sudah ada, maka sudah layak disebut kota. Karena itulah pada kota-kota di Indonesia tiga tempat ini selalu berdekatan.

Namun di zaman ini, ketika teknologi komunikasi semakin canggih, batas antara kota dan desa sudah bias. Yang ada adalah desa global, karena mereka sudah saling mengenal tak lagi terikat jarak dan waktu.

Setelah mereka mencicipi televisi, handphone dan juga internet, membuat konsumsi inforormasinya kian luas. Hal ini juga mempengaruhi cara berpikir gaya hidup dan nilai-nilai lain, tak beda dengan orang yang tinggal di kota, semacam Jakarta sekalipun.

Renungan Haji

Idul Adha menjelang. Saat ini, setahun sekali, jutaan umat Islam di seluruh penjuru bumi menuju Tanah Suci, Makkah pergi beramal menunaikan bakti pada Allah, Tuhan segala zat.

Inilah saatnya insan segala ras dan bangsa, menunaikan rukun Islam kelima, ibadah haji. Sedu sedan tangis, ucap puja puji serta syukur, membelah langit seakan hendak menembus sidratul muntaha. Kebesaran Allah pun terlihat nyata. Tak heran dikatakan bahwa haji adalah miniatur Padang Mahsyar, padang berkumpul saat manusia dibangkitkan dari kematian.

Di sinilah kita melakukan napak tilas dan meresapi bagaimana haru hati Adam bertemu Hawa. Di sini pula kita merasakan kemarahan Ibrahim saat melempar syetan dengan batu, karena terus menggodanya agar tak mengorbankan Ismail.

Di sini kita, hingga saat ini, masih manyaksikan dan merasakan mukjizat Nabi Ismail, berupa air zam-zam, yang menyembur dari tanah tandus saat kakinya menghentak karena kehausan.

Di sini pula kita meresapi, betapa kokohnya Rasullah yang tiap hari harus berjalan kaki sehari semalam sejauh 40 kilo meter, pulang pergi ke rumahnya seusai menunaikan rukun haji. Di sini pula kita merasakan bagaimana Islam mula pertama diperjuangkan dan dikembangkan.

Sungguh merupakan ibadah yang hebat, ibadah dahsyat. Tak heran haji dijadikn penyempurna rukun Islam di samping ibadah lainnya.

Maka itulah, wajar pula sekiranya jika kita berseru Labbaik Allahumma Labbaik... Kami menjawab panggilanmu ya Allah… Labbaik Allahumma Labbaik... Aku memenuhi panggilanmu Ya Allah…

Namun pertanyaannya, apa memang kita sudah dipanggil oleh Nya? Apa buktinya? Apakah hanya karena tahun ini kekayaan Anda sudah berlimpah, sehingga harus ditandai dengan berhaji yang kadang tak cukup sekali?

Kalau itu ukurannya, Nabi Muhammad tak termasuk dalam panggilan itu. Toh Rasul mulia ini adalah orang yang miskin. Selama hayatnya pun dia hanya berhaji satu kali saja.

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara kita masih menggantungkan nasib melalui nomor rumah, lukisan dinding, arah rumah dan besar kecilnya lubang pintu?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara kita masih mengharap berkahnya melalui SMS “Ketik reg spasi Tuhan lalu kirmkan ke nomor 6666?”

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara salat kita masih lebih cepat dari iklan sabun mandi?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat wawancara dengan wartawan kita selalu bilang, “Jangan lupa cantumkan ‘Haji” di depan nama saya ya?’,”

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat mencium hajarul aswad kita harus menyewa orang untuk menyikut saudara kita sesama muslim?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat pulang haji, kita kembali mengumbar aurat jasmani dan rohani kita, lalu berkata bahwa agama urusan masing-masing? Atau badan boleh telanjang yang penting hati yang berjilbab?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat memanggil-Nya kita harus memakai pengeras suara, padahal kita tahu bahwa Dia teramat dekat?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara baru saja bisa menyumbang ke masjid atau menyanyikan lagu Religi, kita sudah merasa dijamin masuk Surga?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara kita menganggap ibadah haji hanyalah sebuah tur wisata yang setiap saat tiketnya bisa dipesan di agen tour dan travel terdekat?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, hanya karena saat di dapan kakbah kita tersungkur dan menangis tersedu?

Apa kita merasa sudah dipanggil oleh Nya, sementara saat berhaji kita masih sibuk meributkan seberapa jauh maktab kita dari Masjidil Haram?

Tentunya hanya kitalah yang bisa menjawab pertanyaan ini.

Kunci beragama itu adalah keihlasan, letaknya di hati, bukan di akal fikir. Karena itulah Allah menolak kurban Kabil yang kuantitasnya lebih banyak dari Habil, karena di hatinya ada setitik unsur akal-akalan dan tak ihlas.

Termasuk di dalamnya berhaji, yang bermula dari keihlasan dan keberanian Ibrahim saat Allah memintanya berkorban menyembelih Ismail, putra tercinta, cerdas dan taqwa yang sudah lama dia harapkan kehadirannya untuk melanjutkan tonggak kenabian.

Ibadah haji menjadi pelengkap rukun Islam, karena teramat berat, berat sekali. Karena yang dinilai adalah kesanggupan insan mengubah keihlasannya dalam hablumminannas dan hamlumminallah, usai menunaikannya. Haji juga menjadi barometer masyarakat akan kesalehan seorang Muslim.

Renungkanlah.

----------------
Ya allah jika saya beribadah hanya karena surgamu, jauhkanlah surga itu dari ku.
Ya allah jika saya beribadah hanya karena takut neraka, bakarlah saya dalam apinya.
Tapi jika saya beribadah hanya karena mengharap rido mu, maka jangan palingkan wajahmu padaku.

Pemberantasan Preman

Ada ''wow effect'' yang diusung Kepala Polri baru Bambang Hendarso Danuri. Gebrakannya kali ini menggelar sebuah operasi pemberantasan preman.

Operasi ini bermula dari Jakarta, dan akhirnya Kapolri memperluas dan memerintahkan Polda-polda di seluruh Indonesia untuk melakukan aksi serupa. Namanya juga instansi chain of command, perintah (aksi) ini diteruskan ke jajaran di bawah, seperti Polwil, Poltabes, Polresta, Polres hingga Polsek.

Dalam sekejap, semua bergerak memberantas titik-titik rawan preman yang sebenarnya sudah mereka ketahui selama ini. Ratusan preman jalanan mulai tukang palak terminal hingga berkedok pengamen, langsung disikat.

Apapun namanya, langkah ini patut dipuji, dua jempol pun rasanya masih kurang mengekspresikan dukungan khalayak. Karena memang selama ini aksi premanisme sudah sangat meresahkan sekali. Masyarakat pun berharap agar operasi ini berkesinambungan.

Untuk merespon harapan masyarakat ini, Kadiv Humas Polri Abubakar Nataprawira menegaskan akan melakukan operasi tersebut dengan berkesinambungan. Tak hanya itu, operasi ini juga dilakukan ke dalam, guna membersihakan polisi yang menjadi bekingnya.

Operasi membersihkan preman ini saya nilai tepat dilakukan saat ini, saya rasa ini merupakan lanjutan operasi pemberantasan judi dari Kapolri sebelumnya, Sutanto. Karena setelah judi terselubung diberantas, simpul-simpul premanisme ini sudah lemah.

Tentunya kita sudah tahu, premanisme ini tumbuh subur saat judi terselubung masih berjalan dan judi terselubung disuburkan oleh preman ini. Semua terjadi bak simboisis mutualisme.

Judi terselubung secara tak langsung mendanai kelompok-kelompok preman ini, karena preman-preman ini tumbuh untuk menjaga judi terselubung sebagai lahan mata pencahariannya.

Saat judi terselubung masih berjalan, kelompok-kelompok kepemudaan bermunculan. Bukan rahasia lagi bahwa tujuan mereka untuk mengamankan rumah-rumah perjudian ini. Aksesnya kadang dibawa keluar, sehingga menimbulkan gesekan di masyarakat.

Di saat itu pula, aksi mereka sulit diberantas, mengingat ada kalanya saat terjadi gesekan preman ini berlindung di bawah bendera kelompok-kelompok tertentu baik etnis dan ideologi. Sehingga setiap masalah pribadi, selalu dibawa ke masalah pertentangan kelompok baik itu etnis atau ideologi lainnya.

Hal ini tentunya sudah sempat kita rasakan sebelum judi diberantas. Di Batam sendiri, misalnya, saat itu jumlah pertikaian atar kelompok meningkat tajam, bahkan ada kalanya pertikaian ini terjadi melibatkan oknum aparat itu sendiri, yang sebenarnya berawal dari pertikaian individu yang rebutan lahan pengamanan.

Inilah yang saya sebut simpul-simpul tadi. Kini, setelah simpul tersebut lemah bahkan hilang, beberapa kelompok-kelompok yang menjadi tempat aksi premanisme ini bernaung, dengan sendirinya lemah dan hilang juga, sehingga operasi pemberantasan preman ini akan lancar.

Meski masih ada, itupun hanyalah preman kelas teri dengan kantong tipis dan bergerak atas nama pribadi, sehingga sekali sentil saja sudah tumbang.

Tapi ingat, operasi ini jangan hanya sebuah scotoma saja, pikiran melihat apa yang ingin dilihat, yang tak tampak juga harus diperhatikan. Sebab kini timbul pertanyaan, setelah para preman ini tertangkap lalu akan diapakan mereka itu?

Apa hanya akan diberi pembinaankah? Efek jerakah? Lalu selanjutnya apa? Karena yang banyak tertangkap itu sebenarnya adalah wajah-wajah lama, yang sudah banyak mengisi lembar-lembar kriminal di polsek-polsek dan polres. Bagi mereka penjara polisi merupakan rumah kedua.

Untuk itu, agar operasi ini tepat guna, mestinya polisi harus juga memberantas akar masalahnya, yaitu kemiskinan, pengangguran dan kebobrokan birokrasi. Instrumen ini ibarat gas cair, sehingga sekali tersulut akan meledak. Instrumen ini jualah yang menyuburkan aksi terorisme.

Belum lagi ditemukan fakta bahwa yang namanya preman itu sekarang juga memiliki kelas. Preman kelas bawah (pemalak terminal dan kawan-kawannya), preman kelas menengah (para debt collector) preman kelas atas (biasanya orang-orang atau kelompok yang membeking kegiatan ilegal), preman elit (para konseptor kerusuhan) dan preman institusi adalah para oknum aparatur baik di instansi sipil maupun militer.

Bukanlah rahasia lagi, bahwa ada di antara preman kelas teri itu menyetor hasil palakannya ke beberapa oknum aparat baik sipil maupun militer. Juga bukan rahasia lagi banyak oknum aparat memalak orang-orang yang ingin mengurus perizinan dan sebagainya. Nah yang ini siapa yang akan memberantasnya?

Karena itulah, perlunya kepolisian menggandeng Pemda untuk sama-sama bergerak memberantas dan menanggulangi premanisme ini. Dengan demikian, khusus preman jalanan, akan dapat diarahkan ke jalan yang benar dan terampil. Mereka tak hanya akan diberi pengarahan, namun juga keterampilan. Sedangkan preman birokrat akan mudah dideteksi dan dikurangi.


------------------
Terimakasih untuk Mas “DPR” Syarifuddin atas diskusi dan apresiasinya soal tulisan-tulisan di blog ini. Saya menulis untuk memerdekakan pemikiran dan pendapat saja mas. Pikiran saya liar, tak terkurung ruang, strata atau peran sosial lainnya. Hal ini sebagai cara merawat jati diri.

Soal staf ahli di DPR itu, wah manarik juga ya, he he he…