Jumat, 14 Agustus 2009

Ketua dan Panutan (BP Version)

Setiap pemimpin selalu ingin menjadi panutan.


”Panutan,” berasal dari kata ”anut”, kalimat pendek yang mengandung pengertian bisa dicontoh, dipercaya, bahkan diimani. Orang-orang yang mencontoh dan mempercayainya disebut penganut.

Syarat untuk bisa menjadi panutan haruslah sudah memiliki kredibilitas, teruji dan terbukti. Sebuah syarat yang berat. Karena nantinya, seorang panutan bertugas memelihara sebuah tatanan.

Panutan bisa dari profesi mana saja. Bisa guru, wartawan, walikota, gubernur dan lain-lain.

Agar seorang pemimpin bisa menjadi panutan, maka harus paham dulu akan apa itu kepemimpinan itu sendiri.

Penemu metode smosional, spiritual, qoutient (ESQ) 165, Ary Ginandjar pernah mengurai soal ini. Menurtnya, kepemimpinan itu adalah pengaruh. Seni kepemimpinan adalah seni menebar pengaruh, atau bisa mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin yang kuat, umumnya memiliki pengaruh yang kuat pula.

Untuk mencapai ke sana, biasanya harus melalui beberapa anak tangga. Pertama, Anda haruslah dicintai, barulah Anda bisa memiliki memiliki hubungan yang erat dengan yang Anda pimpin.

Tangga kedua, Anda haruslah dipercaya, barulah Anda bisa memiliki integritas. Tangga ketiga, harus memiliki pengikut, barulah Anda bisa menolong mereka.

Tangga keempat, Anda harus memiliki kader untuk itu harus bisa membimbing. Tangga terakhir, Anda harus mampu memberikan warisan (legacy) yang hidup, maka Anda bisa menjadi pemimpin abadi.

Hal ini sudah masuk dalam taraf pemimpin tertinggi, kelasnya sudah masuk para pahlawan, bahkan para nabi dan Rasul.

Yang terpenting, menjadi seorang pemimpin haruslah mampu membangun kesadaran diri, rajin-rajinlah berjalan ke dalam diri.

Dan ingat, seorang pemimpin haruslah memiliki tujuan jangka pendek, yakni bekerja sebaik-baiknya (dunia), jangka menengah; membangun peradaban, dan jangka panjang; mengumpulkan bekal untuk akhirat nanti.

Namun di zaman yang serba instan ini, kepemimpinan dalam arti pengaruh, sudah masuk dalam wilayah praktis yang bisa diciptakan, dipelajari bahkan dibisniskan.

Banyak kita jumpai seorang pemimpin denan banyak topeng. “Topeng” yang saya maksud di sini adalah sebuah sikap atau kepribadian yang direkayasa, dalam menebar pengaruh tadi.

Antara hati dan mulut tak seirama. Bahkan, banyak pula yang mengikuti kursus kepribadian agar bisa kelihatan baik di mata bawahan atau orang lain.
Topeng ini adalah penunjang peranannya (role) di tengah kelompok atau masyarakat.

Inilah cara mereka berkamuflase atau menyamar. Yang penting bisa terlihat baik, yang penting selalu populis.

Seorang kawan bercerita, ada seorang pimpinan di sebuah organisasi kerja yang mahir ”berubah wajah” alias master disguesing.

Pernah suatu saat dia menerima tamu di kantornya. Waduh, wajahnya bukan main cerah, menyapa riang layaknya sang tamu adalah orang yang selama ini dia rindukan.

Namun, setelah sang tamu menghilang dibalik pintu, sang pimpinan memanggil stafnya lalu marah-marah. “Kenapa kamu terima dia? (dan seterusnya).” tentu saja bawahannya kebingungan.

Ada lagi kisah lainnya, seorang ketua yang amat piawai menebar senyum. Padahal sifat aslinya sebenarnya dia adalah seorang yang tempramental. Kalau sudah marah, tak kenal ampun, selain ucapan juga adakalanya asbak bahkan ponsel-pun dilempar pada stafnya.

Ada lagi kisah seorang wartawan. Saat itu dia akan mewawancarai seorang ketua di sebuah organisasi.

Singkat kata, sesampainya di kantor sang ketua, si wartawan melihat yang bersangkutan sedang marah besar pada para stafnya. Rupanya, kehadiran sang wartawan tak disadarinya.

Namun setelah sadar dia tahu ada wartawan, dalam sekejap wajahnya berubah. tak ada lagi murungm, marah dan sebagainya. Semua berganti senyum dan ramah. Luar biasa. Secepat itu.

Banyak lagi contoh lain. Ada yang selalu jaga image, alias jaim bahkan ingin tampak memiliki wibawa. Ada juga yang seperti ini; dikantor ingin dilihat bahwa dia adalah orang yang punya kekuasaan.

Sedangkan di luar kantor, ingin dilihat sebagai orang yang punya jabatan penting.
Semua sikap-sikap ini, menunjukkan betapa susahnya mejalankan kepemimpinan itu sendiri. Apalagi untuk bisa menjadi panutan.

Pemimpin dalam arti pemegang jabatan, kadang bisa diciptakan, dikarbit, berdasar like and dislike, bahkan tanpa standar kelayakan yang baik atau karena faktor hoki saja.

Namun untuk menjadi panutan, tak semudah itu. Harus teruji dulu, karena umumnya panutan biasanya muncul dari kesadaran, berdasar hati nurani.

Karena itulah, alangkah indahnya bila tiap pimpinan bisa menjadi panutan yang mampu meninggalkan warisan (legacy) yang terus hidup.

Untuk itu, jelilah dalam menciptakan pemimpin. Karena bila bagus, dia akan menjadi juru selamat, namun bila tidak, akan menjadi monster.

1 komentar:

Adi mengatakan...

saya mau nanya nih.. apakah kita akan dapatkan kebahagian sperti sebelum jadi panutan?, soalnya ketika kita sudah jadi panutan secara otomatis kebahagian untuk diri sendiri juga akan berkurang.. bahkan tidak ada? mohon jawabannya..