Rabu, 25 Februari 2009

Merantau

Orang Bawean punya tradisi unik saat akan merantau. Setelah meninggalkan rumah, maka mereka tak boleh lagi menoleh ke belakang. Apapun yang terjadi, pandangan harus tetap tertuju ke depan! Namun setelah berasil di rantauan, mereka harus pulang, menengok kampung halaman.


Ini adalah tradisi, kebudayaan yang bermula dari kebiasaan dan bermuara pada adat. “Budaya” atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Begitulah.

Tentu tradisi tersebut ada maksudnya. Mengapa perantau tak boleh lagi melihat ke belakang? Supaya mereka bisa fokus dengan hal yang akan dihadapinya di rantauan. Sesuatu yang bisa jadi belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sesuatu yang baru, sesuatu yang asing.

Merantau sendiri, adalah pilihan bagi pria Bawean. Disebut “pilihan”, karena tak ada paksaan. Tak mau merantau tak masalah, cuma masyarakat tak akan mengakuinya sebagai “lelaki”. Di Bawean, seseorang akan diakui sebagai lelaki jika sudah merantau. Ibarat lompat batu di Nias, atau Upacara Kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.








Maklumlah, karena merantau memang berat. Merantau zaman ini terasa ringan, mengingat majunya teknologi transportasi dan komunikasi. Tapi dulu, lelaki Bawean harus berbulan-bulan dalam perahu layar untuk membawanya merantau ke Melaka dan Tumasik dan seminggu jika hendak ke Pulau Jawa.

Bayangkan, selama itu harus terombang ambing di laut, makan ala kadarnya, dan tak bisa membersihkan badan. Belum lagi terputusnya hubungan dengan keluarga tercinta. Bertemu di mimpi saja sudah syukur Alhamdulilah.

Karena itulah, tekad bulat, tekad baja. Berlaku di sini. Jangan cengeng, rautau tak mengerti apa itu kata cengeng. Yang ada hanya kata maju, fokus. Rise or fail. Hanya ada dua pilihan; hidup mulia atau mati. Kalaupun harus mati, ada dua pilihan, mati konyol atau mati mulia (syahid). Pokoknya belajar, belajar, belajar bagaimana bisa bertahan hidup. Survival of the fittes-lah.

Pilihan inilah yang dilontarkan Panglima Islam, saat akan menaklukkan Andalusia. Setelah selesai menyeberagi selat jabal Tariq (Gibraltar, Maroko), sang Panglima membakar semua perahu tentara Muslimin. “Nah sekarang pilihannya hanya dua. Maju, risikonya mati, tapi mati syahid. Mundur, risikonya mati, tapi mati konyol,” begitulah.








Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah, saat memutuskan Hijrah ke Madinah. Suatu hal yang sama sekali masih asing. Apalagi saat itu, Madinah bukanlah dihuni penduduk Muslim. Namun, tekad ini terus digelorakan Rasulullah hingga akhirnya berhasil.

Berat memang (kadang juga ada rasa takut) saat meninggalkan orang-orang tercinta dan “dunia” yang sudah hayati. Tak usah berpikir membayangkan bagaimana tatanan masyarakat di rantau kelak, memikirkan makanan saja sudah berat. Dari semula lidah terbiasa dengan makanan bersantan, di rantau nanti harus makan makanan berkecap.

Belum lagi mikirkan yang lain, ”Bagaimana dengan ini saya? Kalau ayam saya mati bagaimana? Karena kalau tak saya yang ngasih makan, siapa lagi?”

Namun apa daya, jika nantinya dengan merantau bisa membuat segalanya lebih baik, mengapa tidak? Demi sesuatu yang lebih baik kadang harus menerima kenyataan untuk “berperang” di dunia baru. Karena inilah tekad para perantau.

Saya yakin tekad merantau ini tak hanya dianut orang Bawean saja. Marco Polo, dan para penjelajah Eriopah-pun telah menganutnya. Saya mencontohkan orang Bawean, karena yang saya tahu, orang Bawean memang memiliki tradisi seperti itu.







Merantau memang berat. Dalam konteks kekinian, merantau juga bisa diartikan dengan hal-hal yang baru. Di pekerjaan sendiri, kadang juga kita harus “merantau” ke bidang yang lain. Berat memang, namun harus dijalani. Karena pilihannya hanya dua, seperti yang sudah saya singgung di atas.

Dan, jangan lagi menoleh ke belakang. Tapi jika sudah berhasil, jangan lupa menengok tempat asal.

Mario Teguh memiliki contoh yang lebih baik soal ini. “Ibaratnya Anda punya mobil Ferari, apakah semua isi bagasi dari mobil lama Anda akan dipindahkan juga Ferrari Anda? Tentu tidak!”

Minggu, 22 Februari 2009

Andai Aku Menjadi

Kata orang, kian tinggi pohon, kian kuat pula angin menerpanya. Benar begitu?

Jika aku menjadi pohon itu, yang aku pikirkan bukanlah hembusan angin, namun pohon apakah aku ini? Jika boleh, aku ingin menjadi pohon beringin atau jati. Karena selain akan mampu menahan hembusan angin, aku masih bisa melindungi para musafir yang berlindung di bawahku.

Aku menolak untuk menjadi pohon kelapa. Selain daunnya jarang, umumnya tak mampu memberikan rasa aman bagi para musafir untuk berteduh. Kelapa memang tinggi, namun terpaan angin sedikit saja, mampu merontokkan buahnya. Kalau kena kepala lumayan juga sakitnya. Masih untung jika hanya buah yang jatuh, kalau pohonnya ikut tumbang, kian bahaya.

Selain itu, kelapa amat berisik. Saat terkena terpaan angin, daunnya bergesek ke sana-ke mari, dahannya juga bergoyang tak tenang. Intinya, selalu bikin was-was. Begitulah.

Dua tipe pohon ini adalah sebuah gambaran orangt-orang top saat menghadapi terpaan isu atau gosip yang kadang kita temui sehari-hari.

Dari sini saya memiliki sebuah cerita, dulu sekitar tahun 2000-an, saya memiliki rekan seorang unsur pimpinan di sebuah perusahaan swasta. Sehari-hari rekan saya ini sibuknya minta ampun. Pasti Anda mengira dia sibuk menyelesaikan pekerjaan kan? Jawabnya tidak!








Rekan saya ini tiap hari selalu sibuk, sibuk untuk menggali gosip apa yang kini menimpa dirinya. ”Apakah hari ini ada orang yang menggunjing saya? Apakah hari ini ada orang yang tak senang pada saya?” Begitu terus.

Tak tanggung-tanggung, dia sampai menyewa bawahan yang dia percaya, hanya untuk menjadi intel pribadinya. Tiap hari, si intel melaporkan perkembangan terbaru.

”Bos, si A jelek-jelekin Bos terus tuh...”

”Si B juga bilang Bos jelek. Dia tak suka tuh sama Bos. Katanya Bos suka ini suka itu... bla bla bla...” Begitulah laporan si intel.

Tak cukup punya intel, rekan saya ini rajin tiap hari mengajak bawahannya ngopi, dengan harapan bisa menjadi orang yang dia percaya dan selanjutnya menjadi intelnya.

Dengan demikian, dapat meminimalisir bahkan menjadi tameng jika gosip tak sedap menimpanya. Sehingga, dia bisa langsung menyikat habis, orang yang menggosipkannya itu.

Adakalanya, info dari intelnya ini disimpan dalam hati. Sembari menghitung jika suatu saat akan melakukan aksi vandeta. Ada kalanya juga informasi dari intelnya ini, langsung dia konfrontir dengan orang yang dituding menjelek-jelekkan itu.

”Hei A, kamu jelek-jelekin saya ya? Kamu ini, bla bla bla....”

Begitu terus. Maka, jadilah rekan saya ini tak lagi konsen akan pekerjaannya. Dia lebih memikirkan, siapa yang menggunjingnya. Tak heran, di kantornya, saat itu, dia menjadi orang yang paling diwaspadai.

Lalu untuk apa semua ini?









”Ya, supaya wibawa saya tak jatuh. Saya juga bisa tahu yang mana teman dan yang mana lawan. Di samping itu, supaya si orang yang menggunjingkan saya itu kapok,” begitu jawabnya.

Kenapa langsung percaya begitu saja?

”Lho kan yang ngomong orang kepercayaan saya!” tegasnya.

Lalu, untuk apa semua ini?

Apapun alasannya, rekan saya ini tak memberikan ketenangan dalam lingkungan kerja itu sendiri. Ibarat pohon kelapa yang ditiup angin tadi, lingkungan sekitarnya jadi tegang, provokatif bertebaran, para karyawan lain jadi tak tenang. Bersuara salah, diam juga salah. Politik kantor pun tumbuh subur. Jilat menjilat, apalagi.








Selanjutnya, istilah-istilah politik pun beredar luas. Ada faksi-faksi, pro kanan-prokiri, sayap kanan-sayap kiri, in-group-out group, golongan kanan-golongan kiri, ini orangnya Pak Anu- ini orangnya Pak Ini. Begitu terus. Kerja sudah tak fokus lagi. Lalu, untuk apa semua ini?

Jika baru menghadapi gosip saja sudah tak karuan, apalagi menghadapi angin perubahan. Mutasi, suksesi atau apapun misalnya, tentu akan lebih terpukul lagi. Kasak-kusuknya lebih kencang lagi, bisa-bisa malah tumbang.

Adalah bijak jika orang-orang top itu meniru pohon beringin atau jati saat menghadapi terpaan angin. Tetap tenang, seakan tak terjadi apa-apa. Namun, tetap waspada. Karena mau bagaimana lagi, no body perfect.

Karena yang lebih penting tetaplah fokus pada pekerjaan, selesaikan tugas tepat waktu sesuai arahan, menjaga suasana tetap kondusif, sehingga orang yang berteduh di bawahnya menjadi nyaman bahkan bisa terlelap tidur, meski terpaan angin di atas sana berhembus begitu kuatnya.

Please, open mind...

Tiga Tahun Dahlan-Ria!

Tak terasa sudah tiga tahun sudah Drs Ahmad Dahlan dan Ria Saptarika (Dahlan-Ria) memegang tampuk kepemimpinan sebagai Wali Kota Batam. Ya, sudah tiga tahun, sejak mereka dilantik sebagai wali kota, hasil pemilihan langsung, pada 1 Maret 2006.

Kalau diuri, tiga tahun itu selama 36 bulan, 144 minggu, 1.080 hari, 25.920 jam! Artinya apa? Sepanjang waktu itu jualah jajaran Pemko Batam, khususnya warga Kota Batam telah membayar kepercayaan dengan umurnya untuk Dahlan-Ria.

Selama putaran waktu itulah, warga Kota Batam mencoba meneladani mereka. Selama itulah warga juga menilai kebaikan dan keburukan Dahlan-Ria.

Motivator Mario Teguh pernah berkata seperti ini, dalam waktu selama itu padi sudah bisa dipanen berkali-kali. Uang jika dititipkan ke bank, sudah berbunga berlipat-lipat.

Jadi, sungguh terlalu jika orang yang menitipkan umur ke pemimpinnya just for nothing. Hanya memetik penderitaan saja, tak ada kebaikan sama sekali. Karena selama itu, tentulah mereka memiliki harapan agar pemimpinnya bisa membuat kehidupan mereka lebih baik.








Karena keberhasilan seorang pemimpin selalu dinilai, jika mereka mampu mengangkat yang orang yang dipimpin dari rata-rata menjadi lebih baik, bahkan terbaik.

Kalau dalam konteks kinerja walikota, tentu yang diangkat adalah taraf hidup masyarakatnya. Apakah tambah nyaman? Tambah makmur? Kondisi ekonomi kian membaik? Kondisi infrastruktur kian bagus? Dan sebagainya. Tentunya semua ini disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi.

Tiga tahun Dahlan-Ria! Inilah saatnya berbuat mengukir sejarah, sebagai pemimpin yang dikenang sepanjang zaman oleh warganya.

Banyak pemimpin besar, yang mengambil langkah besar di usia pemerintahannya yang ke tiga ini. Abraham Lincoln misalnya. Presiden Amerika ke 16 ini (4 Maret 1861 – 15 April 1865) mengukir sejarah dengan mencetuskan Proklamasi Pembebasan yang menyataan bahwa semua budak belian di Amerika, baik selatan maupun utara, akan bebas mulai dari 1 Januari 1863.

Meski keputusannya itu harus dia bayar dengan perang saudara Selatan dan Utara, namun setelahnya Amerika menjadi satu kesatuan. Dunia pun kini menyebut “America are…”, bukan “America is…”









Atau seorang Theodore Roosevelt, Preseiden Amerika ke 26 (14 September 1901 – 4 Maret 1909 ) yang visioner itu. Dialah yang berani mengambil sikap meneruskan penggalian Terusan Panama, sehingga sampai saat ini menjadi alur penting dalam peta pelayaran dunia. Nama Roosevelt malah lebih melekat pada kanal ini, dibanding dari pencetusnya, Raja Charles V dari Spanyol.

Mungkin terlalu besar (begitukah?) untuk meniru langkah dua pemimpin besar tadi. Namun dari keduanya bisa diambil pelajaran, bahwa saat itu mereka telah membuat keputusan apa yang kala itu benar-benar diinginkan rakyatnya.

Sebuah keputusan yang saat itu menjadi cita-cita bersama, yang kala itu menjadi sebuah wajah Amerika.

Karena semakin maju pendidikan masyarakat, cara berpikirpun akan semakin sederhana. Untuk mengukur keberhasilan sebuah program pembangunan, mereka selalu melihat dari hal yang hakiki. Misalnya, apakah rakyat (masyarakat) benar-benar membutuhkan program tersebut atau tidak?

Ini adalah laluan standar, agar program pembangunan tak terjebak pada proyek mercusuar semata. Karena, buat apa program pembangunan yang "wah-wah" jika masyarakat tak membutuhkannya? Ini sama saja narsis. Menang diaksi saja, demi memoles citra dan mengharap sanjung puji.







Saya juga tak menutup mata, bahwa sejak Dahlan-Ria memimpin, sudah banyak berbuat. Banyak programnya yang mengangkat nama Batam, hingga dikenal ke negeri seberang. Misalnya saja, MICE atau Batam Cyber Island, okelah, ganbei…

Tapi hal ini masih belum menyelesaikan masalah perkotaan yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Misalnya yang paling krusial, soal lampu jalan dan jalan berlubang.

Padahal, ibarat aliran darah, dua hal tersebut adalah arterinya. Ini adalah nadi aktivitas masyarakat.

Ibarat toko, dua hal tetrsebut adalah etalasenya. Wajah Kota Batam akan terlihat gamblang dari sini. "Katanya kota, kok jalan utamanya rusak? Katanya kota, kok jalan utamanya gelap? Apa nggak salah?"

Sebagai tambahan, bebaskan lahan untuk bangun taman buat rekreasi keluarga dan green living. Alangkah indahnya jika masyarakat memiliki "Batam Central Park". Masalah ini dulu sempat saya usulkan ketika Ahmad Dahlan (kala itu masih calon wali kota) bertandang ke Batam Pos. Namun hingga kini belum terbukti.


Demikianlah.

Selamat ulang tahun Pak Dahlan-Ria. Maju terus, jaya selalu. Theodore Roosevelt berkata, “Tetaplah berbicara dengan lemah lembut, tapi jangan lupa membawa pentungan yang besar!”

Please, open mind…

Rabu, 18 Februari 2009

Perda Zakat, Amal Jariyah DPRD

Ada sebuah kemajuan di DPRD Kota Batam. Sebuah rancangan peraturan daerah tentang zakat siap-siap akan ditelurkan. Di dalam ranperda ini mengatur tentang zakat, yang umumnya berdimensi konsumtif (memberi umpan) menjadi produktif (memberi kail).

Meski terkesan lambat, (karena negara sendiri sudah lama menelurkan Undang-Undang Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, red), namun ini adalah langkah maju dan tepat, di saat kondisi rakyat sedang terjepit oleh himpitan krisis.

Diharapkan setelah ranperda tersebut di sahkan nanti, masyarakat miskin akan terbantu hidupnya secara berkesinambungan. Bukan hanya sesaat, kala Idul Fitri saja, misalnya.

Karena memang, hakikatnya zakat adalah satu ibadah sosial yang secara filosofis ingin mengurangi jurang antara yang kaya dan miskin, agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja, tetapi juga ada pe-merataan keadilan pada mereka yang tidak beruntung,

Hal ini juga akan dapat mengurangi beban pemerintah, karena dana pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan masyarakat, tak lagi membebani anggaran belanja daerah. Malah, zakat akan sangat potensial dijadikan salah satu instrumen peningkatan pendapatan asli daerah.









Sebenarnya soal zakat berdimensi produktif ini sudah lama dilakukan di Batam, namun belum masuk ke dimensi pemerintah. Belum lama ini, saya sempat berdiskusi dengan jajaran Dana Sosial Nurul Islam (DSNI), yang berkantor di masjid Nurul Islam Kawasan Industri Mukakuning. Di sana, ternyata pengelolaan zakat sudah teramat majunya. Ribuan masyarakat miskin pun sudah banyak yang dibantu.

Cara kerjanya memang terfokus pada pemberdayaan. Misalnya, saat mereka mendengar ada masyarakat pulau yang kekurangan, merek akan langsung datang ke sana memberikan bantuan usaha. Dari sini, DSNI terus memantau perkembangannya, hingga bisa berkembang. Diharapkan nantinya, orang yang mustahik (openerima zakat) itu menjadi muzakki (pemberi zakat).

Di Lembaga Amil Zakat Masjid Raya Batam, juga tak kalah majunya. Salah satu inovasi yang dilakukan dengan cara menerapkan orang tua asuh by request, sebagai penyaluran zakat yang disampaikan oleh masyakat. Produk ini menjadi unggulan dari 10 program LAZ MRB. Sampai saat ini jumlah anak asuh yang sudah tersantuni melalui program ini mencapai 320 (dhuafa) mulai dari tingkat SD hingga SMA.

Program orang tua asuh ini sengaja dikembangkan untuk memudahkan masyarakat lebih percaya akan penyaluran zakatnya kepada yang bermanfaat. Program ini sendiri melibatkan para muzakki dengan cara bisa me-request, memilih, memesan anak yang diinginkan sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga anak asuh tersebut.

Yang paling menarik adalah, program asrama hinterland. Saat ini LAZ MRB sudah punya dua asrama untuk anak-anak hinterland yang bersekolah di kota Batam. Masing-masing untuk siswa SMA Negeri 1 Batam dari hinterland berlokasi di rumah susun (rusun) Sekupang dan untuk anak SMA Negeri 5 Batuaji di Kavling Lama Batuaji. Setiap asrama diawasi guru masing-masing sekolah yang juga tinggal bersama mereka.









Dari sini kita bisa melihat, betapa perkasanya kekuatan zakat dalam mensejahterakan masyarakat. Coba bayangkan, baru dikelola oleh lembaga kecil saja, yang pembayar zakatnya saja tak teratur, aksesnya sudah sangat besar dalam mengentaskan kemiskinan. Apalagi jika nantinya didukung oleh sebuah aturan, di mana setiap kaum Muslimin di Kota Batam ini wajib zakat, tentu kekuatannya akan lebih besar lagi dan pengentasan kemiskinan akan lebih banyak lagi.

Ini penting, agar perda tersebut mampu mendorong sekaligus menembus benteng para muzakki dan kaum aghniya’ (konglomerat) untuk mengeluarkan zakatnya.

Dari sini nantinya akan meningkatkan kedisiplinan dalam pembayaran zakat, menjaga perasaan mustahiq apabila menerima langsung dana zakatnya dari muzakki, alokasi yang dilakukan akan tepat sasaran dan didistribusikan menurut skala prioritas yang benar, dan terutama kesejah teraan umat mudah diwujudkan.

Tak hanya itu, nantinya zakat akan menjadi salah satu solusi dari sasaran akhir perekonomian daerah. Yakni terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Paling tidak zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya, zakat bisa meningkatkan etika bisnis, zakat dapat membuat Pemerataan pendapatan, pengembangan sektor riil, dan sumber dana pembangunan.

Jadi wajarlah, Islam memberi perhatian yang serius tentang zakat ini. Dalam Al-Quran, Allah SWT menurunkan 37 ayat tentang zakat, zakat juga hampir selalu disandingkan dengan kewajiban salat.









Sampai-sampai Abu Bakar Sidik berkata, ”Barang siapa yang membedakan kewajiban zakat dan salat serta tidak membayar zakat maka aku akan memeranginya.”

Suatu keniscayaan bahwa Allah SWT dalam menurunkan perintahNya selalu beserta hikmah besar dibalik perintahnya. Dalam perspektif ekonomi Islam, zakat dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting. Bahkan zakat dapat dijadikan instrumen utama kebijakan fiskal suatu negara.

Karena itulah tak berlebihan pula jika saya berpendapat, jika nanti Perda Zakat tersebut benar-benar diluluskan DPRD, maka akan teramat besarlah amal jariah para anggota dewan yang terhormat itu. DPRD akan dikenang, khususnya oleh kaum Muslimin, sebagai lembaga yang betul-betul membela nasib rakyat. Bukan hanya janji-janji semu dalam kampanye belaka.

Namun, semua ini bukannya tanpa hambatan. Karena, hampir dipastikan ketika kita mendengar kata zakat maka yang muncul dalam pikiran kita adalah suatu philantrophy, suatu sumbangan kemanusiaan salah satu kewajiban dalam Islam.

Memandang zakat dari hal tersebut memang tidak salah, tetapi ada hal yang lebih besar yang seharusnya kita pahami tentang zakat untuk memakmurkan rakyat, terutama kaum miskin.

Please, open mind...

Selasa, 17 Februari 2009

Gosip Tentara

Tak sengaja saat di luar markas satuan inti tempur, saya mendengar ada dua serdadu muda terlibat pembicaraan. Mereka ternyata sedang menggunjingkan komandannya.


“Kapan dia pindah ya. Katanya Maret ya?”
“Entahlah. Malah saya dengar lebih lama lagi..”
“Ah, bosan saya. Dia yang menciptakan senam, dia sendiri tak pernah ikut senam.”
“Ya, namanya juga komandan. Suka-suka dia ajalah. Kalau kita melanggar, nanti habis kita dia rendam!”
“Iya tuh, si (dia menyebut nama rekannya), gara-gara salah sepele saja langsung direndam!”

Saya tertarik lalu nyeletuk. “Emang berapa lama kalau direndam bang?!”
Si serdadu menoleh, lalu menjawab singkat, “Ya suka-suka dialah! Bisa sejam, bisa juga seharian.”

Saya mengejar, “Kalau direndam dingin ya Bang?”
“Ah, kalau itu (dingin) sih, kami sudah biasa. Yang nggak enak itu basahnya itu. Mau berdiri susah, dudukpun becek.”









Sekadar diketahui, saat dihukum tentara tak boleh melepas pakaian dinas lapangannya. Tentu bisa dibayangkan, betapa tak enaknya. Sepatu serasa akuarium saja.

“Kalau direndam biasanya di mana Bang?”
“Di situ (dia menunjuk air empang yang tak begitu luas). Airnya kotor,” katanya.

Selanjutnya mereka berkisah tentang kawannya yang sudah hijrah ke Koramil. “Wah, enak sekarang dia, sudah pindah ke koramil,” jelasnya.

Maksud kata “enak” di sini adalah menjadi orang koramil. Maklumlah, tugas di koramil tentu berbeda dengan di satuan inti tempur. Lebih ke sipil dan pertahanan. Jadi latihannya tak begitu berat.

Mendengar tentara bicara soal hukuman disiplin, tentu tak aneh. Ya, namanya juga tentara. Mereka harus patuh pada komandan. Komandan is almost right. Beda dengan sipil, masih bisa mengkritik. Tak bisa langsung, bisa lewat media lain, atau minimal nyindir-lah.










Yang menarik perhatian saya dalam kasus ini adalah, soal feminimitas pada dua tentara tersebut. Pembicaraannya kok malah lembek ya? “Nggosip gitu bo...” Ini tentu aneh.

Sebab, selama pengalaman saya bertemu dengan sekumpulan tentara, yang mereka bicarakan selalu tentang heroisme. Bagaimana pengalaman mereka siaga menghadapi musuh, bagaimana mereka bergerak menyergap musuh dan lain-lain.

Bahkan dulu, ada sepupu saya yang berdinas di Kopassus, kalau pulang selalu memamerkan tentang kemampuannya melempar pisau garuda. Dan kisah heroismenya yang lain saat di Timor Timur dan semacamnya.

Maka itu, saya agak keheranan mendengar dua serdadu muda ini bergosip. Selanjutnya, saya perhatikan mengapa mereka seperti itu. Sejam berlalu, baru saya temukan jawaban, ternyata mereka ditugaskan untuk menjaga taman bunga.

Wah, pantas saja jadi agak romantis gitu...

Minggu, 15 Februari 2009

Maafkan Ayah, Regalia (1)

Saya terperanjat, lalu buru-buru keluar dari kamar mandi. Siang itu Sabtu 14 Februari, pas hari Valentine, sekitar pukul 12.40 WIB, Regalia putriku yang baru 9 bulan hadir di bumi, meraung-raung.

“Ada apa?!!” tanyaku lantang.
“Rega jatuh Yah,” jawab istriku, sembari terus sibuk menenangkan tangis Regalia dengan mencoba mengalihkan perhatiannya.

“Ha? Jatuh? Bagaimana bisa?”
“Entahlah, saya juga tak tahu. Tadi saya dengar dia menagis, tiba-tiba saya lihat dia sudah tersungkur di samping boks bayi!”

(tangis Regalia semakin menjadi)

“Masyaallah….”
“Kemarikan, kemarikan Reglia!” sergah saya, sembari merebut putri kami dari gendungan ibunya.

“Nak, nak, lihat ayah nak…” begitu terus saya panggil dia, sesekali mendekap membawa ke ruang tamu, lalu balik lagi ke dapur. Tangisan Regalia kian mendaru.

Di telinga saya, tangis itu seolah menjadi ribuan kata tuntutan dan protes!

“Mengapa ayah biarkan Regalia jatuh Yah?...”

“Mengapa Ayah abai menjaga Reglia saat tertidur yah?”

“Kan Ayah telah ditunjuk Allah taala untuk menjaga Reglia dengan baik, mengapa Ayah lalai?”

“Regalia sakit Yah, Regalia terkejut. Inkah kado hari kasih sayang Ayah?!”

“Bisakah ayah bayangkan, bagaimana perasaan Regalia saat jatuh dari tempat tudur setinggi itu?!”

“Sayangi Regalia, Ayah! Jangan abaikan lagi, Ayah…!”












Inilah terus yang seolah saya dengar. Dan selama itupulalah, saya terus mendekap sembari membisikkan kata-kata maaf, ”Maafkan Ayah nak… Maafkan Ayah sayang. Ayah janji akan lebih care lagi,” begitu janjiku.

Regalia terus menangis. Selama 9 bulan bersama, Reglia jarang sekali menangis. Baru saat ini saya mendengar tangisannya itu. Jadi iba rasanya.

Saat itu mata saya tertangkap pada sebuah mainan bayi yang kami gantung di knop pintu kabinet. Mainan tiu kami sengaja gantung di sana untuk menenangkan Regalia saat mandi. Ibarat music box, mainan ini akan memperdengarkan Symphoni Mozart, ketika tali yang berada di bawahnya ditarik.

“Regalia, coba perhatikan ini…”

Kreeeekkk…. Saya tarik tali mainan itu. Tak lama, irama klasik lembut mengalun, menenangkan hati Reglia. Tangisnyapun mulai reda, berganti sesenggukan.
Selanjutnya, saya mulai memeriksa tubuh dan kepala Reglia. Apakah ada yang benjol, atau tulangnya bergeser? Alhamdulillah, semua masih normal.

Tak puas sampai di situ, sayapun mengetes panca indra Regalia. “Pegang jari ayah Nak!” pintaku. Regalia menoleh, lalu memegangnya! ”Ah… Alhamdulillah, ternyata masih berfungsi baik.

Selanjutnya saya meletakkan Regalia di pembaringan, lalu memancingnya dengan canda. Ternyata, Regalia cukup exaiting. Lihat saja, dia tertawa lalu berbalik dan langsung mengambil posisi merangkak. Kontan saja, saya lega.














“Nanti kita bawa ke Mak Eca saja Yah,” saran istriku. Mak Eca adalah dukun bayi langganan kami. Rumahnya jauh, di Taman Raya. Kadang, Regalia memang kami bawa ke Mak Eca untuk dipijat. Hasilnya cukup bagus, biasanya setelah pijat Regalia jadi enak makan dan enak tidur.

“Ya udah, nanti pas minggu saja kita ke Mak Eca. Satu lagi, saat siang, tak usahlah Regalia kita baringkan di tempat tidur kita lagi. Kecuali ada yang jaga secara langsung. Kita baringkan saja di kasur lipat di ruang keluarga, kan tak terlalu tinggi. Atau baringkan saja di boksnya,” pesanku. Istripun mengangguk setuju.

Memang, siang itu sama seperti siang-siang sebelumnya, Regalia tidur pulas. Seperti biasa, kami membaringkannya di tempat tidur, semantara istri saya melanjutkan aktivitasnya di dapur sebagai ibu rumah tangga.

Sebenarnya, Regalia punya boks bayi yang kami letakkan di pinggir tempat tidur. Namun akhir-akhir ini, jarang digunakan, sebab membuat Regalia kurang leluasa bergerak.

Untuk menjaga Regalia tak jatuh, di pinggir tempat tidur tersebut kami benteng dengan bantal. Biasanya metoda ini efektif mengerem laju gerakan Regalia yang memang sedang lasak-lasaknya, berguling ke sana ke mari.

Di samping itu, biasanya kami sesekali mengontrol posisi tidur Regalia dari jendela kamar yang tembus pandang ke dapur.

Maafkan Ayah, Regalia (2)

Namun, siang itu, ternyata pertahanan tersebut sudah bisa dibobol. Sayapun penasaran, lalu menuju ke tempat tidur kami, sebagai locus delicti tempat kejadian perkara. “Dari posisi pagar bantal ini, tampaknya dia jatuh dari sini,” ujar saya pada istri, sembari menunjuk ke arah bantal yang dimaksud.



Saya berasumsi demikian, karena melihat posisi bantal tersebut sudah bergeser agak miring. “Ya mungkin dia menerobos dari sini, lalu jatuh,” timpal istriku.

Tapi bagaimana posisi Regalia saat jatuh? Ini yang terus menggelayuti benak saya. “Saya yakin Reglia jatuh begini,” ujar saya menjelaskan pada istri.

Pertama, setelah bangun tidur Regalia berguling-guling lalu menuju pojok tempat tidur dengan kepala menjulur ke luar. Karena tenaga gulingannya yang kuat, bantal yang menjadi pagar pembatas itu jebol.

Dari sanalah Regalia merangkak sedikit-demi sedikit keluar ranjang, hingga akhirnya jatuh. Namun sebelum tubuhnya mencapai ubin, kedua tangannya bergerak menyanggah yang membuat arah jatuhnya tertahan, tubuhnya berbalik terhempas ke boks bayi yang ada disamping tempat tidur.

“Saya tak yakin kalau yang jatuh duluan adalah kakinya, sebab bisa-bisa kepalanya yang mendarat di ubin,” jelas saya, mirip anggota olah TKP Poltabes Barelang saja.














Setelah itu, kakak saya datang. Istripun menceritakan hal ini padanya. “Ini adalah keajaiban. Biasanya anak kecil selalu memiliki keajaiban ini. Dulu, anak Basit (temannya di kampung) jatuh dari tubir jurang setinggi 6 meter, namun tetap selamat. Hasil scan pun kepala dan tulangnya tetap terjaga,” jelas kak saya panjang lebar.

Selanjutnya saya berangkat ke kantor, ada rapat struktur yang harus dihadiri. Sepanjang jalan itu, perasaan berdosa saya terus bergelayut. Rasanya, jiwa saya tinggal separuh saja.

Di rapat pun, saya tak lagi bisa konsentrasi. Ingat terus.
“Bagaimana regalia sekarang?” SMS saya pada istri.
“Dia sudah bobok,” balasnya. Sedikit lega juga akhirnya.

Rapatpun terus berlanjut, membahas tentang tugas pokok dan fungsi. Saat itu, saya sedikit teringat pada anggota tim yang susah diajak berkoordinasi. Sudah empat malam ini, kerjaannya tak lagi melalui ACC saya. Langsung diputuskan sendiri saja.

Apakah saya tak pantas jadi mentornya? Apakah saya begitu mengganggunya? Entahlah. Positif thinking saja. Lagi pula, saya memang tak butuh sanjungan mereka. Tak dipandang hebatpun tak masalah, karena saya tak butuh popularitas.

Tugas saya hanya mengasuh, menebar cinta dan tunjuk ajar. Itu saja. Sudahlah, abaikan saja saya, jika itu bisa membuat mereka bahagia. Tapi ingat, sistem tetaplah sistem. Sistem yang mengatur, biar sistem pula yang menghukumnya. Ini adalah aturan yang mutlak harus diikuti.














Dari sini, lamunanku buyar, karena saat melihat ke slide show, saya yang saat itu diperkenalkan sebagai jajaran pengasuh, ditampilkan dengan foto saat menggendong Regalia.

Kontan saja, ingatan saya kembali ke Regalia. Di foto itu saya melihat Reglia setengah merengek, membuat haru ini kian memukul. “Hei, Riza, lihatlah anakmu yang lucu itu. Anak sekecil itu kamu biarkan jatuh dari tempat tidur, sungguh terlalu!” begitu bisikan yang seolah terngiang di telinga (kalimat terakhir kok jadi mirip Rhoma Irama ya?)



Saya pun kembali merekonstruksi bagaimana posisi saat dia jatuh. Selanjutnya terbit rasa berdosa. Begitu terus. Perasaan ini terus terbawa hingga rapat usai, hingga malam hari, hingga pagi harinya.

Hari ini, Senin (16 /2) setelah kondisi tenang, saya baru bisa menuliskan kisah ini. Sebagai pelajaran, sebagai kenangan betapa rasa berdosaku terhadap Regalia, sekaligus rasa kasih sayang ku padanya.

Hari Valentin, 14 Februari itu, kini mengukir sejarah bagi saya. Hari di mana saya lalai menjaga Regalia, hari di mana saya menyadari betapa cintanya saya pada Regalia.
----------


Inilah foto Regalia yang membuat airmata haru saya menetes saat rapat (Terimakasih Pak Socrates, abang telah menunukkan saya akan apa arti cinta sebenarnya).

Sabtu, 14 Februari 2009

Ponari (Gundala) Putra Petir

Saya tak habis pikir, saat melihat tayangan televisi, ribuan orang di Jombang, berjejal sampai-sampai ada yang tewas, demi mendapat pengobatan dari dukun cilik Ponari.


Ponari bocah kelas III SD itu, jadi “mendadak dukun” setelah menemukan sebuah batu, yang diyakini memiliki kekuatan untuk menyembuhkan jika dicelupkan ke air.

Ibarat kisah film Gundala Putra Petir (masih ingat?), proses penemuan batu tersebut dimulai ketika Ponari usai tersambar petir. Seteah dibawa ke kakeknya, dia berpesan agar cucunya menjaga batu itu, karena mengandung kekuatan penyembuh.

Berbekal dari info ini, mulailah tetangga Ponari datang berobat. Lama-lama, kian banyak. Selanjutnya, kisah mulut kemulut ini menyebar luas hingga keluar kampung bahkan Kota Jombang.

Maka, berbondong-bondonglah ribuan orang sakit menuju rumah Ponari. Dengan membawa wadah plastik beragam jenis dan ukuran yang berisi air, mereka antre, menunggu giliran airnya dicelup batu milik Ponari.














Mengapa ini terjadi? Karena dipicu kondisi masyarakat yang tak mampu berobat ke dokter puskesmas yang mahalnya minta ampun itu. Meski hal ini dibantah habis-habisan oleh Menteri Kesehatan, namun tak bisa dinafikan pula bahwa yang berobat ke Ponari itu kalangan ekonomi bawah!

Selain alasan ekonomi, situasi ini kian disuburkan oleh tradisi ritus, yang memang telah lama menjadi laten dalam kehidupan orang Jawa pada umumnya. Maka, dimulailah Ponari dihubungkan dengan hal-hal mistis lain.

Ada yang bilang, Ponari adalah keturunan orang suci dan semacamnya itu. Untuk menghormati kemandraguna-an Ponari inilah, masyarakat, baik nenek-nenek sekalipun, memberi embel-embel di depan nama Ponari, seperti “Gus” atau “Mas”. Kini, Ponari yang bocah itu, menjelma sebagai Gus Ponari, atau Mas Ponari!

Kemistisan ini kian disuburkan oleh media-media, yang memang mencari keuntungan dari mengais-ngais berita semacam ini. Khususnya selalu mengemas beritanya dengan mengutamakan unsur “4 S” sadisme, seks, supranatural dan suuzon (buruk sangka).

Maka kian kalutlah masyarakat.

























Sialnya, manuver media 4S ini, juga menjalar pada media umum, yang katanya selalu mengemas beritanya dengan mengutamakan unsur etika, rasional, norma dan positif thingking (membangun/beri solusi).

Buktinya, hingga saat ini dalam liputannya, mereka belum memberi jawaban apakah setelah meminum air celupan batu Ponari, pasien-pasien itu bisa sembuh?

Yang ada, wartawan-wartawan itu hanya sibuk mewawancarai orang yang akan berobat, bukan apakah setelah berobat itu mereka sembuh atau tidak. Tak heranlah, orang lain yang semula enggan menjadi ingin berobat juga.


Hingga akhirnya, pemerintah menghentikan praktik Ponari ini. Namun, apakah masyarakat juga berhenti berobat ke sana? Tidak! Malah kian gila!

Lihatlah, beramai-ramai mereka menyerbu kamar mandi keluarga Poinari untuk mengambil air di sana. Tak hanya dari bak mandi, bahkan lantai, parit hingga septik tank pun tak luput darti jarahan mereka.

Mereka percaya, bahwa air bekas mandi Ponari ini, masih memiliki kekuatan menyembuhkan, atau yang mereka sebut “yoni”.

Apakah benar begitu? Entahlah, tak ada penelitian yang membuktikan. Keyakinan itu mereka dapat hanya berdasar rumor pula, “Katanya mbah ini, katanya mbah itu”. Begitu terus! Sungguh masyarakat yang rapuh! Ibarat daun kering, mudah dikumpulkan dan dibakar, namun susah diikat.
















Masalah kian runyam, ketika hal ini mulai masuk ke ranah bisnis. Karena setelah dihitung-hitung, hasil yang didapat Ponari dari pengobatan ini, mencapai Rp50 juta perhari! Baru dua minggu berjalan saja, penghasilan Ponari sudah mencpai Rp500 juta. Gila, setengah eM! Angka fantastis, apalagi bagi masyarakat kampung yang mayoritas penduduknya buruh tani itu.

Melihat banyaknya jumlah rupiah yang berhasil didapat ini, membuat kerabat dan panitia yang selama ini mendapat untung dari kelebihan Ponari, tak rela jika pengobatan ini dihentikan.

Siapapun akan mereka hancurkan jika berani menghalang-halangi “bisnis” ini, termasuk ayah Ponari sendiri, yang harus dirawat di rumah sakit, akibat babak belur dihajar saudaranya sendiri, karena melarang anaknya membuka praktik. Maka, kian dieksploitasilah Ponari.

Sementara, masyarakat yang sakit itu, juga terus menuntut agar Ponari tetap praktik. Mereka yang sudah terbiasa akan susah itu, bertekad bertahan di depan rumah Ponari sampai bocah itu kembali buka praktik. Maka, kian tertekanlah Ponari.

Siapa yang slah? Apakah masyarakat yang sakit itu? Tentu tidak. Mereka adalah korban keputus asaan dan ketidak pedulian pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan. Psikologi orang sakit yang selalu tak sabar dan putus asa, akan berbuat apapun demi kesembuhannya.












***
Soal orang suci yang punya kekuatan karomah, memang sudah lama dikenal di Jawa. Orang sudah mengenal bagaimana kesaktian para suinan tersebut.

Di zaman para raja dahulu, seorang kiai banyak mendapat tempat dalam struktur pemerintahan. Bahkan posisinya, tak kalah berkuasanya dengan posisi para pastur (gereja) pada tatanan masyarakat Eropa di abad-abad pertengahan.

Hal ini juga sempat tertuang dalam sebuah penelitian antropolog Belanda, sekitar tahun 60-an. Dia menulis, pada tatanan masyarakat tertentu, posisi kiai menempati puncak piramida tatanan masyarakat, melebihi profesi lain, seperti polisi dan lainnya.

Zaman dulu, seorang santri sealu menunggu kiainya makan. Setelah itu, mereka akan berebut meminum air bekas cucian tangan kiai-nya, agar karomah dari sang kiai berpindah padanya.

Saya rasa ini masih cukup bisa diterima, masih ada rasionalnya. Namun fenomena bagaimana masyarakat memperlakukan Ponari, saya rasa sudah di luar nalar, bahkan sudah mengarah ke musyrik dan sudah banyak berbumbu bisnis.


------------
Wahai para pencari Ponari...

Apakah tak cukup Allah SWT sebagai Rabb kita?

Apakah masih kurang teladan Nabi Muhammad sebagai junjungan kita?

Apakah masih cacatkah Alquran sebagai penunjuk jalan kita?

Apakah sudah sebegitu nistanya hadis sebagai pembimbing kita?

Apakah sebegitu hinakah, sunnah Rasul sebagai way of life kita?

Apakah belum sempurnakah Islam sebagai agama kita?


Please. open mind...

---------------
nah ini adalah foto ponari untuk lucu-lucuan ya... Rupanya air berkhasiat Ponari sudah go internasional. Bisnisnya pun meraksasa, hingga membutuhkan kendaraan ekspedisi. Bule pun suka meminumnya... lihat saja


Jumat, 13 Februari 2009

Doa-doa

Dulu saat masih sekolah di perguruan Muhammadiyah, ada tradisi yang selalu kami lakukan tiap hari sebelum dan sesudah proses belajar. Apa itu? Tentu saja doa. Doa yang kami lafazkan bersama saat itu, diambil dari petikan surat di kitab suci Al Quran.

Doa-doa ini biasanya dibaca dengan dipimpin oleh salah seorang teman kami, yang ditunjuk secara bergilir. Doa yang kami baca sebelum pelajaran dimulai saat itu, dipetik dari surat Thaha [20]: 25-2.

Rabbisyrah lii shadrii, wa yassir lii amrii, Wahluuqdatam mil lisaanii, yafqahuu qaulii.

Artinya: Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.







Hingga akhirnya pelajaran usai, kelas pun hendak ditutup. Saat itulah, kembali lagi, salah seorang teman kami akan memimpin membaca doa. Yang dibaca kali ini adalah surah Al-Asr (selengkapnya klik http://www.quran4theworld.com/translations/Indonesian/103.htm)

Yang artinya; Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Begitulah.

Doa-doa ini terus menerus dilafazkan, dihafalkan, digemakan, dan insyaallah dihayati. Doa-doa yang terus menerus mencoba menembus relung kabu dan iman. Maka itu, hingga saat ini, saya masih bergidik jika dibacakan surat-surat tersebut. Sama bergidiknya -kadang air mata deras mengalir- ketika saya mendengar ketika ayat-ayat imsak dibacakan.






Jangan tanya saya mengapa. Hingga saat ini tak tahu, mengapa saya harus bergidik, mengapa saya harus menangis saat mendengar ayat-ayat itu. Dan kenapa harus ayat-ayat itu?

Jawaban saya ini sama halnya saat Willy Soemantri Rendra ditanya, mengapa ketika kecil, harus menangis saat mendengar saat azan mengalun. Mengapa juga kaa itu, ketika sakit panas, dia yang Kristen, menyuruh orang tuanya memanggil muazin untuk melantunkan kalimah azan, supaya sakitnya bisa sembuh?

Ya, saya dan Rendra mungkin memiliki kesamaan dalam hal ini. Sekali lagi, saya tak tahu mengapa harus begidik. Pokoknya ya begidik saja, nangis, nangis saja.

Hingga setelah dewasa saat ini, pemahaman saya akan kedua ayat dan surah tersebut, kian mendalam. Pada surah Al Asr saya merenung kan putaran bumi ini. Ah, tak terasa, tahu-tahu sudah begini, tahu tahu sudah begitu. Dulu masih anak-anak, sekarang sudah punya anak. Karena itulah mungkin Allah sampai bersumpah demi waktu di surat Al-Asr itu.







Apa yang sudah saya perbuat? Belumlah sebanding dengan masa yang saya jalani.

Pada surat Thaha [20]: 25-2 saya merenung, betapa hingga kini jika di depan umum, lidah saya belumlah lancar mengucapkan kata-kata apa saja. Saya baru sadar, bahwa saya ternyata lahir dengan budaya tulisan. Saya lebih bagus menyampaikan pendapat dengan tulisan dibanding secara lisan.

Karena itulah, hingga saat ini, saya masih terus melafazkan surat tersebut. Saya berdoa, tentu juga berusaha.

Doa inilah yang dulu juga rajin dipanjatkan Nabi Musa. Beliau sadar, bahwa orang yang mendengar ucapan dari liudah yang kelu, bisa menimbulkan kesalahpahaman. Karena itulah, sangat perlu mengucapkan kata-katanya dengan jelas, sehingga diharapkan pendengar mengerti apa yang dimaksud.

Bagaimana dengan Anda?

Rabu, 11 Februari 2009

Kasihanilah Saya

Kelemahan adalah kekuatan kita. Agar menang di dalam pertarungan, manfatkanlah kekuatan lawan sebagai senjata untuk mengalahkannya.

Ini adalah dasar-dasar yang diajarkan dalam tai-chi, beladiri china yang amat indah itu. Lntur, gemulai, namun mematikan. Rahasia tai-chi memang bukan pada kekuatan, namun bagaimana dengan kegemulaian itu, sang pendekar bisa membunuh lawan dengan kekuatannya sendiri.

Intinya, dengan kelemahan yang sang pendekar miliki, lawan dibuat bertarung dengan kekuatannya sendiri.

Saya, tentu bukanlah pendekar tai-chi, saya petik moral ini dari beberap buku tai-chi yang dulu sempat saya baca.

Filusuf tai-chi ini, dalam keseharian juga kerap kita saksikan. Lihatlah, bagaimana orang-orang yang kita anggap lemah, ternyata mampu memerintah kita melakukan sesuatu yng tak mampu mereka bawa.














Anak kecil, hanya dengan rengekannya, mampu memerintah orang yang lebih kuat di sekitarnya untuk meluluskan apa yang diinginkannya.

Seorang bawahan yang lemah, kadang mampu memerintah atasannya dengan hanya menyeru kata “tolong”. Disadari atau tidak, saat itu si bawhan telah memanfaatkan kekuatan atasannya dengan kelemahannya.

Krakteristik orang Indonesia yang baik-baik, tak individual, menjadi pupuk unggul untuk menyuburkan praktik seperti ini.

Hingga konteks yang lebih besar lagi, seiring ditemukannya ilmu publisistik, situasi ini dibalut sedemikian rupa untuk mencari simpati orang lain, guna mencapai tujuan dan keuntungan yang lebih besar lagi.

“Under dog is winning.” Inilah yang menjadi dasarnya. Artinya semakin direndahkan, semakin besar pula simpati yang mereka dapat. Lihatlah, akhir-akhir ini berapa banyak orang yang mengaku lemah bahkan dizalimi, agar tujuannya tercapai?

Mungkin Anda yang suka nonton tayangan ajang pencari bakat di televisi atau yang dikenal dengan idol-idolan itu? Baik yang tingkat anak-anak maupun yang remaja, sudah familiar akan trik seperti ini.

Lihat saja, bagaimana seorang kontestan yang dengan segala akalnya, memanfaatkan ketidak mampuannya untuk meraih dukungan SMS?











Layaknya pengemis, mereka mendramatisir ketidakmampuannya sedemikian rupa, hanya untuk mencari simpati. Kualitas tak penting, yang penting bagaimana memenangkan hati khalayak. Seolah mereka berkata, “Lihatlah aku, aku miskin, bantu aku, menangkan aku, pilih aku.”

Hasilnya, memang banyak yang berhasil. Buktinya rata-rata pemenang ajang pencrian bakat memang orang dari kalangan yang tak mampu.

Ini tentu menjadi bisnis bagi televisi. Merekapun berlomba membikin acara dengan mengeksploitasi kemiskinan tersebut. Tujuannya guna meraih simpati pemirsanya, sehingga mau mengirim SMS. Dari tiap SMS inilah, pengelola televisi dapat mengeruk uang Rp6.000! Bayangkan jika 1 juta pengirim, berapa uang yang mereka dapat?

Para artis juga sering memanfaatkan hal ini untuk menambah popularitasnya. Lihatlah Inul Daratista dan Dewi Persik bisa terus berkibar, kala itu, setelah dia mendapat kecaman dan pencekalan dari beragam pihak, akibat perbuatan yang memang dengan sadar dia lakukan.

Di ranah politik tambah subur lagi. SBY, pandai betul memanfaatkan hal ini. Popularitasnya naik tajam, saat dia mengaku dizalimi oleh Megawati. Sayangnya, Megawati, kala itu tak mampu membaca situasi ini, dengan pongahnya dia melah memamerkan tanda penzalimannya, berupa surat pengunduran diri SBY
di depan publik.










Hasilnya, ya seperti yang diulas tadi, simpati pada SBY kian mengalir, sebaliknya kebencian pada Mega kian subur. Hingga akhirnya, isu penzaliman SBY ini menjadi salah satu penyumbang kemenangannya.

Setelah naik menjadi Presiden, SBY tetap memanfaatkan isu ini dengan baik. Terakhir dia melansir sebuah gerakan ABS, asal bukan capres ”S”. “S” itu siapa? Ya bisa saja S-BY sendiri.

Seolah dia berkata, “Hei rakyat Indonesia, lihatlah saya yang lemah ini dizalimi lagi. Bantu saya, pilih saya!”

Apakah trik dia kali ini akan berhasil? Entahlah…

Jadi, tak selamanya kan, lemah itu kalah? Tak selamanya pula dizalimi itu jelek?

Please, open mind…

Minggu, 08 Februari 2009

Belajar ke Belanda

Banjir di mana-mana selalu menjadi momok kota. Karena itulah, negara-negara maju merogoh kocek dalam-dalam untuk mengatasi masalah ini.

Di Prancis, sejak dulu sudah membangun kanal-kanal bawah tanah yang mengiris-iris Kota Paris. Konon teknologi kanal-kanal inilah yang menjadi cikal-bakal kemunculan era ilmupengetahuan baru di Eropa.

Di London Inggris, selain membangun kanal-kanal bawah tanah tadi juga membangun piranti raksasa yang diletakkan di Sungai Thames. Alat yang bisa dibuka-tutup ini berfugsi sebagai penahan air jika sewaktu-waktu serbuan air laut pasang (rob) datang.

Tak jauh-jauh, Malaysia, membangun terowongan bawah tanah raksasa yang membelah perut Kuala Lumpur hingga ke daerah selatan.

Terowongan ini dibuat dua tingkat, dalam keadaan normal berfungsi sebagai jalan tol. Namun saat banjir menghajar Kuala Lumpur, maka funginya akan ditutup menjadi sluran air.









Yang lebih ekstrim lagi, adalah Tokyo, Jepang. Untuk menanggulangi banjir, mereka membangun G-Cans, sistem banjir dan badai Tokyo. Sistem yg sedang dibangun dibawah tanah Tokyo ini adalah sebuah sistem antibanjir untuk manampung luapan air sungai ketika badai menerjang kota.

Oleh Japan Institute of Wastewater Engineering Technology (JIWET), instalasi raksasa ini dikatakan terdiri dari pipa berdiameter 32 m, tiang- tiang setinggi 65 m, yg terhubung dgn 64 km terowongan, terletak 50 m dalamnya dibawah permukaan tanah. Sistem ini di back-up dengan turbin-turbin berkekuatan 14.000 tenaga kuda yang dapat memompa 200 ton air per detik ke sungai terdekat.

Indonesia, khususnya Jakarta, bagaimana? Masih belum ada.
Saat kunjungannya ke Belanda Sabtu-Minggu lalu, Wapres Jusuf Kalla mengajak Gubernur DKI Jakarta Fawzi Bowo untuk belajar pada mereka, bagaimana mengatasi banjir di ibukota. Untuk apa?

Memang, Belanda adalah negara memiliki ilmu paling top di dunia dalam urusan menata air. Jangankan hanya banjir, air laut yang ganas pun bisa mereka jadikan kota metropolitan.









Belanda sendiri berasal dari kata Koninkrijk der Nederlanden, secara harfiah berarti ”Kerajaan Tanah-Tanah Rendah”. Kata Belanda dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Portugis: Holanda- olanda- wolanda - bolanda - maka jadilah ”Belanda”.

Dari namanya saja kita sudah mengerti, bahwa tanah salah satu negara yang terpadat di dunia ini, kebanyakan berada di bawah permukaan laut. Belanda juga terkenal dengan dijk (tanggul) dan kincir anginnya.

Dari uraian ini, memang cuikup beralasanlah kiranya bila Jakarta mau belajar ke Belanda soal menata air, dalam hal ini banjir.

Namun kalau ditilik dari sejarahnya, rasanya kok janggal juga. Kok baru mau belajar, bukankah Belanda telah meninggalkan ilmu tentang menata air ini pada bangsa ini? Apakah kita lupa, bahwa Indonesia atau mereka sebut Nederlands-Indië, adalah negara yang selama 350 tahun menjadi salah satu koloni Belanda? Jajahan, begitu tepatnya.

Hingga saat ini, jejak peninggalan Belanda juga masih terlihat. Lihatlah, bagaimana Belanda menata kota-kota di Indonesia, mulai dari taman kota landscape, irigasi, bahkan dam-nya!









Lihat saja, setiap pusat kota selalu memiliki alun-alun, yang bersanding dengan pasar, kantor pemerintahan (keraton). Perhatikan juga, bagaimana belanda membuat sistem irigasinya. Supaya air dapat terdistribusi dengan baik, mereka membuat sistem buka-tutup pada aliran sungai seperti yang tampak pada Pintu Air Manggarai.

Pintu air ini direkayasa untuk menahan air aliran sungai Ciliwung, agar kawasan elit yang berada di dataran rendah, seperti Menteng, Monas, Istana Merdeka dan lain-lain bisa terlindungi dari banjir.

Teknologi ini adalah buah ilmu Prof Dr H van Breen. Kiprah perannya saat ditugaskan oleh Departement Waterstaat memimpin Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir, secara terpadu meliputi seluruh kota wilayah Batavia yang saat itu baru seluas 25 km2 (sekarang luas Jakarta 740 km2).

Penugasan itu diterimanya setelah Batavia terendam banjir yang merenggut banyak korban jiwa pada 1918. Peninggalan lain, tentang bagaimana Belanda saat itu memetakan banjir di Batavia, hingga memunculkan ide membikin saluran banjil kanal timur.

Yang lebih terkenal lagi adalah, Bendung Katulampa di kecamatan Katulampa, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini di bangun pada tahun 1911 dengan tujuan sebagai sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektare yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendung.









Selain hal ini, perhatikan juga bagaimana Belanda menata lingkungan. Jarak antara rumah dan jalan raya, selalu teratur, minimal 5 meter dengan dibatasi troroar untuk pedestrian. Di pinggir pedestrian itu, selalu saja ada parit untuk laluan air. Begitu semua.

Jangankan di kota besar, di kampung saya saja, Pulau Bawean Jawa Timur, juga ditata seperti ini. Bawean yang berada di tengah arus kuat dan gelombang tinggi itupun, tetap aman dari banjir air laut, karena Belanda membangun dam kecil di pesisir sebelah selatan, sekitar pantai boom Kecamatan Sangkapura.

Perhatikan juga bagaimana Belanda menghitung jarak antara bantalan rel kereta api dan bangunan di pinggirnya yang selalu berjarak 8 meter! Sehingga, bisa memberikan rasa aman baik dari polusi suara dan tentu fisik penduduk sekitarnya.

Yang lebih mencengangkan lagi, coba kita perhatikan jarak antara kota-kota di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, selalu 80 kilo meter. Mengapa? Hal ini tak lepas dari aturan belanda dulu, agar kendaraan angkut, saat itu umumnya masih kereta kuda, harus berhenti setelah menempuh jarak 80 kilo meter.

Hal ini untuk memulihkan kembali kondisi hewan dan manusianya, setelah menempuh perjalanan jauh. Dari tempat pemberhentian itulah, selanjutnya memunculkan sebuah aktivitas bisnis, semula tempat ngaso, hingga menjadi kota.









Hingga di abad moderen ini, aturan ini masih dipakai di negara-negara maju. Bahkan di Malaysia, menerapkan dengan ketat aturan ini. Saat merayap di jalan tol, bus-bus di sana harus berenti setelah mencapai kilometer 80.

Tujuannya sama, untuk merenggangkan otot, atau menghilangkan kantuk. Tak heran, setiap 80 km jalan tol di sana, selalu dibangun tempat ngaso, dan kantin makanan.

Kembali lagi soal belajar menanggulangi banjir ke Belanda, tampaknya hal tersebut tak perlu lagilah dilakukan, karena sebenarnya kita sudah mengerti bagaimana caranya. Belanda sudah mencontohkan langsung pada kita.

Masalahnya adalah, kita tak bisa merawatnya. Lihat saja, apa yang telah ditata oleh Belanda, kini rusak. Aturan dan lemahnya penegakan hukum, yang jadi pemicunya. Satu-persatu peninggalan Belanda ini, musnah. Jangankan dipelajari, menjaga dan merawat saja kita malas.

Bukan berarti saya mengagungkan penjajah, namun kalau dilihat di video-video zaman penjajahan dulu, sekitar tahun 1930-an, Jakarta yang kala itu bernama Batavia, amatlah ramah lingkungan. Sungai-sungainya bersih, jalanannya juga bagus dan asri. Mirip kota-kota di Eropa saat ini. Berbeda dengan saat ini, serba semrawut, tak teratur.

Menata kembali, itulah yang bisa kita lakukan dalam hal menangani banjir. Karena kita tak punya uang lagi untuk merogoh kocek dengan membangun sistem antibanjir seperti Prancis, Malaysia, apalagi Jepang!

Please, open mind...

Kamis, 05 Februari 2009

Jari-jari...

Maha Besar Allah yang telah menciptakan jari-jari untuk kita, mankind ini. Jari adalah lambang, jari adalah simbol. Jari adalah philo dan sophia, jari adalah isyarat, jari adalah supremasi, jari adalah hegemony, dan segala macamnya itu.

Zaman purbakala dulu, manusia sudah memanfaatkan jari. Namun kala itu, baru sebatas fungsi dasar saja; mencengkram dan menggenggam.

Barulah di era manusia moderen, fungsi jari mulai dikembangkan sebagai tanda hitung; 1, 2 3, 4, hingga sepuluh. Hal ini terus dikembangkan hingga era milenium, jari-jari dipakai untuk menghitung bilangan yang lebih ruwet lagi. Teknik ini dikenal dengan sebutan jari aritmatika. Kanan untuk satuan, kiri puluhan.

Jari juga bisa menjadi alat komunikasi. Orang-orang tuna rungu, menggunakannya sebagai bahasa isyarat. Untuk Indonesia, sistem yang sekarang umum digunakan adalah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang sama dengan bahasa isyarat America (ASL - American Sign Language).

Jari juga bisa jadi alat mengundi nasib, atau alat menunggu giliran. Anak-anak juga menggunakan jari jemarinya untuk bermain, selain itu alur-alur kecil di jari, kerap dijadikan sebagai alat penanda identitas.







Selain fungsi tersebut, jari juga digunakan untuk tujuan yang lebih luas lagi, misalnya untuk menunjukkan moral. Jari jempol, diidentikkan dengan segala sesuatu yang baik-baik.

Mengacungkan jempol saat anda mencicipi makanan, bisa diartikan kalau rasanya enak. Namun jika jempol dibalik, maka artinya akan sebaliknya tidak baik, tidak enak, tidak bagus.

Di Jawa, menunjuk sesuatu dengan jari telunjuk dirasa kurang sopan. Maka itu, harus menggunakan jempol. Selain itu, jempol juga dipakai untuk permisi, saat Anda akan lewat di depan orang yang lebih tua. Biasanya, diikuti tubuh setengah membungkuk sambil mengacungkan jempol ke depan, bukan ke atas.

Untuk jari telunjuk, tentu dipakai untuk menunjuk. Namun bagi orang Islam, jari telunjuk juga berfungsi ibadah untuk menyatakan bahwa Allah itu satu, saat membaca sahadat pada tahayat.

Sedangkan jari manis, selalu identik sebagai legalitas sebuah perkawinan. Di sanalah cincin kawin itu ditancapkan.

Jari kelingking, selalu diidentikkan sebagai kaum minoritas dan hal-hal kecil lainnya. Selain itu, fungsinya sebagai alat membersihkan hidung.










Oh ya, hampir saja terlupa. Saya belum menyebut tentang fungsi jari tengah. Yang ini agak sensitif, karena berhubungan dengan penistaan. Orang-orang bule, kini menjalar ke belahan dunia, sudah biasa mengacungkan jari tengah sebagai pertanda menista. Jari tengah pun identik dengan sesuatu yang kotor.

Selain digunakan perbagian, perlambangan pada jari-jemari juga bisa dilakukan secara bersamaan, atau kombinasi. Kita selalu mengepalkan jari sebagai tanda perlawanan dan tantangan pada lawan-lawan kita. Kita juga membuka lima jari, sebagai pertanda perpisahan bagi kerabat kita.

Membuka jari telunjuk dan jari tengah yang menyerupai bentuk huruf "V" itu, bisa diidentikkan sebagai tanda kemenangan (victory). Kalnagan non Muslim juga memakai simbol ini, sebagai tanda sumpah.

Di kalangan anak muda, membuka ibu jari, jari telunjuk dan kelingking, diartikan sebagai tanda aliran musik metal.

Di masa-masa kampanye nanti, kita akan lebih diakrabkan lagi mengenal fungsi jari. Ada saja cara kreatif mereka untuk melekatkan nomor urut partai melalui jari-jemari ini.











Ada satu yang menarik. Universitas Cambridge sempat membuat penelitian untuk melihat seseorang berbakat atau tidak menjadi pialang saham, investor atau bagian personalia perusahaan sekuritas dengan cara melihat jari manisnya!

Tim peneliti yang dipimpin psikolog John M. Coates menemukan, pria yang memiliki jari manis lebih panjang dibandingkan jari telunjuk cenderung lebih sukses melakukan transaksi keuangan jangka pendek. Hasil penemuan ini dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.

Penelitian lain menyebut, kecerdasan seseorang dapat dilihat dari perbandingan panjang jari manis dan jari telunjuknya.

Seorang anak yang memiliki jari manis lebih panjang daripada jari telunjuk cenderung memiliki kemampuan matematika yang lebih tinggi daripada kemampuan verbal dan bahasa. Jika perbandingannya sebaliknya, anak umumnya memiliki kemampuan verbal seperti menulis dan membaca yang lebih baik dibandingkan matematika.

Seorang Mark Brosnan, peneliti dari Universitas Bath, juga pernah menyebut panjang jari-jari tangan seseorang merefleksikan perkembangan bagian - bagian di otak.


Bagaimanakah jari Anda?


Please, open mind...

Senin, 02 Februari 2009

Kuda Baru

“Serba salah rasanya punya jabatan baru. Bersyukur salah, menangis juga salah,” rekan saya, pegawai swasta berkata. Sayapun diam menyimak.



Saat dia sibuk mengurai kata, ingatan saya menerawang akan beberapa peristiwa, bagaimana orang-orang besar menyikapi jabatan barunya.

Satria utama Kerajaan Majapahit, tentara darat yang unggul, Mahapatih Gajahmada sesaat usai dilantik sebagai mahapatih (setara perdana mentri) di istana Trowulan, langsung mengucap sumpah di hadapan raja Wishnuwardana dan pembesar lain, tak akan memakan rempah (palapa), sebelum bisa mempersatukan nusa antara (nusantara). Peristiwa ini diabadikan sebagai Sumpah Palapa.

Satria utama Kerajaan Melayu Riau, tentara laut yang ulung,
Raja Haji atau termasyhur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah/Marham Teluk Ketapang, sesaat usai dilantik sebagai yang Dipertuan Muda Riau IV (setara perdana mentri) di istana Kota Piring, langsung mengucap sumpah di hadapan sultan dan para mentrinya.

“Jika ada sesuatu yang melintang di hadapan paduka, ingin diluruskan, akan beta luruskan!”

“Jika ada sesuatu yang lurus di hadapan paduka, ingin di lintangkan, akan beta lintangkan!”











Lain lagi Syaidina Umar Bin Khattab. Saat terpilih sebagai Khalifah menggantikan Syaidina Abubakas Assiddik, dia langsung menagis, dan mengucap istigfar. Baginya jabatan Khalifah ini adalah musibah!

Umar takut, jabatan ini akan membawanya ke neraka. “Kalau saya salah, siapa yang akan menegurku nanti?” katanya.

Namun Umar agak lega ketika pertanyaannya tiba-tiba dijawab oleh seorang pemuda. “Ya Umar, jika engkau salah, maka sayalah yang pertama akan menegurmu!” begitulah.

Beda lagi dengan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya, presien termiskin yang tiap malam tidur beralas tikar ini, ditanya. ”Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?”

Jawabnya, ”Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya, ‘ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran!”

Lain pemimpin, lain lagi caranya memandang sebuah jabatan. Bahkan di Amerika, ada sebuah tradisi, seorang Presiden yang baru dilantik, pada malam harinya harus menghadiri pesta dansa bersama, tentu saja, first lady-nya. Tentu saja di ddalamnya ada acara minum-minum. Seperti yang baru-baru ini juga dilakukan Obama, usai dilantik sebagai presiden AS ke 44.







“Sebagai seorang Muslim, saya ingin mengadakan syukuran. Makan-makan, misalnya. Namun, entar dinilai lain. Nanti dibilang saya tak peka. Lebih parahnya lagi, saya dinilai orang ambisius si pemburu jabatan,” rekan saya melanjutkan kisahnya, membuyarkan lamunan.

“Entar ada lagi yang ngomong, saya ini sombong. Mestinya saya memandang jabatan itu amanah, tanggung jawab yang berat. Mestinya saya langsung menyusun program, bukan malah berpesta dan bernarsis-narsis di depan Tuhan.

“Tapi kalau saya meniru gaya Syaidina Umar, dengan menangis, beristighfar lalu menganggap jabatan sebagai musibah, juga tak elok. Entar apa kata bos saya? Bisa-bisa saya dipandang orang yang tak bisa dikasih tanggung jawab. ‘Wah, nih anak kok lembek begini? masak diberi jabatan ogah-ogahan! Entar perusahaan saya dibikin main-main?! Nanti kalau dia bikin kesalahan, jangan-jangan jawabannya, ‘siapa suruh angkat saya?!,’ gitu katanya.”

Sayapun makin dalam menyimak.











“Pernah suatu hari saya dapat SMS dari seorang rekan. Dia mengucapkan selamat atas promosi ini. Lalu, saya jawab dengan rendah hati, mengutip ucapan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, ‘Ah, saya hanya jadi pelayan saja Bang!’ Tiba-tiba, dia menyangka saya tak bersyukur. Lalu dia nelepon, ‘Hei, syukuri dululah. Jangan begitu, itu adalah tantangan. Jangan samakan kamu dengan pelayanlah!’ katanya.”

“Tentu saja langsuing saya jawab, ‘Ya tentu saya bersyukur Bang. Tapi saya hanya ingin jadi telapak kaki saja, tugasnya menjaga agar rekan-rekan bisa berjalan dengan baik, dan tak sakit kalau jatuh atau menginjak kerikil tajam. Jadi telapak kaki itu tak hina Bang, toh Syurga ada di telapak kaki juga kok!’ Saya bilang begitu”

Saya hanya tertegun. Selanjutnya, saya menjawab ini dengan cerita pula.

Saya mulai berkisah, dulu di zaman para sahabat ada seorang kaya tengah mencari kuda yang paling bagus dan paling cepat. Maka, mulailah dia masuk kampung keluar kampung. Hingga beberapa hari kemudian, pencariannya berhasil. Seorang menunjukkan padanya, bahwa di kampung Anu, ada seekor kuda hebat.

Tak lama, bertemulah dia dengan kuda yang dimaksud. namanya juga orang kaya, harga tak jadi soal. Asal, bisa berlari kencang. Namun, alangkah kagetnya dia, saat ditunggangi, kuda itu enggan berlari. tentu saja dia keheranan.












“Kalau tuan mau kuda ini berlari, maka harus mengucap kalimat, ‘Alhamdulillah,” nasihat si pemilik.

Si orang kaya inipun menurut. “Alhamdulillah...!” katanya. Ajaib, si kuda langsung berlari.

Lalu dia bilang lagi, kali ini agak keras, “Alhamdulillaaaaahhh...!” Luar biasa, si kuda kian kencang.

Lalu diucap lagi, “Alhamdulillaaaaahhh....!” Gila, si kuda berlari laksana angin.

Ketika kecepatannya kian tinggi, si orang kaya ingin menhentikan larinya. Namun, dia tak berhasil. Selanjutnya, masih di atas kuda, dia berteriak pada si penjual bagaimana cara menghentikannya.

“Anda bilang saja, Astagfirullaaah....!” katanya.

Si orang kaya menurut dan berseru, “Astagfirullaaah....!” bagaikan rem pakem, si kuda pun berhenti. Puaslah si orang kaya, lalu kuda itupun diboyong ke rumahnya.

Hingga pada pacuan kuda, si orang kaya juga ikut berlomba. Karena yakin akan kecepatan kudanya, dia membikin kejutan pada para pesaingnya. Saat aba-aba start bergema, dia sengaja tak memacu kudanya. Diam saja di tempat semula, sementara para pesaingnya sudah jauh berlari.

”Ha ha ha, ngapain sibuk-sibuk. Kudaku paling kencang larinya,” gumamnya.

Hingga satu kilo meter sudah, para pesaing itu berlalu, barulah dia memacu kudanya.

“Alhamdulillaaaaahhh....!” sentaknya. Si kuda pun mulai berlari.

“Alhamdulillaaaaahhh....!” si kuda kian laju.

“Alhamdulillaaaaahhh....!” Kini tak tertandingi lagi larinya, sehingga dalam sekejap, kuda-kuda pesaing mampu disusul, bahkan tertinggal jauh di belakang.












Namun, sasking cepatnya kuda berlari, tak sadar ada jurang menganga di depannya. Untunglah, selangkah lagi dari jurang dia berucap, “Astagfirullaaah....!” Kudapun berhenti.

“Masyaallah, nyaris saja saya jatuh ke jurang,” katanya dalam hati. Karena merasa diri selamat, tanpa sadar dia mengucap “Alhamdulillaaaaahhh....!”

Rupanya, kalimat ini didengar oleh si kuda dan dirasa sebuah perintah untuk berlari. Namanya juga kuda, maka berlarilah dia.

“Akhirnya keduanya masuk jurang,” ujar saya pada rekan tadi.

Si rekan kebingungan, lalu bertanya apa artinya. “Apa hubungannya dengan jabatan baru dan kuda?

“Entahlah, aku juga bingung. Kamu artikan sendirilah!” kataku, sembari berlalu.

Please, open mind...

SMS dari Pak Nyat

Sahabat, abang, bahkan bisa dibilang orang tua saya, Nyat Kadir, pada Minggu pagi, mengirim sebuah SMS. Oh, rupanya mantan Walikota Batam ini, baru baca tulisan saya yang terbit di Batam Pos edisi Minggu 1 Februari, berjudul Dangdut Never Dies.


Saya kaget juga, sebab selama tiga bulan saya menulis catatan lepas di Batam Pos, jarang ada yang merespon sepolos ini. Setelah SMS-nya saya baca, rupanya Pak Nyat, begitu saya memanggil, suka akan kupasan saya soal sejarah musik dangdut yang saya rangkum dari beberapa tulisan saya di blog ini, yang berjudul Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu (1& 2/http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/ketika-dangdut-tak-lagi-melayu-1.html), dan Revolusi Dangdut Ridho Rhoma (http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/revolusi-dangdut-ridho-rhoma.html).

Berikut petikan SMS-nya.
Hebat juga ya referensi Adinda (begitu dia memanggil saya) tentang musik Melayu dan dangdut.

Dangdut never dies, karena dangdut musik rakyat. Irama musiknya menghanyutkan, lagunya sederhana, mudah dicerna dan tak terlalu banyak penghayatan. Penonton, rakyat kecil senangnya bagaimana bisa terhibur dan tak mau mikir musik yang ruwet, karena kehidupan mereka sudah ruwet.







Di daerah Melayu sendiri, kita perdengarkan lagu Melayu dengan irama rentak Melayu, bukan joget atau arahkan ke dangdut, udah sisah diterima. Grup Siti Nurhaliza sangat pandai membaca selera musik Melayu moderen dengan memadukan berbagai aliran musik zapin joget dan lain-lain, (tapi) lagu tetap berperisa Melayu.

Benar sekali, said Effendi itu hebat. lagu Melayunya diciptakan tetap dapat diterima sepanjang zamandan dapat diterima hampir semua kalangan. Melayu dan dangdut sepertinya aliran musik adik-beradik (maksudnya betrsaudara, red), tapi tataplah (seperti yang) Adinda bilang, (selalu) pasang surut, tapi never dies.


Setelah membaca SMS yang memakan 186 karakter ini, saya tentu gembira juga. Bukan karena dipuji, tapi karena terharu, ternyata ada juga yang mengaspirasi hasil karyaku yang tak seberapa itu.

Selanjutnya saya membalas via SMS pula:

Ampuuun, Abang jangan terlalu tinggi memuji Beta (bahasa Melayu halus, berarti saya), makasih Bang...

Selnjutnya, Nyat kembali mengirim SMS balasan:

Nggak terlalu muji berlebihan, sebab saya membandingkan dengan saya sendiri peminat berbagai aliran musik sampai ke jazz. Tapi saya tak punya referensi yang lengkap tentang dangdut dan lain-lain...

Saya pun kembali membalas:

Alhamdulillah... Cik Abang (begitu kadang saya memanggil Nyat Kadir. kadang juga memanggil Cik Tuan/Cik Wan) klik juga blog Beta http://rizafahlevi.blogspot.com/. Ade beragam pemikiran Beta...








Demikianlah. dari SMS ini, saya kembali teringat saat Nyat kadir masih menjabat sebagai kepala Suku Dinas pendidikan Kota Batam tahun 2000 lalu. Dia memang sangat konsen pada kesenian daerah, Melayu, tentu saja.

Saat itu, Nyat memang rajin membina sanggar-sanggar seni dan budaya di Batam. Bahkan, pertengahan tahun 2000 lalu, Nyat pernah mendatangkan Siti Nurhaliza bersama grup zapinnya. Pementasannya dihelat di Hotel Novotel.

Hal ini selanjutnya dia teruskan, ketika dia menjabat sebagai Walikota Batam (2001-2006). Pentas seni dan budaya subur di sini. beragam kegiatan pendidikan juga tak pernah dia abaikan, karena dia memang berbasis pendidikan (Nyat dulu adalah guru).

Sehingga kini, setelah Nyat tak lagi menjabat, para guru seakan hilang panutan. Penggiat seni juga seolah tak ada patron lagi.

Minggu, 01 Februari 2009

Februari, Bulan Kasih Sayang

Ah… Februari. Bulan kasih sayang itu datang jua. Angin basah mengembus, melenakan suntuk dari dera beratnya beban hidup di tahun Kerbau malas ini.

Saya menyebut Februari sebagai bulan kasih sayang, tentu bukan berarti di bulan ini ada Hari Valentin yang juga disebut hari kasih sayang itu. Sama sekali bukan.

Karena saya bukanlah seorang pecinta yang berimam pada ST Valentin. Maaf, untuk hal ini kami beda mazhab.

Dan maaf pula, saya bukanlah orang yang mau dibohongin oleh para kapitalis Jepang itu, ketika mereka mengubah perayaan hari Valentin dari hari raya yang dulu marak dirayakan orang- orang Konstantionopel dan Bizantium, menjadi hari raya untuk menjual kartu ucapan dan coklat.

Lagian, badan saya sudah terlalu berlemak untuk terus dijejali coklat. Di samping itu, gigi graham atas bagian kiri telah “mengembargo” segala macam coklat di rongga mulut saya. Ya sudah. Sakit, ngilu, snut… snut…

Lagi pula, hari raya cinta saya tak terjadi di bulan Februari, melainkan bulan Mei, tepatnya tanggal 3 tahun 2008 lalu. Ya, bulan itu adalah bulan pernikahan kami.










Belum lagi dalam praktiknya, Valentin telah dijadikan hari raya untuk merayakan hubungan intim dengan pasangan yang bukan muhrim. Tentu ini kurang baik. Karena hanya mengulang ritual kaum pagan (penyembah berhala) di Persia (kini Iran) dulu, yang selalu memakai wanita untuk mencapai surgawi.

Marco Polo dalam jurnalnya menulis, Kaum Hasisyin (dari kata hasis, biasa disebut asasin) di Persia sejak era Darius, telah menjadikan wanita untuk mencapai kesempurnaan surgawi.

Biasanya hal ini dilakukan saat ritual untuk menyempurnakan ilmunya. Saat itu, mereka yang setengah mabuk, akan dilepas ke sebuah taman bunga di mana di sana telah menunggu wanita-wanita cantik untuk mereka cumbu. Menurut mereka, hal ini sama dengan situasi di Surga.

Waduh, tentu saya bukannya bagian dari kaum Pagan itu. Saya juga bukan Atheis, juga bukan golongan orang-orang agnostik.

Adapun mengapa saya bilang Februari sebagai bulan kasih sayang, hanya karena di bulan ini memiliki jumlah hari paling pendek di antara bulan-bulan lain. Jumlahnya hanya 28 hari.

Ini tentu menggembirakan bagi saya, orang pas-pasan ini. Beban anggaran belanja jadi sedikit hemat. Uang transpor, uang makan, uang pulsa dan lain-lainnya itu, jadi berkurang.

Mungkin jika ada kwitansinya, maka di sana akan ditulis, “Selamat, Anda hemat 3 hari!

Please, open mind...