Kamis, 30 April 2009

Negeri Maju Bernama Jepang (1)

Jepang. Negara ini memang mengagumkan. Sebutlah namanya, maka orang yang mendengar akan mengidentikkan dengan deretan kalimat kekaguman. Yang paling menonjol dari Jepang, adalah etos kerjanya. Mereka gigih dan tekun. Namun, tahukan Anda bahwa dulu jepang adalah negara tertutup?


Kemajuan Jepang dimulai setelah berakhirnya zaman Edo, tepatnya setelah Kaisar Meiji naik tahta dan melakukan penataan ulang. Gebrakan ini selanjutnya dikenal dengan sebutan restorasi Meiji atau modernisasi Jepang di bawah kaisar Meiji (1866-1869).

Sebelum era ini, Jepang tak lebih dari sebuah negara ultra tradisional, feodal dan sangat tertutup. Mereka sangat anti-asing, karena itulah mereka menutup diri. Hal ini dilakukan, karena Jepang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur.

Di zaman itu, Jepang di bawah kendali kaum samurai, istilah untuk perwira militer kelas elit dari kalangan bangsawan. Karena itu, Samurai haruslah sopan dan terpelajar.










Kata ”samurai” sendiri berasal dari kata kerja ”samorau” asal bahasa Jepang kuno, lalu berubah menjadi ”saburau” yang berarti ”melayani”, dan akhirnya menjadi ”samurai” yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan.

Ciri khas samurai ini, selalu membawa pedang di pinggang. Kadang lebih dari satu. Pedang ini disebut katana. Sementara itu, para samurai yang tidak terikat dengan klan atau bekerja untuk majikan disebut ”ronin”. Sedangkan samurai yang bertugas di wilayah han disebut hanshi.

Adapun pemimpin atau jendral para samurai ini disebut shogun. Pemerintahannya disebut keshogunan. Yang paling terkenal adalah Keshogunan Tokugawa, Keshogunan Edo, keshogunan Kamakura.

Hingga akhirnya Meiji naik tahta pada akhir abad 19 dan memulai restorasi, perlahan tapi pasti samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Meiji malah memerintahkan, mengganti katana dengan pena.











Dorongan modernisasi Jepang ini bermula ketika angkatan laut Amerika dengan armada Pasifiknya di bawah pimpinan Laksamana Perry (1853), datang ke negera tersebut seraya meminta agar Jepang membuka diri kepada pihak asing, misalnya berdagang dan membolehkan kapal merapat di pelabuhannya.

Kedatangan Perry membuat mata bangsa Jepang terbuka terhadap kekuatan lain di luar mereka. Semangat Bushido para samurai dengan pedang-pedangnya, tertantang untuk mempu melawan kekuatan Amerika, orang kulit putih, orang Barat.

Sejak saat itu mereka mulai berpikir, setidaknya sama dengan orang-orang asing itu. Maka, dimulailah proses reformasi dengan pendidikan sebagai mata tombak. Pendidikan menjadi hak dan kewajiban semua warga.

Tetapi reformasi itu yang disebut restorasi, sejak itu restorasi Jepang itu disebut dengan Restorasi Meiji yang juga ditandai sebagai era masuknya Jepang ke zaman industri.

Sebuah catatan menulis, Restorasi Jepang itu berjalan sangat cepat dan efisien tahun 1853.

Menjelang akhir abad ke 19 Jepang sudah berhasil menjadi kekuatan militer dengan angkatan laut yang sangat tangguh sehingga dapat mengalahkan secara mutlak armada raksasa Rusia di Selat Tsushima, menyapu bersih kepulauan Sachalin, mengambil Korea dan Semenanjung Liau-Tung dari Rusia, serta Port Arthur dan Dairen (Wells, 1951).

Namun, restorasi Meiji ini bukannya tak memakan korban. Banyak terjadi penentangan yang berakhir perang. Namun perlawanan ini berhasil dihancurkan.













Apa kata Meiji setelah poenentangnya ini ditumpas? ”Saat ini kita sudah berhasil membuat kereta api, mobil, baju barat, tapi kita tak boleh lupa pada akar budaya.” Pesan Kaisar Meiji ini, terus melakat hingga kini.

Lalu, apa dan mengapa Jepang bisa cepat berkambang seperti itu? Ada konsep pemikiran yang mereka anut selama ini, yaitu ”Kaizen” yang berarti, ambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan produk baru.

Konsep inilah yang dipakai mereka untuk menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu karya kreatif, bukan menjiplak mentah-mentah. (baca juga http://rizafahlevi.blogspot.com/2008/07/kreatif-jepang.html)

Misalkan saja lihat saja bagaimana mobil-mobil buatan Jepang, performanya dibuat berdasar berfalsafah ambil yang baik, buang yang buruk, ciptakan produk baru tadi.

Misal mobil-mobil di Barat selalu berbadan besar, boros, dan mahal. namun bagi Jepang diubah menjadi berbadan ringan, irit dan murah. Hasilnya, mobil-mobil Jepang kini merajai industri otomotif dunia. (bersambung)

Negeri Maju Bernama Jepang (2)

Hal yang lebih menakjubkan, saat Shinkansen, perusahaan transportasi Jepang, pada 1 Oktober 1964 berhasil membuat kereta api cepat (bullet train).

Ini adalah sebuah langkah maju yang diciptakan hanya dalam jangka waktu 19 tahun, setelah Jepang diluluh-lantakkan oleh bom atom! Ide bullet train ini tercipta, setelah Jepang memanfaatkan penemuan magnet di Amerika, sebagai bantalan relnya. Luar biasa.

Selain menerapkan falsafah Kaizen, pada dasarnya kepribadian Jepang sangat dipengaruhi oleh semangat ”bushido” yang sangat asketik, berdisiplin tinggi, dan menjunjung tinggi kode etik dan tata krama dalam kehidupan. Kesemuanya itu terus berlanjut sewaktu proses restorasi itu berjalan hingga kini.






Apa bushido itu?

Kata bushido berasal dari kata ”bushi” (prajurit/kesatria) dan “dou” (jalan). Bushido yang dapat diartikan sebagai ”jalan hidup seorang prajurit atau kesatria” ini, mempunyai 7 kode etik (semboyan) yaitu;

Gi (rectitude/benar)
Yu (courage/berani)
Jin (benevolence/berbuat baik)
Rei (respect/hormat)
Makoto atau Shin (honesty/jujur)
Meiyo (honor, glory/kehormatan dan kejayaan)
Chuugi (loyalty/setia)

Semangat inilah (bandingkan dengan 99 nama Allah) yang mereka pakai dalam melakukan pekerjaan. Sekadar diketahui, kerja bagi orang Jepang adalah segalanya.

Apabila mereka telah bekerja di satu perusahaan, mereka akan bekerja dengan rajin dan penuh semangat, karena bagi mereka, pekerjaan itu adalah Ten Shoku, sebuah pekerjaan yang telah diberikan Tuhan kepadanya, sehingga harus dikerjakan dengan baik dan bersemangat.

Selain itu, diantara mereka ada juga pandangan shigoto = seimei yaitu kerja = hidup. Konsep kerja seumur hidup ini mulai berkembang bersamaan dengan diperkenalkannya konsep bushido dan samurai pada masa feodal di era Tokugawa Shogunate (abad 11-14).








Sejarahnya begini, pada konsep bushido, seorang bushi atau samurai diharuskan mengabdi kepada majikan (penguasa pada masa itu) hingga titik darah penghabisan dengan bersandar pada kebenaran yang diyakininya, karena mengabdi (diartikan kerja) adalah merupakan jalan hidup mereka.

Setelah berakhir Edo-jidai dan menginjak Meiji-jidai (era modern), kasta bushi dihapuskan, namun konsep bushido tetap digunakan secara luas tidak hanya dibidang keprajuritan dan pemerintahan, tetapi juga digunakan untuk mengembangkan bidang perekonomian, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Nah, dari konsep itulah bagi orang Jepang, hidup = kerja, kerja = hidup!
Menariknya, orang jepang akan sangat malu bila pindah-pindah kerja (dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain) karena bisa dianggap sebagai orang yang tidak punya loyalitas dan komitmen terhadap pekerjaan dan perusahaan.









----
Prescript:
Pengaruh mendasar lainnya dari kehadiran bangsa Amerika di Jepang adalah perubahan Konstitusi Jepang yang dibuat atas supervisi Jenderal MacAthur (26 Januari 1880 – 5 April 1964), dan konstitusi itu masih berlaku hingga kini.

Di bawah asuhan Jenderal MacArhur, sejak tahun 1945-1951, Jepang tumbuh kembali menjadi negara ekonomi yang sangat tangguh, sehingga menjadi super power dalam bidang ekonomi hingga kini.

Yang menarik dari Restorasi Jepang adalah :
Para aktor yang sangat gigih memperjuangkan reformasi itu berjumlah tidak lebih dari 100 orang muda yang cerdas dan berdedikasi tinggi.

Titik berat dari proses restorasi itu adalah di bidang pendidikan. Banyak sekali pemuda Jepang dikirimkan ke luar negeri dan Jepang banyak mengambil sistem Jerman dalam segala proses kehidupannya.

Sewaktu menjalankan Restorasi, Jepang sudah memiliki administrasi pemerintahan yang sangat rapih warisan dari rezim Tokugawa.

Setelah Jepang hancur oleh bom atom, kaisar saat itu bertanya, berapa guru yang tersisa?

Rabu, 29 April 2009

Apa yang Nurani Anda Inginkan?

Marilah kita dengarkan suara hati, biarkan nurani bicara, jawab pertanyaan saya.
Sesuatu apa yang sudah lama Anda inginkan yang bisa membuat Anda bahagia?<

Pertanyaan ini saya tujukan pada orang-orang sekitar lingkungan saya, mulai rekan kerja, warga komplek, dan tentu saja, keluarga.

Jawaban mereka, cukup beragam. Namun, rata-rata sama. Misalnya ada yang menjawab negini, "Saya hanya ingin hidup ini penuh kedamaian dan keselamatan. Wah, bahagaia rasanya."

Ada lagi yang berkata, "Saya ingin kaya. Inilah yang bisa membuat saya bahagia.""Saya ingin merasa dilindungi."

"Kalau saya tak muluk-muluk, saya ingin hidup bermanfaat. Ah, tentunya ini lebih membuat saya bahagia," timpal yang lain.

Dari sini, saya coba rangkum semua jawabannya. Umumnya, mereka (manusia) mengingankan kedamaian, keselamatan, kekayaan, serta bermanfaat bagi sesama, barulah hidupnya akan merasa bahagia.









Baiklah, dari sini kita tutup dulu masalah ini. Selanjutnya, marilah kita berganjak ke pertanyaan yang kedua. Pada mereka saya tanyakan pula, tipe pemimpin bagaimana yang sudah lama Anda inginkan yang bisa membuat Anda bahagia?

Sama seperti yang pertama, jawaban juga beragam. Namun intinya tetap sama. "Saya ingin pemimpin yang adil dan bijaksana."

"Kalau saya igin seorang pemimpin yang pandai menata."
"Ah, kalau saya pemimpi itu haruslah terpuji. Track record-nya harus baik."

Ada juga yang bilang, "Saya ingin pemimpin yang bisa memberi petunjuk. Dia tak hanya pandai merendahkan, tapi juga meninggikan."

"Oh, kalau saya inginkan pemimpin yang cerdas. Dia juga harus kuat!"
"Kalau aku ingin pemimpin yang memiliki integritas. Dia bisa dipercaya," jelasnya.









Waduh, banyak juga jawaban mereka. Ada yang ingin pemimpin yang adil dan bijaksana, yang pandai menata, terpuji, memberi petunjuk, tak hanya merendahkan, tapi juga meninggikan, cerdas, kuat, serta pemimpin yang bisa dipercaya.

Jawaban ini, bukan sembarang jawaban. Ini adalah isi suara hati, ini nurani yang bicara yang insyaallah, jujur dan benar.

Semua hasil jawaban ini coba saya kaitkan dengan teori dasar kepemimpinan yang saya dapat saat SMA dulu.

Dikatakan, bahwa arti kepemimpinan itu adalah pengaruh. Seni kepemimpinan adalah seni menebar pengaruh, atau bisa mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin yang kuat, umumnya memiliki pengaruh yang kuat pula.

Untuk mencapai ke sana, biasanya anak manusia harus melalui beberapa anak tangga. Tangga pertama, Anda haruslah dicintai, barulah Anda bisa memiliki memiliki hubungan yang erat dengan yang Anda pimpin.

Tangga kedua, Anda haruslah dipercaya, barulah Anda bisa memiliki integritas.

Tangga ketiga, harus memiliki pengikut, barulah Anda bisa menolong mereka.

Tangga keempat, Anda harus memiliki kader untuk itu harus bisa membimbing.

Tangga terakhir, Anda harus mampu memberikan warisan yang hidup, maka Anda bisa
menjadi pemimpin abadi. Ini sudah masuk dalam taraf pemimpin tertinggi. Hal inilah
yang dilakukan para pahlawan, para nabi dan Rasul.

Yang terpenting, menjadi seorang pemimpin haruslah mampu membangun kesadaran diri, rajin-rajinlah berjalan ke dalam diri.

Dan ingat, seorang pemimpin haruslah memiliki tujuan jangka pendek, yakni bekerja sebaik-baiknya (dunia), jangka menengah; membangun peradaban, dan jangka panjang; mengumpulkan bekal untuk akhirat nanti.





Dari semua uraian ini, dari semua jawaban suara hati dan nurani ini, tahu tidak, siapa yang sebenarnya manusia inginkan selama ini supaya hidupnya bahagia?
Tahukan Anda? Jawablah!

Dialah Allah.


Bersumber dari nama-nama Allah-lah yang disebut oleh nurani mereka. Allah-lah yang diinginkan suara hati mereka, Allah adalah jawaban bagi kebahagiaan mereka.

Simaklah apa jawaban mereka saat saya tanya, sesuatu apa yang sudah lama Anda inginkan yang bisa membuat Anda bahagia?

Jawabnya, saya ingin kedamaian, keselamatan, kekayaan, serta bermanfaat bagi sesama.

Lalu siapakah yang mereka sebut itu? Beberapa dari 99 nama-nama baik Allah (asmaul husna).

Dialah Allah yang Maha Damai (As-salaam).
Dialah Allah yang maha kaya (Al- Ghonny).
Dialah Allah yang maha pemberi manfaat (An-nafi'i).
Dialah Allah yang maha melindungi Al-Waliy).

Demikian juga saat mereka menjawab pemimpin tipe pemimpin bagaimana yang mereka idam-idamkan, mereka kembali menyebut nama Allah.

Dialah Allah yang adil dan bijaksana (Al-Adlu, Al Hakim).
Dialah Allah yang maha pandai menata (Al-Ba'ari).
Dialah Allah yang maha terpuji (Al Hamid).
Dialah Allah yang maha pemberi petunjuk (Al-Hadii)
Dialah Allah yang maha merendahkan, dan maha mengangkat (Al Khoofidh, Al Roofi'i).
Dialah Allah yang maha cerdas (Ar-rasyiid).
Dialah Allah yang maha kuat (Al-Qowiyy).










Dari sini, jawablah siapa yang suara hati Anda inginkan sebenarnya? Siapa yang nurani Anda inginkan sebenarnya?

Allah...
Allah...
Allah...

Tapi mengapa Anda lupa? Tapi mengapa Anda mengingkari-Nya? Tapi mengapa Anda tak pernah bersujud pada-Nya?

Mohon ampun kepada Allah, karena dialah sang maha pengampun (Al-Goffar).

Antara IQ, EQ dan SQ (1)

Beberapa tahun lalu, petinggi perusahaan pesawat terbang di Indonesia pernah datang ke Malaysia melobi bos Petronas untuk menawarkan pesawat yang produksinya.

Delegasi ini langsung disambut sang CEO dengan jamuan makan malam. Setelah itu, delegasi ini diajak melihat-lihat koleksi barang antik pribadi kebanggaannya, mulai aneka keramik China kuno dan lain-lain.

”What do you think sir?” ujar si CEO.
”Oh, fantastik, its wonderful. I Never seen like this before,” komentar anggota delegasi, memberikan penghargaan. Sang CEO pun senang.

Namun, ada pemandangan yang membuatnya keheranan. Dia melihat seorang asisten dari delegasi tersebut, seorang doktor yang sangat cerdas, hanya diam saja. Dia pun penasaran, lalu bertanya.

”Wahai, gentleman, bagaimana menurut Anda?”
Yang ditanya pun akhirnya menjawab, ”Oh bagus-bagus Tuan. Dan perlu Tuan ketahui, di Jakarta, tepatnya di jalan Surabaya, barang antik seperti ini banyak dan murah-murah Tuan!”

Tahu apa yang terjadi, si CEO geram, namun ditahan dalam ahti. Puncaknya, Petronas membatalkan untuk membeli pesawat dari Indonesia.










Contoh lain.

Seorang ahli komunikasi yang brilian berbicara di depan karyawan sebuah perusahaan. Materinya, soal motivasi dan komunikasi. Tentu saja karyawan tersebut senang bukan kepalang. Pikirnya, kapan lagi mendapat pencerahan gratis dari seseorang pembicara yang perjamnya dibayar Rp15 juta itu.

Pertama sekali, mereka menyimak. Saat tiu, si ahlu komunikasi berbicara tentang dirinya sendiri. Soal kehebatannya, soal kesuksesannya. Ya, tak apalah, sah-sah saja.

Hingga kemudian ahli komunikasi itu terang-terangan mengkritik mantan pimpinan karyawan tersebut yang dia pandang tak hormat pada senior. Sekadar diketahui, beberapa tahun lalu, si ahli komunikasi ini pernah datang ke kantor tersebut dan diterima pimpinan berbeda.

Di penghujung kisah, sang brilian mengatakan agar para karyawan bersiap memecat diri atau dipecat dari perusahaan yang kejam tersebut. Menurutnya, pekerjaan ini tak bisa dijadikan sandaran. Lihat saja, di kantor pusat pun, banyak pimpinan hebat-hebat dan brilian akhirnya harus diberhentikan dan dibayar pesangonnya.

Hingga sesi ini usai, apa yang terjadi? Para karyawan yang tadi diberi pencerahan malah kian resah. Mereka menyayangkan kok, tega-teganya si pembicara memberi predikat buruk pada mantan pimpinannya itu.

Selain itu, banyak mereka yang merasa hilang semangat dan semakin merasa tak berarti. ”Buat apa bekerja, toh akhirnya diberhentikan juga. Orang-orang hebat di kantor pusat saja dengan mudahnya dibuang, apalagi kita?” ujarnya.











***
Dua kisah ini adalah contoh, betapa kadang kecerdasan intelektual (IQ) saja tidak cukup. Untuk itu, harus diiringi kecerdasan emosi (EQ), supaya bisa meraba perasaan orang lain.

Pada contoh pertama, ketika seorang doktor mengatakan bahwa koleksi si CEO banyak dijual di jalan Surabaya dengan harga yang murah. Ini menandakan bahwa dia tak bisa meraba perasaan, betapa saat itu si CEO sedang berharap penghargaan yang layak.

Apakah omongan si Doktor salah? Tentu tidak, ucapannya benar, namun sekali lagi, situasi dan kondisinya saja yang tak tepat disampaikan di saat-saat seperti itu.

Demikian pula tentang si pembicara hebat tadi. Seandainya dia pandai meraba perasaan orang, mungkin dia tak akan menyampaikan cap negatrif pada mantan pimpinan karyawan tersebut.

Karena, sejelek apapun pimpinan, pasti meninggalkan ”warisan” pada anak buahnya. Dan ini bisa jadi ada yang baik. Karena itu, wajarlah bila ada yang merasa terusik melihat mantan pimpinannya dijelek-jelekkan.

Atau, seandainya dia bisa merasa bahwa saat itu kondisi perusahaan sedang krisis dan dibutuhkan semangat para karyawannya untuk melawan, tentunya dia tak akan menceritakan tentang beberapa orang hebat di kantor pusat yang diberhentikan, bila tak terpakai lagi.












Memikirkan hari depan itu, tentu perlu, namun saya rasa materi ini tak sepantasnya disampaikan saat ini. Waktunya saja yang kurang tepat. Tunggulah nanti, jika kondisi perusahaan stabil, atau karyawan baru saja dapat bonus, sehingga mental mereka lebih siap.

Lagi pula, apa pentinya sih, "memotivasi" karyawan bersiap-siap mencari kerjaan lain di luar?

Inilah pentingnya, manusia tak hanya dibekali IQ tapi juga EQ. Sehingga omongannya tak menyakitkan orang lain.

Kita sering mendengar, seorang pimpinan yang selalu menghina dan mengintimidasi hasil kerja anak buahnya. Dia merasa pandai, merasa dominan, merasa berperan, namun tak pandai merasa.

Akibatnya, banyak harapan tak tercapai, karena pemikiran karyawan jadi mandeg, dan banyak dari mereka yang kurang mendapat peran yang baik. Akhirnya, mereka merasa terancam, kinerja monoton, dan hilang kreativitas.(bersambung)

Antara IQ, EQ dan SQ (2)

Padahal, bisakah dia rasakan bagaimana jika saat itu posisi dan kondisinya, sama seperti apa yang dihadapi anak buahnya itu? Bisa jadi dia lebih buruk, atau malah dihakimi kata-katanya sendiri.


Ada sebuah contoh bagus soal IQ yang dibarengi EQ ini. Dulu saat dalam perjalanan, khususnya saat naik kereta api, kita kesulitan jika haus. Saat itu yang ada hanya orang jualan teh dan minuman manis lain.

Rupanya, kesulitan ini ada yang bisa merasakan. Lalu dia masukkan air bening itu ke dalam botol. Anda tahu berapa harganya? Lebih mahal dari bensin. Inilah yang kita kenal saat ini dengan air mineral. Inilah yang disebut kreatifitas, inilah yang disebut keberanian mengambil resiko.

Semua ini menyangkut komitmen, tanggungjawab, visi, kemampuan merasakan, kemampuan membaca situasi, inisiatif, sensitif, merasakan dan melihat dengan mata hati. .

Dan yang terpenting, sebuah survei membeber, bahwa kemampuan mengandalikan emosi ini, membuat bisnis lebih sukses. Berbekal kecerdasan emosional ini, pimpinan akan memiliki kemampuan untuk mengandalikan emosi, menguasai diri sehingga bisa mengambil keputusan dengan tenang.










Lalu, bagaimana ilmu EQ ini bekerja? Caranya simpel saja. Saat bertemu orang lain, tataplah matanya, lalu tersenyumlah, 2 centi kanan 2 centi ke kiri, supaya imbang. Ini sudah cukup bagus. Karena, dari penelitian, ternyata 80 persen otak manusia itu adalah emosional, dan 20 persen intelektual

Contoh lain, jika Anda ingin meraih hati seseorang, saat mendengar dia berbicara Anda jangan bilang ”Wah hebat!” Itu bohong. Namun jawablah, dengan sedikit senyuman, angguk-angguk sebentar, lalu berkata, ”Oh oya ya, ini yang saya cari.” Inilah yang disebut IQ

Jangan lupa juga ajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dia bangga. Contohnya, kok bapak kok bisa jadi prediden direktur ya? Pasti dia akan bercerita dengan sunggguh sungguh, dia akan berbicara dengan bersemangat.

Yang perlu diingat, ketika dia bicara, tiap tiga menit sekali jangan lupa anggukkan dagu setiap dia berhenti. Ketika seperti itu, maka Anda akan meraih hatinya. Inilah dia teknik-teknik kecerdsan emosional.

Jadi ingat sebuah pepatah, kalau kita merendah, maka kita akan menjadi lembah. Di sinilah tempat segala mata air mengalir dan tumbuhan hidup di dalamnya.












***

Namun, memiliki bekal kecerdasan intelegensi dan kecerasan emosi saja tidak cukup, tanpa diiringi kecerdasan spiritual. Karena hal ini hanya akan membuat hidup kita jadi hampa, tak bahagia. Selanjutnya, mereka mencari bagaimanakah kebahagiaan itu? Akhirnya banyak tenggelam ke tempat-tempat maksiat, narkoba bahkan bunuh diri.

Sebuah kisah, marilah kita menuju ke sebuah negara adidaya, negara kaya bernama Amerika Serikat. Di sini, ada sebuah negara bagian bernama California. Semua sudah tahu, betapa kayanya California. Hasil pertanian melimpah, industri hiburan, Hollywood, Disneyland juag ada.

Di sini, tepatnya di San Fransisco, juga ada sebuah jembatan yang terkenal di dunia, bernama Goldengate. Jembatan ini dibangun sebagai supremasi kekayaan, kemapanan dan kemajuan di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Masyarakat di sini juga mendewa-dewakan IQ. Semua serba dirasionalkan. Dunia menjadi tujuan akhir. Namun apa yang terjadi? Dunia mencatat, bahwa Goldengate menjadi saksi, betapa 6.000 nyawa warga California tewas bunuh diri di sini.

Sampai-sampai, saat ini di pinggir jembatan tersebut dibentangkan kawat guna menekan tak bertambahnya angka bunuh diri ini.

Bahkan, pemerintah negara bagian itu, juga memasang telepon konseling gratis, bagi warga yang frustrasi, agar tak bunuh diri. (bersambung)

Antara IQ, EQ dan SQ (3)

Hal serupa juga kita temukan di Jepang. Bahkan kini di Indonesia pun, sebuah data menunjukkan betapa tingginya angka bunuh diri ini. Hedonisme, dan tujuan hidup yang hampa membuat semua ini kain subur.


Untuk itu, IQ, EQ itu perlu. Namun haruslah dilandasi SQ. Jika hanya memiliki IQ dan EQ tanpa dibekali SQ, maka kita akan menjelma menjadi seorang manipulator.

Hal ini bisa kita saksikan, pada musim caleg lalu. Betapa banyak orang yang datang ke masyarakat dengan membawa senyum, dan berupaya mengerti perasaannya.

Namun, hal ini tak diiringi dengan niat tulus di hatinya. Yang ada hanya kepentingan. Semua perbuatannya selalu berdasar pamrih saja. Jika dipandang tak menguntungkan, langsung dia tinggalkan.

Di sisi lain, coba kita bayangkan, bagaimana jika kecerdasan IQ dan EQ ini dipakai oleh Hitler, Musollini, koruptor atau penjahat yang lain? Otaknya pinter, sikapnya bagus, pendidikannya tinggi, tapi itu hanya untuk mencapai keinginan pribadi.










Maka itu, sekali lagi, kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosi, haruslah diimbangi dengan kecerdasan spiritual (SQ). Tapi, semuanya harus menyatu. Jika bekal IQ, SQ dan EQ yang kita miliki tidak menyatu, maka akan membuat kita lebih buruk lagi. Salat jalan, nyolong juga jalan. Tak ada guna juga.

Maka, sekali lagi, antara IQ, EQ, dan SQ haruslah menyatu padu. Karena inilah yang mampu menjawab untuk apa IQ itu, untuk apa EQ itu, untuk apa kita di bumi, untuk apa kita hidup, utnuk apa hakikat kita hidup dan akan kemana tujuan kita hidup.

***

Lalu seperti apakah sebenarnya hubungan IQ, EQ dan SQ? Mari kita simak uraian Ary Ginanjar Agustian (Bandung, Jawa Barat, 24 Maret 1965) seorang dosen, pengusaha, dan penulis buku Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) dan ESQ power.

Ary terkenal dengan pemikirannya yang diberi nama ESQ, sebuah pemikiran yang menguak adanya korelasi yang sangat kuat antara dunia usaha, profesionalisme dan manajemen modern, dalam hubungannya dengan intisari al-Islam: rukun Iman dan rukun Islam.








Bismillah...

Menurutnya, IQ terletak pada fungsi otak neocortex, EQ terletak pada fungsi otak lymbic system, sedangkan SQ pada fungsi otak godspot, atau terletak pada temporallobe.

IQ ditemukan pada tahun 1905 di paruis prancis oleh Binet. Kemudian dibawa ke AS di Universitas Stanford maka lahir disebut Stanfordbinet dipergunakan pertama kali pada perang dunia I. Di sana diurai bagaimana mengukur manusia sukses apabila memiliki IQ 100.

Pada tahun 1995 ditemukan teori EQ, yang semula dimunculkan oleh Daniel Colleman dalam bukunya Working with Emotional Intellegent. Hingga akhirnya pada tahun 2000, melalui sebuah penelitian yang salah satunya ditemukan oleh VS Ramachandran (California University), akhirnya ditemukan tentang fungsi otak ketiga yang disebut God Spot, yang juga ditemukan oleh Michael Persinger tentang fungsi yang disebut The Binding Problem.

Ini semua menjadi syarat ilmiah bahwa kecerdasan spiritual sudah ada dalam fungsi neroscience otak manusia.










Namun, kecerdasan intelektual saja tak cukup, masih dibutuhkan apa yang disebut EQ, yakni kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain, lalu menjadikannya pengetahuan untuk mengambil tindakan. Kini kita tanya pada diri kita sendiri, apa pernah kita melakukan hal seperti itu?

EQ menunjukkan bukti bahwa sangat berperan penting di dalam keberhasilan kita.
Jadi, bagaimana dengan kita? Apakah EQ diajarkan dalam kehidupan kita, saat SD, SMP, SMA atau kuliah?

Yang banyak kita ketahui, umumnya yang diajarkan hanya intelktualitas, ”IQ harus 100”.

Sekarang cobalah kita ingat, di manakah kini teman-teman kita yang dulu bintang-bintang kelas itu? Apakah mereka banyak menjadi orang sukses di atas rata-rata, atau banyak yang gagal?

Sebuah lembaga pernah membuat penelitian akan hal ini. Mereka melihat data bank raksasa bernama EQ inventory. Di sini dikumpulkan data-data seluruh orang sukses di muka bumi.

Hasilnya, ditemukan bukti bahwa kecerdasan intelektual hanya 6 persen membawa keberhasilan, bahkan maksimum hanya 20 persen.

Sekarang, bagaimanakah kita menerapkan hal ini pada anak-anak kita? Masihkah mereka kita dorong agar memiliki angka-angka tinggi? Padahal kita lihat, keberhasilan tak ditentukan oleh intelektualitas semata. (habis)

======
Terima Kasih Majelis Taklim Kota Batam, Bu Veny, atas dorongannya agar saya terus menulis... Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua, amin. Dan nantikan juga tulisan ini di edisi berikutnya, masih di blog ini...

Selasa, 28 April 2009

Soerya Angkat Barang

Ada peristiwa unik yang terjadi di gedung DPRD Batam. Anggota yang sudah tak bisa mempertahankan diri lagi, satu persatu mulai mengemasi barang-barangnya. Termasuk di antaranya, Ketua DPRD Batam Soerya Respationo.




Kemarin saya sempat melihat langsung ruangan Ketua DPRD Batam yang berada di lantai II itu. Kondisinya sudah berbeda jauh.

Pemandangan ini pertama kali tampak pada ruang tunggu tamu Ketua DPRD. Biasanya ruang ini penuh berderet 1 set meja kursi berukir dari Jepara, kini sudah kosong seperti lapangan bola.

”Silakan masuk,” ujar Soerya, mengajak saya menuju kursi di ruang tamu kantornya.

Saat itulah, mata saya menyapu seluruh sudut ruangan. Kondisinya sudah berbeda. Di ruang tersebut, hanya ada sebuah sofa seadanya yang berbada satu sama lain.

Yang panjang terbuat dari vinyl berwarna coklat, sementara kursi yang lain berwarna kuning. Mejanya, juga meja kayu yang sederhana.








Yang amat ”memprihatinkan”, meja kerja Soerya saat ini mirip meja Satpam, atau seperti meja yang dipakai para panitia pengawas pemilihan umum di kelurahan.

Meja ini terbuat dari serbuk kayu ukuran 1x30 cm. ”Sebenarnya ini adalah meja samping. Saya ambil dari ruang Pak Rukun (Kasubag Rumah Tangga Rukun Mulyodiharjo),” jelasnya.

Yang lebih menyedihkan saat melihat kursi kerja di belakangnya, modelnya persis kursi kerja staf kantor. Bentuknya berleher tinggi, dan bagian kakinya beroda. Kalau diduduki, bisa bergoyang-goyang.

Agar kesan dekilnya tak kelihatan, maka bagian badan kursi dibungkus kain mirip sarung bantal berwarna cokelat tua. Iseng saya sempat meminta Soerya duduk di sana. Diapun mau, lalu berganjak ke meja tersebut. Alhasil, kesannya jadi lucu.

Apalagi saat duduk di kursinya, selalu oleng ke kiri dan ke kanan. Maklum, tak kuat menahan badan Soerya yang tinggi besar itu. ”Kursi ini saya ambil dari gudang,” jelasnya.







Semua memang sudah berubah. Yang tak berubah, hanyalah lukisan kuda berlari yang terpajang di dinding sebelah timur dan sebuah filing cabinet yang berada di belakang meja kerja. Namun kondisinya tak lagi rapi.

Beberapa map dan berkas kerja tersusun tak rapi di sela-selanya. Padahal dulunya di sini berderet rapi buku-buku bacaan berkualitas, buah karya ilmuan luar dan dalam negeri.

Selain itu, meja kursi di ruang makan merangkap ruang rapat ketua juga masih tetap berada di sana, bersama sebuah lukisan singa yang ekspresinya sangat muram. Seolah menangisi kepindahan tuannya.

”Semua ini memang punya Dewan, Mas. Kalau punya saya sudah diangkut semua,” ujar Soerya, sembari menghisap rokoknya.






Padahal, setahun lalu saat saya bertandang kemari, ruang ini amat artistik. Di tiap sudutnya penuh meubeler bernilai seni tinggi. Semua tersusun rapi, bersama ornamen-ornamen atau hiasan yang disusun sesuai selera Soerya.

Tak heran, tiap pejabat yang bertandang ke mari langsung mengucap rasa kagum. Maklumlah, semua memiliki nilai estetika tinggi. Semua yang ada di sini, didatangkan langsung oleh Soerya dari Jepara.

Misalnya, 1 set meja kursi, 1 set kursi kerja, 1 set meja tamu dan sofa, 1 set meja konsul, serta kaca hias, meja teh dan kursinya. Semuanya terbuat dari kayu berukir khas kota tua di Jawa tengah itu.

Hal ini masih ditambah lagi dengan aneka hiasan, berupa jam dinding besar nan eksotis, seperangkat barang antik, guci berukir dari Tiongkok kuno, aneka barang keramik, peralatan perang tradisional, pernak-pernik hiasan dinding, serta lambang negara burung garuda yang antik.






Semua benda-benda ini tersebar rapi, menghias di seantero ruangan dan sudut ruang kerja Ketua PDIP Kepri itu.

Namun, saat ini, barang-barang tersebut tak lagi ada. Semua telah diangkut.

”Kapan angkat-angkatnya Mas?” tanya saya.
”Hari Selasa (21/4), lalu,” ujarnya.

Soerya menjelaskan, proses kemas-kemasnya ini memakan waktu lebih 12 jam. Mulai pukul 10.00 pagi, hingga pukul 01.00, atau Selasa (22/4) dinihari.








”Semua barang-barang ini langsung disimpan di Sekretariat Jogoboyo, di Dutamas,” jelasnya.

Adapun armada yang dikerahkan, 1 truk dan 2 pick up. ”Inipun harus bolak-balik sampai 3 trip,” ujarnya.

Lalu, apa tanggapan Sekwan DPRD Batam Guntur Sakti akan hal ini?

”Sebenarnya, Pak Soerya tak perlu terburu-buru gitu,” jelasnya, di ruang terpisah kemarin.

”Pak Soerya orangnya memang gitu. Dia tak mau menunda masalah. Di perkerjaan, maunya kros-cek terus. Kehadiran juga selalu on-time,” sebut Guntur.

Soal niat Soerya yang akan mengamasi barang-barangnya ini, menurut Guntur dia memang pernah diberitahu. Tapi waktunya belum jelas.









Hingga beberapa hari kemudian, tepatnya Jumat (24/4) sore sepulangnya dari acara Asosiasi Sekretaris Dewan Kota Seluruh Indonesia (Asdeksi) di Jakarta, Guntur terkejut melihat ruang Soerya sudah kosong melompong.

”Inilah yang membuat saya menyesal,” ujar lelaki bercambang ini.

Namun, jangan salah, Guntur menyesal bukan karena tak ikut terlibat saat kemas-kemas barang berlangsung, tapi karena kehilangan momentum untuk meminta ”warisan” barang-barang milik Soerya yang bernilai tinggi tersebut.

Karena itulah, malam harinya Guntur datang ke Soerya. Hasilnya, dia dapat juga. ”Lumayan, satu buah guci cantik, he he he,” candanya.

Senin, 27 April 2009

Siapa Kamu?

Sebelum membuka halaman ini, saya meminta agar Anda membacanya dalam kondisi yang tenang (hening). Baca dengan perlahan, resapilah, bacalah dengan nama Tuhanmu.

Suara-suara itu berbisik lembut.
Siapa Kamu?!


Aku terdiam. Suara itu datang lagi, kali ini agak keras.
Siapa Kamu?!
Jawab!

Aku diam. Suara itu datang lagi.
Kali ini membentak!

Siapa Kamu?!

Jangan diam saja! Jawab! Jawaaab!


Aku tergagap, lalu berupaya menjawab.
Siapa kamu?

Saya, seorang ayah!

Siapa kamu?
Saya seorang karyawan!

Siapa kamu?
Saya seorang penulis.

Siapa kamu?
Saya seorang anak buah, bos koran.

Lalu, siapa kamu 10 tahun lalu?

Saya lulus kuliah.

Lalu di siapa kamu 20 tahun lalu?

Saya masih SMA

Lalu siapa kamu 30 tahun lalu?

Saya masih dalam buayan ayahanda dan ibunda.

Lalu siapa kamu 40 tahun lalu?
Saya...

Lalu siapa kamu 100 tahun lalu?
Saya...

Siapa kamu saat itu?

Saya...

Siapa kamu saat itu?
Jangan diam saja, jawab?!

Entahlah...

Siapa yang menghadirkan kamu ke bumi?
Allah...

Siapa yang memberimu kehidupan?
Allah!


Siapa yang memberikan sifat kasih sayang pada ibumu?
Allah.

Siapa yang maha pengasih dan penyanyang?
Allah!

Kamu merasakannya, lalu mengapa hatimu buta?
Sekarang jawab, siapa kamu?
Mahluk!

Kamu sudah mengatahuinya, tapi mengapa hatimu buta? Siapa kamu?
Mahluk.

Sejak alam azali kamu sudah mengatahuinya, sejak alam azali kamu telah berjanji,
tapi mengapa sekarang hatimu buta! Siapa kamu?

Mahluk.

Sebutlah dengan nama Tuhanmu, siapa kamu?
Mahluk!

Mahluk siapa kamu?
Allah...

Sebelum nyawamu dihembuskan, kamu telah mengatahuinya. Kamu telah berjanji
pada Allah, tapi kenapa sekarang kamu tak menganalnya?




Siapa yang menciptakanmu?
Allah....
Allah...
Allah...

Nafasku tercekat, sendiku serasa dicabut satu persatu.
Saya tunduk dalam kelemasan. Ampuni hamba ya Allah...
Ampuni hamba ya Allah...
Hamba selama ini buta...
Hamba selama ini sesat...
Ampuni hamba ya Allah...
Ampuni hamba ya Allah...
(saya pingsan).



====

Setelah sadar suara-suara itu datang lagi.
Suara-suara itu berbisik lembut.

Lalu, apa yang inginkan?

Aku terdiam. Suara itu datang lagi, kali ini agak keras.
Apa yang kau inginkan?
Jawab!


Aku diam. Masih lemas. Tapi suara itu datang lagi.
Kali ini membentak!

Apa yang kau inginkan?
Jangan diam saja! Jawab! Jawaaab!


Aku tergagap, lalu berupaya menjawab.
Apa yang kau inginkan?
Saya, ingin harta.

Apa yang kau inginkan?
Aku ingin prestise.

Apa yang kau inginkan?

Saya ingin bahagia.

Apa yang kau inginkan?
Saya ingin bahagia.

Apa yang kau inginkan 10 tahun lalu?
Saya bisa kerja.

Apa yang kau inginkan 20 tahun lalu?
Saya ingin ibu saya sehat.

Lalu apa yang kau inginkan 30 tahun lalu?
Saya terdiam, tak ingat lagi masa-masa itu.

Lalu Apa yang kau inginkan 40 tahun lalu?
Saya...

Lalu Apa yang kau inginkan 100 tahun lalu?
Saya...

Apa yang kau inginkan saat itu?
Saya...

Apa yang kau inginkan saat itu?
Jangan diam saja, jawab?!
Entahlah...

Siapa yang memberimu harta?
Allah...

Siapa yang memberimu kehidupan?
Allah!


Siapa yang memberimu kebahagiaan?

Allah.

Siapa yang maha pengasih dan penyanyang itu?
Allah!

Siapa yang maha pemberi keinginan?
Allah!

Kamu merasakannya, lalu mengapa hatimu buta?
Sekarang jawab, apa yang kau inginkan?

Sang pemilik segalanya, Allah!

Kamu sudah mengatahuinya, tapi mengapa hatimu buta? Apa yang kau inginkan?
Allah!

Sejak alam azali kamu sudah mengatahuinya, sejak alam azali kamu telah berjanji,
tapi mengapa sekarang hatimu buta! Apa yang kau inginkan?

Allah.

Sebutlah dengan nama Tuhanmu, Apa yang kau inginkan?
Allah!

Sebelum nyawamu dihembuskan, kamu telah mengatahuinya. Kamu telah berjanji pada Allah, tapi kenapa sekarang kamu tak mengenalnya?
Siapa yang kau inginkan?

Allah....
Allah...
Allah...

Kalau Allah yang kamu inginkan, mengapa kamu ingkar?
Kalau Allah yang kamu inginkan, mengapa tak bersujud?
Kalau Allah yang kamu inginkan, mengapa kamu masih menuhankan harta?
Kalau Allah yang kamu inginkan, mengapa kamu masih menuhankan dunia?

Nafasku tercekat, sendiku serasa kembali dicabut satu persatu.
Saya tunduk dalam kelemasan.
Ampuni hamba ya Allah...
Ampuni hamba ya Allah...
Hamba selama ini buta...
Hamba selama ini sesat...
Ampuni hamba ya Allah...
Ampuni hamba ya Allah...
(saya pingsan).

-----------------
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).(Qs Yunus:56)

Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.(Qs Yunus:57)


Katakanlah:
"Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? "Maka mereka akan menjawab:" Allah ". Maka Katakanlah:" Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?"

QS. Yunus (10) : 31

Jumat, 24 April 2009

Pindah, Mengungsi, Merantau

Banyak kata disandangkan untuk menyebut lelaku manusia saat berpisah dengan daerah asalnya. Bila perpindahan tersebut dipicu faktor budaya, psikologis, atau memang kondisi daerah asal yang minus, maka disebut migrasi, merantau, atau hijrah. Namun, bila dipicu faktor keamanan, biasanya disebut mengungsi.


Apapun namanya, intinya ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Karena itu, di beberapa daerah memiliki ritual khusus, sebelum warganya merantau. Ada yang sebelum berangkat, terlebih dahulu mempersiapkan bekal yang cukup, baik makanan dan ilmu. Bahkan orang-orang dahulu, banyak anak muda yang harus tamat belajar ilmu silat, sebelum berangkat ke tanah seberang.

Sementara di kampung saya, Pulau Bawean, Jawa Timur, penduduknya masih memelihara tradisi unik saat akan merantau. Misalnya, setelah meninggalkan rumah tak boleh lagi menoleh ke belakang. Apapun yang terjadi, pandangan harus tetap tertuju ke depan! Namun setelah berhasil di rantauan, mereka harus pulang, menengok kampung halaman. Minimal, setelah dua tahun harus pulang.

Ini adalah tradisi, kebudayaan yang bermula dari kebiasaan dan bermuara pada adat. Tentu tradisi tersebut ada maksudnya. Mengapa perantau tak boleh lagi melihat ke belakang? Supaya mereka bisa fokus dengan hal yang akan di hadapinya di rantauan. Sesuatu yang bisa jadi belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sesuatu yang baru, sesuatu yang asing.

Merantau sendiri, adalah pilihan bagi kaum lelaki di Bawean. Disebut “pilihan”, karena tak ada paksaan. Tak mau merantau tak masalah, cuma masyarakat tak akan mengakuinya sebagai “lelaki”.

Di Bawean, seseorang akan diakui sebagai lelaki jika sudah merantau. Ibarat lompat batu di Nias, atau Upacara Kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.

Sementara itu di Minangkabau, merantau mempunyai arti khusus. Bagi mereka, merantau menyangkut etos kerja yang dimaknai secara lebih spritual. Bahkan ada yang berkata seperti ini, anak-anak muda lelaki Minangkabau bukannya tidak berguna, tapi agak aib bagi keluarga jika mereka berkubang saja di kampung halaman.

Soalnya selain memperluas wawasan, pergi merantau dianggap bisa menempa jiwa, mengasah keuletan dalam memperbaiki taraf hidup anak kemenakan.

Dari beragam cuplikan tradisi merantau ini, dapat digambarkan bahwa untuk mengubah taraf hidup ke arah yang lebih baik, memang tak mudah. Dulu, para perantau harus berbulan-bulan dalam perahu layar untuk membawanya ke daerah tujuan.

Bayangkan, selama itu harus terombang ambing di laut, makan ala kadarnya, dan tak bisa membersihkan badan. Belum lagi terputusnya hubungan dengan keluarga tercinta. Bertemu di mimpi saja sudah syukur Alhamdulilah.

Karena itulah, tekad bulat, tekad baja. Berlaku di sini. Jangan cengeng, rantau tak mengerti apa itu kata cengeng. Yang ada hanya kata maju, fokus. Rise or fail. Hanya ada dua pilihan; hidup mulia atau mati.

Kalaupun harus mati, ada dua pilihan, mati konyol atau mati mulia (syahid). Pokoknya belajar, belajar, belajar bagaimana bisa bertahan hidup. Survival of the fittes.

Berat memang (kadang juga ada rasa takut) saat meninggalkan orang-orang tercinta dan “dunia” yang sudah hayati. Tak usah berpikir membayangkan bagaimana tatanan masyarakat di rantau kelak, memikirkan makanan saja sudah berat. Dari semula lidah terbiasa dengan makanan bersantan, di rantau nanti harus makan makanan berkecap.

Belum lagi mikirkan yang lain, ”Bagaimana dengan ini saya? Kalau ayam saya mati bagaimana? Karena kalau tak saya yang ngasih makan, siapa lagi?”

Namun apa daya, jika nantinya dengan merantau bisa membuat segalanya lebih baik, mengapa tidak? Demi sesuatu yang lebih baik kadang harus menerima kenyataan untuk “fight” di dunia baru. Karena inilah tekad para perantau.

Tekad inilah yang juga menggelora di benak Marco Polo, dan para penjelajah Eropa lainnya. Dan mungkin, tekad ini pulalah yang dianut manusia Neanderthals, sekitar 70.000 tahun silam. Kisahnya, sebelum populasinya habis, mereka telah menyebar ke seantero dunia. Jadi, merentau sebenarnya adalah tradisi yang diturunkan sejak zaman dahulu kala.

Migrasi atau merantau, memang penting. Tak hanya bagi pelakunya, juga bagi peradaban manusia itu sendiri. Teori kemasyarakatan selalu mencatat, masyarakat yang heterogen lebih baik dari yang homogen.

Coba bayangkan, apa jadinya jika tak ada pertukaran penduduk. Mungkin, tatanan masyarakat akan mandeg, ilmu pengetahuan tak berkembang. Budayapun akan hambar, tak ada asimilasi dan akulturasi.

Didorong alasan itulah Rasulullah SAW, memutuskan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hasilnya peradaban Islam justru lebih maju dan berkembang.

Contoh lain dapat kita lihat apa yang dilakukan Orde Baru di awal 1980-an. Presiden Soeharto saat itu menggalakkan program transmigrasi, sebagai cara untuk pemerataan penduduk dan mengurangi ledakan populasi di Pulau Jawa. Bagi yang berminat, sebidang tanah dan sepetak rumah sudah menanti.

Sebuah catatan lain, Malaysia dulu saat awal-awal berdiri, sempat meminta pemerintah Indonesia ”memindahkan” sebagaian warganya ke negara tersebut, agar jumlah ”penduduk asli” Malaysia bisa lebih banyak dibanding etnis pendatang. Sehingga konstitusi negara tersebut, sebagai negara Melayu, tetap aman. Tak heran, jika saat itu warga Indonesia sangat mudah menjadi warga negara di negeri jiran itu.

Dalam konteks kekinian, merantau tak hanya diartikan dalam perpindahan jasmani saja, namun mencakup perpindahan akan hal-hal lama ke yang baru. Di bidang pekerjaan sendiri, kadang juga kita harus “merantau” ke bagian yang lain. Berat memang, namun harus dijalani. Karena pilihannya hanya dua, seperti yang sudah saya singgung di atas.

Dan, jangan lagi menoleh ke belakang. Namun ketika sudah berhasil, jangan lupa menengok tempat asal.

Mario Teguh memiliki contoh yang lebih baik soal ini. Ibaratnya Anda punya mobil Ferrari, apakah semua isi bagasi dari mobil lama Anda akan dipindahkan juga ke Ferrari Anda? Tentu tidak!

Rabu, 22 April 2009

Ahen dan Katarsisnya

Ahen bangkit berjalan, membawa parang dan geram di wajahnya.

Aku maraaaaaah... Arrrrggghhhhh, muak, kesal. Bum bum bum... Nak kutumbuk saja rasanya layar kumputer ini, biar energi katarsis ku lantak."

Teriak, teriak, teriak... aku sudah teriak. Waaaa aaaaa aaaaaa aaaaa... sampai kering rasa tenggorokanku. Sampai habis nafas di paru-paruku.

Ah, akhirnya selesai juga. Meski untuk sementara saja. nanti malam ada lagi, ya udah, marah lagi, ngamuk lagi.

Ya udah, kalau nanti rasa itu datang lagi, aku akan ikuti cara ala orang-orang di Cicilia. Beli sansak, kugambari wajah wajah kerbau itu di sana, aku tinju, tinju, tinju sampai puas, sampai lumat.

Atau, ikut cara-cara orang Jepang, beli piring banyak-banyak, lalu lemparkan, pecahkan satu persatu, sembari mengumbar sumpah serapah, karut marut, melafazkan nama-nama penghuni kebun binatang.











"Gila, lu!"
"Mau nyaingin caleg stress ya?!"

Biarin aja, kalian mau ngomong apa. Yang penting, katarsis ku keluar.

Kata pamanku, almarhum Sigmund Freud, katarsis harus dikeluarkan, biar tak jadi racun dalam tubuh. Ibarat gunung berapi, harus meletus, supaya bumi tetap berdiri kokoh.

Katarsis tak tersalur. Ya mungkin inilah yang bikin dua minggu aku hilang keseimbangan: Vertigo.

Kesal, mau marah mampet jadi meledaknya di simpul syaraf otak. Penyakit, penyakit, penyakit.

"Sabar sabar sabar... Baca Istigfar 100 kali, baca salawat 10 kali, baca tahlil tahmid dan takbir 10 kali. Salatlah taubat, salatlah hajat, salatlah tahajud, minta kesabaran, minta keringanan beban," ujar Kiai sepuh memberi nasihat.










"Ya, gimana tak kesal Kiai, di mana-mana kepuasan konsumen selalu di atas pencapaian dan proyeksi. Tapi yang aku hadapi, malah keluhan pembantu yang selalu meningkat."

"Sesekali bawa solusi lah, pecahkan masalah, jangan hanya bawa keluhan saja!" Buat apa punya otak yang memiliki 100 miliar sel, jika isinya hanya pandai mencari keluhan saja!"

"Tak pernah mereka datang ke saya, Pak, ini saya bawa konsep baru. Pak ini saya bawa proyeksi, mingguan, bulanan, tahunan
. Pak ini saya bawa
solusi baru. Pokoknya semua yang baru baru itu."

"Semua tak ada, yang ada hanya keluhan!"









Kemarin, misalnya, saya tanya, "Kok lambat bawa tehnya?" keluhannya ini itu. Oke lah.
Tapi begitu ini itunya dipenuhi, masih lambat juga.

Saya tanya lagi, "Kok masih lambat?"
Keluhannya kembali naik, karena inilah karena itulah. Oke, begitu inilah dan itulah-nya dipenuhi, masih lambat juga!

Saya tanya lagi, "Kok masih kacau juga?!" keluhannya malah kian meningkat lagi, karena ini itu, inilah itulah!

Arrrrrrrrrrrrrghhhhhhh... Buaya! Habislah daging aku kau makan, kini vertigo pula engkau hadiahkan.

Sampai kapan... Sampai kapan...








Dengarlah dengarlah, di luar sana, hymne perang bertalu kencang. Pedang-pedang mulai dihunus, anak panah mulai dibakar, tombak-tombak mulai diarahkan, panji-panji mulai dikibarkan.

Sungguh nista, bila ini kalian anggap sebagai lagu nina bobok!

"Pak, take arest. Ini saya kasih dua pil, ya satu kapsul satu tablet. Minum sesuai aturan. Semoga vertigo Bapak cepat sembuh. Ini bukan penyakit Pak, tapi gejala. Gara-gara kebanyakan pikiran aja. Banyak istirahat ya pak! Jangan terlalu banyak pikiran!" Nasihat dokter itu terngiang lagi.

Ya udahlah, istirahat aja. Bobok. Lupakan sansak, lupakan teriak, lupakan piring, lupakan katarsis, lupakan bullshit (kotoran sapi) itu, lupakan, lupakan, lupakan.

"Bobok Pak!"

Minggu, 19 April 2009

Tutup Saja Akun Facebook Mu

Akhir-akhir ini saya rasanya ingin menutup akun facebook saya. Sudah aksesnya lambat, bikin sumpek aja. Mengapa?

Facebook. Siapa yang tak tahu kehebatan jejering sosial karya Mark Zuchenberg ini. Sejak dipopulerkan oleh Obama, saat memulai kampanyenya sebagai presiden AS, pamornya kian meroket. Saya, tentu saja juga menjadi bagian dari jutaan orang yang juga membuka akun di sini.

Tapi, ah, bosan aja isinya orang narsis. Yang pamer foto saat liburan ke Bali lah, ada pula yang bilang lagi makan di resto amrik lah, atau ada yang pamer tato terbarunya. Semuanya narsis narsis narsis bin childish. Kekanak-kanakan.

Habis itu, paternalistik lagi. Giliran nulis statusnya adalah seorang bos, maka yang nanggapi sampai 30 orang. Padahal sepele saja. Misalnya hanya nulis ”Semangat, semangat, semangat...” atau ”Makan ah...”

Tapi giliran orang biasa, sangat jarang mau ngasih tanggapan. Padahal, kadang yang diatulis di statusnya adalah sebuah masukan dan ide yang brilian.






Satu-satunya yang paling saya suka di facebook, hanyalah menggunakan fitur chattingnya. Enak aja, bisa hemat SMS dan tak harus menunggu jawaban lama, jika ingin menanyakan sesuatu dibanding melalui e-mail.

Di kantor-kantor pun, chatting di facebook ini juga dijadikan sarana untuk mengkomunikasikan soal pekerjaan.

Namun akibat buruknya, kadang dijadikan alat ngerumpi. Maka itu, sebagian perusahaan sudah melarang penggunaan facebook i kantor. Katanya sih, menghambat produktivitas kerja. Inilah juga yang jadi salah satu alasan mengapa saya berniat mau tutup akun facebook saya.

Saya bukannya satu-satunya orang yang berniat menutup akun di facebook. Asrul Ananda, putra mahkota Dahlan Iskan Bos Jawapos Grup, sudah duluan menutup akunnya.








Namun, alasan Asrul berbeda dengan saya. Dia menutup, karena atensi yang datang ke lamannya cukup tinnggi. Sehari sampai 1.500 user. Gila! Bisa-bisa nggak kerja, gara-gara sibuk membalas atensi yang datang. Ngurus facebook terus.

Kembali lagi ke hal di atas, ada yang bertanya, apakah bernarsis-narsis di facebook itu salah?

Jawabnya, tentu tidak. Karena facebook memang dirancang untuk itu. Di sini, diharapkan penggunanya yang nota bene orang kota usia 17-40 tahun itu, bisa saling berinteraksi, bahkan saling memuji.

Maklumlah, berinteraksi merupakan hal yang sulit dilakukan bagi warga kota yang sibuk, apalagi saling memuji. Inilah yang membuat kondisi jiwa mereka kering.

Nah, melalui facebook ini, diharapkan jiwa mereka bisa disejukkan dengan hal-hal yang paling dasar ini, komunikasi, interaksi dan saling memuji. Ya, minimal memuji dirilah.








Jadi yang salah siapa? Ah, bisa jadi saya yang salah masuk room. saya yang salah meng-add pertemanan. Toh, saat ini facebook banyak yang tak hanya menjadi ajang narsis, tapi juga studi dan diskusi yang jempolan. Kekuatannya dalam menghimpun opini publik di dunia maya, cukup mantap.

Karenanya, banyak yang kini memanfaatkan facebook bukan sebagai ajang pribadi, tapi sudah ke arah forum. Hal inilah yang lakukan oleh Agus Mustofa, pemikir, pembicara dan penulis buku-buku Islam berhaluan moderen.

Di facebooknya yang beralamat di http://www.facebook.com/pages/Agus-Mustofa/46838474922, diatur sedemikian rupa. Di sana diumumkan jadwal diskusi dan informasi lainnya.

Khusus yang meng-add facebook ini, bisa langsung berinteraksi soal kabar Agus terkini, mulai jadwal diskusi hingga informasi buku barunya, dengan cara menulis di dindingnya. Selanjutnya, mereka akan menerima jawaban yang akan dikirim langsung ke facebook yang bersangkutan.









Tentu saja, pengunjung dan peminat facebook Agus membludak. Untuk itulah, Agus menempatkan orang khusus yang disebut administrator. Jadi tak lagi dia tangani sendiri.

Dengan demikian, interaksi dia dengan publik-nya akan terus terjalin, tanpa harus mengganggu jadwalnya yang padat. Ya, namanya juga orang top.

Atau mungkin bisa meniru Aselina Endang Trihastuti, pakar komunikasi dan pelestari budaya ini mampu mengangkat pergelaran wayang orang Bharata, kawasan Senen, Jakarta ke muka publik, setelah dia merancangkan halaman facebook sebagai forum pecinta dan sarana publisitas.








Ternyata responnya cukup luar biasa, khususnya bagi pengguna jejaring facebook. Kini setiap akhir pekan, mereka kewalahan menerima antusias penonton. Kursi-kursi pertunjukan pun selalu penuh.

Komposisi penontonnya juga semakin variatif, tak hanya kakek-nenek, anak mudapun ikut jadi penggemar. Tak hanya orang lokal, bule pun ikut pula nonton. Luar biasa.

Dari sini, maka timbul pertanyaan lagi bagi diri saya. ”Masih berniat menutup akun facebook?”

Bagaimana menurut Anda?

----------------
ini akun facebook saya
http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/profile.php?id=1369279799&ref=profile

Sabtu, 18 April 2009

Kunjungan Ibu-ibu The Have

Saya sungguh tak menduga bila tulisan di blog ini bisa menarik perhatian ibu-ibu kalangan the have, Kota Batam. Tak hanya jadi bahan diskusinya, juga mereka sampai mau bertandang ke rumah.


Peristiwa ini terjadi Sabtu siang, 18, April lalu. Kala itu, Rekaveny, istri Ketua DPRD Batam Soerya Respationo, menelepon saya menyatakan ingin bertandang ke rumah bersama rekan-rekannya.

Tentu saja saya kaget. Sedikit juga tersirat rasa tak percaya. Apa iya, orang-orang papan atas itu, mau datang ke rumah saya yang sederhana ini. “Waduh, kalau begitu saya bersih-bersih rumah dulu Bu. maklum, kotor neh!” jawab saya.

“Tak usah repot-repot bersihin segala mas Riza. Kami tak lama. Lagian rumah saya juga (sudah terbiasa) kotor kok,” ujarnya, merendah.

Karena mereka berkeras, sayapun tak bisa apa-apa, selain bersiap menyambut. Serta merta saya bilang hal ini ke istri. Mulai sibuklah kami mempersiapkan segala sesuatunya. Minimal, hati yang lapang dan badan yang bersih.









Maklumlah, untuk menyambut dengan segala hal yang wah sesuai kelas mereka, kami memang tak punya. Yang ada hanya teh sariwangi dan setoples kue semprong, oleh-oleh ibu mertua dari kampung.

“Jangan lupa, Regalia juga pakai baju yang pantas. Biar nanti saya kenalkan,” pinta saya pada istri. Regalia Khairunnisa adalah anak kami yang pertama. Tanggal 7 Mei nanti, umurnya genap satu tahun.

Setelah semua oke, tak lama mereka datang dengan mengendarai dua mobil mewah, jenis landcruiser. Wah, ternyata banyak juga. Ada lima orang.

“Assalamualaikum...” Veni menyapa dari balik pintu pagar. Sayapun menyambutnya dengan senyum lebar.

“Silakan duduk, waduh maaf, rumahnya sempit,” sambut saya. Merekapun duduk berdesakan di sofa saya yang kecil itu. Ah, jadi teringat suasana di angkutan umum saja. Tapi hatuiku agak sedikit terhibur, manakala mereka tetap tersenyum ruang.

“Ini Mas Riza, kawan-kawan tiap kumpul selalu mendiskusikan tulisan (di blog) Mas Riza. Kadang dibahas sampai lama. Makanya aku tadi berinisiatif membawa mereka bertemu Mas Riza, supaya tak penasaran,” kisah Veni, yang disambut tawa renyah rekannya.









“Tulisan di blog saya beberapa di antaranya terbit di Batam Pos Minggu Bu.”

“Oh, iya. Saya sering baca kok,” ujar Veni.

“Saya juga sering mengikuti Mas,” jelas yang lain.

“Iya, makanya kemarin saya add Mas Riza di facebook saya,” kali ini disampaikan Delfina Ina, salah satu rekan Veni.

Saya baru ingat. Oh, rupanya ini yang namanya Ina itu. Memang seminggu lalu ini, facebook saya mendapat permintaan pertemanan dari Ina.

Diskusi kami kian akrab, ketika saya mengomentari salah satu statusnya, yang berkisah akan hubungan manusia dan tuhannya. Komentar selengkapnya, saya sambungkan dia ke sebuah tulisan di blog saya http://rizafahlevi.blogspot.com/.

Tak lama, dia membalas di facebook-nya, ”Sebuah goresan yang bagus pak...” katanya.
Dari sana, kami terlibat diskusi. Hingga akhirnya, Selasa malam lalu, Veni meng-SMS saya bahwa saat tiu dia lagi kumpul bersama rekan-rekannya tadi. “Dari tadi sore membicarakan (tulisan) Mas Riza terus,” tulisnya.








“Wah, terima kasih mbak. Saya merasa tersanjung,” jawab saya.
Lamaunan saya tiba-tiba buyar, ketika ibu mertua datang membawa makanan. Sekaleng kue semprong itu. “Ini ibu mertua saya,” kenal saya pada mereka.

Semuapun langsung berdiri, memberikan salam hangat, sun pipi kanan kiri.

“Waduh, sebenarnya kami tak mau ngerepotin lho..” ujar Veni.

“Bu, kami ini adalah orang desa yang memiliki kearifan lokal bahwa tamu harus diperlkukan dengan sebaik-baiknya. Jadi, mohonlah diterima,” sebut saya. Merkapun mafhum.

Selanjutnya saya ke kamar, membawa Regalia dan mengenalkan pada mereka. Spontan, semua langsung menyambut anak saya itu. Rupanya, Regalia yang kurang bisa langsung berinteraksi pada orang yang dipandangnya asing, langsung menangis. Buru-buru saya kembalikan pada ibunya.










“Istinya masa Mas Riza?” tanya mereka.

“Salat bu,” ujar saya.

Hingga kemudian, istri saya saya perkenalkan. Merekapun kembali menyambut.

“Masih satu daerah ya?” tanyanya.

“Iya bu, kami sama-sama orang desa,” sambut saya.

“Ah, Mas Riza ini, kamipun juga orang kampung kok!” ujar mereka kompak, lalu ketawa renyah.







Kemudian, pembicaraan beralih pada soal keseharian. Hingga akhirnya saya menceritakan tentang penyakit vertigo yang baru saya alami.

“Wah, seperti melayang ya?”

“Ya Bu, tepatnya bagai naik kapal.”

“Sudah periksa?”

Saya menjawab, sudah. Pertama ke dokter umum, katanya sehat lalu ditrujuk ke dokter mata. Siapa tahu pusingnya dari mata. Maklum, kebiasaan mebaca saya akhir-akhir ini meningkat. Kalau pagi sampai 4 jam nonstop!

Ternyata setelah mata diperiksa (kir), hasinya normal. Akhirnya saya dirujuk ke dokter gigi, karena gangguan dari gigi bisa menyebabkan vertigo juga. Namun semua normal.








“Akhirnya saya ke dokter THT, bu. dari sana diketahui bahwa vertigonya dari telinga,” kisah saya.

“Oh, begitu ya.”

“Kata dokter ini gejala ringan saja. Obatnya harus fresh dan rileks,” jawab saya.

“Memang selama ini sibuk terus ya Mas?”

“Ah, enggak juga bu. Tapi, kata dokter, ada pikiran yang tak saya sadari jadi beban, sehingga menyebabkan vertigo ini,” balas saya.

“Ya udah, kalau gitu ikut ESQ ya...” tawar mereka.

“Iya Mas, biar fresh. lagian sioapa tahu nanti bisa jadi bahan penulisan,” saran yang lain.







Tentu saja saya sumringah. Tapi, ESQ bukanlah sembarangan. Biaya daftarnya saja di atas Rp1 juta. Entah seperti bisa menebak pikiran saya, kemudian mereka menyela.

“Semua cuma-cuma kok Mas! Nanti mbak veni yang atur,” kali ini dikemukakan Andriani, Pimpinan ESQ Regional Batam.

Wah, tentu saja saya gembira. Ini akan bagus untuk emosi dan spiritual saya. “Ya udah, nanti datang hari Sambu dan Minggu di Hotel Nagoya Plasa,” jelasnya.

Tak lama, ibu mertua kembali datang membawa teh hangat. Aduh, saking semangatnya cangkirnya jadi tak seragam. Ya, gimana lagi, memang stoknya habis. “Wah enak tehnya ya...” pujinya.

Saya hanya tersenyum simpul. Tak lama, merekapun pamit.

Kamis, 16 April 2009

Lelaki Bernama Soerya Respationo

Sekitar 14 ribu warga Jawa di Batam, memadati sport hall, stadion Tumenggung Abdul Jamal, Mukakuning. Mereka dengan setia menanti dan mendengarkan wejangan dari Ki Lurah Puggawa Soerya Respationo. Kian lama, kharisma lelaki ini kian kokoh di Batam.

Saya sudah sering melihat langsung pertemuan beberapa paguyuban di Batam. Namun, tak ada yang auranya sehebat ini. Di sini ada kultus, di sini ada gelora dan mistis. Semua bermuara pada satu sosok; Soerya Respationo. Sungguh tak terbayangkan bagi saya Soerya akan sebesar ini.

Saya sendiri pertama kali berjumpa Soerya pada Desember 1999, usai meliput peristiwa penyandraan kawasan industri Lobam, Bintan oleh penduduk setempat. Saat itu saya dikenalkan Koordinator Liputan Sijori Pos, Socrates. Sijori Pos kini berubah nama menjadi Batam Pos, dan Socrates menjadi Pimpinan Umum di sana (saat ini, 2009).

Pertemuan pertama itu terjadi di sebuah rumah kawasan Batuampar, saat itu Soerya tengah menyelesaikan sebuah kasus sengketa tanah antara Abdullah Tamin dan Otorita Batam.

Selain Soerya, pertemuan itu dihadiri, Abdullah Tamin sendiri bersama beberapa anak buahnya. Memang saat itu Soerya seorang pengacara papan atas di Batam. Kantornya terletak di Baloi, dekat kantor Koramil.

Jam terbangnya cukup tinggi dan dikenal berani, sehingga banyak mendapat klien dari orang-orang yang ingin perlindungan ekstra.

Kasus yang ditanganinya juga banyak melibatkan atau melawan orang-orang top. Seperti kala itu, Soerya bertindak selaku pengacara Abdullah Tamin. Lawannya, sebuah lembaga perkasa; Otorita Batam yang memiliki kuasa hukum pengacara top Ampuan Situmeang.









Pun demikian, Soerya tetap menghormati etika pengacara, khususnya kepada Ampuan yang kala itu menjadi lawannya. Hal ini dia buktikan saat kubu Abdullah Tamin mempelesetkan nama “Situmeang”, marga Ampuan, menjadi “Situgatal”.

“Meang itu dalam bahasa Melayu berarti gatal,” ujar mereka, sembari tersenyum sinis.

Kontan saja Soerya marah, “Hus! Jangan bilang begitu. Kita harus hormati Pak Ampuan!” jelasnya.

Sekadar diketahui, tahun 1999 Pemko Batam belumlah berkuasa seperti saat ini. DPRD Batam pun belum terbentuk. Satu-satunya lembaga pemerintahan yang ada di Batam adalah Otorita Batam.

Saat pertama kali bertemu itu, saya sudah melihat begitu menterengnya sosok Soerya. Yang masih saya rekam, dia memakai jins krem dan kemeja putih garis kotak-kotak. Bagian belakang rambutnya masih gondrong sebahu, sedangkan kumisnya terpelihara rapi.

Satu unit handphone kuning gading, Samsung SGH 800, tak lepas dari genggamannya. Saat itu, ponsel ini baru pertama kali keluar dan kelasnya lebih tinggi dari Nokia terbaru. Saat bepergian, sebuah Mercy dan seorang ajudan, selalu siap mengantar.

Sejak pertemuan itu, saya sering terlibat kontak dengan Soerya. Kadang via handphone, kadang bertemu langsung.







Kala itu, memang Batam memang tengah bergolak. Seperti layaknya terbentuknya kota-kota baru, saat itu banyak kelompok-kelompok suku bermunculan menandai teretori masing-masing.

Polarisasi di mana-mana, kadang menimbulkan gesekan serius hingga perang terbuka. Dalam situasi krisis ini, tokoh-tokoh pun muncul dan dimunculkan. Semua mencari simpati, semua saling berebut pengaruh siapa yang nantinya akan dipercaya massa agar lepas dari krisis ini.

Tak hanya itu, persiapan Batam menuju pemerintahan kota yang representasif serta menjelang berdirinya DPRD, kian menambah riuh persaingan ini.

Di saat-saat itulah, sosoknya selalu muncul, membela orang-orangnya saat terjadi kerusuhan di Batam.

Sepak terjangnya selalu ada dalam dua wilayah, di paguyuban dia membawa bendera warga Jawa, sedangkan di partai dia membawa bendera PDIP. Saat itu Soerya masih ketua PAC PDIP Nongsa.

Saya sering ikut dalam rapat yang digelar Soerya. Biasanya dia menjadi pimpinan di sana. Suaranya lantang dan tegas. Bahkan dalam sebuah rapat Pawarga Jamur di Hotel Novotel, Soerya pernah membentak AA Sany (kini anggota DPRD dari PAN) karena dinilai tak tegas saat menyampaikan pendapat.










Sikap tegas saat memimpin rapat ini, terus dia bawa hingga saat ini, setelah dia menjabat sebagai ketua DPRD Batam. Pernah dalam sebuah rapat yang melibatkan seluruh anggota dewan, Soerya sempat marah karena melihat mereka mau “main-main”.

“Maju kalian kalau berani, biar tak tempeleng satu-satu!” sergahnya, dengan suara menggelegar. Siapa tak keder dibegitukan oleh lelaki tinggi 185 cm itu.

Karena ketegasannya inilah, Soerya disegani. Apapun keputusannya dihormati. Saya rasa, sikap ini memang perlu, sebab dewan adalah organisasi politik, saling makan sesama anggota adalah hal biasa. Lengah sedikit, kawan bisa balik menikam. Jadi kadang harus kill or tobe killed!

Di balik semua kesannya ini, ada hal yang tak bisa dilepaskan dalam ciri Soerya adalah, selalu merokok dalam setiap kesempatan, bahkan saat memimpin rapat formal sekalipun. Selama dia bicara, selama itu pula rokok selalu menyala. Terus menerus, sambung menyambung.

“Saya pernah berhenti Mas, tapi malah badan jadi gemuk. Soalnya ngemil terus,” kisahnya pada saya suatu ketika.

Kesan lain dari Soerya ini, dia sangat gemar mengoleksi benda-benda perlambang kegagahan seorang lelaki. Ada senjata api, hingga batu mirah delima. Hal ini sesuai dengan jiwa Soerya yang berani dan menguasi beberapa ilmu beladiri.









Keberaniannya ini sering tampak oleh orang-orang terdekatnya, khususnya para pengawalnya. Pernah saya mendengar cerita, ada orang yang berhasil menyusup ke rumah Soerya hendak membunuhnya. Namun, lelaki ini berhasil dia lumpuhkan. Namun, dia tak mau membunuh lelaki tersebut, malah melepaskannya.

Selain ini, ada juga koleksi barang-barang yang menjadi simbol kesuksesan, seperti aneka mobil mewah, gading, macan yang sudah disamak, hingga koleksi keramik era Dinasti Ming yang dia dapat dari Singkawang.

Koleksinya beragam, mulai guci setinggi 2 meter, hingga aneka piring-piring kecil berukir yang konon harga satu buahnya saja minimal mencapai Rp1 juta. Kalikan saja, berapa jika ditotal keseluruhan.

Soerya juga kerap mengoleksi patung raksasa khas Bali yang dia pasang di depan pintu masuk rumahnya. “Patung ini saya datangkan langsung dari Bali, Mas,” ujarnya.

Pun demikian, dia banyak mengoleksi buku-buku. Ya, Soerya memang gemar membaca, tak heran dia memiliki wawasan luas.

Di rumah megahnya, kawasan Dutamas, dia menyediakan rang untuk membaca. Di sana berjejer buku-buku kelas wahid, yang bikin saya ngiler. Ada psikologi, kepemimpinan, manajemen hingga biografi orang-orang hebat.









Saat main ke sana, saya sempat tertarik membaca biografi Deng Xio Ping. Saya sangat menyukainya.

“Boleh saya baca Mas?” saya bertanya pada Soerya.
“Soerya hanya tersenyum, “Boleh saja, asal jangan dibawa ya?” jelasnya.

Rumah Soerya memang megah, bernuansa Jawa, Yogyakarta. Tentu saja, karena Soerya putra Yogyakarta. Pintu utamanya saja terbuat dari kayu berukir yang dia datangkan dari Jepara. Harganya bisa di atas Rp10 juta.

Yang unik, rumah ini seolah bernafas. Secara berkala, interiornya selalu saja berubah. Sehingga, kadang yang jarang bertandang ke sana, akan dibuat heran. “Loh, dulu ini tak ada sekarang kok ada. Dulu lukisan itu letaknya di sini, sekarang jadi di sana.” Begitulah.

Rumah Soerya juga memiliki beberapa ruang khusus, selain ruang baca, juga ruang konvensi lengkap dengan meja bundar, papan tulis kaca, dan beberapa komputer layar cembung.









Selain itu ada ruang seni, yang berisi alat musik Jawa, semacam gamelan, gong hingga juga alat musik moderen, mulai gitar dan drum. Katanya alat musik moderen tersebut milik anak lelakinya.

Selain itu, di lantai atas ada hall terbuka untuk melihat pemandangan sekeliling. Nuansanya khas Bali.

Sementara itu, di pekarangan rumahnya yang luas, Soerya banyak menanam aneka bunga. Dia memag suka berkebun, khususnya menanam bunga. Paradoks memang. Sebuah sisi feminim dari figurnya yang maskulin.

Untuk menjaganya, Soerya menempatkan beberapa pengawal yang bertugas di pos yang dia bangun di samping depan rumahnya.

Kelebihan lainnya, Soerya tak pelit membantu sesama. Banyak sudah orang kecil yang dia bantu, mulai yang terlilit masalah utang hingga masalah pendidikan.









Mereka nyaman curhat ke Soerya. Inilah juga nilai positifnya. Soerya piawai dalam menjalin komunikasi baik dengan lawan, lebih-lebih dengan kawan. Soerya adalah lelaki bermental prajurit, bisa bersemuka dengan siapa saja.

Tak heran jika Soerya saat ini banyak menjabat sebagai ketua di beberapa organisasi massa, mulai olahraga hingga paguyuban. Semua dia dapat secara aklamasi.

Soerya terlahir sebagai orang yang berbakat dan memiliki strategi matang dalam memimpin sebuah organisasi. Kiatnya segudang, mulai metode komunikasi sampai menempatkan orang-orang kepercayaannya. Tak mudah memang menjadi orang kepercayaan Soerya.

Hal positifnya, Soerya akan membelanya saat mereka tertimpa masalah. Pernah tahun 2002 lalu orang kepercayaannya hampir mati dihajar. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi. Saat itulah, Soerya langsung bertindak. Dia membawa orangnya tersebut ke Singapura, hingga dia sembuh total.

Karena itulah, oleh orang terdekatnya Soerya dipanggil Romo yang berarti bapak. Sesuai dengan sifatnya yang mengayom dan melindungi.

Mendendam Tuhan

Sering kali kita dihadapkan pada masalah berat, hingga akhirnya harus membenci Tuhan.


Pernah seorang anak kelas II SMP menanyakan soal risiko pekerjaan yang saya tekuni saat ini, ”Apa Kakak tak takut jika suatu saat masalah muncul?” Sayapun agak sedikit mengernyitkan dahi, mencari jawaban yang pas.

”Dik, bagi kami yang penting bukan munculnya masalah, tapi bagaimana cara mengatasinya. Karena hidup tak bisa lepas dari masalah itu sendiri. Bahkan matipun, kita masih harus menghadapi masalah lain,” jawabku. Ternyata dia puas. Jawaban saya ini rupanya mengana di hatinya.

Masalah memang selalu datang silih berganti. Masalah adalah kumpulan kegagalan yang berujung kekecewaan. Semua berawal dari sebuah harapan. Kian tinggi harapan itu, kian besar pula kekecewaan yang nanti akan dihadapi, bila hasilnya jauh dari yang kita inginkan.

Itulah mengapa saya sampaikan, bukan masalah yang jadi perhatian di sini, tapi cara mengatasinya. Karena, jika kita salah mengatasi masalah, bisa-bisa masalah tersebut akan menjadi monster yang siap mencabik sendi-sendi kita. Kita akan mulia atau kita akan nista, tergantung bagaimana mengatasi masalah tadi.








Dasar-dasar ilmu filsafat sempat mengajarkan, mengatasi masalah selalu identik dengan mencari kebenaran. Ada empat cara yang bisa dilakukan dalam mencari kebenaran tersebut. Di antaranya kebiasaan, pengalaman, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Jenjang pelaksananya pun bertingkat, mulai dari bisa, terbiasa, pengalaman dan ahli.

Uraiannya seperti ini, kadang sering kita saksikan saat manusia bermasalah selalu berlari pada kebiasaan. ”Ah coba saja jalan seperti ini, biasanya selesai kok,” begitu kira-kira saran yang biasa kita terima. Jika hal yang ”biasanya” ini tak berhasil, mulailah mencari orang yang berpengalaman artinya sudah sangat terbiasa dan berulang-ualang menghadapi masalah semacam ini. Jadi lebih tinggi lagi.

Semua percobaan dan pencarian ini, akan dirangkum dalam sebuah tata cara yang disebut sebuah ilmu pengetahuan.

Jika masalah terus juga muncul, berakar urat, dan laten, manusia cenderung memecahkannya melalui jalan filsafat. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.







Yang terakhir, memecahkan masalah atau mencari kebenaran melalui agama. Pemecahan semacam ini menjadi pencarian kebenaran yang tertinggi. Karena langsung berhadapan dengan Tuhan. Di sana ada harapan, kepasrahan dan kepercayaan yang tinggi pula. Tahapnya sudah pada mencari ketenangan batin. Inilah mungkin mengapa sering kita lihat, manusia yang lebih relegius setelah tertimpa masalah.

Sebagaimana saya sampaikan di atas, inti dari pemulihan saat masalah muncul adalah ketenangan, baik hati, jiwa dan pikiran. Ketenangan ini akan muncul jika ada keihlasan, kepasrahan, dan hal ini hanya ada saat kita kembali ke agama (baca: ibadah).

Mungkin karena inilah, sampai-sampai psikiater Austria dan pendiri aliran psikoanalisis Sigmund Freud, menyindir bahwa agama hanyalah sebagai pelarian. Praktik ini juga sempat disimpulkan oleh Karl Marx, bahwa agama adalah candu. Dalam Alquran sendiri, Allah juga sempat menyindir perilaku ini sebagai orang yang di kala terang mereka jalan, di kala gelap mereka berhenti. Agama hanya jadi lahan mencari untung, belaka.

Sementara itu, ilmu psikologi menyebut hal tersebut sebagai obsesi kompulsif, sebuah cara untuk menghilangkan kecemasan. Apapun itu, menjadi religius saat tertimpa masalah tentu baik. Dari pada kita haris hilang pegangan, hingga harus menderita depresi berkepanjangan, bahkan gila.








Soal kualitas ibadah yang dilakukan itu, hanyalah Tuhan yang tahu. Asal, jangan sampai cara religius yang ditempuh hanya karena kita merasa dikalahkan takdir, dikalahkan Tuhan. Ibadah yang dilakukan bukan berdasar pada keihlasan dan kepasrahan, namun menjadi simbol upeti akan kekalahan kita pada nasib. Kekalahan akan ketentuan Tuhan. Kalau sudah begini, maka akan berakibat kita akan kian tersesat dan mendendam.

Jika boleh digambarkan, apa yang saya maksud sebagai kekalahan terhadap ketentuan Tuhan adalah, ada kalanya kita dipertontonkan seorang mengubah cara pandangnya akan Tuhan, ketika dia ditimpa masalah. Mereka memang beribadah, namun tak lagi berpikir positif pada Tuhan-nya. Bahkan ada kalanya menghujat. Hal yang paling parah, lambat laun akan mengubah pandangannya akan ke-Tuhanan-nya.

Tak jarang kita saksikan, seorang wanita muda yang selama ini dikenal santun dengan busana serba tertutup, berubah menjadi liar dan berbusana serba terbuka, ketika dia ditimpa masalah. Atau seorang ahli ibadah, berubah drastis jadi ingkar kala dihadapkan pada sebuah masalah yang berat.

Malah ada pula di antara mereka yang sampai berpindah keyakinan. Mereka protes, mereka menghujat, seolah Tuhan tak lagi bersahabat sehingga harus mencari Tuhan lain.

Pendekatan religius yang ditempuh hanya karena kita merasa dikalahkan takdir, tentunya bukan sebuah jalan yang baik. Karena apapun namanya, dendam itu selalu buruk. Apalagi jika mendendam pada Tuhan.

Bagaimana menurut Anda?

Selasa, 14 April 2009

Aku Pecat Kau!

“Your fired! Anda dipecat!” begitulah kalimat yang terlontar dari bibir konglomerat nyentrik Amrik, Donald Trump dalam serial The Apprentice. Tokoh lain, CEO Apple, Steve Jobs yang tempramental itu, juga sangat mudah memecat bawahannya meski saat di lift sekalipun.

Memecat orang, memecat bawahan, memang terkesan gagah! Bayangkan, saat itu kita bisa bertindak laksana Tuhan yang bisa menentukan nasib mahluknya. Saking bangganya, kadang kita sering mendengar seorang atasan memamerkan “prestasinya” sudah memecat bawahannya.

Namun, lain Trump, lain pula Jobs, lain pula pandangan kiai sepuh di kampung kami soal pecat memecat ini.

Suatu ketika, dia pernah bilang begini pada saya, “Ingat jangan terlalu gampang memecat orang, itu sama saja memutus rezekinya!”

Menurutnya, orang (karyawan) yang datang itu bisa jadi Allah yang mengantarkan untuk kita bina. Bahkan, Allah memposisikan kita sebagai orang yang dipercaya untuk mewakilinya memberikan rizeki padanya.

“Maka itu, kita harus bijaksana. Jangan main-main dengan amanah Allah!” ingatnya.

“Lalu, bagaimana jika yang bersangkutan tak becus?” tanya saya penasaran.

Kiai sepuh tersenyum, lalu berkata, “Allah yang mengantarkan, Allah pula yang akan menunjukkan rezekinya di tempat lain,” ujarnya.










Maksud kiai sepuh adalah, jika si karyawan sudah tak becus di suatu bidang, kan bisa dialihkan ke bidang yang lain. Kalau memang sudah tak bisa lagi, dia akan dengan sendirinya akan keluar.

Bila melanggar aturan, lanjutnya, kan banyak prosedur yang bisa dilakukan. Mulai peringatan lisan maupun tertulis. “Pokoknya usahakan semaksimal mungkin tak memecat!” tambahnya.

“Makanya, hati-hati merekrut orang. Lagipun, saat kamu memtuskan menerimanya, tentunya kamu sudah memiliki pertimbangan matang kan? Jadi, mengapa kamu mau mengingkari keputusanmu sendiri?” nasihatnya.

Kiai sepuh melanjutkan, apapun namanya, memecat itu tidak hebat. Namun bisa berarti itu sebuah kegagalan pimpinan dalam membina. Jangankan memecat, jika di sebuah perusahaan nilai kinerja karyawannya banyak di bawah rata-rata, itu sudah menandakan ketidak becusan pimpinan.

“Apa aja yang dia lakukan, kok anak buahnya anjlok begitu?” sindirnya.











Justru yang hebat, lanjutnya, jika ada pimpinan mampu mendidik, mengarahkan, memberdayakan bawahannya yang kondisinya harus dipecat, sehingga bisa lebih baik.

“Kalau memecat bukan hebat, siapapun bisa melakukan itu. Namun apakah mampu memberdayakan bawahan, itu yang penting. Mampu enggak?” tanyanya.


Yang paling dia tekankan, jangan sampai memecat seseorang karena dendam. Itu sungguh sebuah kezaliman. Dia meminta agar saya belajar pada Syaidina Ali. Saat akan menghujamkan pedang ke arah musuh, tiba-tiba si musuh meludahi wajahnya.

Alipun langsung




Namun begitu, kiai sepuh berpesan agar karyawan tak seenaknya mengumbar aib perusahaan. Apalagi sampai memaki gaji yang diterima, karena itu sama saja dia memaki darah dagingnya sendiri.

“Karena, gaji itulah sebagai sumber nafkahnya. Semua adalah ketentuan Allah. Jadi kalau dia hina, berarti dia kufur nikmat!” ingatnya.

Jadi, memecat itu adalah aib bukan prestasi.

Bagaimana menurut Anda?

Agus, Dahlan Iskan, dan Takdir

"Kadang kala gunung harus meletus, agar menjaga bumi tetap berdiri."

Kalimat ilmiah penuh falsafah ini saya dapat dari Agus Mustofa, penulis buku-buku Islam berhaluan moderen. Saya bertemu Agus, ketika dia diundang ibu-ibu Majelis Taklim Batam untuk mengisi acara Maulid Nabi.

Dalam konteks psikologi, teori "gunung meletus" tadi bisa juga berarti, kadang kita harus meluahkan amarah, guna menjaga jiwa tetap stabil. Inilah yang disebut katarsis. Semua harus tersalur, secara alamiah.

Agus memang pemikir Islam yang maju, visioner, cocok dengan semangat zaman yang serba dinamis. Di dirinya, saya melihat Buya Hamka.

"Karena Islam adalah agama universal dan pas disegala zaman," urainya.

Arek Malang ini banyak mengupas Islam dari segi ilmu pengetahuan. Semuanya banyak berkisah akan pengggalian, bukan hanya mengopi paste, seperti kebanyakan penulis lain.








Lihatlah bagaimana dia menulis tentang takdir, yang menurutnya bukan sesuatu yang tetap, namun bisa diusahakan untuk berubah.

Agus mengurai, Rukun Iman ke enam mengatakan kita harus percaya pada Qada dan Qadr. Menurutnya, Qadr adalah kapasitas yang sudah ditetapkan. Seperti jenis kelamin, ras, orang tua dan sejenisnya.

Namun Qada, merupakan takdir yang bisa diperbaiki. Misalnya saat ini, kita tengah terjebak macet. Situasi tersebut merupakan takdir, namun hal ini bisa kita perbaiki, kita ikhtiarkan, dengan cara berusaha keluar dari kemacetan tersebut.

Dengan demikian, manusia tak akan terjebak pada kepasrahan. Karena Allah kurang menyukai orang yang hanya berpasrah tanpa berusaha. ''Bukankah Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, bila mereka sendiri tak mengubahnya?" ujar Agus mengutip Alquran Surat Ar-Raad, ayat ke 11.















Lalu, simak juga tulisan Agus yang lain di bukunya yang berjudul Tahajud Siang Hari Duhur Malam Hari. Sungguh, bila otak si pembaca tak memiliki kapasitas pemikiran yang maju, pasti akan langsung meradang membaca judul semacam ini.

Padahal di sini Agus mencoba menggambarkan kepada kita, bahwa di sisi bumi yang lain, siang malam kadang datang tak beraturan. Di Eropa, misalnya, kadang siang di sana lebih panjang dari malam. Pun sebaliknya.

Saya juga sempat membaca, di Rusia pada saat penghujung Musim Panas, penduduk di sana merayakan White Night, yang artinya malam putih. Biasanya perayaan dimulai pukul 23.00.

Malam Putih. Disebut demikian, karena saat itu matahari barulah tenggelam di ufuk ketika pukul 24.00 malam!

Nah, kalau begini bagaimana dong salatnya? Bagaimana dong puasanya? Inilah yang dikupas dalam buku Tahajud Siang Hari Duhur Malam Hari.

Dalam buku ini Agus juga berkisah pengalamannya saat mendampingi jamaah umroh dari Surabaya. kebetulan, kala itu bulan Ramadan. Semua jamaah tentu sedang berpuasa.







Hingga saat jam para jamaah menunjukkan pukul 18.00 (waktunya masih WIB, berdasar jam keberangkatan), di luar masih terang benderang. Padahal, mereka semestinya sudah berbuka.

Sesaat mereka masih bertahan. Hingga dua jam berlalu, ada pula yang tak tahan lalu bertanya pada Agus, apa boleh berbuka puasa. Agus menjawab, karena sahurnya berdasar WIB, maka boleh saja berbukanya berdasar WIB.

Di antara jamaah, ada yang mematuhi saran Agus. Namun, tak sedikit yang masih bertahan. Agus pun tak tega lalu mengatakan bahwa matahari masih lama akan tenggelam.

Pasalnya, perjalanan Surabaya-Mekkah seiring dengan peredaran matahari, yakni menuju ke barat. Kecepatan pesawat kala itu 1.000 km perjam, sedangkan matahari 1.600 km perjam. Jadi, wajar saja jika siang terasa lambat.

Mendengar penjelasan Agus ini, jamaah pun mengerti, lalu mereka berbuka.

Kisah ini juga mendapat tanggapan dari Bos Jawa Pos Grup Dahlan Iskan. Dalam pengantarnya dia menulis, "Wah, untung masih naik pesawat biasa, kalau naik concorde, malah tambah panjang siangnya. Karena kecepatan Concorde melebihi kecepatan matahari," tulisnya.








Hubungan Agus dengan Dahlan Iskan memang cukup dekat. Tak jarang, Dahlan kerap meminta nasihat tentang agama pada Agus. Seperti yang dia tulis di buku Ganti Hati yang spektakuler itu.

Saat itu semasih dalam pemulihan pascaoperasi, Dahlan bertanya via SMS tentang takdir. Yang dijawab Agus bahwa takdir itu bisa diusahakan. Dahlan puas. "Wah, ini baru kiai moderen," pujinya.

Dahlan memang sudah lama mengenal Agus. Maklumlah, Agus dulu mantan wartawan Jawa Pos. Dia bekerja di sana, sejak 1990, setelah lulus kuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta angkatan 1982.

"Ilmu nuklir kurang berkembang di Indonesia," selorohnya.

Setelah di Jawa Pos, Agus mulai giat mengasah kemampuannya di bidang tasawuf. Maklumlah, sejak kecil dia sudah sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran Tasawwuf. Hal ini terpengaruh pemikiran sang ayah, Syech Djapri Karim.

Di masanya, ayah Agus seorang guru tarekat yang intens, dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat Islam Indonesia, di era Bung Karno.

Setelah di Jawa Pos, pria kelahiran Malang, 16 Agustus 1963 itu, pelan-pelan mulai menuangkan hasil pemikirannya.

Hingga setelah banyak menghasilkan buku, dia memutuskan mundur dari grup Jawa Pos, kala jabatannya sudah sebagai General Manager JTV, televisi lokal milik Jawa Pos. bahkan kini, dia memiliki percetakan buku sendiri di Surabaya, bernama Padma.

Meski telah keluar, hubungan Agus dan Jawa Pos tetaplah dekat. Beberapa kali dia sering diundang menjadi pembicara pada acara internal Jawa Pos.

Buku-buku barunyapun banyak diiklankan di Jawa Pos. "Dulu sih gratis, tapi sekarang bayar," kisahnya. Hal ini terjadi setelah direktur keuangan Jawa Pos "memergoki" bahwa omset dari percetakan Agus sudah besar.

Selain di Jawa Pos, Agus juga banyak diundang menjadi pembicara ke beberapa daerah, termasuk di Batam, hingga akhirnya berjumpa dengan saya.

Satu lagi tausiyah Agus yang masih terngiang di telinga saya adalah, ketika dia menjabarkan apa itu senang, nikmat dan bahagia.

Menurutnya senang itu bersifat kebendaan dan lahiriyah. Misalnya, kita senang saat punya mobil dan sebagainya. Sedangkan nikmat, selalu berada di hati. Adapun kebahagiaan, merupakan nikmat yang datang terus menerus.

Dari uraian ini, kita diajak agar untuk menuju ke sana, hendaknya orientasi hidup tak hanya bersifat kebendaan, namun bagaimana kita menata hati.

Bagaimana menurut Anda?

-----------------


Setelah tulisan ini saya post diblog, saya sms Agus Mustofa.

Assalamulaiakum Mas, saya baru menulis diblogtentang kesan saat bertemu Mas di Batam. Klik rizafahlevi.blogspot.com ya...

Selang 15 menit Agus membalas SMS saya: Ya mas Riza, saya baru baca. Ada beberapa kalimat yang mungkin perlu diedit. (Selanjutnya dia menunjukkan kalimat apa saja itu).

Alhamdulillah, tentu saya senangnya bukan main. Lalu buru-buru memperbaikinya. Matur suwun Mas, maklumlah, nulisnya hanya modal ingatan thok, jadi banyak yang kebolak balik ya...

-------
Mau kenal Agus Mustofa?
klik

http://www.facebook.com/pages/Agus-Mustofa/46838474922

Sabtu, 11 April 2009

Profesionalisme Kacung

Tiap kali saya main ke beberapa kantor, baik pemerintah dan swasta, di sana selalu kita mendengar kata “profesional”. Kadang ditulis besar-besar, kadang juga menjadi bumbu perbincangan baik sesama karyawan, maupun antara atasan dan bawahannya.

Penasaran, saya sempat bertanya, pada para pegawai itu bagaimana mereka melaksanakan “amanat” profesional itu sendiri. Jawabannya pun beragam. Ada yang bilang begini, “Profesional itu, kalau itu menjalankan tugas dan fungsi yang diembankan ke kita.”

Ada lagi yang begini, “Pokoknya apa perintah bos, saya laksanakan. Itulah profesional!”

Kalau jawabannya seperti ini, lalu apa bedanya mereka dengan pembantu atau kacung? Kerjanya hanya menurut perintah saja. Di suruh ke barat, dia ke barat, disuruh ke timur, dia ke timur.

Jam kerjanya juga itu-itu saja, monoton, mudah ditebak dan tak berkembang. Tiap hari paling nyapu, ngelap kaca, masak, nyapu ngelap kaca, masak. Begitu terus. Semua pekerjaan hanya dilakukan hanya sebatas gugur kewajiban. Setelah itu ya sudah.

Tentu saja, akan teramat disayangkan jika profesinalisme seperti ini yang dianut orang-orang kantoran. Buat apa juga mereka kuliah tinggi-tinggi jika hanya menjadi profesional ala kacung ini.



















Lama saya berpikir, akhirnya saya menemukan jawaban pas soal profesionalisme ini. Lucunya, jawaban tersebut saya temukan di sebuah sekolah dasar, ketika saya berbincang dengan salah seorang gurunya.

Menurut sang guru, sekolahnya sangat menjunjung tinggi profesionalisme. “Profesional itu adalah bargaining Pak!” ujarnya.

Dia melanjutkan, seorang profesional akan selalu memiliki ide-ide baru yang dia tawarkan pada pimpinan, bagi kemajuan perusahaannya. Karena itulah, tak ada atasan dan bawahan dalam dunia profesional, yang ada adalah tim yang kuat.

Bayangkan jika masing-masing karyawan menawarkan konsep untuk memajukan perusahaannya, tentu target akan dengan cepat tercapai. “Kalau hanya kerja ikut perintah, bukan profesional namanya Pak. Tapi kacung! Karyawan semacam ini,harusnya segera dipindah saja ke bidang yang lebih cocok,” tegasnya.

Sikap profesional ini, juga membuat karyawan lebih percaya diri. Berhadapan dengan siapapun di level perusahaannya, bahkan CEO-nya sendiri, dia akan tetap tampil dengan wajah menengadah. Karena, seperti yang sudah disinggung di atas, profesional adalah bargaining antara karyawan perusahaan.














“Seorang profesional biasanya akan selalu belajar pada orang-orang (pimpinan) yang dianggapnya hebat. Bahkan kalau perlu, dia akan mencuri ilmu mereka, jika yang bersangkuitan tak mau membagi,” tuturnya bersemangat.

Inilah mungkin mengapa dalam wawancara sebuah perusahaan, calon karyawan selalu ditanya berapa gaji yang diinginkan. Berkaca dari sini, bisa jadi hal tersebut sebagai ujian awal seberapa profesionalnya sang calon karyawan.

Karena kalau dia datang dengan bargaining konsep, maka dia tentu akan percaya diri menjawabnya. “Saya mau gaji segini, karena saya punya konsep yang bisa memberi perusahaan ini 10 kali keuntungan dari gaji yang saya terima!” begitulah kira-kira.

“Saya bingung juga Pak, mengapa calon karyawan yang datang ke mari selalu berkata, saya ingin jadi pegawai. Tak pernah saya dengar, saya ingin jadi kepala. Kalau memang mampu, kenapa harus malu? Lanjut sang guru.

Saya terkesima. Selanjutnya saya coba menarik benang merah dari uraian pak guru ini dengan coba menghubungkan dengan perkataan CEO Jawa Pos Grup Dahlan Iskan. Suatu hari, dia mengkritik wartawan di media nasional yang selalu menurutnya salah meletakkan sebutan profesi pada pekarjaan kasar.

“Masa, tukang pijit dibilang profesi? ‘Lelaki yang berprofesi sebagai tukang pijit itu’. Kalau dokter, wartawan boleh-boleh saja, karena mereka mampu membuat analisa dan keputusan,” ujarnya.

Dari sini saya mengerti maksud Dahlan Iskan, bahwa profesional itu (orang yang menjalankan sebuah profesi) haruslah mampu mengambil keputusan berdasar gagasan dan konsep yang dia ambil, bukan hanya mengerjakan hal yang monoton, seperti halnya tukang pijit dan kerja kasar lain.














***
Profesionalisme, tak selamanya mulus. Dari beragam kasus di perusahaan, diketahui, bahwa pembunuh terbesar profesionalisme itu adalah atasan itu sendiri.

Atasan juga manusia, ada kalanya dia yang tak siap bahkan susah hati melihat bawahannya maju. Selanjutnya dia akan menghambat bahkan menekan laju si bawahan.

Hambatan ini bisa dilakukan langsung ataupun tidak. Bisa disengaja ataupun tidak. Caranya, bisa melalui intimidasi atau memotong simpul-simpul ide bawahannya sehingga tumpul dan bermental kacung.

Kadang, hirarki selalu dijadikan alasan kuat, untuk menekan. Tak jarang dia berkhutbah, “Jangan banyak omong, di sini aku atasanmu, kamu harus nurut apa kata aku, aku bisa memecat kamu, kalau tak nurut perintah keluar saja!”

Biasanya, kalimat semacam ini yang jadi andalan, sehingga membuat profesionalisme karyawan tumpul dan hancur. Selanjutnya, mereka jadi robot bernyawa, robot kacung. Saat rapat, lebih banyak diam. Saat kerja, yang penting kerja, setelah itu cepatlah pulang.

Bagaimana menurut Anda?

Selasa, 07 April 2009

Pemilu, Perubahan

Pemilu udah digelar. Perebutan kekuasaan yang direstui peradaban ini akan terjadi. Semuanya tentu akan berimbas pada perubahan. Lebih baikkah, atau lebih burukkah? Kita berdoa saja, semoga lebih lebih baik.

Oh ya, di atas tadi saya menyinggung tentang perubahan. Ya, perubahan. Semua akan berubah setelah pemilu usai. Yang paling dahsyat, memang terjadi pada pemilu kali ini; sistemnya tak lagi dicoblos, tapi dicontreng.

Sistem baru ini, berakibat berubahnya juga bahasa Jawa dalam menyebut pemilu. Kalau saat dicoblos dulu disebut ”coblosan”, kini otomatis berubah ”contrengan”. ”Sik mbak yu, aku kati nang contrengan yo...” begitulah kira-kira.

Perubahann juga akan sangat terasa bagi para pemilih senior (wah istilahnya keren ya). Maklumlah, kali ini mereka telah memasuki zaman ultra multi partai ini. Disebut demikian, mengingat jumlah kontestan pemilu kali ini ada 38 partai.










Tentu saja mereka harus akan kaget saat membuka kertas suara, yang panjang lebar itu. Beda dengan dulu, saat mereka masih ikut pemilu, ketika partai masih sedikit, yang jumlahnya hanya 3 atau yang jumlahnya 24.

Kebingungan mereka akan bertambah-tambah, karena kalau dulu aturannya hanya satu, coblos gambar beres, kini harus mencontreng orang (bisa juga sih mencontreng gambar partai). mana tiap partai, jumlah calegnya ada yang mencapai 10 orang lagi. Tentu ini tak main-main bingungnya.

Tentu saja, sistem baru yang ribet ini, akan membuat mereka kiann malas ke tempat pemilihan suara. Selain bingung, yang paling mereka benci adalah harus menunggu. Karena menunggu adalah pekerjaan yang amat membosankan.

Banyangkan saja, dengan banyaknya partai, tiap orang akan menghabiskan waktu di TPS hingga 4 menit. Ini kalau satu orang, kalau satu kampung yang jumlahnya mencapai 400 pemilih, berapa lama lagi? Tinggal kalikan saja, 4 x 400 = 1.600 menit. Atau setara 26 jam!

Tapi jangan kuatir, hal ini masih bisa dipersingkat dengan cara mencacah pemilih dengan menyediakan banyak bilik suara. Katakanlah, ada 4 bilik suara, maka akan selesai selama 6 jam.








Jadi, kalau pemungutan suara dimulai pukul 07.00, maka akan berakhir sekitar pukul 13.00. Pencapaian ini dengan catatan, semua berjalan lancar. Tanpa jam karet, kalau tidak, tentu akan panjang lagi ceritanya.

Bisa-bisa akan mengubah waktu penghitungan suara. Kalau dulu paling banter pukul 13.00 sudah beres, kini bisa dilakukan sampai larut malam.
Benar-benar sebuah perubahan.

Perubahan lain, tentu saja akan terjadi di DPR/DPRD. Beberapa orang akan tergerus, beberapa orang akan bertahan, beberapa pimpinan akan lengser, beberapa bawahan akan memimpin. Begitu terus.

Perubahan juga akan terjadi pada formasi kursi-kursi partai. Apalagi saat ini, di zaman ultra multi partai ini, pergeserannya akan tampak sekali.

Terkait banyaknya partai ini, beberapa ahli politik memprediksi, dari jumlah sebanyak itu, hanya 25 persennya saja yang berhasil masuk dewan. Konkretnya begini, partai-partai yang masih akan bertahan itu masihlah partai yang saat ini masih bercokol. Hanya ada dua partai yang secara umum diramal lolos ke DPR/D, ialah Gerindra dan Hanura.





Partai yang lain bagaimana? Ada prediksi, bisa jadi mereka lolos, namun perolehan kursinya akan sangat minim. Itupun keterwakilan mereka di tiap daerah tidak akan sama. Bisa jadi di daerah A, partai Z dapat kursi, namun di daerah lain tidak.

Ada lagi prediksi lain, partai-partai yang tak lolos tersebut tersebut akan mencari jalan untuk survive dengan cara melebur, membentuk semacam goverenment wach, menyusun kekuatan untuk Pilpres, atau memilih bubar.

Dan.... Inilah yang paling seru, menentukan siapa pimpinan dewan.

Pemilu legislatif, berarti mengganti struktur segenap anggota dan pimpinan dewan. Kita semua udah tahu kan. Tapi tahukah Anda, bahwa adakalanya eksekutif akan ikut campur agar ketua dewan nanti tak jadi preman, yang kerjanya hanya menggerogoti kinerja eksekutif terus.

Sebab, bagaimanapun juga, dewanlah yang menentukan arah eksekutif ke depan. Mau kemana arah pembangunan, dan ini yang paling penting, berapa besar anggaran yang akan dicairkan, semua harus melalui persetujuan dewan.






Nah, Anda tentu bisa bayangkan, jika ketua dewan-nya selalu konfrontatif daripada kooperatif terhadap eksekutif, tentu akan payah. Dikit-dikit hearing. Akibatnya, jalan pemerintahan bisa tersendat.

Maka itu, sebelum ketua dewannya terpilih, semasih embrio sudah harus dipantau. Maka, sejak pemilu inilah biasanya tim eksekutif sudah bekerja, menyusun program, soal siapa yang nanti akan didudukkan sebagai ketua dewan. Tentunya, setelah ditimbang dari berbagai aspek. Kalau bisa, cari yang yes men aja, agar semua urusan bisa lancar.

Bagaimana caranya? Gampang. Langkah pertama, mereka mulai menimbang partai apa saja yang nantinya akan menjadi pemenang.

Dari sini, disaring lagi, siapa saja jago-jago yang akan dimajukan menjadi ketua Dewan oleh partai-partai tersebut. Dari sini, mengerucutlah beberapa nama.

Nah, beberapa nama inilah nanti disaring lagi soal siapa yang akan didukung sebagai ketua dewan pilihan eksekutif.

Hingga setelah pemilu usai, langkah-langkah ini mulai direalisasikan. Konon, eksekutif tak ragu mengeluarkan dana besar agar jagonya terpilih sebagai ketua dewan nanti.