Senin, 22 Juni 2009

Akal-akalan Nasruddin

Kisah Nasruddin, sang sufi, memang selalu unuk untuk diceritakan. Menyindir, tapi cukup menghibur.

Kisah yang akan saya cuplik kali ini tentang Nasruddin yang kebingungan melihat kambingnya sakit. Melihat kondisinya, Nasruddin menyangka bahwa kambingnya tak akan sembuh. "paling sebentar lagi mati," pikirnya meremehkan.

Saat itulah, tiba-tiba Nasruddin berucap sebuah nazar. "Kalau kambing ini sembuh, akan saya jual Rp10 ribu," Ujarnya.

Ya, Rp10 ribu saja. Ah, mana ada kambing seharga demikian? Tapi ya itulah, karena Nasruddin sudah yakin betul bahwa kambingnya akan mati, jadi nothing to loose.

Namun apa yang terjadi, Allah berkehendak lain. Kambing Nasruddin tiba-tiba sembuh. Kondisinyapun puluh sedia kala, sehat wal afiat.








Maka bingunglah Nasruddin. Betapa tidak, rasa sayangnya mulai muncul. "Mana ada kambing sehat begini dijual Rp10 ribu," batinnya.

Diapun larut dalam dilema. Siang malam dia memutar otak. Mau dijual, sayang. tak dijual, takut dosa, maklumlah dia sudah bernazar.

Lama dia berfikir, maka muncullah idenya. Di keesokan hari, dia membawa sang kambing ke pasar. Tekadnya sudah bulat menjual Rp10 ribu, sesuai nazarnya.

tapi tunggu dulu, lihatlah, apa yang dia letakkan di atas kepala kambing itu? Oh, ternyata seekor ayam. Untuk apakah ayam itu? "Kambing ini saya jual Rp10 ribu, tapi ayamnya Rp1 juta. Barang siapa yang mau, harus beli satu paket," katanya.

Apa yang kita petik dari kisah ini? Cobalah lihat di sekeliling kita, betapa banyak kadang kita temui kisah semacam ini. Mungkin obyeknya bukan lagi kambing, namun inti masalahnya tetap sama; akal-akalan.

Inti dari kisah ini tentang mudahnya kita mengentengkan sesuatu (orang lain), lalu gampang mengumbar janji. Namun, saat akan menunaikannya, sangat berat.

Apalagi begitu dihitung-hitung, ternyata cukup makan biaya yang tak sedikit pula. Namun apa daya, janji sudah terucap.

Karena takut gengsi atau mendapat malu, maka mulailah mencari cara. Segala cara, termasuk akal-akalan tadi, meski dengan begitu dia telah membohongi nurani, orang lain, bahkan Tuhannya sendiri. Tapi, masa bodoh amat, yang penting gengsi tak turun.

Memang mudah mencari pembenaran, padahal semua itu belum tentu bisa membawa kebaikan. Sungguh lucu kiranya, jika kita mengharap maklum dari orang lain atas semua kesalahan yang telah kita lakukan.

Sedikit penutup ada sebuah kisah lagi. Suatu hari seorang guru berkumpul dengan murid-muridnya, lalu dia mengajukan pertanyaan.

"Apa yang paling berat di dunia ini?" Di antara muridnya ada yang menjawab, "Baja", besi, dan gajah".

Mendengar ini sang guru berkata, "Semua jawaban kalian hampir benar, tapi yang paling berat adalah 'memegang amanah".

Minggu, 21 Juni 2009

Escape to Singapore (1)

(Makan Nasi Beryani, Bau Karenya Tak Mau Hilang)

Akhir pekan… Saatnya berlibur. Tapi ke mana? Ah, ke Singapura sajalah.


Berlibur ke Singapura bukanlah hal yang wah bagi masyarakat di Batam. Rata-rata warga di sini sudah pernah melakukannya, mengingat letaknya mudah dijangkau.

Dan perjalanan saya kali ini, entah sudah kali ke berapa. Tapi, ini menjadi kali pertama jalan-jalan seorang diri, karena sebelumnya selalu ikut tur wisata.

Dari Batam, saya memilih berangkat dari pelabuhan Internasional Sekupang. Alasannya sederhana, lebih cepat, hanya 45 menit saja, meski jaraknya dari rumah saya di Batam Center cukup jauh.

Kenapa tak memilih pelabuhan Internasional Batam Center? Karena, dari sini ke Singapura memakan waktu 1 jam. Ah, mending lama di jalan dari pada di laut. Bosan, apalagi jika ombak besar, perutku langsung mual dan pusing.

Feri Batam Fast bertolak dari pelabuhan sekitar pukul 11.00. 45 menit kemudian, setibanya di perairan Marina, feri kami dihentikan oleh polisi keamanan laut Singapura. Biasalah, dilakukan pemeriksaan penumpang.
















Kerap terjadi, bila ada penumpang dicurigai langsung di bawa ke kantor imigrasi, diinterogasi macam-macam, sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia, dengan paspor berstempel “tolak”.

10 menit berlalu, syukurlah tak ada masalah, jadi feri dipeersilakan melaju lagi. Pukul 12.00 akhirnya merapay juga di Harbour Front, pelabuhan feri Singapura. Dulu namanya World Trade Centre.

Setelah melalui thermal scanning (alat pendeteksi panas), lalu saya terhenti di loket pemeriksaan paspor. Ditanya ini itu, “Nak kemane cik? Berape lame di Singapo? Ape tujuan kat Singapo? Di Singapo tinggal di mane?”

Saya jawab, “Nak liburan. Balik hari saje!” Lalu, “Tok…” Stempel petugas itu mengayun, tanda pemberian izin masuk ke Singapuura selama 30 hari. Sebuah awal yang bagus. Maklumlah, paspor ini baru selesai saya buat, jadi masih “perawan”.

Dan biasanya, bila izin awal sudah dapat 30 hari, maka jika nanti mau masuk Singapura lagi, tak akan terlalu dapat masalah.

Keluar dari konter Imigrasi, deretan etalase mall Harbour Front langsung menyambut. Tak lama, melintas di gerai roti, Gruuukkk… Gruk… Perut berbunyi, pertanda lapar.



















Saatnya makan! Kebetulan, di seberang jalan Harbour Front, tepatnya di Teluk Blangah Drive, ada sebuah pusat makanan serba ada (Panasera). Di sana, berjejer aneka gerai masakan. Antara panasera dan Harbour Front ini dihubungkan sebuah jembatan layang.

Langsung saja kaki ini melangkah mantap. Saat menyeberang di jembatan itu, ada beberapa pedagang asongan menjajakan tisu. Cuek sajalah, udah lapar neh.

Hingga akhirnya sampai di Panasera. Sesuai namanya, panasera ini terletai di atas jalan raya.. Bangunannya memanjang beratap spandex. Di dalamnya, beberapa kedai aneka masakan berjejer, mulai China hingga India. Di samping panasera ini ada terminal bus untuk menuju ke beberapa daerah Singapura.

Yang asyik, di panasera ini bebas asap rokok. Tapi bagi yang ingin merokok tetap diterima, tapi mereka dikucilkan di sebuah meja kursi paling pinggir yang di atasnya tak beratap. Jadi kalau siang kepanasan, dan kalau hujan ya kehujanan.

Salah sendiri, ngapain merokok. Sudah tahu di Singapuira, perokok menjadi “public enemy number one”. Yang paling penting, panasera ini bersih. Ya, namanya juga Singapura.











Di panasera ini, saya langsung menuju stan makanan India Muslim, bernama Rezki Allah, milik ibu Hanifah. Langsung saja pesan nasi beryani (nasi bryani). Tak lama hidangan sampai.

Nasi beryani semacam nasi goreng khas India. Yang membedakan, nasi ini disajikan dengan disiram kuah kare, acar timun dan krupuk. Untuk lauknya, kita bisa memilih, mau ikan, kambing atau ayam.

Saya memilih kambing, supaya ada tenaga, mengingat saya akan melakukan jalan kaki nan panjang.

Begitu disajikan, wow… bau karenya langsung menyengat hidung. Perlu diketahui, kare India beda dengan kare di Jawa, aroma dan rasanya begitu kuat. Bagi yang tak biasa akan langsung pusing. Tak heranlah, rasa kare ini lama bertahan di tenggorokanku, bahkan bersendawapun bau kare.

Untuk air munumnya, umumnya kedai di Singapura warung makan tak bisa merangkap menjual air minum. Semua harus terpisah. Makanya, saya memesan teh tarik di gerai sebelah, milik orang Bangladesh H Amin Brothers.

Saya baru tahu mengapa kedai ini bernama demikian (brothers), ternyata yang jualan bersaudara. Semua ada tiga orang, semua sudah tua, wajahnya mirip dengan “seragamnya”, kaos oblong putih dan peci haji warna putih pula. Ketiganya juga memelihara janggut panjang, yang juga sama-sama sudah memutih.

Di negeri ini, warga Bangladesh memang terkenal akan teh tariknya, sama seperti orang Aceh di Batam, yang memang spesialis penjual bandrek.
Taklama, nasi beryani itu ludes. Melihat piringku kering, pelayannya langsung datang membersihkan. Rules number one, di Singapura tak boleh kotor.















Setelah makan, saya malah kebingungan. Mana tisue? Aduh, mana tangan dan mulut berminyak lagi. Ah ternyata, tisu tak tersedia. Pantas saja tadi, saat akan menuju ke panasera ini banyak yang jualan tisu. Kini saya mengeri maksudnya.

Sudahlah, beranjak kembali ke Harbour Front, selanjutnya mecari jalan ke samping tempat antrean taksi. Untunglah tak terlalu ramai, sehingga tak perlu lama nunggu.

Taksi di sini juga beragam merek. Mulai jenis mobil Jepang hingga buatan Eropa, semisal Mercedes. Ada yang masih baru, ada pula yang keluaran lama. Meski lama, tapi masih terawat dengan baik.

Dan saya, kali ini tak beruntung bisa naik taksi Mercedes. Tapi lumayan jugalah, saya dapat taksi Hyundai seri terbaru.

“Nak ke mane cik?” Oh, rupanya supirnya orang Melayu.
“Ke Orchard Road, Takashimaya!” jawab saya mantap.

Di dalam taksi, sepanjang perjalanan ke Orchard, mata saya menyapu ke kanan kiri jalan. Tampak, pohon besar nan rindang memagar, seolah saya melintas di hutan belantara saja. Hal inilah yang selalu membuat saya kagum, hutan kota Singpura memang tak ada matinya.

Lapat-lapat saya mendengar suara radio. Rupanya pak supir suka musik. Stasiunnya saat itu, Ria FM, radio Melayu di Singapura. Saat tiu, memang ada program pemutaran tangga lagu. Aneka lagu Indonesia terus mengalun, umumnya lagu Malaysia.

Setelah lagu Penghianat Cinta dari Duo Maya usai, langsung disambung lagu Madu Tiga dari Ahmad Dhani. “Suke lagu Indo Cik?” tanya saya. Sang supir hanya tersenyum.

Sepanjang jalan menuju Orchard ini, saya sesekali bersendawa. Ah, bau kare India lagi.




Nasi beryani.... Wah, bau kare...

Escape to Singapore (2)

(Di Sini, Pedestrian Adalah Raja)

Akhirnya, sampai juga ke tujuan. Saya turun di depan pintu masuk Nge Ann City. Dari sini, saya masuk.

Layaknya mall di dalamnya banyak gerai pakaian bermerek, mulai Aigner, Prada. Polo, ah tak terhitung lagi. Semua produk didiskon sampai 50 persen. Rupanya di Singapura sedang ada sale besar-besaran.

Melihat barang-barang bermerek ini, saya berpikir, bagaimana pejabat Indonesia tak tergiur berbelanja di sini. Semua bangus-bagus. Kalau tak kuat hati, bisa korupsi.

Selanjutnya, saya melintasi gerai Samsung. Rupanya sedang ada pemeran produk baru ponsel ini, yang fiturnya mirip BlackBerry. Bila mau, harganya bisa miring selama pameran.

Lepas dari sana, saya menelusuri jalan tembus ke Takashimaya. Di pintu keluar Takashimaya ini, langsung tembus ke Orchard Road, jalanan Singapura paling banyak dikunjungi pelancong.

Dari sini, saya dapat melihat kemegahan Singapura. Jalannya yang bersih, kendaraan mengkilat. Sesekali mobil model terbaru merek kenamaan melintas, modelnya belum masuk ke Indonesia.










Bis kotanya juga di cat warna-warni, senada dengan haltenya yang hi-tech. Tampak di sana, orang antre dengan tertib menunggu giliran.

Selanjutnya, saya menelusuri jalan Orchard. Di kri-kanannya, banyak diapit pusat belanja megah nan mewah Singapura. Yang asyik jalan-jala di sini, karena sangat memanjakan pedestrian.

Trotoar pejalan kaki di sini sangat lebar, hampir 10 meter. Di sisi-sisinya banyak berjejer bangku-bangku berubin bersih, untuk pejalan kaki melepas penat sembari menikmati pemandangan.

Di samping itu, berjalan kaki menelusuri deretan mall Singapura juga tak akan keringatan, karena selain rindang, hawa AC juga terhembus sampai ke jalan.

Melihat ini saya jadi teringat, betapa borosnya Singapura menggunakan listrik yang nota bene dia beli dari Conoco Philip, Panaran Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, malah krisisnya bukan main.

Haus, atau mau ngemil? Jangan khawatir, banyak gerai snack di sini. Mau burger atau koran juga ada. Pokoknya asyik, asal kuat bawa uang saja.

Selanjutnya, berbaur bersama ratuasan pejalan kaki, saya melngkah menelusuri blok demi blok sepanjang jalan Orchard. Di sini, para pejalan kakinya cepat-cepat. Bisa 5 km perjam.















Antara blok satu ke yang lain dipisahkan jalan raya. Untuk nyeberang jalan, kita harus menunggu sampai lampu hijau pertanda orang menyala. Selama itu ya, harus menunggu.

Demikian juga sebaliknya, jika tanda pejalan kaki sudah berwarna hijau, kendaraan harus berhenti.

Bicara soal kendaraan bermotor, modelnya bagus-bagus bahkan banyak yang belum dipasarkan di Indonesia, menandakan tingkat ekonomi warga di sini cukup baik.

Di Singapira, mobil sangat mahal. Pajaknya juga tinggi. Belum lagi harus bayar parkir yang tiap jamnya cukup mahal. Pemerintah di sini memang sangat membatasi pemakai kendaraan bermotor.

Kendaraan pribadi di sini tak boleh berumur lebih dari 10 tahun, emisinya dan kebersihannya harus dijaga.

Meski semuanya mengkilat, namun pemilik mobil di Singapura sangat menghargai pejalan kaki. Tak jarang mereka mengalah, jauh-jauh sudah berhenti, jika melihat pejalan kaki menyeberang jalan.

Beda dengan di Indonesia, pejalan kaki sangat menghargai pengguna kendaraan. Malah, terkesan ketakutan. Maklumlah, pengguna kendaraan di sini tak mau kalah. Bila lihat ada pejalan kaki menyeberang, maunya mau nabrak. Kalau tak begitu, klakson diumbar keras-keras.

















Setelah lama berjalan, saya berhenti di depan gedung Wisma Atria, sebelah Starbucks Coffe. Di sini duduk-duduk sebentar. Saat itu, sekawanan merpati menghampiri.

Dari bentuknya yang terawat, saya yakin ini bukan merpati nyasar. Asumsi saya, merpati ini sengaja dilepas pemerintah setempat utnuk menemani pejalan kaki. Ya, mirip di Itali-lah.

Haus ah. Sayapun berganjak ke gerai Seven 7 tak jauh dari saya duduk, untuk membeli sekadar air mineral. Di antara beberapa merek, saya memilih Aqua 600 mili. Ceritanya menghargai produk-produk Indonesia, he he he.

Tapi harganya bikin kaget. Di Indonesia hanya Rp2.500, di sini sampai 15 ribu, atau 2 dolar (1 dolar Rp7.200). Minum sebentar, duduk di bangku ubin, lalu jalan lagi.

Kali ini saya belok melintasi Hotel Hilton. Di sini saya mampir ke pedagang koran, penjualnya seorang nenek-nenek berkewarganegaraan India. Ini sudah orang lanjut usia ke sekian yang saya temui berjualan.

Memang, di Singapura harus bekerja, termasuk kaum lanjut usia. Kenapa? Beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan seorang lansia Singapura. Kata mereka, hasil kerja ini mereka kumpulkan sebagai bekal jika nanti meninggal. Malumlah, biaya orang mati di Singapura amatlah mahal.

















Di gerai ini, ada sebuah koran yang menarik perhatian saya. Namanya FT Weekend. Sebuah koran ekonomi. Saat melihat, semula saya pikir ini koran lama, sebab kertasnya tampak merah kekuningan, mirip koran yang puluhan tahun disimpan. Namun setelah saya raba, ternyata kertasnya mengkilat dan halus. Entah jenis kertas apa ini.

Setelah lihat-lihat, saya tak jadi beli. Saya lihat, penjualnya menatap saya dengan wajah menggerutu.

Dari sini, saya masuk ke Isetan, mall waralaba dari Jepang. Di sini banyak gerai kosmetik, merek ternama dunia. Saya lihat, banyak kaum perempuan tua muda, kunsultasi sebelum memilih jenis kosmetik yang cocok untuknya.

Keluar dari Isetan, saya langsung disambut pedagang pakaian anak yang emmbuka gerai di trotoar. Ah, rupanya ada diskon. Harga baju, hanya 5 dolar sampoai 7 dolar. Yang tak didiskon juga ada, tapi mulai 12 dolar.

Namanya juga diskon, banyak yang mengerubung. Dan mau tahu, siapa sebagian mesar dari mereka? Ternyata orang Indonesia. Hal ini saya tahu dari hasanya, yang berdialek Jakarta (Betawi). He he he, siapa bilang orang Indonesia miskin, ya?











Saya pilih cari baju yang 5-7 dolar saja. Untuk Regalia, putri saya yang bu;lan ini berumur 13 bulan. Kebetulan modelnya bagus-bagus.

Di sinilah saya dibikin bingung oleh bahasa pelayannya. Disebut Singlish, artinya Singapore English. Bahasa Inggris yang disesuaikan dengan bahasa Tionghoa.

“Oh, kam kam kam se. Dis gud lah, ol from Hongkong, jas faef dole. Ken ken ken (Oh, come come come sir. This good lah, all from Hongkong. Just 5 dollar. Can can can?)” ujar wanita Tionghoa setengah baya pada saya.

Tentu saja saya bingung, tapi cuek saja, saya pilih baju anak-anak. Kebetulan bagus, harganya 12 dolar. Tiba-tiba si penjaga datang lagi, “Faef dole aot saed lah. Ya, aot saed aot saed (Fifth dollar out side lah. Ya, out side out side),” katanya.

Saya pun menuju ke luar. Diapun ikut, lalu memilihkan baju yang cocok untuk anak saya. Ya, inilah asyiknya berbelanja pada orang Tionghoa, semua dilayani.

Akhirnya saya pilih dua baju yang harga 7 dolar. Kebetulan modelnya unik, dan eksklusif. Setelah itu saya bayar, langsung kabur. Pusing dengarkan Singlish.





Pedestrian menikmati keindahan Orchard Road. Mau nyeberang jalan, antre dulu, tunggu lampu hijau.

Escape to Singapore (3)

(Masuk ke Rumah Kondom, Banyak Boneka Mr P)

Usai membeli baju anak, saya berjalan melintas depan Galeria, selanjutnya menyeberang jalan melalui jembatan penyeberangan menuju Far East Plaza. Jembatannya asyik, karena memakai eskalator. Lumayan bisa merehatkan kaki.

Keluar dari sini, saya melintas di Lucky Plaza jalan sebentar, saya melintas sebuah gerai “hot” bernama House of Condom. Dari luar saja sudah menggoda, dinding kacanya dipoles warna-warna merah dengan gambar perempuan seksi setengah tiduran.

Menarik juga, tapi hati-hati, karena ada aturan sebelum Anda masuk ke dalam. Aturan itu dipasang di atas pintu masuk. Bunyinya, “Strickly for 21 and abouve. Di bawah tulisan itu, ada beberapa tanda di antaranya kamera yang dicoret, yang berarti dilarang memotret.

Saya penasaran, lalu menuruni tangga masuk. Sesampainya di dalam, ruangannya bernuansa sedikit remang dengan lampu pijar warna kuning kemerahan. Di sini, saya melihat komoditas seksual dieksplorasi sedemikian luas. Namanya memang House of Condom, tapi di dalam tak hanya menjual kondom, juga alat bantu seksual yang lain.








Di sini banyak dijual, sex toy, sex doll dan sex accessories. Tak hanya untuk pasangan normal, untuk lesbi dan homo juga ada.

Pertama masuk di sisi kiri dinding terpajang aneka pakaian dalam wanita. Mulai lingrie hingga g string. Sementara di dinding sebelah kanan, terpajang aneka vcd dan buku soal seks dengan gambar wanita sexy yang menggoda.

Selanjutnya, tampak aneka bentuk Mr P dengan beragam ukuran berbeda pula. Dari gambar sampulnya, tampaknya alat bantu seks ini tak hanya untuk wanita saja, tapi juga untuk pria.

Bentuknya, terserah selera, mau yang “berbadan” kasar dengan gerigi-gerigi kecil, atau mau yang mulus. Warnanya juga variatif, ada yang hitam, merah hingga hijau. Yang bikin lucu, ternyata ada Mr P yang bentuknya bercabang segala. Entah apa maksudnya.

Selanjutnya, terpajang aneka jenis vibrator dengan beragam model dan fungsi pula. Ada yang sekecil jempol, hingga yang besar berbentuk Mr P pula.

Di rak pajang, selanjutnya berderet aneka jenis gel dan minyak pembantu gairah seksual. Juga dijual permen oral. Entah apa kegunaannya, saya pun tak sempat menanyakan pada penjaga tokonya, yang sejak tadi saya masuk terus mengawal sembari terus tersenyum.

Gel dan permen ini ini dipajang berderet bersama kondom dengan berbagai variasi warna, jenis, rasa. Mau yang bergerigi atau bergelombang juga ada. Mau yang rasa strawberry hingga nanas juga tersedia.

Yang agak seram, juga dijual alat bantu seksual bagi Anda yang menderita kelainan seks menyimpang khususnya yang berbau penyiksaan. Bisa pilih, ada borgol yang bentuknya seperti borgol maling, hingga yang dilapir kin berenda. Desainnya sangat bagus.

Kalau tak mau diikat dengan borgol, ada juga dijual aneka jenis tali pengikat, mirip sabuk dengan aneka jenis ukuran dan bahan yang baik dan tak bikin kulit lecet.

Di sini juga dijual penutup mata, bagi penderita seks yang baru terpuasi bila melihat pasangan dalam keadaan buta atau yang ditutup matanya istilahnya amaurophilla. Bentuknya mirip topeng zorro.

Nah ini yang serem. Ada juga cambuk kulit beragam ukuran. Ini khusus penderita seks yang merasakan kenikmatan bila melihat pasangannya menderita. Istilahnya, bondage and discipline, sadism and masochism.

Usai melihat kengerian ini, saya tersenyum geli melihat sex accessories yang dipajang di rak pojok. Di sini banyak dijual orang-orangan berbentuk Mr P. Ada yang kepalanya bisa angguk-angguk, ada juga yang pakai kaos oblong, ada juga yang paki dasi. Bentuknya lucu-lucu dan imut. Cocok dijadikan pajangan di meja kerja.

Selain itu, ada juga dijual gantungan kunci berbentuk aneka posisi bercinta. Bila yang suka merokok, juga dijual korek berbentuk Mr P Bahkan ada juga dijual aksesoris golf, bernuansa seks. Pokoknya serba seks.

Bagi lelaki yang sedang sendiri, juga tersedia boneka (sex doll) bentuknya ada yang kecil ada yang besar. Ada yang menyerupai gadis, ada yang menyerupai bayi.

Dan ini yang heboh, ada aneka lampu neon berbentuk Mr P, ada juga yang berbentuk payudara. Fungsinya untuk lampu meja atau lampu tidur. Ada ada saja.








Tak lama, saya keluar dari situ. Jalan lagi, melintasi beberapa pusat perbelanjaan yang dalam pembangunan. Di Singapura, membangun gedung tak boleh sembarangan. Semua harus ditutup, agar debunya tak mengganggu pejalan kaki.

Hingga akhirnya kaki saya terasa kesemutan dan panas. Saya lirik jam, pukul 16.30 WIB. Kalau dihitung dari saya tiba di Takashimaya, pukul 12.45. Berarti saya telah berjalan kaki sekitar 3 jam! Wah, tak terasa. Pantes saja pegel.

Akhirnya saya duduk di bangku tepi jalan. Meneguk air mineral yang mulai tinggal separo. “Aiiikkk….” Saya bersendawa lagi. Masih bau kare India, kuah nasi beryani yang saya lahap 3 jam lalu.

Setelah itu, jalan lagi menuju Takashimaya yang berada satu blok di depan. Masuk ke hall, buzzz.... hawa AC langsung menyergap. Dingin banget. Di selasar ini saya lihat beberapa gerai arloji merek-merek jempolan. Semua menggelar diskon hingga 50 persen.

Ada jam tangan Guess, masih bagus harganya 228 dolar, didiskon 50 persen jadi 114 dolar atau sekitar Rp800 ribuan. Tapi ada juga yang baru, tapi harganya di atas 150 dolar.
















Selain itu juga tampak gerai yang menjual asesoris wanita, seperti gelang, anting dan kalung, dengan pernik gemerlap. Bagus juga. Harganya rata-rata 13 dolar atau sekitar Rp100 ribuan.

Dari sini, saya tertarik masuk ke stan Polo. Ada diskon juga hingga 50 persen. Stelah dilihat, ternyata produk lama, itupun tetap mahal. Di sini ada kaos harganya yang udah didiskon 50 persen, seharga 140 dolar atau sekitar Rp1 juta.

Yang menarik, semua yang kantong belanja di sini tak lagi menggunakan plastik. Semua dari kertas, biar mudah didaur ulang.

Puas melihat-lihat saya pun pergi ke toilet. Ada sebuah perhitunagn yang harus diselesaikan. Sampainya di sana, saya periksa satu persatu pintunya. Aha, akhirnya dapat juga. Di pojok dalam, saya menemukan toilet jongkok.

Tentu saja saya pilih yang ini, maklumlah, orang kampung tak biasa berkawan dengan toilet duduk. Kalau di toilet duduk, rasanya hasrat ini bisa lepas hingga ke akarnya.

Yang paling pentingm, di toilet duduk ini tersedia keran air, sedangkan di toilet duduk hanya ada tisu. Ah, mana tahan saya yang begituan. Orang Indonesia ini kan umumnya tak bisa lepas dari air, apalagi untuk urusan perhajatan seperti ini.

Huah.... Akhirnya enteng juga. Siap-siap melanjutkan perjalanan. Cuci muka dululah di washtafel. Berbeda dengan listrik, untuk urusan air Singapura sangat irit. Karena itulah, salah satunya, keran air ini banyak dipasang yang bersensor.

Airnya baru bisa keluar kalau tangan kita dekatkan hingga 1 cm ke mulutnya. Kurang dari itu, akan mampet.
















Setelah bersih, saya mantap berjalan menuju Nge Ann City. Mau melanjutkan perjalanan ke Jalan Arab. Orang Indonesia, khususnya yang Muslim, belum sah bila tak berkunjung ke mari.

Sebab, di sini selain banyak menjual masakan nusantara. Masakan Jawa ada, apalagi Padang, berjejer. Soal rasa jangan khawatir, tetap maknyos. Dan yang paling penting, tak bau kare India lagi.

Di sini juga ada sebuah masjid tua. Namanya Masjid Sultan.

Keluar dari pintu Nge Ann, saya bersiap cari taksi. Tapi, ampuuun, antrenya panjang banget. Tapi tertib. Ah, di Singapura memang tak bisa lepas dari antrean. Naik taksi antre, naik lift antre, ambil ATM antre, bayar belanjaan antre, mau makan antre, mau ke toiletpun antre. Antre antre antre.

Selama antre itu, saya melihat deretan taksi beragam merek. Ada yang Mercedez, atau yang Hyundai. Semua keluaran baru. Namun, ada pula sedan yang agak tua. “Ah, semoga saja saya dapat yang Mercy,” batinku.

Setelah hampir 30 menit antre, ternyata harapan saya tak terkabul. Saya dapat taksi agak tua. Meski demikian, kondisinya masih bagus tak kalah dengan taksi baru di Batam. Maklumlah, Singapura gitu loh. Seperti yang saya sebut di atas, semua kemdaraan disini terawat sempurna.

“Where do yo go sir?” sapa Tay Boon Chye, sang sopir. Wah, Singlish lagi neh, gumam saya.

“Em... To Arab Street, please,” jawab saya.

Taksi berjalan. Kali ini musik yang diputar adalah lagu barat.






Pintu keluar masuk Nge Ann City, Rumah Kondom, dan loperkoran di sekitar Lucky Plaza.

Escape to Singapore (4)

yang oleh National Geographic disebut the finest destination on earth, laju taksi tiba-tiba melambat. Saya lihat di depan, sebuah plang nama “Arab Street” menyambut.

“Oke. How much,”
“Six dollar,” kata pak supir, sembari menunjuk angka 6 pada sebuah LCD kecil di dashboard.

Setelah bayar, sayapun berganjak keluar. Ah…. Arab Street. Tempat ini merupakan blok besar yang terdiri dari rumah toko dua lantai. Desainnya antik dan saling berhadapan, megapit jalanan untuk pedestrian. Di jalan itu, kadang banyak dibikin untuk kedai makan atau minum.

Toko-toko di sini memang banyak menyediakan makanan hingga souvenir khas Timur Tengah atau khas muslim lainnya, semisal sajadah, parfum, tasbih dan lain-lain.

Tak heran, semua nama jalan di sinipun mengambil nama daerah di timur tengah dan asia tengah. Ada Baghdad, hingga Kandahar Street.

Tiap hari, di sini banyak dikunjungi para wisatawan muslim, yang ingin mencicipi masakan halal dan enak. Terutama wisatawan dari Indonesia, yang rindu masakan Jawa atau Padang, di sinilah tempatnya.

Tak mau berlama-lama, saya berjalan satu blok, mencari warung teh tarik langganan, milik orang Bangla (Bangladesh). Letaknya di pojok komplek pertokoan di Jalan Busaroh.

Selain menghilangkan haus, saya berharap bisa mengusir rasa kare yang sejak tadi terus melekat di tenggorokan.

Seorang tua berpeci putih, berjanggut putih datang menyambut, saat saya duduk di kursi pojok.

“One teh tarik, please…” ujar saya. Diapun langsung tergopoh masuk lagi. Tak lama, dia datang dengan segelas teh tarik di tangan.

Saya sruput… Ah, rasanya lebih enak dari pada milik H Amin, tadi pagi. Saat itu saya kembali teringat, kok potongan penjual teh tarik ini sama semua? Orang tua, berjanggut putih, pakai kaos oblong putih dan celana kain putih. Ah mungkin hanya kebetulan saja.

Di seberang jalan, saya melihat orang tengah bersantai di Kampong Glam Cafe. Nama ini diambil dari nama kampung yang dulu ada di daerah ini. Dulu, Kampong Glam tempat orang-orang Melayu, pengukit Sultan Hussain.


Selanjutnya, kampung ini juga dikenal sebagai tempat komunitas Bugis. Di sini pula, banyak menetap orang Boyan, atau Bawean, sebuah pulau yang berada di utara Jawa Timur.

Hingga kini, Kampong Glam menjadi tempat favorit bagi anak-anak asal Indonesia untuk sekedar kongkow, melepas rasa penat. Di antara mereka adalah orang Bawean, asal Jawa Timur.

Saat syik duduk, saya mendapat seorang kawan. Namanya Philip. Dia marga Tionghoa.
Kamipun terlibat percakapan. “Ah, sayang sekali judi di Indonesia ditutup. Kan yang berjudi orang Singapur juga,” katanya.

Philip, memang paham bahasa Indonesia. Maklumlah, beberapa waktu lalu, di kerap bolak-baik Batam- Medan-Pekanbaru, untuk mengurus bisnisnya.

Tak lama, setelah berbincang, saya pamit ke Philip. “Saya mau ke Masjid Sultan.” Diapun mengangguk. Masjid Sultan terletak di Muscat Street, tak jauh dari tempat saya nge-teh. Tepatnya ada di belakang blok ini.

Tak lama saya pun tiba di Masjid Sultan, masjid tertua dan terbesar di Singapura. Masjid ini dibangun oleh Sultan Hussain pada tahun 1824-1826, bersama istana Sultan yang berada di sebelahnya. Meski sudah tua, namun masih kokoh dan bagus. (Lebih lengkap klik : http://en.wikipedia.org/wiki/Masjid_Sultan).

Sebenarnya saya ingin masuk ke dalam untuk mengetahui profil masjid ini, namun mengingat badan penuh daki, jadi takut mengotori kesucian masjid.

Tahulah kita di Singapura, di jalan saja sangat mengutamakan kebersihan, apalagi di masjid. Meski begitu, saya masuk ke pelataran masjid. Dari sinilah saya dapat melihat kemegahan bangunan masjid di dalam.

Mihrabnya berbentuk panggung, khas mihrab masjid-masjid Melayu, dengan tiang berukir keemasan. Suasananya kian elok, dengan lampu kristal menghiasi langit-langit. Aneka karpet dari timur tengah, tampak menghampar rapi. Sementara di dinding sebelah luarnya, banyak berjejer tv plasma yang tiap saat menayangkan ayat suci Alquran.

Puas melihat-lihat, saya pun memutuskan kembali ke pelabuhan. Saat hendak berganjak dari halaman masjid itulah, saya melewati beberapa perempuan dengan baju lusuh, duduk di bangku balok setinggi lutut.

Saya penasaran. Kok di Singpura ada orang macam ini? Ternyata mereka adalah pengemis yang berharap sedekah dari pengunjung masjid. Agar tek mengganggu, otoritas
Setempat membuatkan mereka lahan berupa tempat duduk berbentuk baloh, yang memagar di kiri kanan masjid.

Sayapun terus berlalu. Naik taksi lagi. “Harbour Front,” serusaya mantap.

Dari Arab Street menuju pelabuhan ini, saya melintas jalan layang. Jalan ini tampaknya baru dibangun, karena sebelumnya saya tak melihatnya. Dari atas jalan ini, saya melihat ke sisi kiri, Singapore Wheel yang beberapa bulan lalu sempat macet itu, berderak lambat, mengangkut beberapa wisatawan.

Dan ketika melihat di sisi kanan jalan, ada tiga tower yang pembangunannya terus dikebut. Saya lihat sudah kelar 80 persen.
“This Singapore casino,” kata pak supir.

“Ah tak heranlah, bangunannya mirip mesin jackpot,” batinku berkata.

Akhirnya, sampai juga ke pelabuhan. Batam, saya pulang.










Pemandangan di Arab Street, Kampong Glam Cafe, Deretan toko suvenir menuju masjid sultan, Masjid Sultan.
.

Jumat, 19 Juni 2009

Pilih Harimau atau Kelinci?

Jika ingin disegani kawan maupun lawan, peliharalah harimau.

Harimau? Ya, mengapa tidak.

Namun harus diingat, memelihara harimau tidak mudah. Memerlukan kemampuan yang cukup baik untuk melatihnya. Karena tak jarang, dia akan sesekali melawan arahan Anda.

Tapi kabar baiknya, bila berhasil, malah bisa menjadi hiburan yang luar biasa. Tak hanya itu, wibawa Anda juga akan naik, bahkan rumah Anda akan sangat bermaruah. Siapa yang tak serem, melihat rumah yang ditempati harimau.

Tapi, jika Anda tak mau repot, piara saja kelinci. Gampang diarahkan, umumnya penurut. Kalau melawan, gebuk saja, maka selamanya dia akan menurut. Atau kalau mau yang lebih gampang lagi, pelihara saja keledai. Mereka tak bisa dilatih, tapi tenaganya bisa diperah.

Kisah di atas ini, sebenarnya sebuah kiasan. Khususnya bagi Anda yang ingin merekrut karyawan. Harimau yang saya maksud adalah, orang yang berani, cerdas, cepat dan berkualitas.

Punya, karyawan seperti ini, siapa yang tak mau. Untuk mencarinya, di banyak perusahaan besar banyak memakai sistem perekrutas yang ketat dengan menerapkan metoda tes secara menyeluruh.









Namun ya itu tadi, memiliki karyawan harimau tidaklah mudah. Anda harus mampu mengendalikan dan mengarahkannya. Karena biasanya, karyawan model begini, akan sangat kritis. Tiap hari selalu melakukan peningkatan kemampuan.

Ada sebuah kisah di sebuah yayasan pendidikan, istri dari pemilik yayasan tersebut didapuk sebagai direkturnya. Sekadar diketahui, pendidikan sang direktur ini ternyata tak lulus SMA.

Pendidikan kadang bukan ukuran, asal mau belajar. Namun, hal ini tak ada dalam diri sang direktur. Sikapnya sangat angkuh dan feodal. Dia mengartikan jabatan bukan dari sisi wewenang dan tanggung jawab, namun sebagai kekuasaan. Bebas memerintah bawahan.

Sifatnya ini diperparah, oleh kurang mengertinya dia akan struktur organisasi, apalah lagi soal tugas pokok dan fungsi.

Berbeda dengan sang direktur, kepala sekolah-nya adalah seorang yang visioner dan cerdas. Dia juga cendekia yang kritis. Karena itulah, dia menerapkan sistem perekrutan yang berkualitas pada setiap karyawannya. Salah satunya psiko test.

Tak heranlah, bila di sekolah itu, memiliki guru-guru yang bagus. Semua lulusan universitas ternama. Otaknya encer dan cerdas.










Hingga suatu hari, sang direktur masuk ke sekolah itu. Tiada angin tiada hujan, langsung memukul bel. Padahal saat itu masih pukul 07.30.

Tentu saja semua gempar, termasuk sang kepala sekolah dan guru-guru tadi. Saat itulah, dengan bangganya sang direktur berkata.”Lihatlah Pak Kasek, kalau saya yang pukul bel, semua pada kalang kabut,” ucapnya bangga.

Setelah peristiwa ini usai, guru-guru yang kritis tadi, berkumpul di ruang kepala sekolah, mereka mempertanyakan tindakan sang direktur. “Kok bel sudah dipukul, padahal jam masuk kan 07.45?” tanya mereka.

Hingga pada suatu hari, saat rapat dengan para guru, sang direktur kesulitan menandingi kepiawaian dan kekritisan sang guru. Banyak materi yang dilontarkan padanya, tak bisa dijawab. Ya maklumlah, paradigmanya beda jauh, jadi tak nyambung.

Lalu apa yang terjadi? Sang direktur akhirnya memanggil kepala sekolahnya. “Pak pecat saja guru-guru itu,” ujarnya. Alasannya? “Mereka banyak mulut, suka melawan!”
















Selanjutnya si derektur berkata, “Saya sudah punya pengganti mereka. Orangnya lebih penurut,” jelasnya.

Mau tahu, siapa yang direkrut sang direktur untuk menggantikan guru-guru tadi? Mereka berasal dari kampung terpencil yang selama ini mengajar di sekolah yang gagal. Pendidikannya juga tak memenuhi syarat, dari universitas yang takterakreditasi. Itupun belum lulus.

“Tapi mereka lebih penurut dan tak banyak mulut,” ujarnya.

Tentu saja si kepala sekolah kebingungan, karena dalam bayangannya nantinya akan lebih susah diarahkan utnuk memnyelesaikan program kerja. Namun apalah daya, direktur ya tetaplah direktur.

Ini adalah sebuah kisah, tentang bos yang kesulitan mengendalikan karyawan bermental harimau, beralih memelihara karyawan bermental kelinci. Memang sih, kelinci mudah ditekan, namun ingat kandang kelinci tak akan disegani.

Berkaca dari kisah ini, jadi teringat akan perjuangan Rasulullah Mulhammad SAW, saat pertama kali mengambangkan Islam dulu. Rasul kala itu secara khusus berdoa kepada Allah agar Umar bin Khattab masuk Islam.









Kenapa Umar? Karena saat tiu Umar dikenal sebagai Singa Padang Pasir. Umar kuat, juga cerdas. Dengan masuknya Umar ke dalam Islam, maka agama ini akan lebih mudah berkembang, agama ini akan disegani kawan maupun lawan.

Satu Singa Padang Pasir, sudah lebih dari cukup membuat sebuah perubahan, dari pada memelihara seratus kelinci atau keledai.

Rabu, 17 Juni 2009

Mau Jadi Centeng di Batam?

Sudah 10 tahun saya di Batam, namun belum tahu pasti kapan tepatnya daerah ini berdiri. Semua masih belum pasti, semua masih dicari.

Saya jadi ingat peristiwa tahun 2000 lalu. Saat itu, ada sebuah demo massa menuntut agar Mr X, pengacara sebuah lembaga terkenal di Batam, diusir dari pulau ini.

Penduduk tempatan tersinggung oleh omongan Mr X di koran-koran, yang mengatakan bahwa sebelum lembaga yang digawanginnya berdisi, Batam adalah sebuah pulau tak berpenghuni.

Tentu saja, hal ini menimbulkan reaksi hebat. Para demonstran berkata, bahwa Batam telah lama eksis dan dihuni oleh nenek moyang mereka, jauh sebelum republik ini merdeka.

Namun akhirnya, demo ini bisa reda, setelah lembaga tempat Mr X bernaung, meminta maaf selama 7 hari berturut-turut, satu halaman penuh, di koran lokal. Bisa dibayangkan, berapa biaya yang dikeluarkan untuk menutup keteledoran ini.

Moral dari kisah ini, saya mulai bertanya, kapan sebenarnya Batam ini dikenal. Bertahun-tahun, sambil lalu saja, pencarian ini saya lakukan. Hingga akhirnya, saat berkunjung ke Kampung Belian, sebuah kampung tua di Batam, saya bertemu beberapa sesepuh di sana.















Mereka berkisah, bahwa kampungnya ini telah ada jauh sebelum peradaban di Batam di bangun. Tepatnya di masa kejayaan Kerajaan Riau Lingga (1803) yang berpusat di Penyengat, kampung ini menjadi tempat peristirahatan para pembesarnya.

Hal ini dibuktikan, dengan banyaknya kuburan orang-orang yang konon memiliki kekerabatan dengan diraja Penyengat. Lokasi makam tersebut sekitar 20 meteran darti pintu gerbang Kampung Belian.

Versi yang lain, Batam ini sebelumnya berpusat di Nongsa. ”Nongsa” di sebut begitu, bermula dari sebutan bagi Nong Isa, tokoh penting dalam keluarga Diraja Riau, yang membuka daerah itu tahun 1829. Karena lidah penduduk setempat, akhirnya daerah ”Nong Isa” menjadi ”Nongsa”.

Jawaban ini pun, belum membuat saya puas. Hingga akhirnya, Rabu, 17 Juni 2009 kemarin, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan menggelar Seminar Hari Jadi Kota Batam, di Gedung Wali Kota. Ini merupakan seminar terakhir dari dua kali seminar yang sudah digelar sebelumnya. “Sehingga bisa tetapkan Perda-nya,” katanya.

Tampil sebagai pembicara sejarawan Aswandi Syahri. Ia menyajikan materi yang melacak kembali Hari Jadi Batam, Raja Isa, dan jejak awal sejarah pemerintahan di Pulau Batam (1829 - 1913). Sementara tiga panelis yang dihadirkan, yakni budayawan, Rida K Liamsi, Nyat Kadir, dan Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam Imran AZ. Bertindak selaku moderator Hendrianto.

Aswandi mengulas sejarah Batam. Ia mengangkat tokoh Raja Isa. Dalam tulisannya menyebutkan, dari dokumen-dokumen Belanda sezaman, Raja Isa tampaknya dipandang sebagai tokoh penting dalam keluarga Diraja Riau.















Sumber lisan dan sebuah silsilah di Pulau Penyengat, masih tulisan Aswandi, menyebutkan Raja Isa sebagai seorang tokoh yang membuka sebuah “kampung baru” di Pulau Batam, yang kini dikenal dengan nama Nongsa.

Menurut Aswandi, secara historis, surat ”pengukuhan” Raja Isa memegang perintah atas Nongsa dan rantau sekitarnya, atas nama Sultan Abdulrahman Syah Lingga-Riau (1812-1832) dan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Jakfar (1808-1832), amat penting bagi sejarah Batam.

Setelah Raja Isa wafat tahun 1831, “wilayah administrasi pemerintahan” Nongsa dan rantaunya mulai berkembang lebih maju dengan batasan-batasan yang mencakup seluruh kawasan Kepulauan Batam.

Setelah Aswandi memaparkan tulisannya, giliran tiga panelis mengurai pokok-pokok pikirannya. Dimulai dengan Rida K Liamsi. Raja media di Sumatera yang juga CEO Riau Pos Group ini juga banyak mengupas sejarah Batam.

Ia menjelaskan proses terbentuknya Batam, dari berbagai perspektif. Misalnya, Batam dimulai dari sebuah ladang perkebunan kemudian berkembang menjadi pemukiman. “Ada proses memilih,” katanya, usai mengurai sejarah Batam.











Rida K Liamsi juga mengangkat tokoh Raja Isa dan menyinggung tokoh Raja Kelana. “Apakah kehadiran Batam bermula dari Nongsa yang dibangun Raja Isa? Ini artinya Batam berusia 180 tahun (1829-2009). Atau Raja Kelana, artinya usia Batam 100 tahun (dari 1890),” kata sastrawan ini memberikan opsi.

Sama dengan Rida K Liamsi, Nyat Kadir juga banyak mengupas Batam dari pendekatan sejarah. “Batam punya sejarah menarik,” katanya.

Menurut mantan Wali Kota Batam ini, opsi yang harus digunakan adalah data yang paling aktual, lengkap, jejak sejarahnya ada (seperti makam-makam raja), ada semangat pemerintahan, ekonomi, dan kebanggaan sejarah masa lalu.

Saya rasa, dari seminar ini sedikit agak memuaskan rasa penasaran saya selama ini. Hal ini, memang cukup akurat, namun saya belum mendapat jawaban bagaimana Batam di masa itu. Khususnya peran Belanda akan daerah ini.

Karena, berdasar iklan lowongan kerja dari koran tahun 1889 yang ada di Perpustakaan Nasional, Belanda telah menancapkan kekuasaannya di Batam.
Berikut petikan iklan lowongan kerja itu;











Pengoemoeman

Dag Inlander.... Hajoo oerang Melajoe... Kowe mahu kerdja??
Goverment Nederlandsch Indie perloe kowe oentoek djadi boedak ataoe tjenteng di perkeboenan-perkeboenan onderneming kepoenjaan goverment Nederlandsch Indie.
Djika kowe poenja sjarat dan njali berikoet:

1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah nederlandsch indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak-pemberontak ataoepoen maling ataoepoen mereka jang soedah diberantas liwat actie politioneel
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander ataoepun ondernemer ataoe toean tanah ataoe baron eropah
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes







Kowe Inlander perloe datang ke rawa Senajan. Di sana kowe haroes dipilih liwat djoeri jang bertoegas:
1. Keliling Rawa Senajan 3 kali
2. Angkat badan liwat 30 kali
3. Angkat peroet liwat 30 kali


Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer Tomo, en Meneer Atmadjaja. Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Tanamera, Batam, Soerabaja, Batavia en Riaoeeiland.

Governement Nederlandsch Indie memberi oepah:
1. Makan 3 kali perhari dengan beras poetih dari Bangil
2. stirahat siang 1 uur
3. Oepah dipotong padjak Governement 40 percent oentoek wang djago


Haastig kalaoe kowe mahoe.

Pertanggal 31 Maart 1889

Niet Laat te Zijn Hoor.. Batavia 1889 Onder de naam van Nederlandsch
Indie Governor Generaal H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij.

------------------------------------
Pemerintah Kota Batam mengusulkan penetapan Hari Jadi Kota Batam tanggal 24 Desember. Ini berpedoman pada PP Nomor 34 Tahun 1983 tentang Pembentukan Kota Administraif Batam.
Tawaran alternatif kedua dari pemerintah kota, yakni Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999, dimana pada tahun tersebut kotamadya administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yakni Pemerintah Kota Batam.
Di pihak lain, Otorita Batam (OB) juga memperingati hari jadi dengan berpedoman pada Keppres No.74 Tahun 1971 tentang Penetapan dan pembentukan kawasan industri Pulau Batam.

Selasa, 16 Juni 2009

Negeri Sensasi, Negeri Simpati

Negeri ini adalah negeri sensasi.

Amex, rekan sekantorku berkata dengan masygul. Saat itu, dia tengah mengomentari boom berita Manohara Odelia Pinot di media massa, yang telah seminggu lebih menghumblang ranah publik Indonesia.

Ya, Manohara memang menyita perhatian. Drama bak Cinderella gagal, berbumbu kekerasan dalam rumahtangga. Kisah ini kian membahana, didukung kian menghangatnya hubungan Indonesia-Malaysia di Ambalat. Tak jelas lagi mana isu rumah tangga, mana isu negara.

Sensasi demi sensasi terus menerpa negeri ini. Sensasi bak kisah sinetron, nantinya diharapkan berakhir happy ending, yang kalah selalu memang di akhir episode. Karena, menjadi tokoh sensasional di Indonesia ternyata cukup menjanjikan.

Lihat saja, tak lama setelah kasusnya terkuak, Manohara langsung bisa mememangkan hati pemirsa dan publik. Simpati datang silih berganti. Langkahnya diikuti, tangisannya diamini, airmatanya diresapi.








Orang-orangpun ingin tahu semua tentang Manohara, apapun yang berbau Manohara laris, bahkan model tas yang dipakainyapun laris. Mereka menyebut tas Manohara.

Semua ini adalah lahan yang bagus bagi televisi untuk menjaring pemirsanya. Artinya, porsi iklan kian panjang dan lama. Tak lama setelah itu, Manohara langsung dapat kontrak sinetron fantastis Rp12 miliar! Hari gini, dapat 12 em dalam waktu kurang dari dua minggu. Siapa yang tak ngiler.

Maka, dari sinilah ”bisnis” ini bermula. Sebelum Manohara, banyak artis yang menangguk peruntungan dengan cara yang seperti ini. Dan ini memang disengaja.

Ada saja tingkahnya dalam menebar sensasi. Ada yang pura-pura berkelahi antar sesama artis, ada juga yang menabrak norma-norma masyarakat, seperti mempertontonkan aksi panggung (goyang) yang seronok atau melakukan foto bugil, lalu di sebar di internet. Malu, sudah tak ada lagi, yang penting bisa ngetop dengan cepat.

Karena semakin sensasional dan menuai pro-kontra, akan semakin bagus. Makin besar dia ditentang, makin besar jua namanya. Tawaran manggung, tampil di televisi, majalah dan iklan akan semakin deras. Semua ini berarti uang.








Dan lihatlah, di saat orang sibuk berpolemik, mereka malah terus kebanjiran kontrak. Dalam sekejap, ada yang sudah bisa punya rumah di bilangan Pondok Indah. From zero to hero. Dari artis kelas kampung, bisa menjadi bintang papan atas.

Cara ini juga kerap dipakai oleh beberapa artis lama, untuk menjaga namanya tetap eksis. Tepat betul kiranya sindiran dalam pepatah Arab, ”Jika ingin terkenal, kencingilah air zam-zam”.

Selain menebar sensasi dengan ”kekurang ajaran”, ada juga yang menebar sensasi dengan menyuguhkan kisah yang mengharukan. Lihatlah acara idol-idol itu, betapa banyak peserta yang tampil menjadi juara setelah “menjual” kemiskinan keluarganya.

Mereka seolah berkata, “Lihatlah aku, aku miskin, bantu aku, menangkan aku, pilih aku.”

Rintihan ini, didukung skenario dan teknis publisitas moderen, akhirnya sanggup menggerakkan rasa iba penonton untuk memilihnya.

Di samping mereka, praktik ini juga dianut para pemimpin negeri ini. Demi mendongkrak popularitasnya, mereka mengemas kisah sensasional yang mengharu biru ini. Seolah dia berkata, “Hei rakyat Indonesia, lihatlah saya yang lemah ini, dizalimi lagi. Bantu saya, pilih saya!”

Lalu, mengapa negeri ini penuh sensasi? Ya, karena masyarakat kita penuh simpati dan empati. Orang Indonesia itu baik-baik. Mereka penuh kasih, baik hati dan suka menolong.














Jadi bagaimana, apa salah memiliki sifat seperti ini? Tentu tidak. Karena ini berarti rakyat Indonesia masih memiliki suara hati yang baik, suara hati berlandaskan pada cahaya nama-nama Ilahi.

Ini berati masyarakat Indonesia masih memiliki emosional qoution (EQ) yang baik yang mudah-mudahan bisa menggerakkan emosi spiritualnya, area titik ke-Tuhan-nya.

Jadi, mengapa sifat yang baik ini harus dibuang? Sifat ini tidak salah, yang salah adalah orang-orang yang memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadinya.

Karena itu, sebaiknya kita, sebagai pemirsanya, harus lebih cerdas lagi menelaah informasi. Jangan sembarangan, harus jernih. Jangan hanya selalu memperturutkan persepsi, sehingga membawa kita pada kesimpulan yang salah, bisa bahaya.

Apalagi di zaman semacam ini banyak orang-orang yang memanfaatkan rasa iba ini untuk mencari keuntungan pribadinya. Contoh gampangnya bisa kita lihat para pengemis yang berpura-pura cacat atau bermodalkan menggendong anak kecil, untuk menggedor hati kita.

Dan seiriring majunya ilmu pengetahuan di bidang audio visual, kini banyak bertumbuhan perusahaan-perusahaan dan para profesional yang core bisnisnya untuk mengelola sensasi, empati dan simpati ini menjadi tambang emas.

Inilah yang disebut publisitas. Pengertian harfiahnya adalah sebuah pemberitaan secara gratis dan bertujuan untuk memusatkan perhatian terhadap suatu tempat, orang, orang, atau suatu institusi yang biasanya dilakukan melalui penerbitan umum.

Akar ilmunya berasal dari Publisistik, sebuah ilmu untuk menggerakkan dan membimbing tingkah laku khalayak. Dalam perkembangannya, publisistik diakui sebagai suatu kekuatan yang dapat mengendalikan tingkah-laku manusia dan mewarnai perkembangan sejarahnya.

Dari sinilah citra dibentuk dan juga dihancurkan. Dari sinilah rasa iba diciptakan, simpati dikumpulkan, hingga akhirnya tujuan tercapai.
--------------


Baca juga tulisan sejenis di: http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/02/kasihanilah-saya.html

Setahun Regalia

Regalia… Apakabar anakku, setahun sudah usiamu kini. Ulang tahu pertamanya dirayakan 7 Mei lalu, dengan mengundang kenalan dan rekan. Sebuah kue tart brownies, tertancap lilin angka 1 dari Takadeli, ikut memeriahkannya.



Ulang tahun Regalia dirayakan dengan membaca mujiat, beberapa kumpulan surat-surat Alquran. Kyai yang memimpin bernama Sulaiman, warga Bengkong Harapan.

Meski demikian, acara ini cukup meriah dan khusyuk dalam kesederhanaan dan kebersamaan.

Regalia saat itu memakai baju seragam dengan ayah dan bundanya, berupa batik biru khas Papua. Kainnya saya peroleh, dari om Regalia yang bertugas di Papua.

Di usia-nya kini, perkembangan Regalia sudah kian bagus. Merangkaknya kian laju, omelannya kian lancar.

Giginya pun sudah tumbuh, dua buah di bagain depan bawah. Meski begitu, sudah bisa diandalkan mengunyah makanan. Tentu saja roti.

Yang menarik, kini regalia sudah bisa menirukan kebiasaan orang tuanya. Misalnya, Regalia akan melakukan gerakan takbir saat kami mengucapkan “Allhuakbar. Hal ini dia pelajari, setelah dia melihat kami salat Maghrib.










Memang, kami sengaja membiarkan Regalia melihat kami salat. Supaya dia nanti dia juga mengenal kewajibannya sebagai muslimah. Tak jarang, saya sengaja mengeraskan suara bacaan salat, agar dia terbiasa.

Dan yang paling lucu, ketika seusai salat kami mengucap “Allahumma amin…” Regalia pun spontan ikut menengadahkan dua telapak tangannya.

Tujuan kami mengenalkan semua ini, hanya ingin mengingatkan pada Regalia akan janjinya kepada Allah semasih di alam azali dulu.

Bukankah sebelum ruh ditiupkan kepada anak manusia, kita semua telah berjanji pada Allah yang tertulis pada surat Al A`raaf ayat 172.

"Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jikwa mereka (seraya berfirman) "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"

Mereka menjawab "Betul (engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)".

Janji inilah yang kami ingatkan dan tanamkan sejak dini pada Regalia. Karena kami tak ingin menjadi golongan orang tua yang Allah sebutkan, bahwa anak-anak itu semula bersih, orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Nasrani, Yahudi atau Majusi.





















Ah syukurlah, Regalia sangat menyukai suasana religius ini. Kadang, Regalia meletakkan telunjuknya di bibir, pertanda menyuruh orang diam, kala adzan magrib berkumandang dari televisi kami. “Ssssttt…. Ssstttt…” katanya.

Kami hanya tersenyum melihat lelakunya. Keharuan menyeruak di rongga dada, Ya Allah, semoga hal ini terus berkekalan. Anak hamba bisa terus menggenggam iman di dadanya. Iman dan Islam.

Yang paling haru, regalia akan berlari (maksudnya merangkak dengan cepat, kan belum bisa berdiri, he he…) meninggalkan segala aktivitasnya saat saya melantunkan ayat suci Alquran.

Regalia terus mendekat, mengelilingiku. Lalu, dia berdiri dengan lututunya dan melihat apa yang saya baca. Biasanya kalau sudah begini, saya langsung letakkan dia di pangkuan, sembari terus membaca kalimah suci itu, Regalia pun ikut menyimak.














Diam-diam saya perkenalkan apa yang saya baca ini. “Nak, inilah kitab suci Alquran. Kitab orang Islam, agama yang Allah sempurnakan dan relakan untuk kita.”

Dia hanya diam saja, entah mengerti entah tidak. Ya, paling tidak saya berusaha mengenalkan sebuah petunjuk, jalan yang lurus yang akan membimbingnya kelak. Ini pulalah yang menciptakan motivasi pada saya untuk terus membaca Alquran seusai salat Asar.

Tak hanya dimensi spiritual, Regalia juga sudah mulai menyukai jenis musik. Kadang dia baru tidur, setelah diputarkan lagu-lagu dari ponsel ibundanya. Favorit regalia adalah Siti Nurhalizah. Suaranya yang penuh cengkok itu, ibarat lagu nina bobok bagi Regalia.

Dan saat ini, Regalia sangat nge-fans sama lagu Lupa-lupa Ingat, milik band Kuburan. Saat dia rewel, lagu ini menjadi obatnya. Dalam sekejap, Regalia larut dalam rentak lagi ini. Matanya langsung melebar, kepalanya geleng-geleng, tangannya juga digoyang ke kanan ke kiri.

Karena itulah, sampai-sampai saya ingin bertemu dengan anak-anak band tersebut untuk mengucapkan terimakasih.

Tumbuhlah Regalia, tantang dunia. Semoga saja kau benar.

Senin, 15 Juni 2009

Evaluasi Kinerja Dinas Pendidikan

Terkejut rasanya membaca berita hari ini. Rata-rata laporan utama koran-koran di Kepulauan Riau melansir berita akan ribuan siswa tak lulus Ujian Nasional. Yang paling banyak diderita siswa sekolah swasta. Ada apa ini? Apa mereka bodoh-bodoh?





Tunggu dulu, sebelum menyalahklan siswa, sebaiknya Dinas Pendidikan khususnya dan kepala daerah pada umumnya, melakukan introspeksi, apakah kinerja-nya selama ini, khususnya soal pendidikan, sudah baik atau belum.

Belum lama ini, saya terlibat diskusi dengan beberapa praktisi pendidikan di kota Batam. Di antara mereka ada guru, ada juga kepala sekolah. Saat itu, kami membahas akan peristiwa beberapa sekolah di Jawa Timur tak lulus UN 100 persen.

“Apakah ini bisa terjadi di Batam?” tanya saya.
”Oh, sangat mungkin Pak. Mungkin sekali,” jawab mereka.
Saya penasaran, ”Mengapa begitu?”
”Sistem pendidikan kita masih kurang bagus,” tegasnya.

Merekapun mengurai, di Batam ini betapa mudahnya mendirikan sekolah swasta tanpa adanya kontrol yang jelas soal kurikulum dan sistem belajarnya. Sekadar diketahui, ternyata beberapa sekolah swasta di Batam, ada yang menerapkan kurikulum luar negeri.







Hal ini akan menjadi pukulan telak saat UN tiba, yang nota bene memakai kurikulum dalam negeri. Sehingga siswa akan kesulitan mengerjakannya. Bukan berarti mereka bodoh, cuma agak asing saja.

Masalah lain, soal tak jelasnya otonomi sekolah, misalnya dalam membentuk soal-soal dan semacamnya. Kadang, Dinas Pendidikan terlalu masuk dan terkadang dinilai terlalu otoriter.

Belum lagi, pembinaan Dinas Pendidikan yang kurang pada guru-guru di sekolah swasta, khususnya sekolah swasta yang miskin. Dinas Pendidikan terlalu memperhatikan guru-guru di sekolah negeri saja.

Akibat perhatian yang tak seimbang ini, sempat membuat guru-guru sekolah swasta kecewa, hingga beberapa waktu lalu sempat muncul wacana guru swasta akan mendirikan semacam persatuan.

Ada juga masalah tak jelasnya standarisasi pendidikan. Khususnya menyangkut soal-soal UN ini. Selama ini, pusat terlalu memaksakan standarisasinya saja, meski itu ada kalanya tak sesuai dengan kondisi di daerah.

Padahal, standarisasi ini penting adanya supaya kualitas pendidikan di daerah juga bisa bagus, dan tak akan banyak lagi siswa di daerah menjadi korban dari standarisasi pusat yang nota bene Jakarta sentris itu.

Dan yang paling penting kepala dinas juga kepala daerah, aktif memperhatikan masalah pendidkan dan guru ini. Buakan rahasia lagi, di kalangan guru-guru di Batam, mereka lebih menyanjung Nyat Kadir (Wali Kota Batam terdahulu), dibanding penggantinya saat ini.

”Pak Nyat lebih memperhatikan guru. Mungkin karena dia dulu adalah guru ya Pak?” ujarnya.







Ini baru masalah penyelenggara pendidikan, sementara kondisi siswa sendiri tak kalah rumit. Hal ini terkait pada kondisi psikis mereka kala menghadapi UN.

Bukan rahasia lagi, selama ini UN terlalu dicitrakan sebagai sesuatu yang (didramatisir) menyeramkan. UN bahkan, lebih menakutkan dari teror bom. Lihat saja, betapa banyak arapat kepolisian dilibatkan saat UN akan berlangsung. Mulai dari mengawal soal-soal hingga masuk ke lingkungan sekolah.

Hal ini sedikit banyak tentu membuat kondisi psikis siswa yang sudah tegang, semakin terancam. Apalagi, polisi tersebut berpakaian lengkap dengan senjata laras panjangnya.

Apa tak ada cara lain yang lebih baik, misalnya polisinya disuruh berpakaian preman saja. Apa pasal harus memakai pakaian dinas lengkap dengan senjata laras panjang-nya itu, toh yang mereka jaga bukanlah sekelompok nara pidana. Hanya siswa yang ujian saja. Jika pun ditemukan kecurangan, kan tak harus dilumpuhkan dengan senapan laras panjang. Jadi untuk apa?

Selain itu juga, peran orang tua harus aktif. Menyekolahkan anak, bukan berarti mereka melepas semua masalah anak ke sekolah. Kerena, seberapa jauhkah jangkauan sekolah? Paling banter hanya 6 jam saja. Sisanya, tentu orang tua-lah yang harus berperan. Mulailah melakukan komunikasi yang efektif, dengan mencari tahu apa permasalahan anaknya.








Di samping semua masalah ini, ada hal lain yangh tak kalah pentingnya. Hal ini terkait pada teknis pengerjaan soal.

Sudah sejak dulu kita mengatahui, bahwa jika UN berlangsung siswa harus membawa pensil 2B. Tujuannya untuk mengarsir (hitamkan) lingkar jawaban. Nah dalam praktiknya, ternyata siswa harus menekan kuat-kuat agar lingkar jawaban itu tampak hitam.

Kalau tidak, tentu jawabannya tak bisa dibaca soal. Akibatnya, karena terlalu kuat, kadang membuat lingkar jawaban itu bolong, yang berarti jawaban soal tak bisa dibaca oleh komputer.

Dari sini, marilah kita bertanya, apa memang sistem ini tak bisa diubah. Apa zaman yang secanggih ini, tak bisa menemukan sofware yang bisa membaca lingkar jawaban tanpa harus menggunakan pensil 2B, atau adakah sofware yang bisa membaca jawaban soal meski hanya dicoret tipis saja?

Demikianlah. Saya rasa yang saya kemukakan disi ini adalah masalah yang tampak di permukaan saja, karena aslinya bisa jadi seperti gunung es, tampak sedikit di permukaan, padahal di bawah sangat besar.

Rabu, 10 Juni 2009

Berlomba Mencakar Langit (1)

”Sekarang Batam telah memasuki era pencakar langit.

Demikian pernyataan Gubernur Kepri, saat meninjau gedung Graha Pena Batam, ketika baru ditempati redaksi Batam Pos 2006 lalu. Sekadar diketahui, saat itu Graha Pena memang menjadi pencakar langit pertama yang ada di Batam.

Ismeth berkata demikian, karena selama ini Batam dikenal dengan ”negeri seribu ruko”, mengingat banyaknya ruko-ruko yang didirikan di kota ini sebagai tempat usaha, mulai perkantoran bahkan koskosan.












Pernyataan Ismeth ini memang tepat, ya, namanya saja juga Gubernur. Kenapa saya bilang demikian? Karena pencakar langit, bukan hanya sebagai pajangan, namun juga menjadi prestise atau gengsi yang mencerminkan kepintaran, kemakmuran dan kekuatan ekonomi sebuah negara.

Kenapa saya sebut demikian? Karena untuk emndisain pencakar langit, membutuhkan ilmu yang tinggi. Memadukan seni dan teknologi, dan yang pasti biaya yang mahal.

Tentunya kita melihat, betapa banyak negara-negara kaya baru yang memploklamirkan kemapanannya dengan mambangun pencakar langit atau bisa juga disebut tower ini. Semakin tinggi dan megah, semakin bergengsilah negara tersebut.

Pencakar langit sebagai prestise, sebenarnya tak hanya dilakukan masyarakat moderen saja. Zaman dahulu kala, hal ini juga sudah dilakukan.

Alquran pernah mengisahkan, bagaimana Kaum A'ad, Umat Nabi Hud membangun kotanya dengan menara-menara ini.

”Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Aa’d?. (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bagunan-bangunan yang tinggi.” (QS. Al-Fajr:6-8)


Selain mereka, banyak juga peradaban kuno yang membangun pencakar langit. Cuma, bedanya umumnya pencakar langit itu digunakan sebagai sarana penyembahan pada Sang Pencipta, atau juga sebagai makam raja-raja mereka.











Maka itulah dibuat setinggi mungkin, tujuannya untuk lebih dekat dengan-Nya. Kita tentunya sudah mengenal piramida Mesir kuno atau peradaban Maya. Di Asia, yang lebih dekat lagi, kita juga sudah lama mengenal candi.

Hingga seiring majunya peradaban, manusia mulai merancang pencakar langit. Amerika, dalam hal ini New York telah memulai hal ini dengan berdirinya Gedung Empire State atau Empire State Building (1931). Pencakar langit yang namanya diambil dari julukan negara bagian New York ini, memiliki 102 lantai dengan gaya Art Deco.

Selanjutnya, Amerika terus memamerkan kemapanannya. Pencakar langit baru nan moderen terus mereka ciptakan, yang paling terkenal adalah World Trade Center. Sebelum hancur oleh Serangan 11 September, bangunan ini menjadi bangunan tertinggi di New York. Sementara itu, dari Chicago muncul Chicago Sears Tower.

Berlomba Mencakar Langit (2)

Sebenarnya, sebelum gedung-gedung ini berdiri, Amerika telah mencoba membuat pencakar langit. Namun, sering gagal.

Misalnya, Hotel Attraction, New York (1908). Didesign oleh Antoni Gaudi, tingginya 360 meter. Namun sayang konstruksinya sangat tak mungkin pada waktu itu.

Ada juga The Illinois (1956), yang letaklnya di Chicago. The Illinois tadinya akan menjadi pencakar langit setinggi 1.609 meter yang divisikan oleh Frank Lloyd Wright. Wright percaya bahwa bangunan ini mungkin dibuat, pada waktu itu. Desain nya terdiri dari 528 tingkat, dengan luas daerah kotor 18,46 kaki persegi.

Masalah yang timbul adalah ruang yang diperlukan untuk mendirikan pencakar langit itu kurang, dan terbatasnya lift (elevator) yang diperlukan. Hal itulah yang akhirnya menggagalkan proyek ini.










Di Asia sendiri tak kalah menarik. Dimulai dari Malaysia, menara kembar Petronas didirikan untuk menunjukkan bahwa negara itu kini telah mampu berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain.

Tak lama setelah itu, dari Taiwan muncul Taipei 101, menara dengan ketinggian 509 meter atau 101 lantai. Belum sirna decak kagum manusia, posisi Taipei 101 ini tergeser dengan kehadiran menara Burj Dubai di Uni Emirat Arab.

Bayangkan saja, menara ini memiliki ketinggian 705 meter. Bagunan ini sekaligus memproklamirkan bahwa Dubai, adalah negara maju dan moderen di Arab.

Burj Dubai belum selesai, sudah ada lagi yang lebih menghentak. Pangeran Billioner Alwalid bin Talal, asal Saudi Arabia telah meresmikan pembangunan gedung pencakar langit dengan nama Jeddah Tower. Tinggi gedung ini 5,250 kaki dan memiliki 160 lantai ini. Jika sudah selesai, tingginya akan dua kali lipat dari Burj Dubai.

Jakarta sendiri bagaimana? Saat ini, tengah digagas sebuah pendirian The Jakarta Tower. Bangunan yang terletak di Kamayoran ini berketinggian 558 meter, dan diprediksi selesai pada tahun 2011 nanti.










Setelah berdiri nanti, Jakarta Tower akan menyapu ketinggian sebagian pencakar langit di Dunia, yang telah pernah ada, seperti Canadian National Tower, Menara Ostankino, Oriental Pearl Tower dan Menara Kembar Petronas.

Khusus yang ini, saya tak berani berkomentar lebih jauh, jika dihubungkan apakah berdirinya gedung ini sudah mencerminkan bahwa Indonesia pada tahun 2011 nanti sudah makmur -ya, mudah-mudahan sajalah- atau hanya mencerminkan gengsi-gengsian, seperti yang dianut sebagian besar masyarakat kita saat ini.

Karena asal tahu saja, biayanya menelan Rp2, 7 triliun (USD 300 juta). Wah, bayangkan kalau uang segitu dibelanjakan untuk mengentasdkan masyarakat miskin, tidak mempunyai rumah, anak-anak putus sekolah, dan lain-lain. Lagui pula, dari mana biayanya? Apakah akan berutang lagi?

Tapi jangan khawatir, pendanaan proyek yang dirancang pada tahun 1997 ini, pada tahun 2003 telah disambung oleh Bethany Church Management, secara tidak langsung menara ini akan menjadi Christian Center atau lebih dikenali sebagai Jakarta Pray Tower dan Jakarta Revival Center.

Minggu, 07 Juni 2009

Renungan Wartawan

Saya wartawan dan saya bangga itu.


Seorang teman, yang juga seorang wartawan sesumbar.
”Emang kenapa bangga?” saya penasaran.

”Ya, karena sesuai kita bisa selalu menjadi pribadi bersih dan mawas diri,” jawabnya.

Saya kebingungan, dari sisi mana dis bisa menilai seperti itu?

Di tengah saya berpikir itulah, kawan ini menguraikan maksudnya. Dia pun memaparkan pada saya beberapa pasal di kode etik jurnalistik di UU Pers, yang menurutnya bisa membuat jiwa selalu bersih dan mawas diri itu.

”Coba lihat di Pasal 1, di ana disebut; Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk,” ujarnya.

Menurutnya, penafsiran di pasal ini adalah wartawan harus independen, berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Harus akurat, berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang, berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. dan Tidak beritikad buruk, berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

”Nah, coba kamu bayangkan kalau hal ini kita tanamkan sebagai sifat kita dalam bermasyarakat. Tentunya, tak akan ada yang tersakiti, tak mudah diadu domba, adil, tak terjebak pada situasi yang menghakimi,” jelasnya.

”Oke. Saya setuju itu. Lalu apa selanjutnya?”










”Oh, ada lagi. Coba lihat di Pasal 3; Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah,” jelasnya.

Menurutnya, penafsiran Menguji informasi ini, berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang, adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

Sedangkan menafsiran opini yang menghakimi adalah, pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Yang terakhir, asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

”Coba kalau hal ini ditarik sebagai sikap kita dalam memandang atau menyikapi persoalan, saya rasa juga akan membuat kita mawas diri,” jelasnya.

Sayapun mulai meresapi uraian ini. Memang, semua masalah kadang timbul, karena kita tak adil dalam bersikap. Dengar omongan orang langsung dipercaya begitu saja, tanpa melakukan kros cek.

Akibatrnya kita terjebak pada sikap selalu berprasangka buruk, suka menghakimi. Inilah mengapa praktik fitnah tumbuh subur. Di sisi lain, pera penjilat juga bermunculan. Intrik, main kayu dan semacamnya itu, tak terelakkan lagi.
Kalau begini, kapan mau damai dan sejahtera?

”Tapi jangan lupa, wartawan itu punya sifat buruk!” ujar saya.
Sang kawan terhenyak, lalu bertanya, ”Apa itu?”

”Wartawan itu cenderung dijangkini penyakit sombong, merasa besar (megalomania), sehingga mudah meremehkan dan tak menghargai orang,” jelas saya agak panjang.

Tak mau kalah sayapun berurai, sifat ini muncul karena mudahnya wartawan mengkritik orang, sehingga terbawah ke darah daging.

Hal ini membuat mereka menganggap semua orang salah, dan hanya dialah yang benar. Giliran kepentingannya diusik, marahnya minta ampun.

”Hal ini sampai menimbulkan seloroh, ada dua yang tak boleh diganggu, (1) anak yatim, (2) wartawan,” sergah saya.

Sialnya, hal ini pulalah yang kadang membuat mereka bagai katak dalam tempurung, antisosial, kurang bisa merasa, maunya menang sendiri, kerap menghina, dan tak memiliki kualitas kecerdasan emosi.

”Ya, ngomong doang siapa tak bisa Bung. Bagaimana ngasih solusi, itu yang penting!” lanjut saya.

Mendengar ini, rekan saya itu hanya senyum saja. Lalu berkata, ”Wah, kalau itu mental preman, karena wartawan profesional tak akan seperti itu. Wartawan profesional itu rendah hati dan selalu ingin belajar dan membangun,” jelasnya.

Tak mau panjang lebar, diapun kembali mengurai. ”Penyakit yang kamu sebutkan ini akan sirna, jika mereka berpegang teguh pada dua pasal yang saya sebut di atas tadi.
Asal dua pasal tadi tak hanya jadi hafalan, tapi juga diresapi ke dalam hatinya, lalu dijadikan sebuah pandangan hidup,” jelasnya enteng.

COBA BACA LAGI!” pungkasnya.

--------------------
PS:
Mau share sedikit motivasi dari Andrie Wongso semoga bisa bermanfaat..

Pada suatu hari ada segerombol katak-katak kecil yang menggelar lomba lari, tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi.

Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan dan memberi semangat kepada para peserta.

Perlombaan dimulai, secara jujur tak satupun penonton benar-benar percaya bahwa katak-katak kecil akan bisa mencapai puncak menara.

Akhirnya terdengar suara, ”Oh, jalannya terlalu sulit! Mereka TIDAK AKAN PERNAH sampai ke puncak. Tidak ada kesempatan untuk berhasil. Menaranya terlalu tinggi.!”

Katak-katak kecil pun mulai berjatuhan. Satu persatu. Kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara perlahan-lahan semakin tinggi dan semakin tinggi.
Penonton terus berseru, ”Hei terlalu sulit! Tak satupun akan berhasil!”

Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah. Tapi ada SATU yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi. Dia tak akan menyerah!

Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak!

SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini bisa melakukannya. Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan?

Ternyata, katak yang menjadi pemenang itu TULI!

Pesan-pesan dari cerita ini adalah:

1. Jangan pernah mendengar orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif atau pesimis. Karena mereka mengambil sebagian besar mimpimu dan menjauhkannya darimu.

2. Selalu pikirkan kata-kata bertuah yang ada.

3. Karena segala sesuatu yang kau dengar dan kau baca bisa mempengaruhi perilakumu!

Karena itu tetaplah selalu. POSITIVE THINKING!

Dan yang terpenting: Berlakulah TULI jika orang berkata kepadamu bahwa KAMU tidak bisa menggapai cita-citamu.

Selalu berpikirlah: I can do this!

Kamis, 04 Juni 2009

Pilih JK, tapi SBY Lebih Ganteng

Akhir-akhir ini, sambutan terhadap Jusuf Kalla sebagai presiden 2009-20014 kian bertambah. Beberapa cendekia utama negeri ini beserta, mulai berhimpun di belakangnya, menyatakan dukungan.

Dukungan atas Kalla ini didasarkan pada sebuah fakta, bahwa ada Kalla di balik beberapa keputusan besar di pemerintahan SBY. Misalnya saja, soal perdamaian di Aceh, bantuan langsung tunai, kenaikan BBM, swasembada besar dan lainnya. Intinya, Kalla adalah karya nyata.

Sementara, bagi mereka SBY dipandang masih melakukan tebar pesona. Kinerja SBY dinilai masih terbatas pada publisitas, pencitraan, dan berebut simpati masyarakat.

SBY dinilai bak peserta kontes pencarian bakat, semacam Indonesian Idol, di mana selalu menjual drama, bahkan telenovela, tentang orang terzalimi, tentang seorang miskin dan semacamnya, bak kisah Pangeran Katak, Putri Salju,dan Joko Kendil, agar mendapat simpati publik. Yang penting bagaimana memenangkan hati khalayak, itu saja.

Tentunya kita masih ingat akan lakon SBY yang sesenggukan di depan para korban musibah pesawat, atau sikap marah-marah-nya itu, yang kini populer ditiru pejabat hingga ke daerah tingkat II.

Yang paling gres, saat baru-baru ini kita ditimpa ketegangan dengan Malaysia soal blok Ambalat, SBY berkata, bahwa tak mau berperang dengan Malaysia, sebab biaya perang itu mahal, karena setiap rudal dan peluru itu dibeli dari uang rakyat. Kan sayang uang rakyat dihambur-hamburkan.









Perhatikan, bagaimana SBY menebar empatinya, lewat kalimat di atas. Lagi-lagi rakyat, seolah dia memang berpikir betul akan rakyat. Tak ayal, kalimat SBY ini menuai reaksi keras, khususnya di kalangan anak muda. SBY dinilai hanya pandai nge-les. Sebuah kalimat publisitas yang bagai bumerang. Senjata makan tuan.

Namun, apapun kehebatan Kalla dan keburukan SBY di mata kaum cendekia, rakyat berkata lain. Karena bagaimanapun, popularitas-lah yang bermain di sini. Psikologi pemilih Indonesia, tetap tak berbeda antara memilih presiden atau memilih Indonesian Idol. SBY tetap saja lekat di hati mereka. Kenapa? Lagi-lagi fisik berbicara di sini.

Magnet SBY ini begitu lekatnya, terutama di hati kaum hawa, khususnya ibu-ibu. Hal ini pernah saya dengar, saat mempir ke sebuah pangkas rambut. Saat itu saya mendengar, seorang ibu yang begitu mengagungkan kegagahan SBY. Sementara, saat berbicara soal Kalla, dia malah mencibir. ”Ah, model begini mau jadi presiden. Tak pantes,” katanya.

Contoh yang paling gress, tampak saat SBY dan Kalla usai menjadi saksi akad nikah politisi Idrus Marham di Masjid Kubah Emas, Kamis (4/6/2009). Puluhan tamu undangan yang semuanya ibu-ibu spontan mengerubuti SBY, sementara Kalla sama sekali tak tersentuh.

”Calon presiden kita sangat kharismatik, ganteng banget, sumpah. Jadi nggak nyesel deh pilih dia,” ujar salah undangan, Rita Elli, usai menyalami SBY.

Hal tersebut terjadi ketika SBY dan Ibu Ani hendak meninggalkan masjid megah itu. Tiba-tiba saja puluhan ibu yang semuanya berdandan cantik lazimnya menghadiri hajatan mengerumuni SBY hingga membuat lingkaran.










Kejadian tersebut sempat membuat Ibu Ani terpisah dari SBY karena tersingkir oleh ”serbuan” ibu-ibu yang ingin bersalaman dengan suaminya. Namun kejadian tersebut hanya berlangsung sebentar saja karena dengan sigap Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) segera memisahkan SBY dari para fansnya.

Lalu dengan tertib para penggemar SBY tersebut dipaksa berbaris sehingga bisa bersalaman dengan pujaan hatinya secara teratur. ”Kalau bisa jadi presiden seumur hidup deh,” cetus Bu Panji sambil tertawa bersama kumpulannya usai bersalaman dengan SBY.

Mengingat begitu populernya SBY, maka, Kalla harus berkerja lebih keras lagi untuk mengalahlannya, khususnya bagaimana meraih simpati masyarakat. Karena, memang fisiknya tak menjual, meski otaknya cukup brilian dan mampu berpikir lebih cepat, lebih baik.

Untuk itu, kemampuan tim sukses harus dominan di sini. Bagaimana mereka mencitrakan Kalla, sehingga layak untuk dipilih.

Namun, berbicara soal ini, saya sangat kecewa melihat tim sukses Kalla, khususnya yang berada di Kepri. Pernah dalan sebuah sesi pertemuan, saya melihat mereka terkesan asal-asalan, bahkan jauh dari kata profesional. Hal ini tampak, kurang bagusnya mereka dalam melakukan sebuah presentasi.








Dari penampilannya saja, sudah tak menarik, ibarat bapak-bapak yang mau belanja ikan ke pasar. Pakaiannya terkesan asal, ada yang pakai kaos, ada yang pakai jaket, itupun sudah kusam. Pokoknya dandanannya juga kurang meyakinkan. Masih lebih keren sales asuransi. Dari sini saja sudah tampak kurang menghargai orang.

Lebih kecewa lagi saat mendengar mereka presentasi. Aduh, layaknya rapat RT saja. Saat duduk di meja, bahasa tubuhnya juga tak mencerminkan seorang cendekia dan profesional. Ada yang duduk sembari setengah tidur, ada juga yang hadapnya ke kiri dan ke kanan, mirip suasana warung kopi saja.

Dan ini yang penting. Ketika ketua tim suksesnya membuka pembicaraan, mau tahu apa isinya? Ternyata, hanya berisi sebuah ”hak jawab” atas tudingan lawan politiknya. Misalnya, soal moto ”Lebih cepat lebih baik”, yang mereka bilang, ”Ini bukan berarti grasa-grusu. Jadi tak benar jika ada yang bilang seperti itu!”

Wah, apa hubungannya? Memangnya siapa yang menuding? Kenapa harus dijawab? Lagi pula, mengapa harus memikirkan omongan orang? Mestinya langsung saja memaparkan apa dan siapa mereka (tim sukses) dan apa programnya, sehingga masyarakat harus memilih JK.








Kalau perlu, bawalah laptop, siapkan slide, sehingga kesan profesional kian lekat, dan masyarakat, setidaknya saya, jadi yakin untuk memilih JK.

Yang lebih bikin memuakkan, saat salah seorang dari mereka diminta untuk memberikan presentasinya. Ternyata, yang diminta menolak, lalu saling lempar pada anggota tim-nya yang lain.

”Kamu sajalah...” katanya menujuk ke sebelahnya.
Yang di sebelahnya, membalas, ”Ha? Bapak saja lah...”
”Ndak, kamu sajalah...”
”Oh, baiklah...” barulah dia berbicara, itupun posisi duduknya masih setengah tidur.

Saat berbicara juga tak jelas apa yang dimaksud, nadanya juga kurang tegas, macam orang mengigau saja.

Sudah begitu, komentarnya malah mengoreksi keterangan yang disampaikan ketua tim sukses-nya sendiri.

Aduh... Apa-apaan ini. Serius nggak sih?

Rabu, 03 Juni 2009

Antara Buah dan Manusia

Tidakkah kita perhatikan, bahwa bentuk buah dan sayuran itu mirip dengan organ tubuh manusia? Semua ini, memiliki khasiat yang bagus bagi organ tubuh yang bentuknya mirip dengan buah dan sayuran tersebut.


Dalam catatan ini, saya mengumpulkan beberapa contoh yang mungkin bisa mewakili. Misalnya saja, sebuah irisan wortel terlihat seperti mata manusia. Kalau diperhatikan lebih jeli, terlihat seperti pupil, iris, dan garis yang sama persis seperti mata manusia.

Setelah diteliti, sains terkini membuktikan kalau wortel sangat berfungsi untuk meningkatkan aliran darah dan fungsi mata menjadi lebih baik.

Selain itu ada tomat. Perhatikan, saat dibelah tampak empat ruang di dalamnya dan berwarna merah. Jantung manusia memiliki empat ruang dan juga berwarna merah. Semua penelitian membuktikan kalau tomat banyak mengandung lycopine yang berfungsi sebagai asupan untuk darah.

Sekumpulan anggur yang menggantung, juga memiliki bentuk seperti jantung. Setiap butir anggur terlihat seperti sel darah. Hasil penelitian terkini menunjukkan, bahwa anggur juga baik untuk jantung dan sebagai makanan yang dibutuhkan oleh darah.

Beralih pada kacang kenari. Bentuknya terlihat seperti otak berukuran kecil. Bagian kiri dan kanannya berbentuk hemisphere, atasnya seperti cerebrums, dan bawahnya seperti cerebellums. Bahkan kerutan dan lipatan di kacang tersebut seperti neo-cortex. Saat ini kita ketahui kacang kenari membantu memberikan lebih dari tiga lusin neuron-transmitters untuk fungsi otak.









Ada juga kacang merah, yang mempunyai fungsi dan melindungi fungsi ginjal dan mata. Tahukah Anda, bentuk kacang merah mirip seperti ginjal manusia.

Selanjutnya seledri, sawi dan batang-batang sayuran lainnya berbentuk seperti tulang. Makanan-makanan ini memang spesialis untuk kekuatan tulang. Tulang terdiri dari 23 persen sodium dan makanan-makanan ini juga terdiri dari 23 persen sodium.

Jika Anda kurang sodium di diet Anda, tubuh akan mengambilnya dari tulang dan ini menyebabkan tulang menjadi lemah. Makanan-makanan ini menggantikan kebutuhan tulang yang diperlukan tubuh.

Siapa yang suka apokat, terong dan buah pir? Ternyata kandungannya dibutuhkan untuk kesehatan kandungan dan mulut rahim dari wanita. Lihatlah, makanan-makanan tersebut terlihat mirip dengan organ-organ yang saya sebut tadi.

Penelitian terkini menunjukkan bahwa jika wanita makan satu buah apokat seminggu, akan menyeimbangkan hormon dan mencegah kanker mulut rahim. Apokat butuh waktu 9 bulan untuk bertumbuh dari kecil hingga siap dipetik. Terdapat lebih dari 14.000 nutrisi kimia di setiap makanan ini (sains modern hanya mempelajari sekitar 141 dari keseluruhannya).







Ada juga buah ara (dikenal sebagai buah tiin /ficus carica) adalah buah yang dipenuhi biji dan tergantung berjumlah 2 ketika mereka tumbuh (sama seperti organ laki-laki).

Buah ara meningkatkan kelincahan dan mobilitas dari sperma dan juga meningkatkan jumlah sperma untuk mencegah sterilitas pada laki-laki. Tak hanya itu, buah ini bermanfaat melawan sel-sel kanker, mengurangi kolesterol jahat, menguatkan jantung dan menormalkan pernafasan bagi penderita sesak nafas.

Untuk yang doyan apel, khususnya yang berwarna merah, buah ini diketahui baik untuk menurunkan tekanan jantung. Jika diperhatikan, memang bentuk apel merah, mirip jantung manusia.

Bagi Anda penggemar kentang manis atau ubi jalar, karena bentuknya mirip pankreas, ternyata mempunyai khasiat untuk menyeimbangkan glysemic index untuk penderita diabetes.

Sedangkan buah zaitun, berkhasiat untuk menambah kesehatan dan fungsi dari sel telur.Perhatikanlah, bentuk buah zaitun juga mirip sel telur.







Masih untuk wanita, jeruk, lemon dan buah-buahan citrus lainnya sangat mirip dengan kelenjar susu dari wanita. Dan percaya atau tidak, buah-buah tersebut berkhasiat untuk menambah kesehatan dari kelenjar susu dan keluar masuknya getah bening.

Ini yang terakhir, bawang bombay terlihat seperti sel tubuh. Riset terkini menunjukkan bahwa bawang bombay membantu membersihkan material-material yang tak terpakai dari seluruh sel tubuh.

Bawang bisa membuat mata memproduksi air mata yang bisa mencuci lapisan luar mata. Bawang putih, juga membantu melenyapkan material-material yang tidak berguna dan berbahaya seperti radikal bebas dari tubuh.

Bagaimana? Sudahkah Anda takjub? Sebenarnya, hubungan buah dan manusia ini juga telah tertulis dalam Alquran. Mungkin bagi yang muslim, pasti tahu itu surat At-Tiin. Dalam surat ke 95, 8 ayat, yang turun di Mekah ini (Makkiyah) berbunyi, (1) Demi pohon Tin dan pohon Zaitun. (2) Demi gunung Sinai. (3) Dan demi negeri Mekah yang aman sentosa ini.

(4) Sesungguhnya manusia itu telah Kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (5) Kemudian Kami jerumuskan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (6) Kecuali mereka yang beriman serta berbuat baik. Bagi mereka adalah pahala yang tiada putus-putusnya. (7) Lalu apa sebabnya kamu mendustakan adanya Hari Pembalasan itu setelah jelas semua keterangan mengenai itu? (8) Bukankah Allah itu Hakim yang Paling Adil?


Marilah kita perhatikan ayat 1 dan ke 4. Demi pohon Tin dan pohon Zaitun. Sesungguhnya manusia itu telah Kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.








Lalu kuta berfikir, apa hubungannya kesempurnaan manusia dengan pohon ara ini.
Begitu diperhatikan, ternyata kulit buah ara ini sama persis seperti kulit manusia. Halus, mulus.

Kulit buah ara sangat tipis, bahkan tak ada bedanya antara kulit dengan dagingnya. Namun jika terkelupas, maka permukaan yang halus mulus tadi akan membuat wajah buah ara tadi sangat buruk, mirip kulit yang terkelupas, bentuknya putih pucat kemerahan.

Kalau Anda iris lebih dalam lagi, maka yang tampak akan lebih mengerikan, karena biji-biji dalannya akan tampak, mirip serat daging manusia.

Kiranya, demikian jualah bentuk manusia. kecantikannya, hanya setipis kulit. Orang barat bilang, beauty is just a skin deep...

Maha Suci Allah.... Mintalah ampun pada-Nya

Selasa, 02 Juni 2009

Kekanak-kanakan

Sungguh risih rasanya, mendapat label childish alias kekanak-kanakan. Teman-teman pun menghindar. Maklumlah, siapa yang betah berada di dekat ”anak kecil”.



Begitulah keluhan seorang kawan. Memang, akhir-akhir ini bahasan soal sifat ini ramai dibicarakan. Bukan hanya kalangan muda remaja, juga kalangan profesional. Karena childish bukanlah monopoli remaja saja, namun juga “diidap” orang dewasa, bahkan terbilang matang sekalipun.

“Diidap?” Memangnya childish penyakit ya? Oh, maksud saya dimiliki. Begitu. Karena childish merupakan cabang sifat atau sikap.

Hal ini memiliki tautan erat dengan apa yang disebut peterpan syndrome. Sepele memang, namun kalau tak segera disadari bisa menjadi penyakit.

Childish, sesuai namanya, si pemilik sifat cenderung bersifat layaknya anak kecil, bahkan mirip balita.

Sifat anak kecil itu bagaimana? Yang paling mendasar adalah ingin selalu diperhatikan atau istilah psikologinya hypokondria. Karena itu, jangan heran jika mereka akan terus mencari perhatian. Bagaimana bila kita tak memberi perhatian, mereka akan marah. Bisa juga nangis dan merengek.

Sifat lain, umumnya selalu ingin dipuji dengan dibilang cakep, pinter, pokoknya yang hebat-hebat. Omongannya selalu ingin didengar. Dan yang terakhir selalu bersifat teretorial.

Uraiannya seperti ini. Tentunya kita pernah berhadapan dengan anak kecil, khususnya balita. Lihatlah, bagaimana cara mereka bersikap dan berkomunikasi.

Yang jelas, saat berbicara dia ingin selalu didengar, materinya selalu berkutat pada hal yang menunjukkan kehebatannya. ”Ayah (atau) Om... tadi saya bisa begini lho... atau Om... om... lihat, saya punya ini....”






Atau bisa juga seperti ini, saat berbicara kadang tak mempertimbangkan etika. Ya, namanya juga anak-anak. Misalnya, pernah kejadian anak kecil yang bertanya soal hal-hal pribadi atau provasi seseorang. Bahkan, kecacatan seseorang. Dan ini saya alami sendiri.

Kala itu, ponakan saya dengan polosnya bertanya, “Om... om... om.... mata kiri om kenapa? Kok merem terus,” katanya sambil menuding ke mata kawan saya yang (maaf) cacat itu. Kontan saja, kawan saya langsung pergi. Sayalah yang malu minta ampun.

Juga pernah dia bertanya, tentang sebuah hal yang bersifat pribadi lainnya. Misalnya begini, "Om... om... gaji om berapa sih? Banyak mana sama gaji papa?" Ampun deh! Semua mau diurusi.





Atau juga bisa begini, saat bersikap cenderung menunjukkan teritorialnya (wilayah kekuasaannya). Mereka bertingkah bak raja kecil, atau istilah psikologinya trozalter.

Pernahkan pengalaman, bertemu balita. Katakanlah anak kawan kita. Lihatlah, betapa sangat senangnya dia memamerkan wilayah kekuasaannya. Hal ini bisa dia tunjukkan saat dia menangis atau merengek, atau bersikap tak mau berbagi mainan atau makanannya pada Anda.

Anak kecil, memang selalu ingin tampak oleh orang lain, bahwa dia hebat, bahwa dia berkuasa. Ya namanya juga anak kecil, semuanya masih manis dilihat dan dirasakan, tapi kalau “casingnya” orang dewasa, namun sikaponya macam begitu, tentu bukan sebuah hal yang menyenangkan.

Seorang rekan sering cerita, terpaksa menghindar jika rekannya yang bersifat childish ini tiba-tiba muncul. Alasannya ada saja. ”Pernah suatu ketika kami kumpul-kumpul, tiba-tiba dia (menyebut nama rekannya yang bersifat childish) nelepon mau ikutan gabung, terpaksa kami bubar,” jelasnya.

“Mengapa?”
“Ya, habis siapa mau tahan ngobrol ama dia. Selalu ingin menonjolkan diri, ingin disanjung, omongannya selalu ingin didengar. Capek deh...” selorohnya.








Lalu, megapa bisa childish? Biasanya, sifat ini muncul bawaan dari faktor masa kecil. Seorang anak yang terlalu dekat pada ibunya, bisa jadi anak bungsu, umumnya rawan dihinggapi sifat childish ini. Hingga dewasa, sifat ini terus dia bawa. Sekarang pertanyaannya, bahayakah sifat ini?

Bisa iya, bisa tidak. bahaya, jika sifat childish ini mempengaruhi cara berpikir (menangani masalah). Namun bisa tidak, ya tak masalah. Sekali lagi, childish adalah sifat.

Umumnya hanya mempengaruhi fungsi sosialisasi, bukan cara berpikir. Karena, banyak juga orang dengan sifat childish ini yang mengisi posisi penting dalam organisasi.

Lalu, bagaimana menghadapi orang bersifat childish ini? Inilah repotnya. Yang jelas kita harus sabar, dengan terus berusaha menyadarkan siapa dia sebenarnya. Caranya bisa melalui teknik komunikasi yang manis. Sekali lagi, harus sabar. karena bila tidak, ya mending menghindar sajalah. Capek.

Perhatikan Prosesnya (Batam Pos Version)

Rekan saya seorang psikolog pernah berkata seperti ini, “Masyarakat Batam ini banyak terjangkit Alibaba Syndrom. Ibarat lampu Aladin, maunya serba instan, ingin sesuatu langsung jadi, tanpa memikirkan prosesnya. Jadinya macam hidup di dunia mimpi saja.

Tentunya kita banyak mendengar kisah Aladin ini. Ingin ini itu, tinggal gosok lampu wasiatnya, lalu keluar jin yang siap memenuhi apa saja keinginannya. Semua serba instant, tanpa proses berarti.

Komentar rekan ini, saya renungkan baik-baik. Setelah dihubungkan dengan peristiwa kekinian, ternyata ada benarnya. Wajar sajalah di sini banyak bermunculan slogan-slogan, program-program yang tak menyentuh bumi.

Mereka bagai hidup di sebuah dunia antah berantah, dunia seribu kata, dunia angan, dunia ala negeri dongeng.

Tentunya kita sering mendengar program yang bagus-bagus, yang inilah, yang itulah, gerakan inilah gerakan itulah, namun hanya tinggal kenangan saja. Meski berjalan, hanya saat pertama diluncurkan saja, selanjutnya, hilang entah ke mana.

Lebih konyol lagi, sering kita mendengar akan visi misi yang menyentuh langit. Nanti kita akan anu, kita harus menang, kita harus ke begitu, namun saat ditanya “Bagaimana caranya?” Malah tak bisa menjelaskan. Parahnya masih berkata, ”Ya lu pikir aja sendiri!” Ampun!





Semua ini terjadi, karena para pembuat program itu hanya berpikir instan saja, tanpa pemperhatikan bagaimana prosesnya, atau bagaimana mengawal proses dari program tersebut. Semua ingin cepat, secepat membalikkan telapak tangan.

Mestinya kita introspeksi. Lihatlah dalam diri kita. Penciptaan manusia juga melalui proses yang cukup panjang, melalui beberapa fase, mulai alam azali, alam rahim, alam kubur hingga akhirnya alam kebangkitan.

Kalau dalam teori kekinian disebut evolusi atau perubahan secara lambat. Kita juga berevolusi, apa yang kita miliki saat ini, tak terlepas dengan apa yang telah kita perbuat pada masa lalu. Kalau teori kupu-kupu disebut metamorfosa.

Kata Michael Jackson, “People changing (manusia itu berubah).” Semua ada prosesnya. Tak ada yang instant kecuali mie instant.

Tahukan Anda, bahwa Nabi Muhammad itu orang yang tak bisa baca tulis? Dan perlu kurun waktu 23 tahun, hingga dia bisa diangkat sebagai Rasul. Dalam kurun waktu itu, beliau berproses, mulai dari dilempari kotoran di Thaif, hingga dicap gila.






Juga, tahukah Anda bahwa perlu proses 300 tahun bagi Amerika -yang katanya negara bebas dan menjunjung persamaan HAM- bisa memiliki presiden kulit hitam pertama?

Karena dalam kenyataannya, lama sekali bagi masyarakat kulit putih Amerika, menerima keberadaan warga kulit berwarna, khususnya kulit hitam. Bahkan di Chicago, restoran harus menyediakan dua wastafel bagi pengunjungnya. Satu (yang bagus) untuk kulit putih, sedangkan satu lagi untuk kulit berwarna!

Atau, tahukah bagaimana Allah, Tuhan semesta alam, mencipkatan langit dan bumi ini, sebagaimana dia berfirman dalam Surah Al-Anbia: 30. ”Dan apakah orang-orang kafir itu tidak melihat bahawasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu (satu unit penciptaan), kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakan mereka tiada juga beriman?”.





Ini adalah proses awal. Semua proses ini, hingga menjadi bumi yang kita tempati saat ini terjadi dalam enam tahap sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-A’raf: 54. ” Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.”

Yang terakhir saya ceritakan ini adalah Tuhan, yang maha pencipta itu, dengan kun fa yakun-nya (jadi, maka jadilah), selalu menekankan akan proses ini. Bahkan, Allah sangat bertanggung jawab mengawal proses setetes embun yang jatuh di daun hingga menguap saat disapu matahari pagi. Bila Dia saja menjunjung tinggi proses, apakah lagi kita?

Sementara itu, manusia juga memerlukan proses yang cukup panjang juga untuk membuktikan kebenaran ayat ini. Bermula dari masa Ptolomius dengan geo sentris-nya, hingga teori bantahan datang dari Copernicus dengan helio sentris-nya, disambung Galeleo, Einstein, Edwin Hubble, hingga terakhir, barulah Stephen Hawking dengan teori Big Bang-nya berhasil membuktikan kebenaran ayat tadi.

Semua berproses, bisa cepat, bisa lambat. Namun sayang hal ini kadang diabaikan. Alasannya, bisa karena malas mikir atau tak sabar. Bisa juga karena tak mau atau tak mampu.





Namun ada kalanya, proses ini diabaikan. Manusia saat ini, kebanyakan terbawa oleh gaya hidup instant, sehingga membuat pandangannya serba instan. Maunya serba sim salabim abra kadabra. Sehingga yang ada bukannya berlomba membangun fondasi dari sebuah tahapan pencapaian tujuan, melainkan hanya sibuk membangun retorika, membangun opini.

Sebagaimana saya singgung di atas, saat ini semua sibuk membikin program publisitas yang wah wah. Ada gerakan sejuta inilah, sejuta itulah. Ada juga program Batam inilah, Batam itulah. Namun, bagaimana proses menuju ke sana? Kadang tak ada.

Wajar saja, kalau program itu tak bertahan lama. Saat dicanangkan bertabur seremoni, bunga dan pita. Namun setelah itu, ya sudah. Langsung lenyap.

Semua memang butuh proses. Perhatikan ini. Kawal ini. Proses adalah sebuah kesadaran agar kita tetap menginjak bumi. Inilah yang membedakan antara dongeng dan fakta, antara tukang hayal dan ilmuan, antara tukang ngomong dan bekerja.