Minggu, 28 Maret 2010

Hati-hati Baca Buku

Akhir-akhir ini saya banyak diceletuki rekan-rekan sekantor. "Wah, rajin baca sekarang ya..." Mereka berkata demikian, karena sudah tiga bulan ini buku selalu tak lepas dari tangan saya.

Selama ini saya memang sangat suka membaca. Lha wong, saya wartawan kok, gimana ceritanya kalau tak suka baca? Bukan hanya baca saja, menonton siaran berita pun sangat doyan, mulai politik hingga gosip.

Cuma bedanya, selama ini yang saya baca bukan buku, melainkan situs-situs, mulai forum komunitas, hingga berita real time di internet. Koran? Pasti dong.

Baru sekitar tiga bulan inilahj saya mulai sering membaca buku. Ini dipicu, ketika kantor tempat saya bernaung, mulai punya perpustakaan kecil. Sangat kecil malah. Koleksinya kurang dari 100 buku dan ini terus bertambah.

Di samping itu, karena saya saat ini tengah membukin perpustakaan mini di ruang lantai dua rumah. Ini adalah investasi, sebuah teladan untuk anak saya kelak.

Kepada istri saya berpesan, silakan dibaca buku ini, namun ingat berhati-hatilah. Karena kadang buku ibarat ular. Indah namun memiliki bisa yang mematikan. Buku itu ibarat ikan kembung, bila diolah (dibaca) dengan baik maka akan terasa nikmat, namun bila diolah sembarangan bisa beracun yang dapat menewaskan yang melalapnya dalam sekejap.

Untuk itu, ingatlah, sebelum membaca buku kita harus memiliki konsep diri yang matang. Seperti apakah konsep diri kita, sehingga saat nanti membaca hal-hal baru, hal tersebut bisa bekerja menyaring dan mendiskusikan apakah baik atau buruk untuk kita ambil sebagai kebenaran.

Buku, apapun itu bentuknya, selalu saja memiliki efek cuci otak. Bila tak waspada, narasi-narasinya akan menggiring kita untuk memercayai sesuatu yang kadangkala belum tentu benar dan bisa diterapkan di dunia nyata.

Belum lagi, kadang buku-buku tersebut dikarang oleh orang yang kurang kompeten. Sebuah milis mengungkap, ternyata para penulis buku-buku motivator itu banyak gagal di dunia nyata. Yang ini saya juiga punya pengalaman sendiri.

Saya kenal seorang motivator bisnis, sudah banyak buku yang ditulisnya. Namun tahu tidak, dalam kenyataannya ternyata dia orang yang gagal berbisnis. Usaha donat yang dirintisnya hancur. Maka itulah, dia kini mengais rezeki dengan cara menjadi motivator.

Nah, apa jadinya bila saya membaca buku-bukunya, yang ternyata ditulis oleh orang yang gagal. Gimana saya mau berhasil bila saya menerima tips dari orang yang gagal? Secara psikologis saja sudah tak masuk.

Jadi ibarat dukun yang mengatakan punya ilmu untuk membuat kaya orang dengan minta imbalan tertentu. Sementara dia miskinnya minta ampun. Kenapa dia tak bikin kaya dia dulu, baru bikin kaya orang lain?

Contoh lain, ada seorang kutu buku yang selalu saja dalam setiap sikapnya menyandarkan diri pada teori-teori dari buku yang dibacanya. Padahal, hal tersebut sangat kurang tepat dipraktikkan dalam kondisi yang dia hadapi saat ini. Akibatnya, selalu terjadi pergolakan dan penolakan di lingkungannya.

Belum lagi sifatnya yang cenderung memaksakan opininya sebagai sebuah kebenaran. Suka memotong pendapat orang lain, sehingga proses komunikasi jadi hancur. Sementara bila diberi amsukan, marahnya minta ampun. Jadi terkesan sok pinter gitu. Hal ini bisa mengarah ke kufur.

Jadi ingat pada orang zionis Yahudi. Mereka itu, baru bisa berpikir ketika melihat senjata. Maka jadilah, mereka dengan senjatanya menebar rasa takut. Orang-orang Palestina yang berunjuk rasa, dibalas dengan mematahkan kakinya. Bila ada yang melawan di bunuh. Luar biasa.

Dari sini, saya jadi teringat nasihat ayah saya, “Biasanya orang yang suka membaca, dia tak suka mendengar. Sebaliknya, orang yang suka mendengar dia tak suka membaca. Hal yang baik adalah, saat dia membaca dia mau mendengar, di saat dia mendengar dia mau membaca,”

Nasihat inilah yang selalu saya pegang sampai saat ini. Sehingga bila saya membaca buku, saya selalu melakukan komparasi di internal dan eksternal diri saya. Dan saat saya mendengarkan sebuah pesan, saya pun membandingkan dengan apa yang terjadi di internal dan eksternal diri juga. Sehingga saya bisa memetik hikmah yang terkandung di dalamnya.

Saya ingatkan lagi, wahyu pertama Allah pada Nabi Muhammad adalah “Bacalah, dengan nama Tuhanmu!”

Artinya, segala sesuatu itu harus dikembalikan kepada Tuhan, bukan untuk menentangNya. Maka dari itu, Rasulullah sebelum perintah ini turun, telah dibekali dulu benteng iman yang kuat, meskipun dia sendiri adalah orang yang buta baca tulis.

Jumat, 26 Maret 2010

Calon Gubernur Ku...

Belum lama ini saya bertemu pasangan calon gubernur / wakil gubernur Kepulauan Riau. Sebut saja Pak A dan B, karena saya tak enak menyebut nama. Takut nanti dibilang black campaign.



Dari pertemuan ini, kian kuatlah harapan saya semoga orang ini tak terpilih nantinya. Karena saya nilai akan rawan.

Alasan saya sederhana saja, Pak A ini orangnya sudah renta, jadi wajar staminanya agak terganggu. Sedangkan calon wakilnya, Pak B masih sangat perkasa. Saya sangat mengagumi wakilnya ini, seandainya dia mencalonkan diri sebagai Gubernur, pasti saya tak ragu memilik.

Namun karena hanya wakil, saya urung. Namanya wakil, ya tetap saja wakil. Tak ada beda, antara wakil gubernur dengan wakil kenek bus kota. Tak bisa ambil keputusan juga. Tetap aja jadi bayang-bayang sang pimpinan.

Posisi wakil memang selalu serba salah. Terlalu lemah, salah, terlalu powerfull juga salah. Bisa dibilang matahari kembar-lah, akan kudeta-lah, dan ini dia, pasti akan ditekan sama pimpinannya. Payah memang. Sehingga tak salah juga bila pakar Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengatakan agar posisi wakil kepala daerah ini dihapus saja. Banyak tak efektif.

Kembali lagi ke Pak A. Namanya juga orang tua, bikin kesal saja. Saat berbicara, suaranya susah ditangkap. Padahal jarak saya dan dia hanya kurang dua meter saja. Giliran saya yang bicara, dia malah sering berteriak, “Apa? Bagaimana? Tak jelas saya apa maksudnya?” Membosankan.

Dan ini yang bikin kesal. Pak A ini punya sifat selalu ingin dihormati, namun sulit sekali menghargai.

Dan sebagai seorang jurnalis, saya punya catatan khusus tentang pak A ini. Tiap kali ada masalah dengan media atau wartawan, cara yang ditempuhnya sangat tak elegan. Di tiap forum tempat dia berpidato. Maklumlah, Pak A ini masih pejabat aktif, jadi sering mendapat undangan acara resmi.

Di tempat itulah, dia menjadikan ajang pembantaian nama media dan wartawan yang dirasa menyerangnya. Begiotu terus, sepanjang pidatonya dia jelek-jelekkan. Padahal, tak ada kaitan dengan materi acara. Ah, kenapa tak melakukan hak jawab saja?

Dan yang paling menyebalkan, setelah menjelek-jelekkan itu, selalu ditutup dengan “kalimah saktinya”, “Mereka tak tahu, kalau Pak (dia menyebut nama bos media tersebut) adalah kawan saya sejak masih di bangkus ekolah,” ujarnya.

Akibat kelakuan Pak A ini, rekan saya, seorang jurnalis menjadi korban. Dia diberhentikan oleh perusahaannya bekerja, karena dinilai memelintir pernyataan Pak A. Pak A itu komplein di forum-forum, hingga membuat bos kawan saya malu.

Padahal saya tahu persis, rekan saya itu sudah menulis dengan benar.

Kembali lagi ke pertemuan ini, tibalah kesempatan Pak A membacakan visi dan misinya. Adugh, yang aneh-aneh aja dibuat. Dia bicara soal potensi kelautan dan semacamnya dan akan menarik investor.

Waduh, ngapain terlalu jauh, kenapa tak membicarakan soal listrik yang byar pet dan krisis air yang bikin warga sekarat saja?

Apalagi soal investasi, alah, kan sudah jelas kuncinya di FTZ yang hingga kini aturannya belum juga ditetapkan, sehingga investor masih ragu. Mestinya, dia desak aja tuh Menko Perekonomian sehingga FTZ bisa lancar.

Belum lagi soal investasi, bukankah saat ini era otonomi daerah, di mana pemerintahan Kota dan Kabupaten, memiliki porsi mengatur investasinya sendiri? Jadi banyak ditemukan, mereka sering mengambil investasi yang basah dan gemuk, sedangkan yang kering dikelbalikan ke provinsi.

Mestinya dia betrbicara bagaimana mengatur koordinasinya, bukan malah begini. Ah, dia mungkin berpikir saya (rakyat calon pemilihnya) tak paham soal ini, sehingga bisa dikibuli.

Hingga akhirnya ada kesempatan saya bertanya, kepada Pak A. “Pak, bagaimana Anda mau memimpin daerah ini, sedangkan stamina Anda menurun? Nanti di tengahj jalan Anda bisa dikudeta sama Pak B”

Dengan gusar Pak A, menjawab, “Ya, itu semua terserah Allah lah. Tak ada yang tahu nasib kita. Bisa jadi nanti kita dipanggi olehNya usai dari sini.,” jawabnya, yang lagi-lagi tak nyambung.

“Soal kudeta ini, saya sudah lama kenal Pak B. Dia tak akan melakukan itu,” jelasnya. Pak B pun hanya tertawa, lalu berkata, “Itu hanya black campaign saja, Mas,” katanya.

Kemudian ada juga pertanyaan, tentang lemahnya lobi internasional yang dimilikinya, sehingga akan sulit untuk menggaet investor.

Dia menjawab, bahwa pemimpin itu ya bagaimana memanfaatkan fungsi manajemen, seni menempatkan manusia. “Bila nanti saya tak mampu, kan bisa bikin tim-tim kecil. Bisa jadi merekrut Anda di dalamnya. Orang Jepang saja pakai bahasanya ke mana-mana juga bisa maju,” kelitnya.

Bener juga sih. Namun, bila terlaklu banyak membentuk tim, kan terkesan kurang bisa bekerja.

Si Apa di Belakang Mereka?


Saat ini, Kepulauan Riau dimeriahkan oleh pelilihan umum kepala daerah, mulai level kabupaten hingga provinsi
.


Terus terang, saya pribadi kurang begitu tertarik untuk membedah visi dan misi para calon itu. Bukannya mengatakan bahwa hal tersebut tak penting, namun kenyataan membuktikan bahwa kadang visi dan misi hanya dibikin sebagai gugur kewajiban para calon. Kalau mau menjadi calon kepala daerah, ya minimal harus punya visi dan misi.

Parahnya, kadang visi dan misi ini bukan karya orijinal sang calon, namun buah tangan dari para staf, tim sukses, atau perusahaan pencitraan. Jadilah visi dan misi saat ini tak lebih dari bagian teknik memasarkan sang calon. Visi dan misi tak ubahnya mirip iklan obat flu atau jamu masuk angin. Cuma bedanya, visi dan misi berdurasi panjang. Namun intinya sama saja.

Pertama masyarakat diperlihatkan akan ketidakberesan yang sekarang terjadi, lalu ujungnya ditutup dengan anjuran untuk memilih sang calon, sehingga semua ketidak beresan ini akan berakhir (sembuh).

Namanya juga iklan, makanya dikemas sangat menarik. Di dalamnya dimasukkan teknik pencitraan dan semacamnya. Mirip ungkapan Mister Crabs di film kartun Spoengebob, “The money is always right.”

Maka jangan heran bila terkadang dalam perjalanan kepemimpinan kepala daerah terpilih, antara visi dan misi dengan pelaksanaan berbeda jauh. Dulu janjinya begini, setelah duduk, kok begitu?

Jangan heran, semua ini adalah bagian dari sebuah proses manajemen: seni memanfaatkan tenaga manusia. Dengan manajemen yang baik, kepemimpinan akan lebih berwibawa.

Seorang calon hebat saat ini tak lagi diukur dari sederet titel yang dimiliki, karena bila ternyata tak jeli memanfaatkan tenaga terampil di sekelilingnya, maka tak akan berarti.

Tapi meski orang biasa saja, namun mampu menempatkan orang-orang terampil sesuai keahliannya, maka dia akan menjelma menjadi pemimpin yang hebat. Soal kekurangan, bisa mereka tutupi dengan membentuk tim yang tangguh yang siap memberikan saran hingga mengkonsep piodatonya.

Kembali lagi soal visi dan misi, bedasar uraian di atas itulah, saya tak terlalu tertarik membedahnya. Saya malah lebih tertarik mencermati siapa di belakang yang menyokong dana kampanye para calon itu.

Inilah yang lebih penting, karena merekalah nantinya yang sangat perkasa untuk mempengaruhi kepemimpinan sang kepala daerah kelak.

Sudah menjadi rahasia umum, untuk bisa maju menuju kursi kepala daerah dibutuhkan modal uang yang tak sedikit.

Sebuah partai politik yang masuk 5 besar saja mematok Rp15-hingga 20 miliar, untuk mendukung seorang calon yang nota bene bukan dari kadernya. Dengan asumsi satu kursi Rp250 juta. Ini baru satu partai, kalau banyak partai, tinggal kalkulasikan saja.

Belum lagi untuk membayar perusahaan pencitraan yang saat ini sedang ngetren, seiring popularitas presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kabarnya, perusahaan pencitraan ini mematok angka Rp12 miliar untuk menggarap pencitraan calon gubernur, sedangkan untuk wali kota Rp7 miliar.

Merekalah nantinya yang akan bekerja agar sang calon tampak sempurna. Baik dari sisi penampilan, motto, hingga visi dan misinya. Mereka jugalah yang nantinya mengemas iklan-iklan di media massa, sehingga masyarakat menjadi yakin untuk memilih calon yang dimaksud.

Ini baru yang sah, yang selanjutnya disebut political cost, belum lagi yang tak sah (bila memang ada) dengan apa yang disebut money politic, tentu akan lebih besar lagi. Bisa membuat kantong bengkak hingga ratusan miliar rupiah! Kian besar daerah dan jumlah penduduk, kian banyak juga dana yang dibutuhkan. Luar biasa memang.

Karena itulah, seorang calon memerlukan penyandang dana tadi untuk memberikan sokongan finansial yang kuat. Hal ini bisa dari perorangan, biasanya konglomerat, atau dari kelompok (grup).

Namun tentu saja, tak ada yang gratis. Karena biasanya mereka memeinta kompensasi agar sang pengauasa nantinya, mau menyokong semua rencana-rencana (baca: proyek) mereka baik yang akan atau sudah berlangsung. Dan, ini yang penting, mau menjadi tameng bila pekerjaan mereka bermasalah.

Di luar negeri, hal ini juga sudah umum diketahui. Tentunya kita sudah banyak mendengar bahwa beberapa presiden Amerika dana kampanyenya disokong oleh pengusaha minyak. Sehingga sempat berkembang kabar juga, invasi atas Irak sebenarnya bukan karena negara itu memiliki senjata pemusnah massal, namun untuk meraih kontrol atas minyak dan gas alam di sana.

Salah satu kelompok yang paling terkenal adalah Bilderberg Group. Ini disebut-sebut organisasi rahasia paling berpengaruh yang mengendalikan dunia saat ini. Organisasi ini berdiri pada tahun 1954, anggotanya adalah orang-orang paling berkuasa di dunia.

Mulai dari konglomerat kelas wahid meliputi bisnis media, keuangan, consumer goods, hingga para bangsawan Eropa, kumpul di sini. Di meja pertemuan kaum imperialis inilah, nasib Anda, keluarga Anda, bahkan anak cucu Anda ditentukan.

Sebuah buku karangan Daniel Estulin mengungkap sepak terjang organisasi ini. Menurutnya, hanya sedikit orang-orang terpilih yang diundang karena para anggota Bilderberg berpikir bahwa orang itu merupakan perangkat berguna di dalam rencana globalis mereka dan kemudian dibantu untuk meraih posisi yang kuat dalam pemilu. Namun bila orang yang terpilih itu gagal, maka akan disingkirkan.

Contoh yang paling dramatis dari "rekrut berguna" ini adalah Gubernur Arkansas yang tak populer, Bill Clinton yang diundang menghadiri pertemuan rahasia Bilderberg pertamanya di Baden-Baden Jerman, 1991.

Saat itu anggota inti organisasi ini, David Rockefeller mengatakan pada Clinton mengapa North America Free Trade Agreement (NAFTA) adalah prioritas Bilderberg, untuk itu mereka membutuhkan Clinton untuk mendukungnya.

Setahun kemudian, Clinton terpilih sebagai persiden Amerika, dan dialah yang menjadi pendukung kuat NAFTA!

Sepak terjang Bilderberg Group tak hanya bermain di tataran pemimpin Amerika saja, namun juga negara kuat di Eropa, seperti Inggris, Italia, hingga Prancis. Bahkan mereka juga masuk menentukan para pemimpin pakta militer, seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO/Pakta Pertahanan Atlantik Utara) .

Mereka lah yang diduga di balik kemenangan Tony Blair (PM Inggris/1997), Romano Prodi (Presiden Eropa/1999 kemudian menjabat PM Italia 2006), hingga George Robertson (Sekjen NATO).

Lalu apa tujuan organisasi ini? William Shannon pernah mengatakan, Bilderberg sedang mencari era pascanasionalisme: era ketika kita tidak memerlukan negara, tapi hanya wilayah-wilayah di bumi yang dikelilingi oleh nilai-nilai universal.

Itu berarti ekonomi global, pemerintahan satu dunia (yang diseleksi), bukan dipilih melalui pemilu) dan agama universal.

Untuk menyakinkan diri sendiri dalam meraih sasaran-sasaran ini, Bilderberg berfokus pada "pendekatan" teknis yang lebih besar dan kurangnya kewaspadaan sebagai wakil dari khalayak umum.

Saya sendiri kurang tahu apakah pengaruh Bilderberg Gruop ikut bermain dalam menentukan siapa calon kepala pemerintahan di sini, namun demikian praktik ala organisasi ini sudah kita ketahui bersama.

Seperti yang saya singgung di atas, bukan rahasia lagi ada kelompok dengan finansial kuat, menjadi penyandang dana kampanye calon presiden, calon gubernur, hingga bupati/wali kota di negeri ini.

Yang paling heboh, apa yang terjadi saat Wakil Gubernur Riau Wan Abubakar melakukan perang terbuka dengan Rusli Zainal, Gubernur Riau, pasangannya sendiri, di akhir masa jabatannya tahun 2008 lalu.

Dia mengungkap bahwa Rusli Zainal tak berdaya menolak keinginan beberapa pengusaha, karena mereka nota bene telah membantu dana kampanyenya hingga puluhan miliar rupiah. Praktik seperti ini (membantu dana kampanye dengan deal-deal tertentu) juga terjadi di daerah lain, cuma tak ada yang berani mengungkapkan saja.

Saya menyambut baik bahwa saat ini sudah ada peraturan bahwa calon kepala daerah harus melampirkan surat keterangan bila mereka berutang. Namun, alangkah lebih baiknya bila ada audit dulu dana kampanye mereka, khususnya siapa yang mendanainya.

Kalau ini dinilai tak keburu, para calon harus terbuka mengatakan siapa penyandang dana kampenyenya, sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan dengan baik.

Sebab, bila di belakang mereka orang-orang "berhati mulia" tak masalah, namun bila penyandang dananya ternyata seorang konglomerat hitam, tentu akan bahaya. Yang lebih bahaya lagi, bila dana kampanye itu ternyata hasil korupsi.

Ujung-ujungnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Yakinlah, bahwa tak akan tercipta pemerintahan yang bersih bila sumbernya sudah kotor.

Rabu, 17 Maret 2010

Udah Maksimal Belum?

Di sebuah lahan parkir sebuah mall, tampak dua unit sepeda motor terlibat dalam perbincangan yang sengit. Satu sepeda motor Honda Astrea Star tahun 1990, yang satu lagi, Honda Tiger keluaran baru, 2010.

“Hei, habis ngapain? Kok nafasmu ngos-ngosan begitu?” sapa si Tiger.

“Iya neh, saya baru habis kerja maksimal, sampai 60 km per jam,” jawab si Astrea, masih tersengal-sengal.

Si Tiger keheranan. Baru 60 km perjam saja sudah maksimal? Padahal dia bila bekerja secara maksimal, bisa menempuh 120 km perjam, bahkan lebih.

“Menurut saya, kamu belum maksimal. Coba pikir lagilah, apa kamu memang sudah maksimal,” tanyanya.

“Ya. Memang saya sudah kerja sangat maksimal. Kapasitas saya memang segitu,” ujarnya menjelaskan.

Ah, tidak. Bagi saya kamu belum maksimal. Buktinya saya bisa 120 km per jam. Dua kali dari kinerjamu,” debat si Tiger.

Begitulah, keduanya terlibat perdebatan, soal kerja maksimal ini. Keduanya sama-sama benar. Bagi Astrea Star, kerja 60 KM perjam sudah maksimal, karena memang dia didisain untuk berkapasitas seperti itu.

Zaman dia diciptakan dulu, hanya itu adalah kecepatan puncak. CC mesinnya saja masih 90. Sementara Honda Tiger, kecapatan 60 km perjam, bukan apa-apa. Maklumlah, dia diciptakan di zaman mutahir, CC-nya lebih besar, kecepatannya lebih hebat lagi.

Entah nyambung atau tidak, ternyata si pemilik Astrea Star mulai meresahkan akan kinerja sepeda motornya ini. Dia ingin, motornya memiliki kecepatan kerja maksimal 160 KM perjam. Sama seperti si Tiger.

Maka mulailah dia berpikir. Apa sih akar masalahnya? Ya, akar masalah, akar masalah. Karena kalau akar masalah tak ditangani, maka percuma saja. Ibarat rumput, dicabut hari ini, besok tumbuh lagi.

Maka datanglah dia kepada bengkel ternama di kotanya. Dia menemukan, akar masalahnya ada di mesin. “Tolong di-up grade motor saya ya Bos,” pintanya.

Maka, mulailah sang montir mempermak motor tersebut. Mesinnya di tune up, akselarasinya ditingkatkan. Bahkan ada beberapa onderdil diganti dengan onderdil Tiger. Pokoknya selagi kapasitasnya masih mampu, terus aja ditambah.

Tak mau tanggung, masih ditambah lagi dengan turbo boost, Nos, mirip mobil balap. “Dengan begini, motor abang dijamin wus… wus… wus….,” promosinya.

Namun, ada rupa ada harga. Untuk meningkatkan kinerja ini, perlu modal tak sedikit. “Tak apa Bos, yang penting hasilnya mantap,” katanya.

Sang montir pun tertawa senang, “Ya, kalau mau bagus memang harus modal dikit lah,” ujarnya.

Tak lama, selesai sudah proses up-grading itu. Tak disangka, saat parkir di mall, Astrea Star itu bertemu Honda Tiger lagi.

Tiger keheranan melihat performa si Astrea yang tampak berbeda. “Bukankah kamu motor yang tempo hari?” tanyanya keheranan.

“Iya. Saya si Astrea Star itu.”

“Tumben tak ngos-ngosan lagi?” tanya Tiger keheranan.

“Ya, karena pemilikku sudah meng-up grade kemampuan saya. Kini, kinerja maksimal saya mampu 160 KM perjam,” ujarnya bangga.

Si Tiger pun hanya tertegun mendengarnya.


Selasa, 02 Maret 2010

Percepat FTZ

Agenda Utama Rakernas Hipmi di Batam
Para pengusaha muda yang tegabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kepri meminta agar pemerintah mempercepat pelaksanaan Free Trade Zone di Bintam, Batam, dan Karimun (BBK).



Hal ini menjadi agenda utama yang akan disampaikan pada rapat Kerja Nasional Hipmi yang berlangsung Rabu-Jumat (3-5/ Maret) di Hotel Planet Holiday, Batam.

”Jangan hanya undang-undangnya saja (yang berlaku), pelaksanaan di lapangan juga harus demikian,” ungkap Ketua Dewan Pembina Daerah (DPD) Hipmi Kepri Irwansyah.

Irwansyah menyebut, usulan ini penting adanya, karena FTZ-lah harapan ekonomi Batam.

Bahkan Presiden Susilo bambang Yudhoyono terang-terangan menegaskan, bahwa Batam masih menjadi daerah yang potensial untuk partumbuhan ekonomi, apalagi ditambah diterapkannya FTZ.

Namun dalam kenyataanya, penerapan FTZ kian tak jelas. Ini dapat dilihat dari arus masuk barang industri seperti mobil, dan konsumsi seperti gula yang masih belum lancar.

Khusus masalah pemasukan mobil, saat peresmian Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) pada Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSP) yang menandai relaunching FTZ BBK, 15 Januari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sudah menginstruksikan Direktur Jendral Bea dan Cukai (BC) melancarkan pemasukan mobul. Tapi sampai sekarang masih belum terlaksana.

Bahkan ada kejadian, orang memasukkan mobil malah ditahan oleh BC. ”Peristiwa ini pernah saya tanyakan langsung ke Sri Mulyani, dia menjawab, ‘masa masalah begini ditanyakan ke mentri, itu kan urusan BC.’ Jadi tak ada kejelasan. Kesannya setengah hati,” ujar anggota Komisi III DPRD Batam ini.

Semua ketidak jelasan inilah yang nantinya melalui forum rakernas Hipmi, diharapkan akan segera berakhir.

Selan percepatan FTZ, Hipmi Kepri nantinya juga akan merekomendasikan agar pemerintah pusat dan daerah membuka ekses permodalan, mempermudah bantuan modal untuk usaha kecil dan mikro.

---------------------
Selanjtunya Irwansyah mengajak, siapa saja yang memiliki talenta wirausahawan, agar bergabung ke organisasi ini. karena di Hipmilah para pengfusaha muda bisa saling berbagi informasi, pelatihan, dididik, dibina, sehingga diharapkan dari Batam akan muncul pengusaha-pengusaha muda yang sukses dan bisa dibanggakan. Ujungnya adalah membentuk jaringan. Karena kekuatan Hipmi ada di jaringan.

Untuk skala nasional, nantinya bisa menawarkan peluang apa saja yang ada di Batam.

Karena posisi Batam yang strategis, maka bisa menjadi suatu hub atau penghubung, baik itu penyaluran, perdagangan, dan pemasaran semua produk di seantero Indonesia.

Misalnya ada pengusaha di Jawa mau mau memasarkan produk kerajinannya, atau di Kalimantan mau memasarkan tambang, semua bisa dilakukan di Batam. ”Selama ini kan menggunakan jasa Singapura. Kenapa tak dialihkan ke Batam saja,” jelas Irwansyah.

------------------

Rakernas Hipmi di Batam ini adalah ”kelanjutan” setelah Selasa (2/3) lalu, secara resmi dibuka langsung Presiden Susilo bambang Yudhoyono di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

Pembukaan Rakernas di Batam diawali dengan galadinner, tadi malam pukul 19.00 WIB yang akan dihadiri Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Selanjutnya Rakernas yang dihadiri 500 peserta dari seluruh Indonesia ini, akan menghadirkan beberapa pembicara tingkat menteri, di antaranya Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, Mentri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Syarif Hasan, dan akan ditutup oleh Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu.

Mereka akan memaparkan sesuai bidang masing-masing. Juga direncanakan menghadirkan para senior Hipmi, seperti Jusuf Kalla dan Muhammad Lutfi.

”Sebenarnya akan menghadirkan pembicara Muhammad Yunus pendiri Grameen Bank (Ekonom Bangladesh, peraih Nobel Perdamaian, red), dan Tony Fernandez, CEO AirAsia,” jelas Irwansyah.