Selasa, 21 September 2010

S O C R A T E S

Socrates disebut dia sebagai Sang Penanya dari Yunani kuno. Ia tak meninggalkan karya berupa buku, pun demikian dia begitu penting. Gunawan Muhammad sangat bangus mengupas kisahnya. Tentunya telah saya tambahkan dengan beragam sumber lain. Selamat menyimak.


Socrates itu guru Plato, tokoh utama filsafat Yunani kuno. Berdasarkan kenangan Plato tentang gurunya, kita kenal Socrates. Socrates hidup di abad ke-5 dan 4 Sebelum Masehi. Ayahnya seorang pemahat, ibunya seorang bidan.

Socrates sendiri kelak dianggap sebagai ”bidan” filsafat. Ia sendiri tak membuahkan sistem pemikiran. Ia membantu pemikiran lahir. Tapi di waktu muda, ia prajurit yang tangguh.

Sebagaimana umumnya warga Athena, ia berperang untuk mempertahankan kotanya. Keberaniannya diakui sejak dalam Perang Peloponnesia. Di Delium, ia orang Athena terakhir yang menyerah kepada pasukan Sparta.

Socrates, yang rajin melatih tubuhnya, ulung dalam perang karena bisa tahan lapar, lelah dan dingin. Tapi di kotanya, ia bekerja sebagai penatah batu dan pembuat patung. Ia tak tertarik bepergian. Tapi ia bukan suami yang ”ideal”.

Istrinya, Xanthippe, mengeluh karena ia mengabaikan keluarganya. Socrates mengakui itu -- tapi tetap tertarik kpd partner sejenis. Maklumlah, di zamannya, jadi gay bukan suatu aib. Plato, muridnya, menggambarkan Socrates yang mengejar-ngejar pemuda tampan.

Meski begitu, Socrates dicintai murid-muridnya. Ia hangat, suka humor, tenang. Bibirnya tebal, hidungnya pesek, tubunya melebar, tapi ia menyenangkan. Satu hal yang istimewa dari Socrates: ia guru yang tak memungut bayaran. Di masanya ada guru-guru yang meminta honor mahal sekali.

Di masa itu guru-guru filsafat (disebut ”sophistai” guru kearifan) memang dapat pasar yg baik dari orang kaya yg ingin mendidik anaknya. Masa itu juga ada kebutuhan untuk cakap berdebat di Majelis, di peradilan, dan berpikir logis dan jernih. Waktu itu, lazim ada orang-orang berilmu dan cendekia yg berjalan dari kota ke kota, mengajar retorika, ilmu, kenegarawanan.

Tampaknya Socrates melanjutkan tradisi mengajar itu. Ia sendiri belajar dari filsuf pengembara Seperti Parmenides, Zeno, Archeleus. Baginya, filsafat adalah percakapan tentang kebajikan. Dgn itu hidup ditelaah. ”Hidup yg tak ditelaah tak berharga bagi manusia”.

Itu sebabnya, ia menelusur ke dalam keyakinan manusia, dan memergoki orang dengan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab dengan tak sembarangan. Maka ia ditakuti mereka yang tak mampu berpikir jernih. Tapi ia menyebut diri sebagai ”lalat pengganggu” bagi lembu yg nyenyak.

Ia biasa berangkat pagi-pagi ke pasar, ke gimnasium dan tempat-tempat orang berkumpul dan melibatkan orang ke dalam diskusi. ”Bukankah jalan ke Athena dibuat untuk bercakap-cakap?” katanya. Ia seakan-akan tak serius, dan menyebut diri ”filosof amatir”.

Tapi pertanyaan-pertanyannya serius: apa yg kau sebut saleh? Dan tak saleh? Adil atau tak adil? Bisakah kau definisikan istilahmu?

Metodenya pun sederhana: setelah meminta definisi tentang satu istilah yang dipakai orang, ia telaah apa yang kurang dan yang ngaco di situ. Metode Socrates, ”elenchus” yang memecah soal ke dalam pertanyaan-pertanyaan - satu pendekatan analitis - kelak berguna bagi metode ilmiah. Dengan bertanya, satu hipotesa ditelaah. Kalau goyah, harus ditinggalkan, dan diganti dengan hipotesa yang lebih baik.

Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, keyakinan kita diuji, sejauh mana sahih - dan pertanyaan harus berani radikal. Itulah dasar filsafat. Pertanyaan yang radikal menunjam ke akar ("radix") persoalan. Misalnya: mengapa kita ada? Benarkah alam semesta diciptakan Tuhan?

Kata Socrates: ”Puncak keunggulan manusia adalah menanyai diri sendiri dan orang lain.” Malas bertanya, sesat di jalan hidup. Karena bertanya melulu, Socrates menjengkelkan. Tapi seperti sudah disebut di atas, menempatkan diri sebagai ”lalat pengganggu”.

Karena ”lalat pengganggu" itu, kita tak bisa lelap dalam dogmatisme. Dogma menolong kita utk tak gelisah, tapi itu ketenangan semu. Tapi apa jawabannya, setelah Socrates bertanya? Socrates selalu bisa mengelak. Ia hanya ”filosof amatir,” katanya.

Musuh-musuh yang menyerang Socrates mengatakan, orang ini cuma membongkar dan tak pernah membangun. Tapi Socrates mengakui itu. ”Dewa-dewa memaksaku untuk jadi seorang bidan, dan melarangku melahirkan,” kilahnya.

Memang dari pertanyaan-pertanyannya, para muridnya kemudian mencari jawab. Dalam proses itu lahir pemikiran penting dan pemikir besar. Dan sesuai dengan sikapnya yg menggugat setiap doktrin, murid-murid-nya tak mengembangkan satu ajaran tunggal. Plato kemudian dikenal sebagai bapak Idealisme. Muridnya yang lain, Aristippus, meletakkan dasar epikuranisme.

Tak berarti tak ada jejak pemikiran Socrates. Dialektika-nya diteruskan Plato, lalu Aristoteles jadi logika yang kukuh selama 19 abad. Dalam ethika, Socrates boleh dikatakan yang memulai kesadaran bahwa ”hati nurani” lebih utama ketimbang hukum. Tentang yang terakhir, itu tak cuma diucapkannya dengan pidato. Ia tunjukkan keyakinannya ketika ia dihukum mati.

Kenapa Socrates dihukum mati oleh penguasa Athena? Ada yg bilang: karena ia ”lalat pengganggu” iman yang melemahkan agama. Maklumlah, di Athena yang konservatif, Socrates memang dituduh tak beragama. Tapi ia ikut upacara agama. Mungkin baginya agama itu pemersatu.

Ia tak mengklaim ia tahu tentang hidup setelah mati. Ia tak mau bicara tentang dewa-dewa. ”Tentang dewa-dewa kita tak tahu apa-apa,” katanya.Tanpa melibatkan dewa-dewa, ia tak mendasarkan moralitas kepada sesuatu yang kekal di luar alam ini.

Dlm ”Euthyphro”, Socrates dikutip: apa yang baik bukan baik karena disetujui dewa-dewa. Tapi dewa-dewa menyetujuinya karena itu memang baik. Konsepsinya tentang kebaikan tak didasarkan kepada alasan theologis, dikaitkan dengan Tuhan.

Kebaikan itu berkaitan dengan guna bagi hidup. Kebajikan (arete) bagi Socrates bukanlah ditandai keadaan tanpa dosa, melainkan ulung dalam hal kearifan dan pengetahuan.

Socrates demokratis dalam percaturan pendapat: tak ada pihak, juga sang guru, yang dianggap lebih tahu. Tapi ia antidemokrasi. Baginya demokrasi itu tak masuk akal. Pemungutan suara untuk memilih politisi? Kita tak toh memilih jurumudi dengan pemungutan suara.

Syahdan, salah satu muridnya, Critias, memimpin gerakan dengan kekerasan untuk menumbangkan demokrasi, Socrates ikut tertuduh. Ia ditangkap dan dihukum mati: ia hrs minum racun. Dengan tenang ia menerima itu. Ia menolak untuk lari. Ia setia kepada negerinya.

Ribuan tahun ia dikenang sebagai ”lalat” yang membuat lembu bangun dan kuda bergerak. Kita perlu Sang Penanya agar kita tak buta tuli. Terutama di masa ketika orang dengan membutatuli ikut ajaran, dan dengan itu berkelahi habis-habisan. Misalnya atas nama agama.

Dan kita tak berani bertanya, seperti pertanyaan apakah manusia untuk agama, atau agama untuk manusia? Juga tak bertanya: Adakah agama itu kendaraan untuk ke surga, atau pembawa damai ke kehidupan dunia?

Penutup, ada sebuah kisah tentang Socrates. Suatu hari datang anak muda,
”Socrates, anda seorang pintar, tolong ajarkan saya pengetahuan Anda,”
Socrates menjawab, "Oke, sekarang coba kamu liat ke dalam air sungai itu."

Anak muda itu lalu melihat kedalam air sungai. Tiba-tiba dari arah belakang Socrates menenggelamkan kepala anak muda tersebut ke dalam sungai. Jelas,anak muda itu megap-megap. Socrates lalu melepaskan tangannya. ”Apa kau sudah gila?” kata anak muda itu. Socrates tetap tersenyum tenang.

Socrates lalu bertanya, ”Saat kepalamu tenggelam tadi, apa yang paling kau inginkan?”
”Tentu saja bernafas!” kata anak muda itu.
”Kalau keinginanmu untuk belajar sama besarnya dengan keinginanmu untuk bernafas, baru kau bisa datang kembali padaku, Anak muda," ujar Socrates