Sabtu, 12 Maret 2011

Generasi C, Generasi Digital (1)

Pada judul di atas menulis Generasi C, generasi Digital. ”Generasi C” atau ”Gen C”, bukanlah menunjuk pada angkatan kelahiran, melainkan sebutan generasi baru yang dibentuk oleh generasi digital (native digital).


Generasi C ini bergaul setara, tanpa dibatasi usia dan status sosial lainnya. Mereka lahir dengan mouse di tangan. Suku mereka bisa jadi facebook, Kaskus, twitter, game on line dan sebagainya.

Bisa jadi usia mereka masih anak SD, namun juga bisa juga dewasa, yang berumur 40 tahunan. Pokoknya mereka berada di tengah-tengah teknologi digital. Mereka bisa jadi ada di Tokyo, New York dan tentu saja Batam.

Mereka adalah aktivis dunia maya. Di antara mereka adalah bagian dari 500 juta facebooker di seluruh dunia, yang meng-update 60 juta status perhari, meng up-load 3 miliar foto setiap bulannya, menyebarkan 5 miliar content (web links, sharing berita, tulisan blog, catatan, foto dan lain-lain) tiap minggunya, dan menghabiskan 700 miliar menit perbulan untuk mengakses.

Dan Pakarz, seorang peneliti Australia mengatakan, C yang dimaksud di sini bisa berarti content, connected, digital creative, cocreation, costomize, curiosity, dan cyborg. Namun bisa juga berarti cyber, cracker, dan chameleon (bunglon).

Mereka sangat aktif dan partisipatif menjelajah dunia online baik lewat komputer maupun ponsel. Tak hanya pengunjung juga pencipta masyarakat online di dalamnya. Mereka juga menjadi follower orang-orang hebat dan lebih mudah menemukan fakta-fakta, konsep atau teori baru.

Selain itu, di sini mereka bebas mengutarakan opini, saling berbagi isu hangat baik tingkat lokal maupun dunia kemudian didiskusikan bersama. Bahkan juga menjadi wartawan dadakan (citizen journalism). Karena itu, Gen C ini sangat ampuh mengusung perubahan.

Kita masih ingat bagaimana masyarakat menggalang simpati pada Prita, juga bersimpati pada Bibit-Chandra dalam kasus ”cicak lawan buaya” setelah digerakkan oleh jejaring sosial.Yang paling dahsyat, bagaimana Gen C ini mampu menggulingkan Presiden Mesir Husni Mubarak setelah 30 tahun berkuasa.

Karena sifatnya yang terhubung dan terekspose oleh jaringan informasi, maka mereka sangat cepat berubah mengikuti arus informasi yang diterima. Maklumlah, mereka tak hanya fanatik pada satu sumber informasi saja.

Jadi, dalam hal berbusana saja, bisa jadi hari ini mereka berbusana ala Lady Gaga, namun esoknya sudah tampil ala harajuku. Demikian pula dalam hal lain. Semua multy choicess.

Ciri lain Gen C selalu dibentuk oleh content dan sangat kecanduan jejaring sosial. Suka sibuk sendiri, multi tasking, jauh tapi dekat, dekat tapi sebenarnya jauh. Jadi jangan heran bila saat ini Anda melihat, lawan bicara kita yang kadang tak konsen.
Badannya bersama Anda, namun perhatiannya entah kemana. Tangan dan matanya selalu tak lepas dari blackberry-nya. Dunia digital tanpa sengaja menyeret penggunanya untuk menciptakan dunianya sendiri.

Fenomena lain, kita melihat saat ini kian menjamurnya rental games online yang telah membentuk komunitas sendiri. Sehingga ”membernya” justru lebih dekat dengan komunitas online-nya dibandingkan orang-orang di luar komunitas itu. Teknologi tanpa disengaja memisahkan mereka dengan dunia nyata walau hanya sesaat.

Gen C ini juga membuat apa yang dulu dianggap privat dan personal menjadi terbuka dan menjadi konsumsi publik. Bila zaman dulu orang selalu curhat di buku harian yang sangat rahasia lengkap denagn gemboknya, namun kini semua serba terbuka.

Di blog yang juga disebut diary online, mereka bebas menulis apa saja yang didengar, lihat, dan dirasakan. Mau opini, curhat, soal asmara, rumah tangga, semua ditulisnya. Seakin dilihat orang, semakin ditanggapui, maka akan makin bangga. Tak cukup hanya di sini, masih dilengkapi dengan foto dan rekaman video.

Narsis? mereka memang narsis. So what gitu loh? Mungkin dulu pagi baru lengkap bila sudah menyeruput secangkir teh atau kopi, namun kini rasanya hari belum mulai bila tak up-date status. Ini adalah soal eksistensi, ini adalah soal panggung kehidupan, semua bebas mewarnainya.

Generasi C, Generasi Digital (2)

Pola Interaksi

Gen C juga membuat pola interaksi berubah. Di rumah, seorang ibu bisa memantau aktivitas putranya dari jejaring sosial. Maupun di kantor seorang karyawan akan dengan sangat mudah membranding diri melaui blog maupun status di facebook atau twitter-nya.


Karena sudah accessible, hubungan dengan bos pun tak harus face to face, tapi bisa melalui email. Tak perlu pakai komputer kantor, cukup lewat ponsel.

Demikian juga hubungan antara konsumen dan produsen. Banyaknya pilihan dan terbukanya interaksi, membuat konsumen jadi makin cerdas dan kepuasannya sangat mudah berubah. Contoh, saat ini banyak forum-forum din internet yang membincangkan tentang jasa layanan.

Misalnya, kesehatan. Ada kalanya pasien yang berdiskusi tentang layanan dokternya. Di sini mereka mendapatkan masukan di mana dokter dan rumah sakit yang bagus. Jadi jangan heran bila ada pesien yang berobat hingga ke Melaka. Mereka kadang mengatahui informasi tersebut dari forum seperti ini.

Selain itu, pasien pun semakin pandai. Karena ada kalanya mereka sebelum ke dokter, masih mencari tahu tentang penyakit yang diidapnya melalui google dan sebagainya. Sehingga kadang mereka lebih mengerti.

Hal lain yang membanggakan, kian terhubungnya manusia antara satu dan lainnya, juga mengubah pola cara penggalangan derma. Bahkan kini ada juga pengemis online yang memanfaatkannya teknologi digital tersebut.

Untungnya pun akan lebih besar. Karena, bila mengemis di jalan, mungkin mereka hanya dapat koin maksimal Rp1.000, tapi pengemis digital sekali dapat uang bisa Rp50 ribu! Mengingat bank tak melayani bila kita mentransfer Rp1.000.

Tapi, hati-hati akan ulah penipuan yang selalu juga memanfaatkan hal ini.

Sementara itu, kian merebaknya SMS dan jejaring sosial menimbulkan fenomena bahasa ”Alay”. Karakteristik bahasa alay ini, hurufnya selalu menggunakan huruf besar dan kecil. Bahkan huruf ”i” diganti tanda seru (!).

Bahasa alay ini kian melengkapi ragam bahasa yang bermunculan di tiap generasi. Mungkin dulu kita kenal bahasa prokem, lalu bahasa gaul. Tiap bahasa menyertakan kode tersendiri. Bedanya, bila dulu bahasa prokem dan gaul dipakai untuk menyiasati telinga, kini bahasa alay dipakai untuk menyiasati karakter.

Tapi, tak perlu jadi ABG untuk bisa mahir bahasa Alay, karena cukup klik http://alaytranslator.freeiz.com/ maka, seketika Anda akan mahir.

Generasi C, Generasi Digital (3)

Ekonomi Baru

Era digital membuat perilaku berubah, kini manusia sudah jarang bersentuhan dengan fisik. Semua dipres menjadi bit-bit data. Buku, uang, film, promosi, konsultasi, bayar tagihan, kampanye, bahkan cari jodoh dan lain-lain semua sudah dalam bentuk digital. Semua serba paperless semua serba online.


Hal ini juga mendorong ”gaya baru” semua profesi dan bisnis. Mau wartawan, aktivis, ekonom, jasa pos, tiket, hiburan bahkan dukun, penjual sate, supir taksi dan pengojek pun terkena imbasnya. Mereka minimal punya ponsel untuk menunjang aktivitas bisnisnya.

Lembaga riset Ericsson (2010) menyebut, ada lima sebab mengapa masyarakat Indonesia gandrung pada teknologi mobile.

Agar dapat dihubungi terus menerus, menguatkan kegiatan bisnis, simbol modernitas kehidupan seseorang, kemampuan menembus batas-batas sosial, dan sebagai alat mengurangi stres.

Semua ini telah mendorong perubahan besar wajah industri kita.Chris Anderson, pemimpin redaksi majalah Wired belum lama ini pernah berkata seperti ini, digital economy menjanjikan sebuah revolusi.

Hal ini didasari fakta bahwa marginal cost (tambahan biaya) terhadap menufacturing dan distribusi dalam dunia digital adalah nol atau akan mendekati nol.

Di dunia digital mampu membuat struktur biaya rendah atau mendekati rendah dan orang menjual apa saja yang dihasilkannya super murah atau hampir gratis. Dengan demikian, para ekonomi baru itu mendapatkan audience. Dan audience inilah sumber pendapatan.

Apalagi seiring meningkatnya golongan menengah dengan income perkapita 3 ribu dolar AS yang semuanya memiliki/terhubung ponsel (50 persen punya smartphone) sehingga industri kian kreatif mengais sen-demi sen uang mereka. Maka bermunculanlah usaha low cost bahkan gratis namun memberikan kualitas/layanan premium (freemium).

Lihat saja bagaimana siaran televisi, situs internet, seperti detik, yahoo, google, hingga jejaring sosial, semua berlomba menyajikan layanan gratis. Yang mereka jual bukanlah layanan pada user, melainkan content perview atau jumlah pembaca pada pengiklan.

Hal ini disusul kian murahnya pulsa telepon, setelah Hasnul Suhaimi, CEO XL Axiata tampil sebagai pembaharu industri selulet dengan merbah tarif komunikasi secara radikal. Pada 15 Juli 2007 Hasnul memangkas tarif voice ke sesama XL menjadi Rp1 rupiah perdetik begitupun ke operator lain, mulai Rp10 perdetik sejak detik ke 121.

Gebrakan ini kemudian diikuti oleh yang lain, sehingga menelepon lewat ponsel bukan lagi hal yang ”membanggakan”.

Banyak lagi layanan freemium yang mengguncang dunia akibat semakin merebaknya dunia digital ini. Lihat saja bagaimana dunia diguncang fenomena tiket pesawat murah (low cost carrier), di susul kemudian hotel murah. Bahkan di Bali ada hotel yang diiklankan di internet yang sewanya hanya Rp28 permalam! Ini nyata. Harga kendaraan bermotor dan elektronik juga kian murah dan mudah dimiliki.

Atau mungikin kita sudah biasa mendengar ada promo restoran, sajian bintang lima, tarif kali lima dan waralaba dengan branding menarik gaya desa mengepung kota. Ini adalah kerja kreatif pengusaha mikro (entrepreneur baru) yang bermunculan era digiatal ini. Mereka memanfaatkan ponsel dan jejaring sosial untuk membranding, promosi, dan menunjang kemudahan transaksinya.

Promosi saat banyak yang tak memakai biaya, karena memanfaatkan media online yang penetrasinya mudah, murah dan cepat. Lihat saja di halaman fecebook dan twitter Anda, berapa banyak orang menjajakan baju, atau bahkan ”menjual diri ” saat musim kampanye tiba. Di sini juga orang bisa belanja langsung. Sarana shopping online inilah yang mengakibatkan sepinya mall. Ini fakta dan sudah etrjadi di Amerika.

Sementara itu di Jakarta, pegojek Bintaro-Rempoa memanfaatkan blog untuk jasa antar jemput. Yang leboh heboh, kini paranormal pun menjual ramalan lewat SMS. Tak hanya penguaha kecil, beberapa perusahaan lokal, sekelas J.Co, AXIS, Domino Pizza hingga Toyota Astra Motor juga intens berpromosi di jejaring sosial.

Di industri hiburan perubahannya lebih pesat lagi. Kemunculan artis-artis berbakat lebih pesat. Tentunya kita tahu Justin Bieber. Dia dikenal setelah sang ibu tak mengunggah bakat menyanyinya di Youtube. Rekaman inilah yang membuat User tertarik mengorbitkannya. Contoh lain, saya tak perlu lagi bercerita siapa itu si Keong Racun, Sinta dan Jojo kan?

Era digital juga membuat industri musik bergairah lagi, setelah lesu dihantam pembajakan. Era digital yang membuat semua terhubung, membuat pola kerja artis dalam mencari uang berubah. Mereka kini tak hanya mendapat untung dari hasil jual CD, tapi dari bisnis turunannya, berupa ring back tone, bintang iklan, dan frekuensi manggung.

Kini artis-artis itu tak perlu bikin album, cukup bikin single saja, bila itu laris di ring back tone, maka sudah bisa makmur. Fenomena inilah, yang juga membuat musisi mempersilakan agar lagunya dibajak. Malah banyak yang sukses ditarik produser rekaman, setelah kasetnya laris dibajak. Kangen Band contohnya. (***)

Diperkaya referensi dari buku Craking Zone Rhenald Kasali.

Senin, 07 Maret 2011

*** The Gank ***

Kaum muda tidak cukup tahu untuk lebih bijaksana. Karena itulah, mereka mencoba yang mustahildan mencapainya generasi demi generasi (Pearl S Buck). Inilah kisah tentang sisi lain anak-anak kota. Jangan menghakimi, cukup petik hikmahnya saja.


Lelaki kecil usia belasan, ringan melangkah dari balik jeruji besi Mapolsek Lubukbaja. Tubuhnya yang kurus dengan tinggi sekitar 160 cm, tampak ”tenggelam” dalam balutan seragam tahanan model coverall yang dikenakannya, sehingga bagian kakinya harus digulung hingga setinggi lutut.

Sebenarnya, warna dasar seragam ini adalah jingga terang. Namun kecerahannya sudah tak tampak lagi. Pudar dan kusam oleh banyaknya noda kehitaman.

Lelaki 14 tahun ini adalah Tn, kini duduk di bangku kelas 6 sebuah SD di Baloi. Dia harus tinggal di sel Mapolsek Lubukbaja, karena dugaan pencurian kendaraan bermotor. Pagi itu, Sabtu (5/3) sekitar pukul 09.30, T diantar menemui kami di ruang tunggu tahanan Mapolsek untuk sekadar berbincang.

”Apa kabar?”
”Baik om,” jawabnya lirih.
”Duduklah dekat saya, santai aja,” sambut saya kemudian.

Tn hanya diam, kemudian dia duduk di sebuah sofa yang berada di pojok. Gerakannya teratur, posisi duduknya juga tegak. Mirip pelamar pekerjaan yang sedang menjalani sebuah tes wawancara: serba sopan, namun kaku.

Kemudian saya membuka pertanyaan, ”Tahu kenapa kamu ada di sini (Mapolsek Lubukbaja)?”
”Ngambil motor orang,” jawabnya.
”Mengapa?”
”Karena saya hanya ingin jalan-jalan, setelah itu dibalikin” ujarnya polos.
Selanjutnya Tn mengaku, bahwa sebenarnya dia takut ketahuan namun rasa ingin jalan-jalan itu begitu kuat. ”Setelah itu kan dikembalikan,” elaknya.

Tn mengatakan, dia mulai mencuri sepeda motor jenis RX King, milik tetangganya pada Desember 2010 lalu. Namun akhirnya ketahuan, motor curiannya dikembalikan dan dia ditangkap. Saat itu dia mengaku ketakutan setengah mati. ”Saya takut dipukul, seperti apa yang saya lihat di televisi,” akunya.

Namun, anggapan Tn salah. Statusnya yang masih di bawah umur, membuat polisi bermurah hati. Tiga hari kemudian dia dilepas.

Ternyata, pengalaman disel tak membuatnya jera. Pada teman-temannya yang dia kenal di sebuah rental game online di Baloi, Tn dengan bangga mengisahkan pengalamannya masuk sel polisi. ”Ternyata enak di kantor polisi,” ujarnya kala itu.

Ternyata, teman-temannya yang masih di bawah umur itu, percaya omongan Tn. ”Mengajak mereka mudah, karena rata-rata ingin punya sepeda motor sendiri untuk gagah-gagahan di jalan raya. Mereka juga ingin punya uang sendiri supaya bisa terus main games, apalagi jarang diperhatikan orangtua,” kata Tn kepada wartawan, kemarin.

Kini Tn memiliki banyak teman untuk membantu. Sebelum beraksi, mereka berbagi tugas. Tn bertindak sebagai eksekutor, sementara teman lainnya mengintai. Setelah berhasil, teman lainnya menjual. Mereka mengaku cukup lihai mengemudikan kuda besi hasil belajar otodidak menggunakan motor orangtua atau temannya.

”Saya bilang, kamu di sini, kamu begini,” ucapnya.

Tak berapa lama, pada Februari, dalam sebulan, komplotan ini berhasil menggasak lima sepeda motor. Masing-masing, Yamaha Vega BP 2306 DT, Suzuki Smash BP 4723 EV serta Yamaha Jupiter Z BP 5821 FK dan satu motor lagi dia tukar dengan laptop dan hingga saat ini masih dalam penyelidikan kepolisian.

Kini, motor tersebut masih diamankan di Mapolsek Lubukbaja, sedangkan satu unit sudah dikembalikan pada pemiliknya. ”Sebenarnya rencananya sudah lama, namun hanya kesempatannya yang belum ada,” jelasnya.

Tn tertangkap polisi dalam razia malam, sekitar pukul 23.00 di depan BCS Mall. Setelah ditangkap, Tn membocorkan informasi siapa teman-teman yang membantunya. Hingga kemudian, Senin mereka semua ditangkap. Mereka adalah adalah Ag,16, (SMP), Ar,16, (SMK), serta empat remaja putus sekolah berinisial Br,16; Bb,16; Mt,16; dan By,14.

”Saya hanya ingin terungkap semua,” jawabnya, menejelaskan keputusanya membocorkan jaringanya tersebut.

Kini, Tn mengaku menyesal telah melakukan kesalahan, mencuri enam sepeda motor.
”Bila keluar nanti saya mau menyendiri saja,” ujarnya.
”Mengapa?”
”Saya malu, takut diejek. Tapi bila nanti saya diejek, saya akan sabar-sabar saja, tak mau melawan, karena saya mau berubah.”

”Jadi benar kamu akan menyendiri saja?” saya kembali bertanya.
”Ya, supaya tak terpengaruh kawan-kawan (melakukan kejahatan lagi). Saya ingin mencari teman-teman yang baru saja,” jelasnya, sembari berjanji tak akan menginjakkan kakinya ke tempat game online lagi. Intinya Tn ingin menjadi anak baik setelah bebas nanti.

Mendengar ini, saya menyarankan agar dia tak perlu menyendiri. Saya lihat dia mentalnya kuat, gampang berkawan, sehingga bila dia mau berubah, menyalurkan potensi pribadinya ke tempat yang baik, maka dia akan menjadi orang yang sukses. Saya bilang, bahwa Tn hanya salah arah saja.

”Kita belajar dari pengalaman saja, karena manusia tak pernah lepas dari kesalahan,” hibur saya. (bersambung ke *** lingkungan, pergaulan***)

*** Peer Group***

Tn bercerita, saat ini duduk di bangku kelas VI sebuah SD swasta di Batam. Usianya sudah 14 tahun. Dia pernah sekali tinggal kelas. Saat ini, yang paling dirindukannya hanyalah kebebasan. Dia sedih mengingat sekolahnya, apalagi sebentar lagi mau ujian.

Tn memang memiliki sifat extrovert. Dia sangat suka berhubungan dengan orang lain. Tipe orang ini tidak betah berada sendirian dan tidak mengobrol untuk waktu yang lama.

Mereka lebih merasa nyaman berada di keramaian daripada di tempat yang sepi dan tenang. Karena itulah, Tn suka berbagi pengalaman atau keadaan dirinya kepada orang lain.

Karena itulah, sepanjang kami berbincang Tn selalu lebih banyak mengupas tentang kehidupan ”outdor-nya” dari pada ”indor-nya”. Makanya, dia sangat kesulitan saat saya meminta agar dia bercerita apa tentang rumahnya. Namun saat diminta bercerita tentang teman-temannya, dia sangat lancar bertutur.

”Saya memang lebih banyak teman di luar dari pada di rumah. Lebih enak berteman dengan kawan di luar,” kisahnya. Namun, mayoritas kawan Tn bukan anak satu sekolahnya, melainkan anak-anak luar sekolah. Malah banyak di antara mereka yang putus sekolah.

Mereka semua dia kenal karena sama-sama ”member” di sebuah game online kawasan Penuin. Teman-teman inilah yang kemudian dia ajak mencuri sepeda motor. Semua masoh di bawah umur, masing-masing Ag,16, (SMP), Ar,16, (SMK), serta empat remaja putus sekolah berinisial Br,16; Bb,16; Mt,16; dan By,14.

Tn mengisahkan, bila sudah kumpul dengan teman-temannya (pier group)ini, Tn mengaku suka lupa waktu. Saat berkumpul biasanya bahan obrolannya adalah film, televisi dan tentu saja game on line.

Inilah mungkin yang disebut praktisi Bisnis Rhenald Kasali dalam bukunya,Craking Zone, bahwa Dunia digital tanpa sengaja menyeret penggunanya untuk menciptakan dunianya sendiri.

Lihat saja bagaimana rental games online ini telah terbentuk suatu komunitas sendiri. Sehingga "membernya" justru lebih dekat dengan komunitas online-nya dibandingkan orang-orang di luar komunitas itu. Teknologi tanpa disengaja memisahkan mereka denagn dunia nyata walau hanya sesaat.

Tn inilah contohnya. Dia keranjingan game on line. Tiap hari dia tak pernah absen mengunjungi tempat game on line favoritnya di kawasan Penuin. ”Game internet yang paling saya suka yang joget-joget, Lets dance,” jelasnya.

Aktivitas main game online ini dia lakukan mulai pukul 18.00 sore hingga 23.30 tengah malam. Selepas itu, dia masih jalan-jalan dulu naik motor bersama temannya yang usianya sedikit lebih tua. Namanya Mt.

Barulah setelah pukul 02.00 dia pulang. Tapi tidak ke rumah, melainkan ke rumah Mt. ”Saya sering tidur di rumah Mt. Saya baru pulang ke rumah setelah pukul 06.00 pagi karena harus sekolah,” akunya.

Saat pulang ke rumahnya di Baloi Blok Empat, kala itulah dia bertemu ayah dan ibunya. Saat itu Tn biasanya minta uang jajan, hingga keperluan sekolah lainnya.

”Saya pernah dikasih uang untuk beli buku IPA,” jelasnya.
”Tidak dimarahi karena pulang pagi? Atau apakah Mamak (begitu dia menyebut ibunya, red) tak pernah bertanya kamu dari mana?”
”Tidak (ibunya tidak pernah menanyakan urusan Tn).”
”Sebenarnya Mamak pernah melarang saya main game. Ya saya diam-diam saja,” jelasnya.

Namun adakalanya pagi itu dia tak beretemu ayah dan ibunya. Bila rumahnya kosong, biasanya ibunya meletakkan kunci di bawah susunan sepatu dan uang Rp5 ribu untuk uang saku di meja.

”Ayah biasanya berangkat ngojek pukul sembilan (09.00) sampai pukul 10 malam (22.00). Sedangkan ibu berangkat kerja pukul dua siang (14.00) sampai pukul tujuh (19.00 malam),” terangnya.

Saat pulang sekolah, Tn biasanya langsung pulang. Biasanya saat itu rumahnya sudah kosong. Maklumlah, Tn adalah anak semata wayang, jadi tak ada saudara untuk berbagi di rumah ini. Untuk mengisi waktu, biasanya dia tidur-tiduran sambil menonton televisi kabel. Acara favoritnya adalah film action, khususnya perang.

Dari keterangan ini, saya tertarik berapa uang yang dia habiskan dalam sehari untuk main game online.
”Rp6 ribu,” jawabnya.

Jawaban ini membuat saya penasaran, dari mana uang untuk membayar game online ini. Sementara uang sakunya saja hanya Rp5 ribu. Jadi bila semuanya untuk game, tetap masih minus Rp1.000.

Mendengar pertanyaan ini, Tn tertegun. ”Ya, kan saya juga kadang dapat uang dari Mamak, upah (tips) saat disuruh beli ke warung,” jawabnya. ”Selain itu kan di sana saya kadang tak bayar, karena ada yang bayarin,” jelasnya.

Namun jawaban ini agak kurang kuat, mengingat hampir tiap hari dia main game online. Apa iya akan gratis terus? Namun Tn menolak bila uang untuk bayar game itu berasal dari kejahatannya mencuri sepeda motor. ”Motor itu tak ada yang saya jual,” jalasnya. (bersambung ke Rumah, Pohon, dan Emak )

*** Rumah, Pohon, dan Emak ***

Agar suasana tak tambah kaku, saya kemudian menyodorkan kertas HVS kosong dan pena.
”Gambarlah.”
”Saya tak bisa gambar Om.”
”Santai saja. Gambarlah apa saja. Rumah, pohon, ayah, ibu,” desak saya.

Tn menurut, kemudian dia mulai menggurat. Titik berubah jadi garis, lalu lengkungan membentuk sebuah pola. Saya meminta Tn menggambar bukannya tak punya tujuan.

Sebuah buku Hand Writing Analysis, karangan Karen Kristin Amend, Mary Stansbury Ruiz pernah mengurai bahwa kita bisa mengenal kepribadian seseorang melalui tulisan tangannya. Inilah yang disebut grafologi.

Memang saya tak meminta Tn menulis atau menganalisa tulisannya, saya hanya meminta dia menggambar. Sebenarnya yang lebih tepat menganalisa di sini adalah analisa gambar dalam psikologi, bukan grafologi. Di sana diajar bagaimana mengenal jiwa seseorang melalui gambar. Tapi saya rasa menghubungkan antara keduanya juga lebih bagus.

Toh dari sana saya tetap bisa menganalisa pola tekanan garis, maupun gambarnya. Saya berpendapat, sebagaimana di buku tersebut yang menulis, bahwa dunia ibarat sebuah halaman, di mana setiap orang harus menulis halamannya masing-masing di dalamnya.

Halaman tulisan sebagai latar belakang tulisan itu sendiri, dapat dianggap sebagai tempat, panggung atau ruang hidup individual di mana drama kehidupan ini berlangsung dalam jalinan pola-pola tulisan tangan.

Dilihat dalam satu kesatuan pola tulisan tangan menggambarkan bagaimana indivisu mengisi ruang hidupnya. Dengan cara ini kita dapat mengetahui perkembangan kehidupan seseorang dalam bertindak, ekspresi fisik, mental, emosi, dan keadaan fisiknya.

10 menit berlalu. Tn sudah menyelesaikan gambarnya. Dia melukis sebuah sketsa. Pada sisi kanan ada sebuah rumah yang didepannya berdiri gambar orang setinggi rumah itu, yang dia tulis ”Tn”, namanya sendiri. Lalu jauh di sisi kiri, ada dua orang berdiri berdekatan. Dia beri nama ”Mamak” dan ”Bapak”. Di bawah ke duanya ada sekumpulan rumput yang dia gambar dalam kotak.

”Wah, benar, ternyata kamu suka di luar rumah ya? Ini buktinya” ujar psikolog Mahmud Syaltut Usfa yang juga ikut dalam perbincangan ini. Tn hanya menjawab lirih sambil menunduk, ”Iya Om, saya memang suka main di luar. suka keluyuran.”

”Saya lihat, dari gambarmu ini, kamu juga lebih dekat ke ibu?” lanjut Syaltut yang juga pendidik di Hang Nadim Malay School itu.

Tn hanya mengangguk. Tiba-tiba air mukanya memerah, butir-butir air bening keluar memenuhi pelupuk, lalu tumpah, meluncur ke luar. Dia menangis. Cukup lama dia menangis.

***

Lama sudah Tn menangis. Meski suaranya tak keluar, namun dadanya terguncang hebat. Sesekali tangan kecilnya mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

Mungkin inilah yang disebut para psikolog bahwa, dalam setiap tahap kedewasaan, seseorang mempunyai sederet kebutuhan. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi, seseorang akan mengalami kebekuan kepribadian. Saat itu, ia akan menghadapi kondisi stagnan di tahap itu.

Inilah yang dialami Tn saat ini, sehingga dia sampai menangis.
”Mengapa menangis?” saya coba bertanya, setelah tangisnya reda.
”Saya sedih teringat orangtua.”

Tn mengisahkan, setelah dirinya ditangkap dan menghuni sel Mapolsek Lubukbaja, dia kadang menangis memikirkan orang tuanya, terutama ibunya. Sampai-sampai dia tak bisa tidur.

Namun, sayang sejak dia masuk Senin, 28 Februari lalu, hingga saat wawancara ini dilakukan pada Sabtu, 5 Maret, ibunya belum datang bertandang. ”Baru bapak yang datang hari Rabu (2 Maret),” akunya.

”Mengapa begitu? Bukankah katanya kamu lebih dekat pada Mamak?”
Tn tak menjawab, hanya kembali menangis.

Setelah reda, Tn mengatakan dia ingat ibunya karena rindu berbincang, dan merasakan saat-saat ibunya membimbing dia mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah.

”Apa Mamak sayang sama kamu?” saya penasaran. Namu Tn hanya diam.
”Pernah dipukul?”
”Sering,” jawab Tn.

Saya terkejut mendengar jawaban ini. Belum selesai rasa kaget, Tn kembali dengan lirih mengungkap, sejak kecil dia sering dipukul ibunya dengan kayu yang sudah disiapkan sebelumnya. Kebiasaan ini baru berhenti kala dia berumur 12 tahun.

Tak puas hanya memukul, Tn sebelumnya dimaki dengan kalimat-kalimat kasar. ”Saya dimaki dulu baru dipukul. A****g kau, b**i kau,” jelasnya.

Sementara itu, kebaikannya tak pernah dipuji. ”Mungkin karena saya yang bandel,” ujarnya. Meski begitu, Tn mengaku sayang pada orangtuanya. Apalagi setelah masuk sel ini.

Selain kangen orang tua, Tn juga kangen teman-temannya di sekolah. Terutama Vj, teman akrabnya. ”Dia baik, bisa diajak curhat. Bahkan juga sering membantu buatkan PR,” sebutnya.

Tn kembali menangis.

Setelah reda, kembali dia berkisah tentang impiannya kelak. Karena sama seperti anak-anak SD lainnya, Tn memiliki dunia yang penuh impian.

”Saya ingin jadi tentara,” jelasnya. Cita-citanya ini diilhami kegemaranya nonton film perang. ”Saya ingin bela negara,” sambungnya lagi.

Di sekolah, pelajaran yang paling disuka Tn adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Alasannya, karena IPA banyak menjelaskan soal lingkungan dan kejadian, sedangkan IPS sarat akan kisah-kisah kebebasan.

Selain itu Tn juga suka berolah raga. Basket dan aerobik menjadi favoritnya. Bahkan dia sering dia membawa kaset dari sekolah, untuk belajar senam sehat di rumah. (habis)