Rabu, 26 Oktober 2011

Al Capone, Sang Mafia


Kata Mafia, atau juga disebut La Cosa Nostra, The Syndicate, The Mob, The Outfit dan sebagainya, sebenarnya berasal dari bahasa Sisilia kuno, Mafiusu, yang diduga mengambil dari bahasa Arab, Mahyusu yang artinya tempat perlindungan dan pertapaan.


Berawal dari revolusi 1848, kala keadaan pulau Sisilia morat-marit sehingga mereka memerlukan membentuk ikatan suci yang meoindungi mereka dari serangan bangsa lain, dalam hal ini Spanyol.

Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara pada 1863 dengan judul I Mafiusi di la Vicaria (Cantiknya Rakyat Vicaria) yang menceritakan tentang kehidupan geng penjahat di penjara Pelermo.

Dalam perjalanannya kelompok mafia yang semua didirikan atas ikatan persaudaraan, menjadi besar sehingga memerlukan pendanaan cukup besar. Di sinilah misi organisasi berubah menjadi profit oriented. Caranya dengan memberikan jasa proteksi pada kelompok yang mengalami pemerasan.

Praktik ala Sisilia ini ikut migrasi ke Amerika bersama pentolan mafia lainnya, seperti Johny Torrio yang kelak memiliki tangan kanan yang terkenal licin dan kejam dan sangat merepotkan pemerintah Amerika. Dialah Alphonso Gabriel Capone atau dikenal dengan Al Capone.

Al Capone lahir di New York, 17 januari 1899 . Semasa hidupnya dia ditempa oleh kejahatan brutal ala Broklyn, mulai mencopet hingga membunuh. Hingga kemudian tahun 1919, dia pindah ke Chicago untuk membantu Johny Torrio.

Di sini, Al Capone menciptakan Chicago sebagai ”kota tanpa hukum”. Pertama dia mengkoordinir gank pendukung dan underow Johny Torrio, kemudian dia membantai kelompok pemeras (black hand). Capone pun diburu polisi, namun selalu lolos tanpa bukti.

Aksi gengster brutal ini membuat wali kota Chicago terpilih William Emmet Dever menyatakan perang terhadap mafia. Inilah yang membuat Al Capone pindah ke Cicero, Illinois lalu membantai semua genk terkenal di sana untuk memperebutkan kekuasaan di kota.

Terusir dari Chicago, membuat Capone belajar politik untuk mengambil alih pemerintah kota Cicero yang menewaskan 200 orang, termasuk seorang jaksa penuntut Bill McSwiggins karena berani mengusik bisnis haramnya.

Hingga pada 1924, saat pemilihan dewan kota Cicero, anak buah Al Capone mengancam para pemilih di beberapa tempat pemungutan suara. Hasilnya, calon wali kota boneka yang disokong Capone, William ”Big Bill” Thomson, menang telak.

Capone pun kian leluasa berkuasa. Kekuasaannya kian mutlak. Dia bisa menentukan siapa saja yang dapat menjadi pimpinan daerah, termasuk kepala daerah. Tak heran, karena semua dibangun oleh oligarki. Perang antar genk kerap terjadi, suap merajalela, korupsi kian terorganisasi.

Hampir semua jajaran pejabat pemerintahan dan aparat penegak hukum, masuk dalam menerima setoran rutin (daftar suap) dari Al Capone. Imbalannya, mereka harus memberikan proteksi dan kekebalan hukum pada Al Capone. Bisnis ilegal Capone, mulai minuman keras, pemerasan, prostitusi, perjudian kian subur. Dari sinilah dia kembali ke Chicago. Kekayaannya saat itu mencapai 100 juta dolar AS.

Tentu beragam kejahatan tersebut dijalankan dari balik layar oleh Capone. Karena di luar, Capone mencitrakan diri sebagai orang rendah hati dan bersih. Bahkan, bagai Robin Hood moderen, Al Capone rajin menyantuni (menyuap) masyarakat. Kepada wartawan Capone mengaku telah pensiun dari bisnis haramnya. Dia kini hanya menekuni bisnis jual beli mebel.

Capone memang tak hanya dalang, tapi juga aktor ulung. Pernah rekannya tewas, Capone juga hadir sembari menangis. Padahal, dia sendirilah pelaku pembunuhan itu. Lagi-lagi tak ada seorang aparatpun sanggup menyentuhnya. Bila nekad, langsung pindah.

Al Capone mulai jadi target FBI ketika anakbuahnya melakukan eksekusi massal pada anggota gengster lain, di sebuah gudang yang kemudian dikenal sebagai Valentine berdarah pada 14 Februari 1929.

Kemudian Al Capone berhasil digulung oleh tim kepolisian The Untouchable, pimpinan Master Krimonolog Elliot Ness. Dia adalah seorang polisi yang ditempatkan di Departemen Keuangan untuk sebagai penyidik pajak. Ness membidik Al Capone lalu menyeretnya ke penjara, bukan dalam hal kejahatan pembunuhan (karena ini sulit dibuktikan), namun terkait penggelapan pajak.

Sebenarnya Capone berusaha ”ngasih setoran” pada Elliot Ness, 2000 dolar AS perminggu. Namun gagal. Elliot pun mempublikasikan usaha Capone ini ke media. ”Ada hal yang sangat penting untuk diketahui oleh dunia, bahwa kami para penegak hukum tak bisa dibeli. saya ingin Al Capone dan setiap ganegster di kota ini menyadari bahwa masih ada beberapa agen penegak hukum yang kerja jujur dan berjalan di atas rel kebenaran yang telah digariskan,” tegasnya.

Semula, tahun 1931, Al Capone dipenjara di Cook County Jail. Namun kepiawaiannya menyuap sipir, membuat dia mendapat perlakuan istimewa bagai di hotel. Kabar ini membuat pemerintah federal marah, lalu pada 1934, memindahkan Al Capone ke Al Catraz. Hingga akhirnya dia meninggal pada 25 januari 1947 di rumah sakit, konon karena dia depresi oleh kerasnya penyiksaan di penjara yang disebut The Rocks tersebut.

Para mafia mungkin bisa mengacaukan negeri ini, namun kita tak perlu risau selama masih ada penegak hukum seperti Elliot Ness. Tapi apa masih ada?

Rabu, 19 Oktober 2011

Baru, Terbuka

Andai saja Temujin (1206–1227) tak membuka diri untuk selalu menerima hal baru, mungkin Mongolia tak akan menjadi bangsa yang besar, dimana kekuasaannya membentang mulai China di Timur hingga Rusia di bagian barat, masuk Eropa dan juga seluruh Asia Tengah.


Kalau Temujin tak membuka diri terhadap perkembangan-perkembangan baru, Mongol takkan bisa membuat sistem administrasi tertulis, sehingga proses perubahan benar-benar terjadi. Sehingga bangsa Mongol mengalami dinamika dari yang mulanya hanya kaum kaum penggembala, menuju perubahan ke arah masyarakat moderen.

Temujin yang akhirnya digelar Jengis Khan ini, cukup terbuka pada perubahan, di manapun datangnya. Pernah dia menjadikan tawanannya (baca: musuh) yang lebih mahir dalam bidang administrasi saat itu, untuk mengajar para petinggi bangsa Mongol. Baginya, bukan masalah orangnya, namun apa yang dibawa orang tersebut. Objektif, bukan subjektif.

Tradisi ini kemudian dilanjutkan cucunya, Kubilai Khan (1215-1294). Tak tanggung-tanggung, untuk menyerap suatu hal yang baru itu, dia sampai memindahkan ibukota Mongolia dari Karakum ke Kota Terlarang, Beijing. Karena memang Kubilai Khan, sejak kecil sudah jatuh cinta akan budaya China.

Setelah menetap di Beijing itulah dia lebih leluasa mempelajari hal-hal baru mulai seni, pengobatan, bahkan kuliner. Sebuah catatan menulis, Kubilai Khan pernah memerintahkan berbagai bumbu makanan dari pelosok dunia Eropa, India, dan Arab dikirimkan ke Beijing untuk membuat makanan baru.

Maka terciptalah makanan terkenal yang dinamakan Bebek Panggang Beijing (Peking roast duck)yang sampai saat ini dikenal seluruh dunia sebagai salah satu makanan terenak dari China.

Demikian pula di Jepang, bagaimana Kaisar Meiji, juga dipanggil kaisar Mutsuhito, menyerap sesuatu yang baru dengan mengakhiri masa isolasi yang bertahan selama 250 tahun di negaranya. Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berlangsung antaa 1868-1912.

Pada masa inilah Jepang bergerak memodernisasikan diri dalam segala bidang, yang dikenal dengan Restorasi Meiji, dimana Jepang membangun sistem pemerintahan, ekonomi bahkan budaya dengan mencontoh negara-negara Barat/masyarakat moderen.

Golongan-golongan lama yang selama masa feodal membuat masyarakat terbagi dihapuskan. Seluruh negari terjun dengan semangat dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern.

Jepang pun bergerak maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai apa yang diinginkan dimana di Barat memerlukan waktu berabad-abad lamanya.

Menerima hal baru juga dilakukan pemimpin Rusia, seperti Peter 1. Bedanya, dialah langsung datang kesumbernya. Sebagaimana diketahui, Peter 1 (1672-1725), atau dipanggil Peter yang Agung, merupakan penguasa unggul Rusia. Semasa muda, keingin tahuan Peter untuk hal-hal baru sangat besar, utamanya soal teknik.

Karena itulah dia rajin merantau ke beberapa negara di Eropa Barat. Supaya tak dikenali, dia pun menyamar dengan mendandani dirinya dengan sederhana mengikuti kelompok delegasi.

Dari sinilah dia belajar teknologi, seni. Di Prusia dia mengikuti pelatihan menembakkan meriam, serta memiliki kepedulian tentang anatomi. Di Belanda dia belajar teknik pembuatan kapal dan di Inggris dia belajar tentang pelatihan militer.

Alasan Peter 1 rajin mempelajari semua hal baru tersebut, untuk membuat Rusia menjadi negara maju dan kuat. Tak heran bila akhirnya, Peter 1 menjelma menjadi penguasa cerdas, memiliki visi ke depan, dan sangat artistik.

Hasil karya seninya yang bertahan hingga kini adalah istana musim panas Petrodvorets yang indah sehingga disebut juga Istana Versailles dari Rusia.

Karya Peter 1 lainnya adalah kota Saint Petersburgh (Leningrad), yang merupakan kota paling keren di Eropa, juga pusat kebudayaan dan kesenian. Kota yang akhirnya jadi ibu kota kekaiosaran Rusia ini, dibangun tahun 1703, di muara sungai Neva yang menghubungkan 101 buah pulau dengan 500 jembatan.

Menerima hal baru denagn cara memperkenalkan Perestroika (reformasi ekseluruhan, memiliki arti dari pikiran yang baru), juga dilakukan Michael Gorbachev tahun 1985, untuk melepaskan Rusia, yang kala itu bernama Uni Sovyet, didera akibat gagalnya sistem komunis. Dengan ini, masyarakat yang sudah membeku sedikit mencair dan mulai berpikir bebas dengan hal-hal baru.

Dengan hal-hal baru pulalah, tokoh-tokoh renaissan berkreasi, sehingga memunculkan aliran baru untuk merespon zaman. Kita tahu, aliran-aliran seni lukis renaissan itu muncul sebagau kritik dan pembaharu era gotic. Kemudian tumbuh aliran baru lagi; Mannerisme.


Selanjutnya dari Itali merebak era Barok, namun kemudian seniman pembaharu menjatuhkannya, dengan memunculkan aliran Recoco. Begitu terus, hingga muncul aliran Akademisi, Romantisme, Realisme, Victoria, Naturalisme, Impressionisme, Simbolisme dan Expresionisme. Juga ada Art Nouveau yang menjadi kritik atas Revolusi Industri Inggris, karena tak lagi menghargai keterampilan seniman. Tapi tak lama muncul Art Deco.

Begitu terus. Dengan hal baru, kita saling memberi dan menerima pengaruh. Manusia hidup dan berkembang dengan sesuatu yang baru. Karena itulah, kata ”baru” selalu menjadi daya tarik karena kebaruan selalu didamba dan dipuja sepanjang zaman. Kebaruan inilah yang bisa membawa bangsa pada perubahan dan lepas dari kesulitan.

Senin, 17 Oktober 2011

Getok Ular

Trending topic masyarakat Batam akhir-akhir ini adalah soal bisnis online. Sebuah bisnis yang hanya menanam modal dalam bentuk mata uang asing, akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda.

Bisnis ini tak ayal menarik perhatian semua kalangan dan usia. Apalagi ditambah efek word of mouth marketing (getok ular) masyarakat, sehingga kian menjadi-jadi.

Lalu apa iya?

Terobosan ini, tentu mendobrak teori enterpreneur tergila sekalipun. Di mana uang bisa didapat sedemikian mudahnya. Hal ini lebih dari apa yang dilakukan Muhammad Yunus dan Grameen Bank Banglades, yang berhasil meraih Nobel Perdamaian di tahun 2006. Padahal Yunus hanya memberikan program kredit mikro pada kaum papa Bangladesh.

Bandingkan dengan penemu bisnis online ini, yang nasabahnya menyebar ke beragam negara. Artinya, akan banyak lagi warga yang terbantu lepas dari lilitan finansial (baca: kemiskinan).

Tapi memang susah membuktikannya, karena sebagian besar orang yang tergiur bisnis online ini karena ikut-ikutan. Mereka ikut karena mendengar ada orang yang bisa kaya dalam sekejap, sehingga langsung percaya, meski tanpa melakukan verifikasi.

Tak perlu heran, karena kebiasaan ini berakar pada budaya masyarakat kita yang lebih gemar bertutur lisan dan mendengarkan, daripada mengembangkan budaya literasi (bertutur dengan tulisan) dan membaca. Wajarlah bila word of mouth marketing (getok ular) lebih banyak dipakai dari pada literasi.

Bila ditelaah lebih jauh lagi, budaya bertutur lisan inipun telah berlangsung dari generasi ke generasi, berabad lamanya. Sehingga kita kesulitan menemukan rekam jejak bangsa ini. Apakah itu di era Periode Klasik awal (abad 7-9 Masehi), Periode Klasik pertengahan (abad 10-13 Masehi), Periode Klasik akhir (abad 14-15 Masehi).

Sebenarnya di era itu budaya literasi sudah dimulai, baik itu tertulis di prasasti atau naskah. Meski sangat terbatas dan di lingkup (pesanan) kerajaan. Itupun banyak yang enggan membacanya, karena masyarakat masih suka mendengar dari penuturan.

Belum lagi, banyak penulis prasasti yang tidak konsisten, terutama dalam tanda-tanda diakritik (tulis), yang berakibat berubahnya arti dari sebuah kalimat.

Akibatnya, bila kita ingin mengetahui secara pasti jejak peristiwa sejarah atau sepak terjang tokoh-tokoh masa lalu tersebut, baik di zaman Sriwijaya, Majapahit, bahkan era sembilan wali, maka sejarah sangat sulit memberikan gambaran data cukup.

Semua fakta sejarah kadang hadir sepotong-sepotong, dengan persepsi yang tak sama, dan bahkan berbenturan antara satu dengan yang lain. Itupun datanya kadang didapat dari pedagang Arab, China atau penjelajah Eropa.

Wajarlah bila kita kesulitan mencari catatan tentang siapa itu Gajah Mada? Lahir tahun berapa, orang tuanya siapa, karir politiknya bagaimana. Yang kita tahu hanya cerita-ceritanya saja, dari mulut-ke mulut.

Sejarah yang tak terarsip dengan baik ini tentu menjadi masalah serius. Sejarahwan besar asal Inggris, Arnold Toynbee mengatakan, sejarah merupakan cara mengatasi kesulitan dan tantangan yang telah diisi secara lengkap dari para pendahulu, akan menjadi mercu suar yang terang bagi generasi selanjutnya. Dari sejarah kita belajar hukum, tantangan dan tanggapan (melawan tantangan).

Karena masyarakat lebih condong bertutur dengan lisan daripada tulisan, membuat kita banyak memiliki cerita rakyat. Banyak tempat, baik gunung, sungai, laut hingga danau, memiliki legendanya masing-masing yang kadang terhubung pada tokoh-tokoh tertentu. Itupun selalu disertai ”bumbu”. Namanya juga lisan, jangan harap bisa pas.

Bangsa ini kian giat mengubah tradisi lisan ke tulisan (literasi), salah satunya setelah misionaris Inggris, Medhurst, membawa mesin cetak ke Batavia pada tahun 1828.

Selain itu masuknya era politik Etis (politik balas budi/een eerschuld) Balanda. Kebijakan tersebut tercetus setelah Belanda tersentuh oleh novel Max Havelaar, karya Multatuli, tentang penderitaan rakyat Hindia Belanda akibat tanam paksa.

Salah satu kebijakan politik etis itu adalah edukasi. Dari sinilah anak-anak bangsa ini mulai mengecap pendidikan ala Belanda, yang kemudian melahirkan cendekia-cendekia baru. Selanjutnya mereka inilah yang memperkenalkan negara Indonesia, lalu berjuang untuk kemerdekaan.

Namun namanya juga tradisi, tetap saja susah mengubahnya.

Jumat, 07 Oktober 2011

Ridho, Reza, Riza

Memiliki nama yang mengandopsi nama orang besar itu ternyata memiliki beban berat. Secara tak langsung kita akan terikat secara emosional dengan si pemilik nama tersebut. Misalnya nama saya, Muhammad Riza Fahlevi, yang mengadopsi nama Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi.

Ceritanya saat saya lahir, Mohammad Reza Pahlavi itu berkunjung ke Indonesia. Mungkin alasan orang tua saya mengadopsi nama tersebut, karena merasa sesuatu hal yang baru di daerah saya, Pulau Bawean, yang umumnya nama warganya hampir seragam, karena sumbernya berasal dari nama 25 Nabi dan Rasul, 4 sahabat Rasul, tabiit tabiin dan Asmaul Husna.

Atau mungkin juga ayah saya berharap suatu saat saya akan jadi orang ebsar seperti pria yang menyebut dirinya Yang Mulia Baginda, dan memegang gelar kerajaan Shahanshah (Raja segala raja), dan Aryamehr (Terang bangsa Arya), tersebut.

Semula sih aman-aman saja, hingga suatu ketika kekaisaran Mohammad Reza Pahlavi ditumbangkan oleh Imam Ayatullah Khomaini, yang kemudian dunia mencatatnya sebagai Revolusi Islam Iran (11 Februari 1979), yang membuat kisra (kaisar) kedua dari Dinasti Pahlavi dan Shah terakhir monarki Iran itu terguling lalu terusir ke Mesir dan meninggal di sana.

Peristiwa ini, membuat saya sering diledek oleh guru PMP ketika masih SD dulu. ”Riza Fahlevi. Akhirnya kamu tumbang juga oleh Khomaini, ya,” katanya. Saya saat itu hanya senyum simpul.

Tak terbayang betapa galaunya saat itu. Mirip perasaan para orang tua fans berat Ariel Peterpan, yang ramai-ramai menamakan putranya dengan nama super star tersebut.
Mereka yang semula bangga menyematkan nama Ariel pada anaknya, jadi galau ketika idolanya itu terlilit kasus asusila.

Oke fokus lagi....

Sebagaimana orang tua saya, tentunya orangtua Shah Mohammad Reza Pahlavi, juga menanam harap, anaknya kelak menjadi orang baik sebagaimana, nama yang diadopsinya.
Kalau kita pilah, ada tiga nama besar yang melekat di nama itu, yakni Mohammad, Reza, dan Pahlavi (nama terakhir ini adalah nama dinasti).

Untuk nama depan, Mohammad, diambil dari nama Rasulullah yang bagi kaum Muslimin diyakini sebagai manusia paling mulia di muka jagad. Manusia paling maksum.
Jadi engan memakai nama Mohammad, sang anak diharapkan bisa mewarisi sifat-sifat baik dari rasul. Minimal saat akan berbuat jahat, dia langsung ada yang menegur, ”Hei, ingat siapa nama depan mu itu!”

Selanjutnya, nama tengah ”Reza”, ini merupakan nama yang paling diagungkan, sehingga banyak dipakai di Iran. Nama Reza berasal dari nama Arab, ”Ridho”. Namun karena pengaruh ”lidah Persia” maka menjadi Reza.

Sejarah nama Reza ini berawal dari Imam Ali bin Musa atau lebih dikenali dengan Imam Ali ar-Ridho atau Imam Ridho, imam ke 8 dalam mazhab Syiah (mayoritas orang Iran adalah Syiah) dan keturunan ke 9 Nabi Muhammad.

”Ridho” sendiri merupakan gelar yang diberikan masyarakat pada imam kelahiran 148 Hijriah di kota Madinah tersebut, karena memiliki sikap rela (ridho) dan gembira menerima apa yang dikaruniakan kepadanya.

Hingga pada tahun 200 Hijriyah (sekitar tahun 816 Masehi), Imam Ridho, dibawa paksa dari Madinah ke Khurasan, timur laut Iran oleh Khalifah Makmun, penguasa pemerintahan Islam (Bani Abbas/Abbasiyah) yang berpusat di Baghdad. Hingga akhirnya, Imam Ridho gugur dibunuh Makmun di desa Sanabad, Iran yang kini berubah jadi kota Mashad.

Kematian inipun didengar saudara-saudara Imam Ridho yang kemudian berdatangan dari Madinah untuk ziarah ke makam sang imam di Sanabad. Sebagian dari mereka menetap dan menjadi guru agama masyarakat sekitarnya.

Mereka inilah yang kemudian menjadi panutan masyarakat Iran, sehingga ketika meninggal, makamnya sangat dihormati. Makam-makam saudara imam Ridho ini pun disebut makam Imamzadeh.

Waktu berlalu, kharisma Imam Ridho kian kuat. Lidah orang Iran kemudian menyebut Imam Ridho sebagai ”Emam Reza”. Hingga kini, orang Syiah Iran, sering menyebut nama Emam Reza di sela sela berdzikir.

Berangkat dari penghormatan kepada Emam Reza, membuat namanya banyak dipakai di Iran, mulai rakyat jelata hingga kalangan elit kerajaan. Di antaranya Shah Mohammad Reza Fahlevi.

Dari kisah ini masih bertanya apalah arti sebuah nama? Bagi saya nama adalah harapan, doa dan cerita. Nah, sekarang ceritakan tentang nama anda.

Minggu, 02 Oktober 2011

Oligarki di Lontong Sayur

Sejak saya rajin menulis tentang lontong sayur Pakde, banyak yang bertanya dimana lokasinya, ”Saya juga ingin menjajalnya,” ujar mereka, baik melaui SMS atau bertanya langsung. Ah, syukurlah, bila kemudian saya bisa memasarkan lontong Pakde.

Saya lupa mau sampaikan, kalau mau beretmu Pakde, datanglah pada hari Minggu. Sebab selain hari itu, yang melayani bukan Pakde, tapi saudara perempuannya. Karena, Pakde saat ini lagi giat-giatnya ekspansi, membuka cabang baru di sebuah kawasan Industri Batam Center.

Maka itu, dia menunjuk saudaranya sendiri untuk menjalankan salah satu usahanya tersebut, sementara dia fokus di tempat lain. Tapi jangan khawatir, karena saudaranya ini telah lulus uji kepatutan dan kelayakan sesuai standar lontong sayur, sehingga tak beda dengan Pakde.

Lagi pula, saudaranya tersebut hanya memiliki hak menyajikian, sedangkan original recipe-nya tetap dipegang Pakde. Jadi, soal rasa... Nothing diffrent at all.

Menunjuk saudara sendiri untuk menjalankan usaha, sah-sah saja dalam dunia bisnis. Yang penting tak merugikan dan tentu saja mampu.

Lagi pula, usaha tersebut memakai dana dari uang milik pribadi dan risikonya juga ditanggung pribadi. Jadi, tak ada masyarakat yang dirugikan bila Pakde berprinsip, ”Dari saya, oleh saya, untuk keluarga saya.”

Yang keliru itu bila hal tersebut diterapkan pada jabataan publik, seperti sistem pemerintahan yang digerakkan dengan uang (pajak) rakyat. Seperti yang terjadi pada beberapa kasus di provinsi, dan kabupaten/kota bahkan pemerintah pusat itu sendiri.

Inilah yang disebut Oligarki (bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

Secara etimologis, oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, oligarkhia gabungan kata oligon (sedikit) dan arkho (memerintah). Sistem ini memang lazim ditemukan pada mitologi Yunani dan Romawi.

Seperti kita ketahui, dewa-dewa pemangku kekuasaan dalam mitologi Yunani itu masih saudara kandung. Kita tahu Zeus, pemimpin para dewa itu, membagi kekuasaan pada adik-adiknya, seperti Aides untuk memerintah dunia bawah, Poseidon memerintah penuh atas laut. Juga ada Selene (Luna) sang Dewi Bulan, yang masih adik Helios, Dewa Matahari, dan sebagainya. Semua dewa-dewa ini adalah anak dari Uranus (ayah) dan Ge (ibu).

Mitologi ini dikenal luas, ketika orang-orang Yunani tinggal di Italia dan menemukan mitologi milik penduduk Celtic, yang menurut kebiasaan Yunani yang menghormati dewa-dewa, mitologi tersebut diadopsi dan disesuaikan berdasarakan kesamaan dewa-dewa mereka. Maka terbentuklah keyakinan baru yang dipengaruhi kepercayaan Yunani kuno.Hingga kemudian menjelma menjadi keyakinan agama di Roma.

Tak heran bila dewa-dewa dalam mitologi Yunani mirip dengan dewa-dewa dalam mitologi Romawi. Cuma beda di penyebutan saja. Misalnya, Zeus oleh orang Romawi disebut Jupiter, Hera (Juno), Aphrodhite (Venus) dan seterusnya.

Dari motologi itu juga kita belajar bahwa sistem oligarki dalam perebutan kekuasaan ini selalu memicu konflik yang selalu menempatkan rakyat kecil sebagai tumbal atau korbannya. Ayah lawan anak, anak lawan anak dan setrusnya. Sementara rakyat kecil kian susah dan menjadi tumbal. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Dalam masyarakat kita, oligarki ini kian subur sejak era otonomi daerah melalui pemekaran daerah besar-besaran yang dimulai tahun 2000 lalu. Otonomi daerah yang ingin tujuannya ingin membentuk daerah lebih sejahtera dengan pemendekan rentang kendali kekuasaan, malam memunculkan raja-raja kecil baru beserta kroni-kroninya.

Makin kecil daerah, makin besar dan kuat sistem kekerabatannya, semakin besar pula peluang oligarkinya.

Sistem ini kian diperkeruh dengan maraknya praktik plutokrasi, dimana orang kaya menggunakan uangnya untuk mendapatkan kekuasaan politik, lalu dengan kekuasaan itu dia melindungi dan menambah pundi-pundi uangnya melalui regulasi dan proteksi. Akibatnya, korupsi meraja.

Jadi jangan heran bila dalam sistem ini lembaga hukum dan pemberantasan korupsi, akan terus dilemahkan bahkan dikebiri oleh para koruptor yang berlindung di balik proteksi kekuasaan.

Kita lihat, politik lokal di Indonesia. Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik di eksekutif maupun legislatif, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya, bekerja nyata di tingkat lokal.

Kekuasaan tingkat lokal dibagi-bagi di tangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis politik-rente (rent-seeking) atau balas budi, maupun jaringan keluarga atau "kacung" terdekatnya. Kalau bagus masih mending, kadang tak berkualitas.

Oligarki ini sangat jahat, karena orang-orang tertentu itulah yang menikmati uang rakyat yang terkumpul lewat APBD/APBN. Merekalah yang kemudian menjadi predator ”tumpeng” itu melalui proyek-proyek maupu kegiatan fiktif lain untuk keuntungan finansial mereka sendiri. Dan ini diproteksi oleh baik kepala pemerintahan maupun kebijakannya.

Akibatnya, pembangunan mandeg, banyak proyek-proyek terbengkalai sementara uangnya entah ke mana. Segala dalih memang digunakan sebagai pembenaran.

Jeffrey Winter, pakar ekonomi-politik Indonesia dari Northwest California, Amerika mendefinisikan oligarki sebagai penggunaan kekayaan untuk mendapat kekuasaan politik dan kemudian kembali mendapatkan kekayaan.