Jumat, 27 April 2012

Kisah Ganja (2)

Saya masih akan mengupas buku Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia yang ditulis tim Lingkar Ganja Nusantara.
Sebenarnya banyak lagi kisah bagaimana ganja membangun peradaban manusia. Dalam ilmu medis, misalnya, adalah buku Materia Medica, kitab pengobatan herbal pertama di dunia, karangan intelektual Yunani, Dioscerides, abad 1 Masehi banyak menginspirasi ilmu kedokteran dunia. Gaung buku ini kian besar ketika bangsa Arab, menerjemahkan buku tersebut pada tahun 861 Masehi.
Materia Medica banyak mengurai tanaman ganja mampu mengobadi beragam penyakit, seperti telinga, perut bahkan anastesi bahkan perangsang nafsu makan dan daya ingat. Hal ini juga diakui oleh Ibnu Sina (Avicenna) di abad 10 Masehi.
Tulisan Dioscerides ini membuat Romawi menjadi sentra industri tanaman ganja. Setelah romawi runtuh, industri ganja tetap bertahan di Italia. Permintaan dunia akan serat ganja untuk tali temali, dan kain layar untuk armada laut membuat Bolognese dan Montagnana jadi daerah tanaman ganja. Bahkan senat Venesia mendirikan pabrik milik negara demi menjaga kualitas produksi serat ganja untuk angkatan laut.
Produksi serat ganja Itali sebagai pusat produksi serat ganja terbesar di dunia, bertahan hingga abad ke 19. Orang Itali terkenal terampil dalam memintal serat ganja untuk menghasilkan tekstil berkualitas tinggi, pakaian mewah hingga taplak meja yang kualitasnya hampir sama dengan sutera. Konsumen utamanya adalah Switzerland, Jerman, Inggris, Portugis dan Spanyol.
Sedangkan Amerika Selatan, khususnya Jamaika, ganja melatar belakangi lahirnya ”agama" Rastafari. Pengaruh mengisap ganja ini dibawa oleh orang-orang India yang dipekerjakan Inggris untuk budidaya ganja di Jamaika tahun 1800-an.
Juga kisah bagaimana ganja membangun Inggris, bahkan mempengaruhi kreativitas William Shakespeare dalam menelurkan karya-karyanya. Bahkan ada juga catatan tentang perang Napoleon meletus setelah ia menghentikan suplai serat ganja dari Rusia.
Belum lagi Amerika yang dulu sangat bergantung pada serat ganja ini. Sampai-sampai presiden George Washington maupun Thomas Jeffreson mencoba peruntungan dengan bercocok tanam ganja. Namun keduanya bangkrut. Bahkan Amerika sempat memberlakukan kebijakan tanam paksa ganja bagi petani Virginia, tahun 1619, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sangat tinggi. Bila gagal, ancamannya penjara.
Di Amerika, serat ganja dibuat selain tambang, juga tekstil semacam kain layar, bahkan menjadi bahan untuk industri mobil. Selai itu juga kertas yang pabriknya didirikan presiden Benjamin Franklin tahun 1750. Era ini mengakhirnya impor buku amerika dari Inggris.
Bukan rahasia juga bila naskah proklamasi Amerika (Declaration of Independence 4 juli 1776) ditulis di atas kertas dari serat ganja, juga bendera pertama amerika terbuat dari serat ganja. Tak hanya itu, industri minyak lampu pernah didominasi oeh minyak biji ganja hingga tahun 1800, baik di Amerika maupun di dunia.
Namun kejayaan ganja sebagai tulang punggung ekonomi Amerika dan dunia, runtuh ketika raja media AS kala itu, William Randolph Hearst (1863-1951) selama tiga dekade, melancarkan kampanye besar besaran di medianya akan bahaya ganja yang dia sebut mariyuana.
Ada catatan, hal ini dia lakukan karena ryasa dendam akibat 800 hektare hutan milik Hearst di Meksiko diambil alih oleh pahlawan pemberontak Meksiko, Pancho Villa, penentang diktator Porfirio Diaz.
Sejak saat itu Hearst dendam dan melancarkan stigma negatif bahwa ras Hispanik pecandu mariyuana, pemalas, dan kriminal. Hal yang sama juga dia lakuakn pada ras kulit hitam dan orang asia, khususnya China yang dia sebut yellow perill.
Koran-koran Hearst dengan sengaja mengarahkan opini bahwa maraknya kecelakaan dan kekerasan, akibat dari konsumsi maruyuana. Padahal bila ditilik perbandingan, jumlah kecelakaan akibat konsumsi alkohon mencapai 10.000:1. Namun ini tak pernah dia tulis.
Tak heran bila dalam perjalanannya Hearst, yang menjadi siangan Joseph Pulitzer ini, dikenal sebagai perintis jurnalisme sensasional di amerika, atau disebut yellow journalism (koran kuning), yakni jurnalisme yange mementingkan sensasi, mengesampungkan fakta dan kaidah demi mendongkrak penjualan, kampanye politik atau kepentingan pihak tertentu.
Puncaknya tahun 1920-1930 jaringan media Hearst, mengelompokkan pengguna narkotika dengan ras-ras miniritas luar kulit putih Amerika, sebagai kelompok masyarakat berbahaya dan harus ditakuti. Hal inj juga berlaku bagi mariyuana, sebagai tanaman yang harus diberantas.
Kampanye ini berhasil. Hingga kini, meski jaringan merdia Hearst telah rontok pada era depresi besar Amerika tahun 1930-an, ganja menjadi barang terlarang di Amerika yang akhirnya berimbas ke belahan dunia lain. ***

Jumat, 20 April 2012

Kisah Ganja (1)

Acara peringatan Hari Ganja Sedunia yang diperingati pada 20 April gagal digelar di Kota Bandung. Konon kabarnya, kegiatan yang digagas Lingkar Ganja Nusantara (LGN) itu mendapat teror dari ormas.

LGN, memang memiliki komitmen memperjuangkan dan membela pohon ganja. Misi mereka: legalisasi ganja di Indonesia! Upsss jangan serem dulu...

Saya pernah membaca buku yang ditulis aktivis LGN, judulnya Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia yang ditulis tim LGN.

Dari buku inilah saya tahu, peran ganja sangat luar biasa. Selama 12 ribu tahun sudah manusia mengenal ganja dan selama itu jua tanaman ini turut membangun peradaban. Wajarlah bila bangsa-bangsa di hampir serata bumi, mulai Asia, Afrika, Eropa, Skandinavia, India dan Amerika, punya kisah tersendiri bagaimana ganja membangun peradabannya.

Dokumen tertua tentang ganja ditemukan dalam coneiform (lempengan tanah liat yang ditulis dengan huruf paku) Bangsa Sumeria 3.000 tahun sebelum Masehi. Dipastikan, dari sinilah ganja pertama dikenal, lalu menyebar ke penjuru bumi.

Dari bahasa Sumeria-lah nama ganja dikenal hingga bervariasi sesuai Hukum Grim. Mulanya disebut gan zi, dalam bahasa Sansekerta disebut qaneh, lalu orang Ibrani menyebut qanubu.

Sebuah catatan menulis, dalam kitab Keluaran, disebut Musa diperintah Tuhan menyucikan kotak penyimpanan batu 10 Perintah Tuhan dengan minyak suci yang dibuat dari campuran kayu manis, myrrh, cassia dan qaneh bosm. Nama qaneh bosm ini kemudian dikenal sebagai cannabis.

India menyebut ganja dengan bhang. Tempat budidaya tanaman ini disebut bengal, yang arti harfiahnya adalah bhang land (tanah ganja). Berabad kemudian, daerah ini dikenal sebagai Bhangladesh.

Ganja berkembang melalui biji. Tiap biji bisa memunculkan dua jenis berbeda, tanaman betina dan jantan. Bagian kulit dari batang ganja terdiri dari serat yang kuat. Inilah yang kemudian dibuat sebagai tali temali, dan perlengkapan lain, seperti tekstil, hingga kertas.

Sedangkan efek memabukkan didapat dari trikoma atau resin (getah). Tapi jangan salah, justru resin inilah yang kemudian banyak dikembangkan dalam dunia medis sebagai obat hingga minyak.

Ganja yang memproduksi banyak resin hanyalah yang tumbuh di daerah periklim panas. Sedangkan di daerah dingin, akan menghasilkan batang yang lebih kuat namun getah lebih sedikit. Serat ganja inilah yang kemudian diolah menjadi produk tekstil dan sejenisnya.

Itulah mengapa di daerah sub tropis seperti Eropa, Rusia, Jepang dan Kanada, ganja banyak dipakai untuk membuat tekstil dan tali temali. Sedangkan di daerah tropis seperti China, India, Arab, Mesir, ganja memproduksi getah yang banyak yang digunakan untuk ilmu pengobatan, seni dan kebudayaan. Bahkan minyaknya dipakai untuk penerangan.

Dari serat ganja inilah kain tenun paling tua di dunia dibuat, tepatnya tahun 6.000 sebelum Masehi atau sudah berumur 8.000 tahun. Lain cerita lagi di China, serat ganja dibuat sebagai pakaian massal dan murah, khususnya kalangan menengah bawah yang tak mampu beli kain sutra.

Bahkan kertas pertama yang ditemukan T'sai Lun di China, terbuat dari bubur serat batang ganja. Teknologi ini kemudian menyebar ke kerajaan superpower Abbasiyah di Baghdad, abad ke 8, ketika dinasti Tang berhasil dikalahkan dalam perang Talas.

Dari sinilah terjadi alih teknologi pembuatan kertas. Tahun 794 pabrik kertas pertama berdiri di Baghdad, kemudian menyebar ke Eropa melalui Andalusia tahun 1151.

Selain beberapa hal di tasa tadi, ganja juga sudah lama digunakan sebagai keperluan keagamaan. Di India, kitab Atharva Veda dari agama Hindu, menyebut ganja sebagai satu dari lima tanaman suci, yang selalu mengiringi ibadah harian sore. Veda juga menyebut ganja sebagai sumber kebahagiaan, pemberi kesenangan dan pembebas. Tak heran bila tanaman ini kerap dipersembahkan bagi dewa dewa.

Pada aliran Buddha Mahayana, juga dikisahkan dalam enam tahap pertapaan untuk mencapai pencerahannya, Sang Buddha bertahan hidup dengan hanya 1 biji ganja setiap harinya, selama enam tahun hingga menjadi Sang Buddha di abad ke 5 sebelum Masehi.

Sedangkan di Jepang, industri pakaian dari serat ganja telah dmulai dari periode Nara. Hal ini juga menjadi kostum pendeta Shinto. Ada kisah unik, saat pertama kali Jepang mengirim utusannya menyeberangi Samudera Pasifik ke Amerika dengan kapal Kanrin Maru (kapal Jepang pertama setelah Restorasi Meiji, tahun 1860, red).

Saat itu, awak kapal kapal yang dinakhodai kapten Kimura dan penerjemah Yukichi Fukuzawa ini, hanya dibekali sepasang sandal dari serat ganja. Wajarlah bila mereka mengaku malu saat mendarat di San Fransisco. (bersambung)

Jumat, 13 April 2012

Sekolah Nomor Satu

Peradaban maju selalu menjajah peradaban yang tertinggal. Namun dengan ilmu pengetahuan, peradaban tersebut akan bertahan, bahkan akan mempu menaklukkan penakluknya.

Hal ini terjadi pada Yunani ketika ditaklukkan Romawi pada perang Corinthia, tahun 146 SM. Namun meski secara fisik takluk, namun Yunani berhasil menaklukkan imperium Romawi, bukan dengan senjata, melainkan dengan ilmu pengetahuan.

Kisahnya setelah Yuinani takluk, banyak penulis, seniman, filusuf, dan ilmuan dari Athena yang dibawa ke Roma untuk bekerja. Secara kebetulan, ada kalangan elit Roma yang antusias melakukan pencapaian dalam ilmu pengetahuan, salah satunya mengkaji kebudayaan Yunani. Era ini dikenal sebagai Graechophilia.

”Kini Yunani yang tertawan telah menawan balik penakluk mereka yang kasar....” tulis penyair Romawi, Horace.

Di antara orang Yunani yang dibawa ke Roma itu adalah, Padacius Dioscorides, ahli pengobatan di abad ke 1 SM. Dia menghabiskan sebagian hidupnya sebagai dokter bagi imperium Romawi. Salinan pertama dari buku Deoscorides terbit tahun 70 M berjudul Materia Medica yang menjadi kitab pengobatan herbal pertama di dunia.

Buku ini sangat terkenal hingga ke abad pertengahan, dan sudah diterjemahkan ke dalam beragam bahasa di dunia.

Kisah di atas mengingatkan saya pada negara jiran kita, Malaysia. Dulu negara ini jauh dari maju. Namun tak berapa lama mampu berdiri sejajar bahkan di atas negara-negara lain, setelah pemerintahnya sangat memperhatikan pendidikan.

Bermula ketika booming minyak di era 1970-an, saat itu sebagai mana Indonesia, uang hasil ekspor minyak mulai mengalir deras masuk ke negara ini. Derasnya petrodollar tersebut mereka anggarkan untuk merancang pembangunan ke depan; Malaysia memilih membangun pendidikan dengan segala kemudahan yang diberikan kepada masyarakatnya.

Banyak putra terbaiknya disekolahkan ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Selain itu, di dalam negeri sendiri anggaran pendidikan diperbesar (hingga mencapai 26 persen dari APBN), beasiswa diperbanyak, program buku gratis diberikan (tiap mahasiswa dapat RM 200 per orang atau setara dengan Rp 580.000), belu lagi bantuan untuk sains dan teknologi.

Hasilnya? Tak perlu menunggu terlalu lama, bagi mereka memiliki sarjana-sarjana tangguh hingga profesor. Mereka inilah yang kemudian mengisi pembangunan di negaranya, hingga terlecut maju.

Saya beberapa tahun lalu sempat berbincang dengan psikolog kondang negeri ini, kini sudah meninggal, katanya saat dia kuliah di dulu, tak ada yang mau dekat dengan mahasiswa dari Malaysia. ”Mereka sering diolok-olok sebagai ‘manusia pohon’,” kisahnya.

Namun, itu dulu. Saat ini, pendidikan di Malaysia maju dan berkembang pesat. Kondisipun berbalik, kini Malaysia menjadi tujuan bagi banyak bangsa di Asia, terutama Indonesia, sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan.

Malaysia pun mampu membuktikan sama majunya dengan masyarakat dunia maju lainnya. ”Kami saat ini memang masih tinggal di pohon, tapi naiknya pakai lift,” seloroh Aziz, mahasiswa Malaysia yang saya temui akhir tahun lalu di Kuala Lumpur.

Mahasiswa program Master yang mengambil Jurusan Riset Telekomunikasi ini berkisah, himgga saat ini pemerintah Malaysia terus menggalakkan keilmuan dengan jargon, ”Siapa yang pandai akan berjaya. Di sini sekolah nomor satu,” sebutnya.

Karena itulah, Aziz menolak tawaran kerja setamatnya menempuh S1. Ayahnya ingin dia ambil master bahkan doktor. Di Malaysia, asal tamat kuliah, tak perlu khawatir tak bisa bekerja. Mengapa? Karena memang untuk bisa kuliah sudah diseleksi dengan ketat. Apalagi yg bisa ambil doktor. ”Sijilnya sudah diiktiraf sampai luar negara. Intinya diakui. Kesejahteraan pengajar-pengajar di sini juga terjamin,” jelasnya.

Yang menarik, para sarjana Malaysia, khususnya lelaki, lebih gampang dapat pekerjaan daripada wanita. Hal ini tak ada hubungannya dengan gender. Pasalnya, sarjana wanita di Malaysia lebih banyak dari lelaki. Sehingga penerimaan mereka sangat ketat.

Kemudian saya bertanya, kanapa dia tak langsung saja bekerja sembari kuliah? Aziz tersenyum. Menurutnya, sebenarnya saat ini pun dia sudah digaji yang dia dapat dari hasil ”studinya” sebagai saintis untuk meneliti sistem baru dalam bidang fiber optic telekomunikasi. ***

Senin, 02 April 2012

Rasis 2

Ras yang tak kalah mengalami perilaku rasisme adalah orang kulit hitam. Dalam hal ini Afro-Amerika.

Orang kulit hitam tiba di Amerika sekitar tahun 1600-an, sudah berstatus sebagai budak. Di Brazil saja tercatat 5 juta orang yang ditawan lalu dijadikan budak.

Dalam buku Hikayat Pohon Ganja 12000 Tahun Mengubah Peradaban Manusia disebut, mereka diseret dari Afrika untuk meningkatkan pertumbuhan industri komoditas pertanian, khususnya serat ganja untuk dijadikan tekstil, tali temali dan kain layar, di ”dunia baru” tersebut.

Sekilas mengulas ke belakang, praktik perbudakan ini sudah dilakukan manusia sejak lama. Pada masyarakat Romawi kuno misalnya, masyarakatnya disusun secara hierarkis yang terdiri dari tiga kelas utama yakni budak (servi), bekas budak yang dibebaskan (liberti), dan orang yang lahir merdeka (cives).

Masyarakat merdeka ini masih terdiri dari dua kelas, patriarchs atau yang masih memiliki garis keturunan dengan para pendiri Roma, serta plabeians yang tidak memiliki atau tak dapat menelusuri garis keturunannya.

Sedangkan di Amerika Serikat, terdapat dua sistem perbudakan yang dominan, yaitu sistem tugas (task system) dan sistem gang (gang system).

Meski sama-sama mempraktikkan perbudakan, namun orang kulit hitam lebih menyukai sistem tugas karena masih dapat memperoleh uang tambahan. Selanjutnya, dengan uang tambahan itu, mereka bisa membeli kebebasannya.

Beda dengan sistem gang. Budak-budak ini bekerja berkelompok dijaga seorang pengawas atau driver yang bertugas memberi hukuman fisik dan memastikan budak budak itu bekerja sekeras mungkin.

Orang kulit hitam ini dipilih, karena dinilai lebih memahami tanaman ganja dari pada ras lain. Budak kulit hitam ini kemudian ditempatkan di lahan pertanian yang tersebar di amerika serikat bagian selatan, seperti Kentucky dan Virginia, dan jumlahnya terus meningkat..

Pada perang saudara amerika tahun 1865, sekitar 4 juta warga kulit hitam ikut berperang bersama orang kulit putih, mendapatkan kebebasan mereka dari perbudakan dari Presiden Abraham Lincoln. Selapas ini, berhembuslah peraturan berbau rasis.

Meningkatnya jumlah warga kulit hitam ini dianggap membebani perekonomian negara, hingga populasinya perlu dikontrol, salah satunya dengan opini negatif di media.

Praktik rasisme ini dapat dilihat pada kasus ”lyching”. Orang orang Afro-Amerika ini diposisikan sangat rendah. Lyching sendiri adalah, pelaksanaan eksekusi ilegal di luar pengadilan bagi seseorang (khususnya kulit hitam) yang dituduh melakukan tindak kejahatan oleh sekelompok penegak hukum ”informal”.

Akibat praktik kebencian rasial lyching ini, antara tahun 1884-1900, membuat lebih 3.500 warga kulit hitam tewas.

Kebanyakan korban dibunuh hanya gara-gara menatap atau dituduh menatap wanita kulit putih sebanyak dua kali, menatap mata pria kulit putih lebih 3 detik, dan tidak pindah ke belajang antrean umum. Yang paling konyol, gara-gara menginjak bayangan orang kulit putih.

Lyching sendiri, sebenarnya diambil dari nama Charles Lynch (1736-1769) seorang hakim di Virginia yang sering melakukan pengadilan jalanan.

Pada tahun 1880 rasisme Amerika kian luas dengan diberlakukannya hukum Jim Crow yang berlaku hingga tahun 1960-an. Ini merupakan sistem segregasi atau pemisahan orang kulit hitam dan kulit putih, termasuk saat duduk. Dan ini berlaku di Tennessee, Florida, Mississipi dan Texas.

Bahkan di Alabama, orang kulit putih dan kulit hitam dilarang main catur bersama. Sementara di seantero Amerika perkawinan antara kulit hitam dan kulit putih, dilarang.

Dalam dunia seni, juga ada aturan ”Blackface”. Di mana seniman kulit hitam harus memakai cat hitam di mukanya, saat tampil di depan orang kulit putih.

Tak hanya sampai di sini, tanggal 24 Desember 1865, Ku Klux Klan (KKK) dikenal juga sebagai ”The Klan”, sebuah kelompok rasis ekstrem di Amerika berdiri. Mereka mengklaim bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik dan berjuang memberantas kaum kulit hitam dan minoritas di AS seperti Yahudi, Asia, dan Katolik Roma. Terlalu!