Jumat, 25 Mei 2012

Negeri nan Ramah

Banyak yang terkejut ketika negeri yang penduduknya terkenal manis budi bahasa, lemah lembut perangainya, saling menghormati, saling menghargai hak azasi, bernaung di bawah pusaka garuda Pancasila dan sang saka Merah Putih sebagai lambangnya ini ternyata menyimpan sejarah kelam tentang pembantaian anak-anaknya sendiri.
Semua terperangah, saat membaca dalam perjalanannya, anak-anak bangsa ini berlaku kejam dan sadis. Saat terjadi konflik, dendam eksumat muncul, dan membabat habis saudara yang dimusuhinya hingga kekarnya. Apakah ini yang disebut adat ketimuran?
Kita tentunya tak lupa, sejarah kelam ketika Partai Komunis Indonesia dinyatakan terlarang. Saat itu tahun 1966. Sekitar 500 ribu orang yang terkait atau bahkan yang hanya dituding terlibat PKI itu, diculik, disekap lalu dibunuh dengan sadis.
Ada yang disuruh berjalan dengan mata tertutup menuju luweng (sumur alam yang dalam). Kemudian mereka jatuh dan tewas di dalamnya, jenazahnya tak dikubur dengan layak. Di daerah lain, ada yang dikumpulkan di tepian hutan, lalu disuruh bunuh diri dengan menggorok leher sendiri. Alasannya, karena saat itu tentara ingin menghemat peluru. Banyak lagi kisah-kisah sadis lainnya.
Ada juga yang dikumpulkan di tepian sungai Brantas, Jawa Timur, lalu diberondong senapan mesin. Mayat-mayat bergeletakan, mengapung. Sungau Brantas merah darah. Peristiwa ”merahnya kali Brantas” ini disaksikan oleh Ong Hok Ham, sejarawan dan cendekiawan Indonesia, yang kala itu masih muda.
Tak ayal, Ong langsung dipresi, lalu berteriak-teriak ”Hidup PKI... Hidup PKI...” tentusaja aksinya dilihat tentara, lalu dia ditangkap dan nyaris dilenyapkan. Kemudian Ong Hok Ham dibawa ke Jakarta, namun kemudian dia dibebaskan oleh Nugroho Notosusanto, pejabat top Orde baru kala itu.
Itu tadi soal pembantaian tahun 66. Mau mundur lagi? Tentunya kita ingat bagaimana tewasnya Raden Trunojoyo, seorang bangsawan Madura yang memberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Trunojoyo kemudian dikeluarkan dari penjara Belanda oleh Sultan Amangkurat II, lalu dihadirkan dalam rapat pimpinan yang dipimpin sultan dan dihadiri para bupati Mataram. Kemudian di depan para bupatinya, Amangkurat II menusuk Trunojoyo dengan keris hingga tembus ke punggung. Selanjutnya, seluruh bupati dierintahkan ikut menusuk.
Tak sampai disitu, hati Trunojoyo dikeluarkan, dicincang dan dimakan ramai-ramai. Kepala Trunojoyo dipenggal dan dibawa ke keputren, lalu disuruh diinjak-injak. Setelah tak berbentuk dimasukkan alu dan ditumbuk!
Kisah sadis lain terungkap dari catatan Dr Walter H Medhurs (1796-1857) dan asistennya Revd Tomlin seorang misionaris. Kali ini tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Baliling (kini Buleleng, Bali), sebagaimana ditulis dalam buku Bali Tempoe Doeloe yang disusun Adrian Vickers.
Dikisahkan, pemangku kekuasaan Baliling kala itu, Guati Moorah Gede Karang, dibunuh saat terjadi pemberontakan di Djembrana. Kemudian Dewa Pahang, anak lelaki yang juga penerusnya, terlibat pertengkaran dengan pamannya, Gusti Moorah Lanang, raja Karang Assam (kini Karangasem).
Dia pun bersumpah akan menangkap sang paman dan meminum darahnya. Kemudian, darah itu akan dipakai mencuci rambut saudara perempuannya. Ancaman ini dia kirim melalui surat pada Gusti Moorah Lanang, yang kemudian juga membalas melalui surat, akan akan menangkap Dewa Pahang, lalu memenggal kepalanya dan mencincang tubuhnya hingga berbentuk potongan-potongan kecil.
Bahkan bila Dewa bermurah hati mengabulkan keinginannya ini, Lanang akan membuat pura dari tulang manusia lalu menyelimutinya juga dengan kulit manusia, sebagai bentuk penghormatan.
Singkat kata, dua kerajaan tersebut berperang. Kerajaan Baliling menang, Raja Moorah Lanang terusir. Namun Lanang berhasil meloloskan diri. Hingga kemudian dia berhasil membalas dendam lewat bantuan Raja Kalong Kong (kini Klungkung).
”Bukankah dulu kamu berjanji akan meminum darahku? Inilah yang mendorong aku memenggal kepalamu. Janji adalah janji, aku tak mungkin melanggarnya. Maka terimalah ini...” ujarnya. Gusti Moorah Lanang pun memenggal kepala Dewa Pahang, kemudian memutilasinya dan mengirimkan potongan potongan tubuh itu kepada beberapa raja sebagai bukti keberhasilannya.
Masih banyak lagi, masih banyak lagi... Kekejaman ini terus berlanjut hingga ratusan tahun setelahnya, hingga saat ini. Tentunya kita masih ingat tentang konflik di Ambon, Sampit atau yang menimpa penganut Ahmadiyah Cikeusik?
Dalam skala kecil, kita sering saksikan antar kita sendiri saling serang. Mulut kadang kasar, membentak, memaki, mengintimidasi, memerangi orang yang dianggap beda. Kenapa masyarakat kita kian piawai melakukan kekerasan? Bully dianggap biasa, membunuh jadi tren?
Inikah yang katanya bangsa nan ramah? Inikah adat ketimuran itu?
Sudah hilangkah negeri yang penduduknya terkenal manis budi bahasa, lemah lembut perangainya, saling menghormati, saling menghargai hak azasi itu? ***

Kamis, 24 Mei 2012

Lady Gagal?

Heboh Lady Gaga akhirnya sampai juga ke Indonesia. Ini terjadi setelah rencana konser penyanyi asal Amerika itu di Gelora Bung Karno Jakarta, pada tanggal 3 Juni mendatang, ditentang banyak pihak. Alasannya, penampilan Lady Gaga dinilai tidak sesuai dengan budaya dan moral bangsa Indonesia.
Penentangan ini akhirnya direspon Kepolisian Indonesia, dengan melarang konser tersebut. Menurut Juru Bicara Polri Saud Usman Nasution mengatakan, pertimbangan diambil berdasarkan surat dari Seketariat Negara yang mendapat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, DPR dan beberapa organisasi masyarakat.
Jika konser tersebut masih berlangsung, kepolisian akan menindak tegas pihak penyelenggara. Inilah yang kemudian memicu pro kontra di masyarakat. Lagidan lagi, masyarakat bagai berdiri di dua tebing, sekuler-agamis, liberal-fasis, ortodok-progresif.
Kehebohan ini kian besar, seiring perkembangan teknologi informasi, berita pembatalan konser Lady Gaga ini mendunia, membawa efek bola salju yang kian membesar. ”Makin terpuruk negeri ku,” komen seorang dari kelompok liberalis.
Alasan pelarangan konser penyanyi yang bernama lengkap Stefani Joanne Angelina Germanotta ini, sebagaimana disebut di atas, karena tidak sesuai dengan budaya dan moral bangsa Indonesia.
Apakah konser satu malam Lady Gaga bisa merusak budaya dan moral bangsa ini? Entahlah. Tanpa Lady Gaga pun, budaya akan terus berkembang dan berubah tanpa henti, karena budaya adalah produk dari interaksi antar kelompok manusia. Tidak ada budaya yang tidak berubah karena perubahan itu adalah mekanisme ineheren dalam suatu budaya untuk terus bertahan dan tetap relevan.
Namun ada yang menarik, mungkin saja pelarangan tersebut ada kaitannya karena selama ini Lady Gaga dituding sebagai agen Illuminati, sebuah organisasi persaudaraan rahasia kuno yang pernah ada dan diyakini masih tetap ada sampai sekarang. Para Iluminatus (pengikut Illuminati) itu mempersiapkan sebuah kedatangan si Mata Satu (Horus), dewa pagan untuk tatanan dunia baru.
Illuminati dinilai memiliki pandangan-pandangan yang menyimpang (bid’ah) Menurutnya, dengan penjelasan logis ilmu pengetahuan, maka tak akan ada lg misteri Tuhan karena semua ada jawabannya.
Dalam perkembangannya, konsep paganisme dan satanic protocol terlihat ketika Illuminati berpadu dengan gerakan rahasia Freemanson, yakni mengendalikan pikiran manusia dengan cara menyusupkan agen rahasia dalam beragam macam sendi --salah satunya lewat musik-- yang terkonsep dalam sebuah agenda besar, ”The Protocol of Zionism.”
Salah satu ciri Freemason ini, selalu menampilkan simbol piramida buntung dan simbol cahaya dengan mata satu (dewa Horus) di tengahnya, sebagaimana tampak pada lembaran uang 1 dolar AS.
Tudingan inilah yang dialamatkan pada Lady Gaga, karena dalam setiap konser, penampilan maupun klipnya, dia konsisten menampilkan simbol mata satu dan pengendalian pikiran. Selain itu, Lady Gaga dituding membuat referensi yang jelas pada Baphomet (Iblis).
Apakah benar Lady Gaga agen Illuminati dan musisi satanik? Entahlah. Yang jelas, saat ini kita konflik lagi konflik lagi. ***

Kebun Raya, Mimpi

Dengarkan, ada berita menarik... Batam akan memiliki kebun raya dan taman rekreasi yang luasnya sekitar 87 hektare, lebih luas dibanding kebun raya Bogor.
Beragam jenis tumbuhan akan ditanam di sini. Nama kebun raya dan taman rekreasi yang berlokasi di Jalan Hang Lekir, Kelurahan Nongsa ini adalah, The View of Indonesia. Wow, keren.
Nantinya, di kebun raya tersebut akan diisi seluruh tanaman atau tumbuhan yang ada di seluruh daerah di Indonesia. Fungsi lainnya, sebagai fasilitas penelitian dan tempat wisata, yang diharapkan dapat menarik turis lokal dan manca negara, dalam hal ini Singapura dan Malaysia.
Tak hanya itu, di sana akan dibangun seluruh rumah adat dan khazanah budaya dari 33 provinsi di Tanah Air. Intinya, kebun raya Batam akan didesain sebagai gerbang masuk ke Indonesia jadi turis akan memahami berbagai daerah di kawasan tersebut sebelum mereka mengunjunginya.
Karena itulah, Kebun Raya ini juga akan menjadi pusat informasi bagi daerah lain dan ini dimanfaatkan Pemko Batam untuk menggaet lebih banyak lagi turis asing.
Untuk mewujudkan impian tersebut, Senin (21/5) lalu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan serta Kepala BP Batam Mustofa Widjaya telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta.
Kepada wartawan, Wali kota Batam Ahmad Dahlan mengaku optimis pembangunan Kebun Botani seluas hampir 100 hektare itu rampung dalam dua tahun setelah Detail Engineering Design (DED)-nya dibuat tahun 2013 nanti.
Untuk Kebun Raya sendiri, dibutuhkan lahan sekitar 87 hektare, sedangkan pembangunan Taman Rekreasi The View of Indonesia atau Taman Mini-nya Indonesia di atas lahan seluas 20 hektare.
Adapun sumber pendanaan Kebun Raya yang terletak dekat Waduk Nongsa dan kawasan wisata Batam View tersebut, berasal dari APBD Kota Batam dan APBN secara berkelanjutan.
Untuk pembiayaan, Dahlan mengatakan mulai tahun ini Pemko memasukan anggarannya dalam APBD Perubahan nanti yang akan disampaikan sekitar Agustus 2012 nanti.
Lau berapa besar dana yang dirogoh untuk pembangunan kebun raya serta taman rekreasi bertajuk The View of Indonesia tersebut? Apakah akan dibangun pemerintah provinsi, pemko, BP Batam, atau kita pihak swasta? Belum jelas.
Apalagi rencana ini juga belum ada dalam peraturan daerah rencana pembangunan jangka menengah Batam. Masalah lain, ternyata DPRD juga belum tahu berapa anggran kebun raya Batam ini. Namun diprediksi bakal menelan ratusan miliar rupiah. Waduh, salah-salah APBD Batam untuk pembangunan yang cuma dialokasikan Rp300 miliar (dari Rp1,4 triliun total APBD) habis.
Padahal, dari Rp300 miliar itulah yang dipakai untuk perbaikan jalan, penanganan banjir, pembangunan/pernaikan sekolah, dan sebagainya. Tentunya, dana tersebut masih sangat jauh dari cukup. Apalagi, nanti harus tersedot ke kebun raya.
Maka itu, tuan wali kota, di balik besarnya keinginan untuk memiliki lanskap yang prestisius, mending dipikir ulang. First thing first, pakai skala prioritas, itu tentu lebih baik. Buat apa punya kebun raya, bila jalan banyak rusak, banjir tak tertangani, sekolah kurang atau banyak rusak? Think again! ***

Jumat, 18 Mei 2012

Mengontrol Kinerja Pers

Senin 7-8 Mei lalu, saya diundang berbagi tentang cara membuat pers rilis, berita dan feature, dalam Diklat Kehumasan dan Jurnalistik di Lingkungan Bank Riau Kepri, di Hotel Grand Elite Pekanbaru. Pesertanya ada 30 Kepala Cabang Bank RiauKepri, se Riau dan Kepri.
Tentu saya bangga bisa berbicara selama 2 jam lebih, di depan orang-orang hebat ini. Namun, yang lebih membanggakan saat mengetahui bahwa saat ini masyarakat sangat peduli akan dunia jurnalistik. Ini bagus karena pers asalnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Semangatnya sama dengan demokrasi, karena memang pers adalah pilar ke empat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dari sini saya teringat tulisan Farid Gaban, ”Jurnalisme terlalu penting untuk hanya diurus para wartawan saja. Publik perlu mempersenjatai diri dengan pengetahuan bagaimana industri media beroperasi, bagaimana wartawan bekerja.”
Saat ini, seiring maraknya jejaring sosial, kian banyak masyarakat yang peduli pada kinerja wartawan. Hal ini tampak dalam peristiwa tragedi Sukhoi, baru-baru ini. Bila menyimak di twitter, tampak bagaimana masyarakat aktif mengontrol kinerja wartawan, mulai dari cara wawancara, sampai penyajian berita dan gambar/foto. Luar biasa! Dampaknya, wartawan kian terbantu manyajikan berita yang aman dan dibutuhkan masyarakat. Bukankah berita dibuat untuk dibaca? Dan agar dibaca, tentunya harus dibutuhkan.
Hal ini jua yang saya sampaikan pada para peserta, yang memang sangat antusias ingin tahu. Sehingga tak jarang, materi pers rilis, berita dan feature yang saaya bawakan, sempat melebar, demi menjawab pertanyaan peserta yang sangat ingin tahu akan proses produksi koran.
***
Hal yang banyak ditanyakan dalam pelatihan itu tentang kode etik jurnalistik. Menurut saya, kode etik adalah standar kerja yang harus dimiliki wartawan supaya tak melanggar aturan. Kode etik itu sendiri adalah satu titik tengah yang dianggap paling maksimal.
Sebab kebebasan pers kadang berseberangan dengan keinginan orang mendapat privasi. Kode etik jurnalistik bisa memaksimalkan manfaat kemerdekaan pers dan meminimalkan dampaknya. Dibanding undang-undang sifatnya lebih dinamis, mudah berubah, karena berbasis pada nilai-nilai masyarakat. Makanya kode etik sering direvisi tiap tiga tahun sekali. Sering kali kode etik ini ditabrak dengan alasan ”menulis berita investigasi”.
Padahal investigasi hanya dibenarkan bila menyangkut pelayanan publik, itupun harus diketahui pimpinan media. Misalnya menyamar dan sebagainya. Intinya, wartawan haruslah menghormati hak privasi, kecuali untuk kepentingan umum. Jangan sampai investigasi, tapi mengorek-ngorek privasi.
Kode etik ini meliputi: menyajikan berita berimbang, yang berarti kedua belah pihak sama-sama diberi kesempatan untuk membela diri. Selanjutnya azaz praduga tak bersalah artinya, orang yang tertuduh diberi kesempatan untuk menceritakan versinya.
Kode etik juga mengatur tentang cabul. Yang dimaksud ”cabul” di sini adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, tulisan dan gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan birahi.
Khusus para korban asusila atau kriminal di bawah umur, kode etik juga mengatur agar identitas si korban, sebagai alamat untuk meudahkan orang untuk melacak, dirahasiakan. Bila perlu tak disebut dalam berita.
***
Ada sesi yang mendebarkan, ketika ada sesi pertanyaan tentang ”amplop”. Saya sempat bergumam, ”Wah... Bagaimana jawabnya nih...” Karena dalam Kode Etik Jurnalistik sendiri tidak mengatur soal ”amplop”. Yang ada soal suap.
Pasal 6 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia tak boleh menerima suap: segala sesuatu yang dapat mempengaruhi independensi: berdiri sendiri/bebas/tak terikat (memberitakan berita sesuai fakta: hati nurani tanpa campur tangan pihak lain, baik di luar atau dalam media.
Soal amplop ini sempat saya tanyakan pada tokoh pers Nasional Atmakusumah Astraatmadja. Dia menjawab singkat, ”Bila pemberian yang anda terima tanpa mempngaruhi independensi, silakan. Namun harus tetaplah menjadi pertimbangan anda!” Hal ini jua yang saya sampaikan pada para peserta.
Namun bila amplop yang dimaksud itu adalah suap untuk mempengaruhi independensi media, maka wartawan yang bersangkutan pasti mendapat sanksi keras dam tegas.
Sedikit mengulas ke belakang, seorang wartawan ibu kota pernah berkisah, di medianya punya kebijakan, setiap awak redaksi yang dapat amplop, harus diserahkan ke sekretariat redaksi.
Amplop-amplop itu kemudian ditempel di papan. Setelah uang terkumpul, hasilnya kembali disalurkan untuk narasumber. Misalnya untuk beli suvenir berupa buku dan sebagainya, yang diserahkan pada momen tertentu, misalnya hari ulang tahun dan semacamnya. ***

Jumat, 04 Mei 2012

KC-X: Kepri Centre of Excellence

Selasa, 24 April lalu Kepri Center of Excellence sukses menggelar diskusi tentang kepabeanan. Beberapa pengusaha dan pejabat terkait, hadir dalam diskusi di Hotel PIH, Batam ini.
Di kolom ini, saya akan berbagai sedikit tentang apa itu Kepri Center of Excellence yang disingkat ”KC-X” itu. Sebenarnya, dari singkatannya, K-CX (baca ke si ex) kita sudah bisa melihat visinya. K, atau key, C atau see, X atau extraordinary. Maksudnya kunci untuk menatap sesuatu yang luar biasa. Bisa itu potensi dan semacamnya.
Karena itulah di KC-X haruslah berisi orang orang yang peduli dan resah melihat ketidak beresan, untuk kemudian menelaah dan hasilnya disampaikan pada orang yang bersangkutan.
Bila ketidak beresan itu ada di lingkar birokrasi, maka tugas KC-X lah menyampaikan analisanya pada kaum birokrat. Bila itu di lingkar ekonomi, maka telaahnya disampaikan pada pelaku bisnis.
Bila filusuf Yunani, Socrates selama ribuan tahun dikenang sebagai ”lalat” penganggu yang membuat lembu bangun dan kuda bergerak, karena menjadi Sang Penanya agar kita tak buta tuli, maka KC-X akan menjadi jam weeker untuk menyadarkan mereka yang terlelap.
Saya sebut "menyadarkan", bukan "membangunkan", karena orang yang hakikatnya bangun, melek, terjaga, belum tentu sadar.
”Sadar” harus dibedakan dengan ”terjaga”. Sadar terkait ”memahami” dan ”menyadari” sesuatu yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya . Sedangkan terjaga hanyalah sekadar membuka mata (melek), alias tidak tidur atau pingsan.
Orang yang melamun, mabuk bahkan kesurupan, bisa dikatakan terjaga (melek). Namun tidak bisa dikatakan sadar. Karena ada kalanya dia tak menyadari dan memahami apa yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya.
Maka itu dengan menyadarkan, maka kita akan mudah untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik, tentu saja.
Kita selama ini tentu tahu bahkan mengerti akan pentingnya sebuah perubahan. Hanya saja kadang belum sadar, sehingga hal yang kita ketahui, tidak meresap lalu melahirkan perbuatan untuk menuju ke arah perubahan yang diinginkan bersama.
Inilah tugas utama K-CX. Untuk itu, lembaga CSR Riau Pos Divre Batam ini akan aktif melkukan kajian-kajian keilmuan, baik melalui studi, studi, maupun penerbitan buku.
Apakah KC-X semacam lembaga profit atau LSM?
Saya jawab, tidak. KC-X hanyalah sebuah kelompok diskusi yang menelaah tentang keilmuan. Maka itu, KC-X tak memiliki struktur organisasi gemuk, layaknya sebuah LSM atau partai politik.
KC-X hanya punya seorang ketua, Candra Ibrahim dan beberapa pengurus, termasuk saya. Anggotanya? Siapa saja boleh bergabung. Namanya juga kelompok diskusi, asal anda punya pemikiran yang layak untuk disampaikan, maka silakan saja merapat ke KC-X, karena KC-X adalah rumah intelektual bagi semua.
Kira-kira semangat KC-X ini tertular dari tokoh adiluhung dari Melayu-Riau abad ke-19. Dia adalah Zaman dan Nama dari kebudayaan Melayu-Riau abad ke-19 yang nyaris redup —dan dia membuatnya bersinar abadi.
Dia adalah Raja Ali Haji, Pulau Penyengat tempat lahirnya jua kuburnya. Dari Pulau Penyengat inilah dia memancarkan cahaya ilmu pengetahuan penerang nusantara hingga dunia, yang terus bersinanr hingga saat ini.
Penggambaran tentang sosok Raja Ali haji saya temukan di tulisan Jamal D Rahman. Menurutnya, Raja Ali Haji adalah sosok intelektual serbabisa. Dia menulis buku politik, sejarah, agama, hukum, bahasa, dan sastra. Tentu juga dia mengajar.
Raja Ali Haji menandai babak baru sejarah kebudayaan Melayu. Dia penulis pertama puisi bergaya gurindam. Penulis pertama tatabahasa Melayu. Penulis pertama kamus ekabahasa Melayu.
Sebagai seorang pujangga, dia adalah pintu abadi sejarah politik dan kebudayaan Melayu, khususnya Melayu Johor-Riau-Lingga-Pahang, lebih khusus lagi Riau-Lingga. Siapa pun yang akan memasuki sejarah politik dan kebudayaan Melayu Riau-Lingga, dia akan melewati pintu itu, langsung atau tidak.
Dari sanalah dia bisa memasuki rumah besar sejarah Melayu Riau-Lingga dan mengenal lekak-liku-likat kehidupan politik dan kebudayaannya yang gemilang sekaligus penuh guncangan.
Sebagai pengarang, Raja Ali Haji melahirkan sedikitnya 12 judul buku. Sebagian besarnya berupa syair. Mewarisi khazanah kebudayaan Melayu dan tradisi intelektual Islam, terutama dalam bidang bahasa, sastra, dan agama, Raja Ali Haji telah mewariskan banyak hal pada generasi sesudahnya.
Raja Ali Haji telah memberikan sumbangan penting pada kebudayaan Melayu-Indonesia. Dalam arti itu dia telah melakukan sesuatu yang tepat bagi kebudayaan Melayu-Indonesia itu sendiri.
Beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, maka dengan segores qalam (pena) jadi tersarung. —Raja Ali Haji dalam Bustanul Katibin. ***