Selasa, 30 April 2013

Televisi Politik

Alais politik ternama Amerika, Michael Barone berkata, ”Survei bagi politisi, ibarat kita memerlukan udara untuk bernapas.”

Politik adalah alat mendapat kekuasaan, untuk itu perlulah para petarung memangkan hati masyarakat. Di era demokrasi digital ini, dukungan masyarakat itu dapat diraba melalui survei. Survei ini ibarat lampu lalu lintas bagi mereka apakah akan terus melaju, atau berhenti sama sekali.

Untuk melakukan survei tersebut, peran media sangat strategis. Ya, media, baik cetak, khususnya elektronik dalam hal ini televisi. Mengapa televisi? Sifatnya yang hanya mengandalkan telinga (audio) dan mata (visual), membuat media ini disukai.

Jangkauannya luas, hingga ke ceruk-ceruk wilayah terpencil tanpa memerlukan distribusi selain itu juga mampu menyajikan gambar peristiwa secara langsung. Karena itulah, kian maraknya televisi kian menggerus minat baca masyarakat. Dalam survei terbaru, menonton televisi menempati angka 68 persen dibanding mengonsumsi media jenis lain! Menonton lebih dinikmati daripada membaca.

Karena bersifat audio dan visual, membuat hegemoni televisi sangat ampuh dalam mempengaruhi psikologi masyarakat. Dan pengaruh itu terus menular pada masyarakat di bawahnya. Hal inilah yang membuat partai politik maupun politisi ”ngiler” untuk memiliki stasiun televisi sebagai alat memoles persepsi partai dan dirinya untuk meraih kemenangan, utamanya membuat mereka memiliki magnet elektoral, personal baranding, dan partai branding yang berkualitas.

Namun untuk membuat stasiun televisi bukanlah hal mudah dan murah. Perlu invstasi yang luar biasa mahal, hingga ratusan miliar rupiah! Televisi media teknis, di mana sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik nan rumit.

Padat modal, padat teknologi canggih, membuat biaya operasional televisi juga sangat tinggi. Untuk bisa bertahan hidup, televisi memerlukan asupan dana tak sedikit yang mereka dapat dari iklan. Tentu saja, harga iklan televisi sangat mahal dibanding dengan media lainnya.

Misalnya untuk acara ber-rating tinggi, harga iklannya dipatok sangat tinggi. Untuk iklan dengan durasi 15 hingga 30 detik saja, harganya sekitar 10 juta hingga 15 juta rupiah! Contoh, acara Termehek-mehek di Trans TV, harga iklannya mencapai Rp 5,5 juta per slot, dengan durasi 30 detik.

Memang harga ini tak seragam, tergantung ”hukum ekonomi”, semakin banyak dikonsumsi maka akan semakin mahal. Namun bila dikalkulasikan, rata-rata tarif iklan televisi terbagi dalam dua jenis, tarif murah berkisar 50 ribu hingga 350 ribu rupiah per spot (durasi 15-30 detik) dan tarif mahal berkisar 6 juta hingga 16 juta rupiah per spot (durasi 15-30 detik).

Tak aneh bila media televisi sangat kompromistik pada orang-orang yang dianggap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mereka adalah media owner (pemilik/pemegang saham), media darling (orang yang memiliki nilai berita), media client (pemasang iklan).

Hingga kemudian, di saat para pemilik stasiun televisi ikut terseret pada arus politik, membuat stasiun televisi ikut ”berpolitik”. Hal tersebut adalah hak media yang harus dilindungi. Seperti kita lihat, bagaimana Aburizal Bakrie mengenalkan diri dan partainya di TV One, juga Surya Paloh berpidato panjang lebar tentang partainya di Metro TV dan Harry Tanoe yang mengenalkan haluan politiknya di MNC grup. Hal ini juga merembet ke media cetak.

Ya... Selamat datang di era liberalisasi sistem demokrasi, di mana banyak media ikut terseret arus politik pemiliknya. Mau bagaimana lagi? Tak ada aturan bahwa seorang aktivis politik termasuk kandidat presiden tak boleh memiliki lembaga penyiaran. Asal punya uang ratusan miliar, kenapa tidak?

Juga, tak ada aturan di Indonesia ini yang mutlak melarang pemanfaatan media untuk kepentingan politik dan menayangkan iklan politik. Baik itu UU Pers 1999 maupun UU Penyiaran 2002. Namun khusus di televisi, ada kalimat agar menjaga netralitas isi siaran dan tak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Tapi tetap saja, di UU tersebut tak memuat sanksi bila media bersangkutan melanggarnya. Yang ada hanyalah amanat untuk membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memilliki kewenangan menetapkan apa yang disebut sebagai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3-SPS).

Angin segar dari KPI ini berupa dibuatnya pasal khusus tentang siaran pemilu (pasal 50) di mana media diharuskan bersikap adil dan proporsional serta tak boleh bersikap partisan terhadap peserta pemilu.

Hal ini sebenarnya juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Meski televisi di AS secara hukum tidak boleh berpihak pada kandidat atau partai politik manapun, karena itu jaringan televisi FOX sering
dikritik karena sikapnya yang anti-Obama.

Meski begitu, di AS ada ketetapan dari Federal Communications Commission (FCC) tentang ”equal time rule” bahwa setiap stasiun televisi atau radio wajib menyediakan waktu seimbang bagi setiap kandidat yang sedang bertarung dalam pemilu. Bila stasiun menyediakan satu jam siaran penuh bagi salah satu kandidat untuk berkampanye, media tersebut wajib menyediakan kesempatan yang sama (panjang waktu siaran sama, jadwal tayang setara, jumlah audiens seimbang) pada kandidat lain.

Dalam hal iklan kampanye FCC juga mengatur dengan sangat keras dan ketat. Media tak boleh bersikap diskriminatif pada pemasang iklan dari kandidat A maupun kandidat B. Misalnya, jangan mentang-mentang kandidat A punya media, maka iklannya bisa murah dan kandidat B mahal.
Bila praktik diskriminasi ini dilaporkan, maka stasiun televisi tersebut akan dapat sanksi keras.

Sebenarnya bukan rahasia lagi, upaya memaksa lembaga penyiaran bersikap imbang memang tak mudah. Sebenarnya kondisi ini sudah sering menuai protes publik. Namun menurut saya, biarkan saja. Toh nanti apa yang disampaikan dari media baik cetak atau elektronik yang berhaluan politik A, akan terkonfirmasi dan terklarifikasi dari media berhaluan politik B. Begitu seterusnya.

Selain itu, kian cerdasnya masyarakat membuat mereka kian mampu melakukan seleksi ketat pada media yang terkontaminasi politik dan dirasa kurang pas dengan pandangannya. Dan ini mau tak mau menjadi early warning bagi lembaga penyiaran, untuk segera mengubah langkah.
***

Kenaikan Harga BBM

Pemerintah tetap akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kali ini tak lagi menggunakan dua harga seperti rencana sebelumnya, melainkan satu harga, kemungkinan Rp6.500.

Seperti diketahui, sebelumnya ada wacana menaikkan BBM dengan dua harga, yaitu BBM untuk sepeda motor dan angkutan kota Rp4.500 sedangkan untuk mobil pribadi Rp6.500.

Dua harga ini pun adalah wacana lanjutan, dari sebelumnya rencana pemerintah yang ingin melakukan langkah penghematan BBM dengan melarang kendaraan pemerintah mengisi BBM bersubsidi alias premium.

Penghematan BBM memang harus dilakukan, mengingat diperkirakan 10 tahun mendatang cadangan minyak kita sudah habis. Saat ini saja, kian menipis, Pertamina makin jarang menemukan sumur-sumur baru.

Akhirnya, impor tak terelakkan yang kita tahu bersama harganya akan terus meroket. Hal ini tentu akan memberatkan beban yang ditanggung pemerintah. Karena, agar harga tetap di Rp4.500 pemerintah harus mensubsidi habis-habisan dampai Rp320 triliun. Sebuah angka fantastis bila dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan.

Mensubsidi saja sudah berat, sialnya lagi di lapangan, kebocoran subsidi BBM ini sangat besar. Subsidi yang seharusnya untuk rakyat ini, malah jadi pesta pora para penyelundup dan maling BBM bersubsidi.

Ini yang membuat simalakama. Disubsidi, banyak bocornya, tak disubsidi BBM akan naik, beban APBN kian berat.

Belum lagi ancaman dari serikat buruh yang akan terus unjukrasa karena bila BBM dinaikkan akan menbuat daya beli mereka turun 30 persen, inflasi pasti terjadi, dan lain-lain.

Namun, apapun namanya apapun ancamannya subsidi BBM memang harus perlahan dikurangi, karena segala bentuk subsidi ini tak akan menyehatkan kas negara.

Namun, pemerintah haruslah mengalihkan subsidi itu untuk kemas.ahatan rakyat yang bersifat memberdayakan, bukan memanjakan semacam BLT.

Selain itu, sudah saatnya di SPBU dikontrol ketat agar tak terjadi lagi aksi pencurian dengan menggunakan mobil yang mengisi berulang-ulang dan tangkinya dimodifikasi.

Caranya, dengan memasang alat teknologi informasi yang dapat memantau lalulintas kendaraan bermoror yang mengisi BBM. Memang harganya mahal, namun lebih murah dibanding mensubsidi BBM. ***

Kamis, 25 April 2013

Juragan Kapal 2

Adi Lingson, Anak Batam Pencipta Kapal Lambung Datar di Indonesia (2-Habis)
Ide dari Dosen, Sabet Juara 1 Technopreneurship


"Bila saja saya tak berani maju mewujudkannya, mungkin teknologi kapal lambung datar ini tak akan dikenal orang. Ide harus diterjemahkan, bila tidak akan mengendap."

Itulah yang disampaikan Adi Lingson, anak Batam pencipta kapal lambung datar, atau flat bottom hull di Indonesia, saat berkunjung ke redaksi Batam Pos, lantai II Graha Pena Batam, Rabu (24/4) lalu.

Adi yang datang bersama General Manager Batam Pos Entrepreneur School (BPES) Lisya Anggraini tersebut menjelaskan ikhwal mula penciptaan kapal berlambung datar tersebut.

Awal ide ini tahun 2011. Saat itu Adi duduk di smester VI, di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Perkapalan Universitas Indonesia (UI), angkatan 2008-2012. Adi melanjutkan kuliah ke UI usai menamatkan pendidikan di SMA 4 Tiban, Batam.

Adalah Hadi Tresno Wibowo, dosennya saat itu yang menantang mahasiswanya untuk mewujudkan idenya membuat kapal berlambung datar. Ide ini telah lama mengendap di kepala Hadi, namun belum ada yang berani menjawab tantangannya.

Hingga akhirnya saat dia kembali mengemukakan idenya awal 2011 itu, dari puluhan mahassiawa UI, hanya 4 orang yang mau menjawabnya. Mereka adalah Adi Lingson, Sanlaruska, Muhammad Primadyah Putra, dan adik tingkatnya, Muhammad Faisal (angkatan 2009).

Kemudian empat orang ini berkumpul di sebuah kafe, untuk mewujudkan ide Hadi Tresno Wibowo. Agar fokus, merekapun sepakat membentuk grup bernama Juragan Kapal.

"Saat itu desain yang diberi Pak Hadi sangat sederhana. Hanya perahu dengan panjang empat meter," jelas alumni SMP Harmoni, Batam ini.

Untuk mengejawentahkan ide tersebut, semula mereka membuat purwarupa dari kayu (multipleks). "Saat itu kami patungan beli bahan dan terkumpul Rp7 juta," kenangnya. Namun di tengah jalan, modal itu habis. Bingunglah para "juragan kapal" itu.

Namun dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Ibarat pepatah Arab, "Man jadda wa jadda!" (siapa bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil). Empat sekawan itu kemudian mengajukan proposal ke UI Smart Enterpreneur Program.

"Proposal diterima. Kami dapat Rp24 juta untuk memulai bisnis. Inilah pendanaan pertama yang kami dapat," terang Adi yang dulu bersekolah di SD 006 Seipanas, ini.

Hingga di bulan September 2011, mereka mendapat tambahan pendanaan dari Direktorat Pendidikan Tinggi khusus mahasiswa yang ingin memulai bisnis. Akhirnya, metekapun serius berbisnis. Juragan Kapal yang semula nama grup, kami jadikan nama unit bisnis.

Usaha ini terus ditekuni, inovasi terus dilakukan di antaranya pemasangan mesin yang tak hanya ditanam, juga bisa menggunakan mesin tempel. "Kalau dari kami menggunakan mesin multiequipment diesel 27 PK," terangnya.

Selain itu, luas bidang basahnya juga disempurnakan, lebih kecil dan bentuknya aerodinamis, membuat karakter air yang melewatinya juga bagus, sehingga hambatan tak terlalu kelihatan.

Maka pembeli-pun datang. Di antaranya PT Kharisma Cipta Lugas, Depok yang membeli satu kapal pembersih dampah untuk membersihkan sampah di danau UI.

Dilanjut Koperasi nelayan Cirebon, Balongan yang membeli satu kapal nelayan, kemudian ada Rifki, pengusaha di Pulau Tidung, Pulau Seribu yang membeli satu kapal pariwisata. Terakhir ada Subdit Pembinaan lingkungan Kampus (PLK) UI, yang membeli satu kapal penyelamat.

Rata-rata kapal yang dibeli ukuran panjang tujuh meter. "Sebenarnya bila ada yang mau, kami bisa membuat yang berukuran 20-30 meter," ujarnya.

Selain terus menjalankan bisnis, Juragan Kapal tetap giat ikut beragam kompetisi bidang teknologi. Yang paling tak terlupakan saat mereka ikut Kompetisi Nasional Technopreneurship Pemuda Kementrian Riset dan Teknologi, Juli 2012, lalu.

"Saya ikut ajang ini atas dorongan mentor kami, dari UI. Saat itu daya berpikir, bisa lolos 30 besar aja sudah hebat," kenangnya.

Mereka pun bersaing dengan 333 proposal (tim) se Idonesia. Pada seleksi pertama, 333 peserta tersebut tersisa 69 tim yang kemudian ikut pelatihan bootcamp dengan pelatih dari Universitas Ciputra Entrepreneurship Centre (UCEC).

Dalam karantina selama 10 hari itulah Juragan Kapal dilatih bangaimana membangun nilai-nilai entrepreneurshop. Selanjutnya mereka diminta melakukan presentasi selama 3 menit di pan 10 juri dari beberapa kementrian.

Akhirnya Juragan Kapal berhasil menyabet juara 1 dan dapat pendanaan usaha sebenar Rp50 juta. Hingga kini, mereka terus dimentori UCEC untuk pengembangan bisnis. Yang paling penting, UCEC bisa jadi fasilitator dan pembuka jejaring bisnis. "Kami juga kerap terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang digelar Kemenristek," jelasnya.

Namun adakalanya kebersamaan itu berakhir. 20 April 2013 lalu, teman satu timnya, Muhammad Primadyah Putra keluar untuk melanjutkan studi S2 ke Jerman di bidang perkapalan. Tinggallah kini Juragan Kapal hanya diawaki Adi Lingson, Sanlaruska, dan Muhammad Faisal.

Untuk memudahkan kinerjanya, Adi merekrut satu karyawan tetap di bidang desain. Namanya Suparlan. Dan dua bulan lalu, unit bisnisnya telah berubah menjadi perseroan terbatas. Jadilah PT Juragan Kapal Indonesia yang berkantor di ruko Sentra Menteng sektor 7, Bintaro, Tangerang Selatan.

"PT wajib ada untuk memudahkan mengajukan usulan proyek, jafi tak berbenturan di kontrak," terang fans Ashton Kutcher, itu.

Setelah menjadi perusahaan, Adi berpikir keras untuk mendapatkan income tetap. Diapun punya ide menggandeng Rifki, pengusahaiwisata laut di Pulau Tidung yang membeli kapalnya, untuk join venture.

"Jadi nanti ada setoran bulanan. Kalau tak gitu, nunggu proyek doang, tak ada duit," akunya polos.

Diapun saat ini juga sibuk mengambangkan wisata laut di Pulau Seribu, dan pada Mei mendatang akan mengerjakan satu kapal nelayan kerang hijau, pesanan Dompet Duafa untuk pemberdayaan masyarakat Karang Antu, Serang, Banten.

"Selanjutnya kita akan ekspansi ke bahan alumunium, dan mengembangkan jaringan bisnis di Batam," tekadnya.

Lalu bagaimanakah nasib Hadi Tresno Wibowo, dosennya yang menemukan disain kapal lambung datar itu? "Oh, pak Hadi kami kasih royalti atas penemuannya itu," terangnya sembari menambahkan, bahwa kapal rancangannya telah dipatenkan atas nama "Kapal Plat Datar" dari Kemenristek.

Hadi sendiri, lanjut Adi, tak menyangka bahwa idenya yang hanya disain ala kadarnya, bisa diwujudkan dengan lebih baik lagi oleh Adi cs dan bisa dikembangkan dengan beragam purwarupa.

"Pak Hadi sampai heran, 'Gimana kalian bisa bikin begini?" Ya, saya jawab, 'inilah kalau anak muda yang maju, pak," terang Adi mengenang dialognya dengan sang dosen.

Inilah Adi Lingson, anak Batam yang berhasil menciptakan kapal lambung datar. "Dia masih muda dan mampu membuat terobosan tingkat nasional. Semoga hasil inovasinya ini bisa membantu transportasi kelautan Kepri, dan menginspirasi anak muda lainnya," harap GM BPES Lisya Anggraini. ***

Rabu, 24 April 2013

Juragan Kapal 1

Adi Lingson, Anak Batam Pencipta Kapal Lambung Datar di Indonesia (1)
Harga Lebih Murah, Bisa Dibikin di Mana Saja

Seorang belia asal Batam membikin terobosan di bidang teknologi perkapalan. Dari tangannya, lahir kapal dengan lambung datar pertama di Indonesia.

Rabu (24/4) siang, di ruang redaksi Batam Pos, lantai II Graha Pena Batam, seorang pria muda dengan kacamata berbingkai tebal ala Afgan, lugas menjelaskan beberapa gambar kapal hasil rancangannya, melalui laptop.

"Ini kapal khusus wisata, bagian bawahnya kaca, jadi penumpang bisa melihat keindahan bawah laut. Yang ini kapal nelayan dan yang ini rescue boat," ujarnya.

Sepintas gambar-gambar tersebut tak ada bedanya dengan kapal pada umumnya. Namun bila diperhatikan lebih teliti, ada perbedaan di bagian lambungnya. Bila umumnya lambung kapal berbentuk V (lengkung ke bawah/shape hull), lambung kapal rancangan belia tersebut datar (flat).

Anak muda tersebut adalah Adi Lingson (22). Adi sebenarnya tinggal di Jakarta. Pertemuannya dengan Batam Pos kemarin, difasilitasi oleh General Manager Batam Pos Entrepreneur School, Lisya Anggraini.

Berkat kreasinya membuat kapal lambung datar, belia asli Batam ini bersama timnya, berhasil memenangkan Technopreneurship Pemuda yang ditaja Kementrian Riset dan Teknologi, pada Juli 2012 lalu.

Kapal lambung datar atau flat bottom hull, memang bukan hal yang baru di dunia. Bentuk ini biasa dipakai kapal berkecepatan rendah, dan volume angkut yang tinggi.

Namun bila umumnya di dunia kapal lambung datar ini dipakai pada rancang bangun kapal tanker, di tangan Adi dan timnya, konsep kapal plat datar tersebut dibikin untuk kapal kecil (boat), seperti kapal nelayan, kapal wisata, kapal pembersih sampah, dan kapal penyelamat. Dan di Indonesia, baru Adi-lah bersama timnya yang pertama menciptakan kapal model ini.

"Materialnya sama dengan kapal lain, yakni baja," ujar Adi yang juga biasa disapa "Pahlawan", karena lahir tepat di hari Pahlawan, 10 November 1990, lalu.

Karena diciptakan tanpa melalui proses pelengkungan, maka kapal ciptaannya bisa diproduksi dengan cepat dan biaya lebih murah. Namun tetap kuat.

"Pelengkungan ini mememerlukan mesin press yang membutuhkan investasi mahal. Kapal lambung datar meniadakan proses tersebut, sehingga pembuatannya lebih singkat dan murah," jelasnya.

Dibandingkan kapal fibreglass, kapal ciptaan Adi ini lebih murah 30 persen. Bayangkan, untuk kapal nelayan dengan panjang 7 meter, lebar 2,6 meter dan tinggi 1,6 meter, Adi hanya membandrol Rp 65 juta.

"Saya memang ingin menciptakan kapal murah, agar terjangkau nelayan kita," jelas pecandu film action dan komedi romantic ini.

Sebagaimana data di ketahui, tahun lalu saja, ada 326.689 nelayan yang belum memiliki kapal sendiri. Di antara mereka banyak yg berada di pulau-pulau teluar yang kurang dilirik industri kapal besar.

"Bila ada yang berminat, maka disain akan disesuaikan dengan keinginan konsumen. Seperti ini contohnya," ujar sulung dari lima bersaudara, pasangan Harlas Simanungkalit dan Rina Siregar, sembari menunjuk sebuah gambar kapal di laptopnya.

Kapal tersebut berhias dengan warna-warna kental, khas pesisir. Ada merah hati, hijau dan hitam. Bagian bawahnya dari baja, di bagian atas dari kayu, lengkap dengan balok lunas menantang langit.

Balok lunas ini lazim ditemukan di setiap kapal, dengan bentuk dan variasi berbeda. Umumnya ada di depan dan di belakang. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita.

"Kapal ini pesanan nelayan Balongan, Cirebon. Makanya fungsi dan desainnya saya sesuaikan dengan kearifan lokal agar membangun rasa kepemilikan," ulas warga Bengkong Baru, Blok C, Nomor 22 ini.

Tak hanya desain, kapal-kapal buatan Adi juga disesuaikan dengan karakter perairan (ombak) di daerah konsumen. Misalnya, kapal di Pulau Tidung, Pulau Seribu, Jakarta, dibuat sesuai dengan karakterter perairan di sana. Namun tetap ada rekayasa konstruksi, dengan mengukur batas aman.

Keunggulan lain, masa pengerjaan kapal buatan Adi lebih cepat dibanding kapal jenis lain, semisal fibreglass. Hanya 2-3 bulan saja, selesai dibuat. Bahkan yang paling menarik, pembuatannya bisa dilakukan di mana saja.

"Asal punya mesin potong, mesin las, dan mesin bubut, sudah bisa bikin. Jadi tak usah ke galangan kapal khusus," tegas penghobi traveling dan futsal, itu.

Hingga saat ini, kapal rancangan Adi dibuat di tiga tempat yang dia tunjuk sebagai mitra kerja sementara, karena belum memiliki workshop. Uniknya, semuanya bukan di galangan kapal.

"Di antaranya di bengkel mobil di Depok, karoseri di Bitung, Tangerang, dan manufaktur di Cikarang, Bekasi," ungkap penggemar musik Country ini.

Dengan mudahnya dibikin tanpa memerlukan galangan khusus, sehingga kapal rancangan Adi mampu menembus nelayan di pulau-pulau terluar dan terpencil, di mana galangan kapal tak berani investasi ke sana akibat tingginya biaya, seperti di Kepulauan Riau ini.

Selain itu bila ada kerusakan, si pemilik bisa memperbaiki sendiri tanpa perlu dibawa ke galangan atau konsultasi dengan ahli kapal. "Simple dan praktis," ujar alumni SMAN 4, Tiban itu.

Dari sini, Batam Pos bertanya tentang kemampuan kapal lambung datar ini dalam hal kecepatan dan konsumsi bahan bakar. Sebagaimana diketahui, lambung kapal (hull) adalah badan yang menyediakan daya apung untuk mencegah tenggelam.

Rancang lambung ini penting, karena akan memengaruhi stabilitas, kecepatan, konsumsi bahan bakar, draft/kedalaman yang diperlukan dalam kaitannya dengan kolam pelabuhan yang akan disinggahi, serta kedalaman alur pelayaran yang dilalui kapal tersebut.

Nah, kita tahu bahwa kapal-kapal dengan lambung datar biasa dipakai untuk kecepatan rendah. Beda dengan bentuk V atau V shaped hull, yang biasa dipakai kapal-kapal berkecepatan tinggi atau untuk menaklukkan laut ganas, seperti pada kapal perang.

Menjawab ini Adi menjabarkan, bahwa pihaknya sudah mempertimbangkan hal itu. Untuk itu, kapalnya hanya diset pada kecepatan tak lebih dari 14 knot.

Maka itu dia menciptakan kapal yang tak dipakai dalam kecepatan tinggi, seperti kapal pembersih sampah, kapal wisata, kapal nelayan dan kapal penyelamat.

"Bersadar survei, nelayan kita hanya melajukan kapal sekitar 5-10 knot. Di bawah kecepatan maksimal kapal ini," tegasnya. ***

Selasa, 23 April 2013

Gerakan Membaca

Salah satu hak warga yang wajib dipenuhi oleh pemerintah adalah mendapatkan informasi. Namun, tak semua warga bisa mendapatkannya. Akses untuk hal tersebut terasa sulit didapat.

Informasi sangat penting untuk pembangunan mental dan intelektual masyarakat. Informasi adalah asupan bagi otak agar terus berkembang. Otak ibarat parasut, akan bekerja bila berkembang.

Agar membantu mengembangkan pikiran ini, tentunya perlu asupan informasi. Informasi ini juga ibarat pelumas dan asupan untuk membantu mengganti sel otak yang mati agar kinerja otak kita terus berkembang. Maka itulah pentingnya untuk selalu membaca.

Namun apa daya, minat baca masyarakat kita (Indonesia) terendah dibanding 52 negara-negara di kawasan Asia Timur. Ini tentu sangat membahayakan.

Organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) sempat melansir, dari 1.000 orang Indonesia hanya satu yang memiliki minat baca tinggi.

Ada berapa faktor yang membuat masyarakat Indonesia malas membaca. Pertama faktor lingkungan, khususnya keluarga. Keluarga ibarat sebuah tim, dan tingkah anggota tim umumnya mencontoh pemimpinnya.

Dari sini kita melihat, masih banyak orang tua yang tak menurunkan budaya membaca (literasi) pada anak-anaknya. Mereka malah menurunkan kebiasaan menonton televisi. Hal ini sama saja dengan mengumpankan anak-anaknya pada "monster" tersebut.

Faktor kedua adalah psikologis. Umumnya generasi muda kita, pertama kali dikenalkan pada buku, adalah buku pelajaran. Hal ini membuat kognisi mereka tertanam bahwa buku identik dengan hal sulit dan tak nyaman.

Belum lagi pembaca buku kadang kerap diejek dengan panggilan peyoratif, semisal "kutu buku", dan diasosiasikan dengan orang aneh yang antisosial. Maka kian jauhlah sudah.

Faktor ketiga, tentu tak lepas dari peran pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kurang aktif menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca. Meski ada kampanye gemar membaca, tapi tak menyentuh masyarakat bawah.

Faktor keempat, kurang terjangkaunya bahan bacaan itu sendiri, dalam hal ini buku. Selama ini, buku murah dan bisa dinikmati semua kalangan sangat langka, penerbitan kurang dukungan, akibat tak adanya pengendalian harga kertas dan pajak pada buku.

Belum lagi soal distribusi buku yang belum merata. Sejak 2011, distribusi buku sekitar 70 persen ada di Pulau Jawa. Jadi, kian jauhlah akses anak bangsa pada buku murah.

Inilah yang membuat pemerintah terkesan kurang serius mengembangkan dan menggerakkan industri perbukuan. Selama pemerintah hanya fokus pada buku pelajaran saja. Beragam jenis buku lainnya, yang dapat merangsang minat baca kurang dukungan.

Konsisi tersebut membuat kondisi kita kalah dibanding Malaysia. Di negeri para sultan itu, budaya membaca sudah sangat baik dengan dukungan pemerintah yang luar biasa. Di sana ada anggaran mengkaji, promosikan dan mengembangkan perbukuan. Di antaranya tiap dua tahun sekali, ada kajian literatur buku khusus anak.

Mereka memang sudah menyiapkan generasi membaca sejak dini. Anak-anak di sana, tiap minggu, ada pelajaran yang mewajibkan membaca buku-buku sastra. Kenapa sastra? Agar jiwa pelajar hidup. Mampu menjiwai, memaknai, menyemai karakter terhadap bangsa dan lingkungannya.

Ah, dari pada mengutuk kegelapan, mending menyalakan lilin. Dari pada terus mengecam ketidak beresan pemerintah menumbuh kembangkan minat baca, mending kita berbiat. Dari Batam, Batam Pos telah memulai gerakan itu.

Seperti yang Minggu, 21 Maret 2013 lalu, telah dilaksanakan gerakan Batam Membaca dengan mengumpulkan ribuan buku dan menyalurkan pada perpustakaan-perpustakaan warga. Gerakan ini berhasil memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia dalam hal berhasil mengumpulkan 24.058 buku dalam waktu kurang dari 24 jam.

Bahkan sebelumnya, awal 2010 lalu, Batam Pos juga memiliki program Hibah Koran dan terus berlangsung hingga saat ini.

Hibah koran ini digagas karena satu-satunya cara untuk menanamkan minat baca dengan cara mendekatkan masyarakat pada bahan bacaannya. Bukankah sudah ada internet? Benar, tetapi masih banyak di pelosok daerah Batam khususnya dan Kepulauan Riau umumnya, bisa mengakses internet.

Lalu mengapa koran? Karena sampai saat ini, koran menjadi media informasi yang masih aman ”dikonsumsi”. Pasalnya, semua berita yang ditampilkan, melalui seleksi ketat dan berlapis. Mulai dari reporter, redaktur, redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi. Selain itu, berita koran dikemas tak terburu-buru.

Alasan lain, karena sasaran hibah koran ini adalah sekolah kurang mampu. Batam Pos ingin membangun generasi muda dengan informasi.

Bagi murid, informasi ini penting untuk membantu mereka mengetahui pekembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bagi guru, informasi juga akan mambantu mereka dalam mengajar, utamanya menyajikan ide-ide baru.

Kami melihat jangankan di wilayah pedalaman, di kota Batam sendiri masih banyak sekolah yang tak bisa mendapatkan informasi dari koran ini. Keterbatasan biaya selalu menjadi alasan.

Bahkan di kawasan hinterland, seperti di Teluksunti, ada sekolah yang guru-gurunya harus menempuh 1 jam perjalanan ke belakangpadang, untuk membeli koran.

Inilah beberapa "amunisi" mengapa program hibah koran ini digagas. Dari awalnya dicanangkan tahun 2010 lalu, target semula hanya untuk 100 sekolah. Namun, siapa sangka dukungan masyarakat dan Pemko, khususnya, begitu besar. Hingga pada akhir 2012 lalu, sudah lebih seribu sekolah yang terbantu program hibah koran batam pos. ***

Senin, 15 April 2013

Melek Media

Sekitar tahun 2009 lalu, orang-orang media seluruh dunia berkumpul di Jenewa, mereka melakukan konvensi tentang media literacy atau melek media. Maka, digagaslah agar orang media mensosialisasikan program ini ke masyarakat dan sekolah-sekolah.

Di Indonesia media literacy masih belum begitu gencar dilakukan. Beda dengan negara Amerika, atau yang paling dekat di Thailand. Di negeri gajah putih itu, melek media sudah masuk sekolah.

Melek media ini penting, karena saat ini media, baik cetak dan elektronik, sudah sangat akrab dengan masyarakat. Apalagi setelah merebaknya jejaring sosial.

Sayangnya, banyak yang abai mempertimbangkan manfaat saat terpapar informasi tersebut. Mengingat, efek media ini sangat tidak terbatas, baik usia dan strata sosial, bahkan hampir-hampir tak dapat dikendalikan.

Belum lagi informasi yang disampaikan media adakalanya tak objektif, mengingat setiap media sedikit atau banyak, punya “kepentingan” masing-masing. Ingat, media massa saat ini telah menjadi lembaga eknomi yang erat kaitannya dengan industri dan mekanisme pasar.

Mekanisme pasar artinya tak lepas dari aktivitas ekonomi atau bisnis yang erat kaitannya dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa.

Karena itu media massa saat ini berdiri pada dua kaki, satu kaki menjejak pada idealisme dan kaki lain pada industri. Idealisme ibarat hati untuk bisa merasa dan meraba, sedangkan industri ibarat jantung untuk menjaga agar hidup dan tumbuh.

Dari beragam uraian di atas inilah, melek media penting ditumbuh kembangkan pada masyarakat.

Mc Cannon, seorang tokoh komunikasi mengatakan, melek media diartikan sebagai kemampuan secara efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan media massa..

Beda lagi James W Potter, yang mengartikan media literacy sebagai perangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya.

Intinya, melek media ini menggungah kemampuan masyarakat untuk memfilter informasi, dengan cara menerima, menganalisa, menyeleksi dan menyikapi apa yang ditampilkan di media massa. Yang baik, bisa dijadikan referensi dan yang jelek bisa jadi pelajaran atau dibuang.

Kota-kota di Indonesia yang saya ketahui sudah merespon melek media ini, adalah Kota Malang. Di sana program ini tumbuh dari kampus. Adalah tim pengabdian masyarakat jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang menggagas program ini sejak tahun 2009.

Dosen-dosen kampus putih ini aktif terjun ke masyarakat, baik ke komunitas-komunitas, ke sekolah-sekolah hingga ke pendidikan anak usia dini. Mereka juga menggandeng orang tua siawa dan guru.

Tak hanya terjun langsung, juga program ini juga disebar luaskan melalui media massa, baik radio dan koran.

Tim yang terdiri dari dosen Komunikasi tersebut, aktif mengedukasi publik akan bahaya media dengan acara menganalisanya. Dari sana akan ditemukan apakah sebuah berita itu ada kekeliruan atau tidak, melanggar etika atau kaidah jurnalistik atau tidak.

Agar komunikasi kian intens, dosen-dosen tersebut juga aktif membentuk Simpul Media Literacy, dengan menggandeng jejaring pemirsa, pembaca dan pendengar yang disebut Kelompok Informasi Masyarakat (KIM), hingga ke kota-kota dan sekolah-sekolah di sekitar Malang, sebagai mitra pengawasan media.

Dari sini, melek media bisa terus ditumbuh kembangkan, sehingga masyarakat akan makin dewasa dalam menyikapi media.

Di Batam sendiri bagaimana? Jujur, belum ada gerakan yang intens seperti yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Malang itu. Namun, bukan berarti tak ada yang merintis. Batam Pos yang pertama merintis media literacy ini.

Selain aktif mengedukasi ke sekolah-sekolah dan mahasiswa, Batam Pos, lewat rubrik Xpresi, aktif mengedukasi pembacanya bagaimana sebaiknya menerima, menganalisa, menyeleksi dan menyikapi apa yang ditampilkan di media massa.

Tim Xpresi yang dikomandani Andriani ini, juga aktif terjun ke sekolah-sekolah, ke kampus-kampus, menggelar event yang salah satunya ada sesi diskusi jurnalistik. Di harapkan nantinya, program melek media ini menular ke kampus-kampus di Batam.

Semoga juga Pemko Batam ikut tergugah menggagas program melek media ini, mengingat efek media harus dideteksi sejak dini, karena berpengaruh langsung pada perkembangan tingkah laku. Efek media yang buruk ibarat kanker, baru terasa ketika sudah lama diidap.

Bila semua sadar, maka masyarakat yang melek media sebagai mana yang diharapkan dalam konvensi di Jenewa, itu akan tercapai. Ingat, kata Einstein, informasi itu bukan pengetahuan.

Ada kutipan menarik yang disampaikan Novin Farid Styo Wibowo, dosen komunikasi UMM. Menurutnya, informasi bagaikan udara, ada yang bersih ada yang tidak. Kita kadang tidak tahu telah menghirup udara yang mana. Pilihannya adalah terus bernafas atau mati pelan-pelan akibat polusi itu. ***

Sabtu, 13 April 2013

Memberantas Preman

Seiring kasus pembunuhan pra preman di lapas cebongan oleh 11 oknum Kopassus, mengobarkan kembali operasi pemberantasan preman oleh kepolisian. Entah memang serius, atau hanya sebagai aksi "teatrikal".

Sebagaimana kita tahu, Du lu sempat ada ''wow effect'' saat Bambang Hendarso Danuri, dilantik sebagai Kapolri. Gebrakannya menggelar sebuah operasi pemberantasan preman.

Operasi ini bermula dari Jakarta, dan akhirnya Kapolri memperluas dan memerintahkan Polda-polda di seluruh Indonesia, termasuk Polda Kepri, untuk melakukan aksi serupa. Namanya juga instansi chain of command, perintah (aksi) ini diteruskan ke jajaran di bawah, seperti Polwil, Poltabes, Polresta, Polres hingga Polsek.

Dalam sekejap, semua bergerak memberantas titik-titik rawan preman yang sebenarnya sudah mereka ketahui selama ini. Ratusan preman jalanan mulai tukang palak terminal hingga berkedok pengamen, langsung disikat.

Apapun namanya, langkah ini patut dipuji, dua jempol pun rasanya masih kurang mengekspresikan dukungan khalayak. Karena memang selama ini aksi premanisme sudah sangat meresahkan sekali.

Namun, masyarakat saat itu ragu bila operasi ini akan berkesinambungan. Sampai-sampai Kadiv Humas Polri saat itu, Abubakar Nataprawira, menegaskan akan melakukan operasi tersebut secara berkesinambungan.

Tak hanya itu, operasi ini juga dilakukan ke dalam, guna membersihakan polisi yang menjadi bekingnya.

Operasi membersihkan preman ini sebenarnya lanjutan operasi pemberantasan judi dari Kapolri sebelumnya, Sutanto. Karena setelah judi terselubung diberantas, simpul-simpul premanisme ini sudah lemah.

Tentunya kita tahu, premanisme ini tumbuh subur saat judi terselubung masih berjalan dan judi terselubung disuburkan oleh preman ini. Semua terjadi bak simboisis mutualisme.

Judi terselubung secara tak langsung mendanai kelompok-kelompok preman ini, karena preman-preman ini tumbuh untuk menjaga judi terselubung sebagai lahan mata pencahariannya.

Namun, seiring waktu berlalu, kita tahu operasi ini hilang. Tempat judi terselubung juga kian marak buka lapak di klab klab malam. Bahkan juga dibarengi dengan peredaran narkoba dan cuci uang.

Tempat-tempat inilah yang menjadi pembibitan preman-preman baru. Aksesnya kadang dibawa keluar, sehingga menimbulkan gesekan di masyarakat. Lebih parahnya lagi, juga dibeking oknum aparat, sehingga kerap terjadi gesekan antara mereka sendiri.

Jadi, pak polisi, bila ingin memberantas preman, berantas dulu klub-klub malam yang nakal itu. Berani? ***

Rabu, 10 April 2013

Jurnalistik, dari Amenhotep ke Batavia

Sejarah jurnalistik, sebelum ditemukan sebelum media tulis sagat mudah. bermula dari budaya tulis di zaman keemasan Mesir Kuno jelang new kingdom.

adalah Firaun Menhotep III (1405-1367) yang telah melakukan proses itu. Dia mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan informasi secara kontinyu untuk membuka jalur-jalur komunikasi baru.

Temtu yang menyebarkan berita bukan firaun yang naik tahta pada usia 15 tahun tersebut. Dia mengutus ratusan "wartawan" untuk membawa "surat berita" pada seluruh pejabat provinsi.

Langkah Amenhotep III ini disebut sebagai cikal bakal jurnalistik. Mengapa? Dalam tulisannya di ensiklopedi The New Book of Knowledge, Leslie G Moeller dari Universitas Iowa, Amerika Serikat, tak menjelaskan mengapa.

Tapi kita bisa mengambil kesimpulan, bila ditilik berdasarkan yang dibawa utusan Amenhotep itu adalah "berita tertulis" atau "surat yang memberi kabar", maka ada kesamaan-lah, dengan profesi wartawan saat ini.

Tentu saja praktik atau pola jurnalistik yang terjadi 3.400 tahun lalu itu, tak secanggih saat ini. Namun mampu memjadi inspirasi kerajaan-kerajaan lain. Sejarah Sriwijaya dan Majapahit juga menganal hal tersebut. Mereka disebut kurir.

Mungkin hal ini ada hubungannya pula, mengapa para tokoh pers kita di era kemerdekaan memilih kata "wartawan" sebagai ganti kata "jurnalistik" yang lazim dipakai saat masa-masa kolonial Belanda.

Sekadar diketahui, jurnalistik Eropa telah merambah ke negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. adalah Gubernur Jendral Belanda Jan Peterzoon Coen (1587-1629) yang memprakarsai penerbitan news letter bernama Memorie der Nouvelles, 1615.

Dicetak terbatas, hanya 30 eksemplar, bentuknya hampir mirip dengan "koran" Amenhotep III, yakni surat dengan tulisan tangan berisi berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Batavia untuk pejabat-pejabat penting VOC (Perkumpulan Dagang India Timur) hingga yang tinggal di Ambon.

Hingga 200 tahun kemudian, tepatnya 7 Agustus 1744, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia), surat kabar pertama di Indonesia, terbit.

Kali ini sudah benar-benar koran. Dicetak dalam ukuran kertas folio. Adalah Jan Erdman Jordens yang menerbitkannya, dengan masa kontrak tiga tahun. Keinginan menerbitkan koran di Indonesia sebenarnya sudah lama ada, namun selalu dihambat VOC.

Abdurrachman Surjomihardjo, dalam Eberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, menulis, keinginan itu baru terwujud setelah VOC dipimpin Gubernur Jendral Gustaaf Willem Baron dan Imhoff yang terkenal moderat.

Terbitan koran ini langsung dikirim ke Belanda, pada pimpinan pusat VOC, De Heeren Zeventien. Perjalanan ke Belanda saat itu dengan kapal laut selama tujuh bulan. Kontan saja, Zeventien pun melarang. Surat perintahnya dikirim pada November 1745, baru sampai 20 Juni 1746. Surat kabar inipun tutup, setelah sempat beredar dua tahun.

Dari tinjauan ini, jelas sudah bahwa jurnalistik sudah ada sejak zaman Belanda. Hingga kemudian, sebutannya diganti "wartawan" sampai sekarang.

"Wartawan" sendiri berasal dari kata Sansekerta, "wrtta", artinya digerakkan, terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga berarti berita. (PJ Zoetmulder, kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia).

Namun tak semua istilah dari zaman bahoela itu diganti. "Reporter", misalnya. Istilah ini diambil dari dunia birokrat abad 15, yang tulisannya terkenal rapi, jelas, bagus, jujur dan objektif. Jadi kira-kira maksudnya, diharapkan "reporter" atau wartawan lapangan tersebut bisa meneladani semangat kerja para birokrat Eropa itu.

Hal sama yang masih dipakai hingga saat ini adalah istilah "pers" itu sendiri. Pers (bahasa Belanda) atau press (bahasa Inggris) muncul dari kinerja mesin cetak yang pertama kali di temukan Johannes Gutenbergh pada 1450.

Ceritanya, mesin cetak itu bekerja dengan cara menekan berulang-ulang huruf ke kertas. Maka yang dihasilkan mesin cetak itu disebut pers (persen) atau press yang artinya tekan.

Ceritanya, Gutenberg yang tinggal di tepian sungai Rhein, Kota Mainz, Jerman itu telah 10 tahun lamanya merintis pembuatan mesin cetak. Sayangnya, tak mudah mencari jenis kayu agar mampu digunakan mengukir huruf dan kuat dipakai mencetak banyak dan tahan untuk ditekan (press) berulang-ulang.

Entah mengapa dalam perkembangannya, istilah "press" ini dipakai juga pada wartawan radio dan televisi yang tak menggunakan mesin cetak. Apanya yang ditekan ya?

Sedikit mengulas, awalnya mesin cetak itu hanya dipakai membuat selebaran tentang suatu peristiwa atau pengumuman. Dari awal ditemukan hingga kemudian koran pertama terbit, memakan waktu 169 tahun.

Avisa Relation Oder Zeitung, surat kabar pertama (mingguan) tersebut terbit 15 Januari 1609 di Augsburgh, Jerman. Haya inilah yang paling teratur dan bentuknya jelas. Beda dengan "koran-koran sebelumnya yang terbit tak teratur dan bentuknya lebih mirip pamflet.

Orang mulai sadar pentingnya surat kabar ini ketika Colombus "menemukan" Infia Barat 1492, dalam misi mencari emas dan rempah-rempah ke Asia. Sejak itu banyak yang ingin mengikuti jejaknya. Pelabuhan pun ramai, lalu bermunculanlah kedai kopi.

Di kedai kopi ini banyak orang betukar informasi, baik jadwal kapal, maupun tragedi. Informasi ini kemudian ada yang menulis dan diedarkan ke kedai kopi lain. Dari sinilah cikal bakal koran bermula.

Tentang adanya hambatan menerbitkan koran, memang bukan hal baru dan di Indonesia saja. di Amerika Gubernur Massachutes membredel koran pertama di AS, Public Occurances Both Foreign and Domestic, yang diterbitkan Benjamin Harris pada tahun 1690.

Kekuatan media massa dalam mempengaruhi dan mengubah opini pembaca/pemirsanya, menjadi alasan utama kasus-kasus pembredelan media. Inilah mengapa wartawan juga dijuluki "ratu dunia".

Hal ini pulalah yang mendorong Inggris di abad ke 16, memberlakukan hukum yang keras. Sebelum terbit harus disensor terlebih dahulu oleh pejabat Istana. Maka itu kantor pers harus dekat istana,

Sanksinya juga cukup berat. Bila dirasa merugikan pemimpin redaksi-nya bisa dipotong lidah, atau paling berat dipancung! Inilah yang kemudian disebut sistem pers otoritarian.

Banyak lagi sikap pemerintah dalam memandang pers, sehingga menimbulkan sebuah sistem baru. Di antaranya, totalitarian yang terjadi di Uni Soviet. Di mana pers hanya menjadi alat propaganda pemerintah. Kira-kira mirip TVRI zaman Orde Baru. Atau mirip kondisi pers Singapura saat ini.

Selain itu ada Libertarian yang lahir setelah Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat 200 tahun lalu. Sistem ini menjunjung kebebasan pers.

Sistem ini ujung-ujungnya memunculkan konglomerasi media. Siapa yang punya uang dia bisa jadi raja media. Hingga muncul apa yang dikatakan Marshall Mc Luhan, bahwa siapa yang menguasai informasi maka akan menguasai dunia.

Dengan demikian, pers hanya berpihak pada kepentingan pemilik modal yang adakalanya sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Lalu kepada siapakah pers berpihak? Bukankah media sebagai pilar demokrasi yang membela kepentingan publik.

Maka muncullah kemudian sistem baru, sistem tanggung jawab sosial yang harus bersandar pada kepentingan umum.

Sistem ini kini fianut di Indonesia. Sebuah sistem yang muncul dari pasang surutnya kebebasan pers. Sistem yang muncul setelah pers mengalami masa-masa kelam, dengan mengorbankan jiwa dan raga pekerjanya.

Setelah dua setengah abad berlalu, kebebasan pers di Indonesia terjadi. UU No 40 1999 terbit yang mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. pembredelan dilarang? ***


***Diperkaya dengan referensi dari tulisan Maskun Iskandar dalam buku Panduan Jurnalistik Praktis. mendalami Penulisan, Berita dan Feature, memahami Etika dan Hukum Pers.

Selasa, 02 April 2013

Mengubah Bangsa dengan Tulisan

Bila saja Kartini tidak menulis surat pada temannya di Belanda, yang kemudian kumpulan tulisan itu dibukukan, akankah emansipasi Wanita di Indonesia berjalan dengan baik?
Itulah buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang mengubah wanita Indonesia. Tulisan kartini yang berisi curhatannya itu, menginspirasi jutaan orang, terutama yang peduli pada emasipasi wanita.
Kartini bukanlah penulis, dia hanya bersemangat menulis. Menulis tak hanya bakat, namun jua semangat. Hal inilah yang dilakukan Kartini. Sehingga tulisannya bagai gelombang yang mengelora. Kedahsyatannya mampu menghancurkan tebing-tebing kungkungan budaya feodal kala itu.
Karena tulisannya pula, Kartini kita kenal lebih dekat dari pada pahlawan wanita lainnya, seperti Cut Nya Dhien, atau Dewi Sartika. Karya tulisnya telah membedakan Kartini dengan mereka. Karena kemasyhuran tulisannya yang kemudian dibukukan, Habis Gelap Terbitlah Terang, hari lahir Kartini, 21 April, diabadikan bahkan diperingati.
Selain Kartini, kita juga Multatuli, yang terakhir diketahui bernama Dowes Dekker. Karena tulisannya yang dia kemas dalam buku Max Havelaar, Belanda mengecam keras politik tanam paksa atas bangsa Indonesia.
Hingga akhirnya di depan parlemen Belanda, Ratu Wilhelmina mengumumkan Tria Van Deventer bagi kaum pribumi Indonesia yang meliputi: Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi dan terakhir edukasi, yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan. Dari sinilah kemudian muncul bibit-bibit intelektual dan pejuang yang membawa bangsa Indonesia pada kemerdekaan.
Tulisan memang mampu mengubah keadaan, mengubah bangsa bahkan dunia. Buku-buku lain yang membuat perubahan itu di antaranya adalah Mein Kampf (Perjuanganku) yang ditulis Adolf Hitler daat meringkuk sembilan bulan di dalam penjara.
Buku ini menggunggul-unggulkan ras Aria dan menebar kebencian atas Yahudi. Buku ini sangat laris, hingga di jerman saja tak kurang 5 juta eksemplar habis terjual. Buku inilah yang kemudian menyulut perang dunia ke II.
Pengaruh tulisan memang luar biasa, sehingga singa daratan Eropa, Napoleon Bonaparte pernah berujar, ”Saya lebih takut pada pena ketimbang seribu pedang!” Baik buruk, tentu tergantung pada seseorang untuk menjadi penulis.
Sekali lagi, tanpa ”Habis Gelap Terbitlah Terang”, mungkin tak akan ada Hari Kartini. Tanpa ”Max Havelaar”, mungkin tanam paksa akan berkepanjangan, lalu tak ada politik etis atau balas budi, sehingga bangsa kita akan terlambat pinternya. Bila tak ada ”Mein Kampf,” apalah jadinya Hitler? Mungkin saja dia masih menjadi tukang cat di kota pinggiran Austria.
Tulisan atau buku yang menggerakkan juga terjadi di Amerika, kala era-era kemerdekaanya dulu. Saat itu warga Amerika terpecah, ada yang masih setia pada Inggris, ada yang tidak. Kaum penentang ini kemudian dicap menghianati Inggris, sebagai kampung halamannya.
Hingga akhirnya pada tahun 1776, terbit buku Thomas Paine, ”Common Sense”. Buku ini mengatakan, bahwa kebebasan benua baru harus melepaskan diri dari dominasi pulau Inggris yang kecil yang diperintah raja. Hasilnya, pandangan warga Amerika berubah. Suasana pertentangan akan kemerdekaan, kini menjadi persetujuan.
Amerika juga semopat diguncang oleh buku ”Uncle Toms Cabin”, karya Hartiet Beecher Stowe yang mulai menulis sejak usia 13 tahun. Buku ini mengisahkan penderitaan para budak kulit hitam.
Banyak orang yang terenyuh membaca buku yang berkisah tentang seorang budak perempuan negro yang hamil tua, dikejar-kejar majikannya dengan senapan layaknya binatang, hingga ke Kanada.
Para pembaca banyak yang terenyuh hingga akhirnya memunculkan aksi untuk membabaskan perbudakan di amerika. Buku inilah yang kemudian menjadi amnunisi yang ikut meledakkan perang Utara dan Selatan, untuk membebaskan budak belian, perang saudara di era Presiden Abraham Lincoln (1861-1865).
Tanpa buku ini, entah bagaimana nasib kaum kulit hitam Amerika. Saking masyhurnya, presiden Lincoln mengundang Stowe ke Washington. Saat bertemu lincoln berkata, ”Oh, ini kiranya wanita mungil yang mengobarkan perang besar itu." ***