Selasa, 25 Juni 2013

Menyadari Penyakit

Rasulullah selalu megingatkan umatnya agar selalu waspada, termasuk pada Ali bin Abi Thalib, sahabatnya yang terkenal jenius itu. Berkata Rasulullah, "Ya Ali! Segala sesuatu itu ada penyakitnya."

Penyakit bicara adalah bohong, penyakit ilmu lupa, penyakit ibadah adalah riya'. Penyakit budi pekerti adalah memuji, penyakit berani adalah menyerang. Penyakit pemurah adalah menyebut-nyebut pemberian, penyakit cantik adalah sombong. 

Penyakit bangsawan adalah bangga, penyakit malu adalah lemah. Penyakit mulia adalah menonjolkan diri, penyakit kaya adalah bakhil. Penyakit royal (mewah) adalah berlebih-lebihan dan penyakit agama adalah hawa nafsu. 

Mengupas Peran Politik Warga Tionghoa

Batam Pos dan Kepri Centre of Excellence kemarin menggelar dialog politik yang berbeda. Bila biasanya membedah partai politik, kali ini adalah calon legislatif politisi Tionghoa. 

Ada enam caleg yang hadir, masing-masing Asmin Patros (Golkar), Harifinto (calon DPD), Eddy C Lumawie (PKP Indonesia) dan tiga wajah baru, mereka adalah Hendra  Asman (Golkar), Erna (PKP Indonesia) dan Agus (Hanura).

Selain itu, ada tiga panelis yang dihadirkan, ada Lagat Siadari selaku Wakil Rektor III Uniba, bersama dua rekannya, Markus Gunawan dan Andri Yuko.


"Format diskusi kali ini beda dengan bedah partai. Masing-masing caleg harus mampu menjawab pertanyaan dari panelis hanya dalam waktu tiga menit," ujar M Riza Fahlevi, selaku moderator.

Menurut wakil pemimpin redaksi Batam Pos ini, dengan batas waktu itu, akan dapat dinilai bagaimana kualitas dan inteltualitas caleg yang bersangkutan dalam menelaah masalah, memberikan jawaban, dan keterampilan dalam berkomunikasi. "Ini adalah modal saat mereka duduk di dewan nanti," ujar Riza.

Soal mengapa hanya khusus membedah caleg Tionghoa, Riza berargumen, kiprah warga Tionghoa dalam berpolitik cukup menarik diamati, setelah belenggu diskriminasi rontok pasca-ditetapkannya mereka sebagai salah satu suku di Indonesia sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Riza menjabarkan, sebenarnya peran warga Tionghoa dalam membangun negeri ini sudah demikian banyaknya, jauh sebelum Indonesia ini berdiri. Misalnya Sunan Bonang (menyebarkan agama Islam) dan yang paling terkenal adalah Laksamana Ceng Ho.

Di Kepri sendiri, sekitar 1700-an, Kesultanan Riau di Tanjungpinang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk mengelola kebun-kebun gambir milik kerajaan. Di daerah lain, mereka juga mengajarkan teknik bertani terasiring dan khasiat obat herbal yang kita kenal dengan jamu. 

"Di masa pergerakan hingga era pra kemerdekaan, justru Harian Sin Po _sebagai koran Melayu Tionghoa_  yang pertama kali mempublikasikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh W R Supratman," terang Riza.

Pada 1920-an harian Sin Po juga memelopori penggunaan kata ”Indonesia bumiputera” sebagai pengganti kata Belanda, inlander. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata Tjina/Cina dengan kata Tionghoa (Mandarin:zonghua). Istilah ini memang dibikin sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia.

Kalangan Tionghoa juga banyak berjuang mendirikan Republik ini, mulai dari membangun sarana pendidikan, serikat dagang, kepartaian, bahkan kemiliteran. 

Namun, kiprah mereka ini mandeg setelah peristiwa diskiminatif menghantamnya. Di Era Orde Lama, muncul Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1959, yang melarang warga Tionghoa berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten.

Akibat perlakukan inilah, masih Riza, membuat ekonomi Indonesia hanya bergerak di hulu saja. Saluran distribusi barang terganggu, dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.

Lebih parah lagi saat Orde Baru. Diskriminasi ini muncul dengan menerapkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Tak hanya itu, Orba juga melarang seluruh aktivitas berbau Tionghoa, mulai Imlek, barongsai, hingga nama-nama keturunannya.

"Sebelumnya mereka juga kerap menjadi sasaran diskriminasi. Seperti pembantaian di Batavia 1740, masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998," urainya.

Untunglah, lanjut Riza, semua aturan ini dicabut saat Presiden Abdurrahman Wahid memimpin negeri ini, pada tahun 2000. Bahkan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. 

"Saat ini, warga Tionghoa memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain, termasuk dalam berpolitik. Inilah yang menarik ditelaah, apakah mereka memang berkualitas atau hanya sebagai vote getter," pungkas Riza. ***

Senin, 24 Juni 2013

Etos

Bapak Turki Moderen Mustapha Kemal Attarturk pernah berpesan, ”Berbuatlah, bukan karena saya tapi karena bangsa ini. Sehingga saat saya sudah mati, perbuatan kalian akan tetap dikenang.” 

Pesan-pesan Kemal ini masih terukir di kediamannya yang kini dijadikan museum bangsa Turki. Museum etos.

Etos adalah sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan yang di dalamnya terkandung semangat kuat menyempurnakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya mencapai kualitas kerja sesempurna mungkin.

Sabtu, 22 Juni 2013

PLN & Masalahnya

Minggu (23/6) hari ini durasi pemadaman bergilir listrik di Batam diprediksi berkurang, dari semula 4 jam hanya 2 jam saja. Bahkan tak menutup kemungkinan akan normal kembali. 

Kepastian ini diketahui setelah tadi malam PLN mendapat informasi dari PGN selaku pemasok gas untuk PLN Batam, menyatakan bahwa volume gas sudah bisa dioptimalkan. 

Seperti diketahui, dalam posisi normal, PLN Batam membutuhkan tekanan gas dari pemasok, sebesar 40 bar. Namun, Kamis (20/6) pukul 16.16 tiba-tiba tekanan gas dari pemasok menurun drastis, hanya 19 bar. Inilah yang mengakibatkan terjadi penurunan daya. Pemadaman pun tak terelakkan.

"Kondisi ini membuat pembangkit kita tak berjalan maksimal," ujar Manajer Komunikasi dan Hubungan Kelembagaan PT PLN Batam Agus Subekti, dalam perbincangannya dengan Batam Pos, di Graha Pena Batam tadi malam.

Namun, ada anomali dari penjelasan Agus ini. Bila memang terjadi penurunan tekanan gas dari PGN, kok hanya PLN saja yang terganggu? Mengapa kawasan industri dan mall di Batam yang juga mendapat pasokan langsung dari PGN tak terganggu? 

Sekadar diketahui PGN tak hanya memasok gas ke PLN. Melalui pipa yang sama, mereka memasok gas ke pembangkit-pembangkit listrik IPP (independent power producer) di beberapa mall dan kawasan Industri di Batam. 

Logikanya, bila PLN tergangu, mengapa pembangkit IPP tersebut tak terganggu? "Inilah yang akan kami tanya ke suplayer," ujar Agus. 

Untuk meminta penjelasan resmi ini, Senin (24/6) besok, PLN Batam berencana akan bertemu PGN. "Tak enak kalau kami disalahkan pelanggan terus. Kami ingin penjelasan resmi kenapa ini terjadi," tegasnya. 

Total pasokan listrik di Batam saat ini 301 MW pada beban normal. Untuk memenuhi pasokan ini, PLN Batam menggunakan beberapa jenis pembangkit di antaranya PLTG dan PLTU. 

Yang menjadi beban dasar untuk mengalirkan listrik di Batam adalah PLTG di Panaran dan PLTU (batubara) di Tanjungkasam.

PLTG Panaran menanggung beban 177 MW atau 70  persen dari kebutuhan pasokan listrik di Batam. Sedangkan 30 persennya, dipasok dari PLTU Tanjungkasam dengan daya 110 MW. 

Saat peristiwa black-out terjadi, pada Kamis sore lalu, tiba-tiba tekanan gas dari suplayer yang harusnya 40 bar, menurun drastis. Dalam hitungan menit drop ke level 19, 15, hingga 0,1 bar, sehingga PLTG trip alias jatuh.     

Dalam hitungan detik, beban yang ditanggung PLTG ini otomatis terpikul oleh PLTU. Tentu saja, PLTU yang hanya mampu memasok listrik hanya 110 MW itu, mendapat beban raksasa dari PLTG sehingga dalam hitungan detik, PLTU Tanjungkasam juga ikut trip. "pemadaman meluas pun tak terelakkan lagi," lanjut Agus.

Lalu solusi apa yang dilakukan? Menurut Agus, PLN saat itu langsung melakukan start-up kembali melalui pembangkit diesel (PLTD) di Sekupang. "Tujuannya sebagai pancingan agar sistem normal kembali," ujar pria kelahiran Solo ini.

Kabar baiknya, tekanan gas yang semula menurun, mulai berganjak normal ke 40 bar. Namun, kabar buruknya volume gas dari pemasok tersebut belum ideal. 

"Idealnya, volume gas yang mengalir ke Batam adalah 41 BBTUD (billion British thermal unit per day/satuan ukur gas, red), tapi saat ini kurang dari itu," terang Agus. 

Akibat kurangnya volume ini, maka pembangkit PLTG PLN di Panaran tak maksimal membangkitkan daya normal hingga 177 MW tadi. Tadi malam, pukul 22.20, PLTG baru sanggup memasok 170 MW, alias defisit 7 MW. 

Sedangkan kondisi PLTU Tanjungkasam, setelah kolaps akibat ditimpa "beban raksasa" saat kejadian Kamis sore itu, masih belum normal. Untuk memulihkannya butuh waktu lama. "Beda dengan PLTG yang lebih cepat injeksinya, PLTU membutuhkan waktu lama (pemanasannya), karena berbahan batubara," jelas Agus. 

Hingga tadi malam, ujar Agus, pihaknya terus melakukan pengecekan dan start-up ulang PLTU. Hingga tadi malam, pukul 20.44, PLTU unit II (mesin nomor 2, red) sudah mampu memasok 15 MW, dari angka maksimal 55 MW per unit.

Kekurangan atau defisit daya inilah yang membuat PLN melakukan pemadaman bergilir. Namun, mengingat perkembangan yang dicapai cukup baik, maka durasi pemadaman diprediksi akan berkurang bahkan akan normal tak lama lagi.

Rabu, 19 Juni 2013

Mengalahkan yang Besar

Ada sebuah kutipan menarik dalam film Enemy of the State. Bunyinya, "Jika mereka besar dan kamu kecil, maka kamu lebih gesit dan mereka lambat. Kamu tersembunyi dan mereka mudah terlihat."

Besar dan kecil lumrah dalam kehidupan. Besar bukan berarti selalu unggul, kecil bukan berarti selalu kalah. Fokus kita adalah, tak masalah kecil asal tekad bulat dan semangat juang tetap besar. Itulah cara tentara Vietkong bertempur mengalahkan tentara Amerika yang besar itu.

"Menggugat" Dewan Pers

Dalam pertemuan dengan beberapa anggota Dewan Pers di Batam, akhir Mei lalu, ada sebongkah tanya yang tersekat di kepala. Hal tersebut terkait tak transparannya pemilihan anggota Dewan Pers itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, rapat akhir Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA), Jumat, 21 Desember 2012 lalu, yang tidak lagi lengkap keanggotaannya, telah menetapkan sembilan anggota Dewan Pers terpilih periode 2013-2016. 

Tiga dari unsur wartawan, masing-masing 1. Imam Wahyudi (Direktur Content Creative Indonesia-CCI), 2. Nezar Patria (Managing Editor viva.co.id), dan 3. Margiono (Dewan Direksi PT Wahana Ekonomi Semesta yang menerbitkan Harian Rakyat Merdeka).

Tiga dari unsur Perusahaan Pers, masing-masing 1. I Made Karuna Ray Wijaya (Pemred MNC TV), 2. Jimmy Silalahi (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) dan M. Ridlo Eisy dari SPS. Tiga lainnya dari unsur Tokoh Masyarakat, 1. Bagir Manan (Mantan Ketua Mahkamah Agung), 2. Ninok Leksono (Redaktur Senior Kompas) dan Yosep Adi Prasetyo (mantan anggota Komnas HAM).

Ada dugaan upaya melokalisir dan mengkooptasi lembaga Dewan Pers dengan cara membatasi proses dan peserta seleksi Anggota Dewan Pers oleh orang yang itu-itu saja. Sebab pemilihan Anggota Dewan Pers, hanya diikuti 38 orang.

Bila memang demikian, saya khawatir eksistensi Dewan Pers yang Independen dan berkualitas. Seharusnya, proses pemilihan Anggota Dewan Pers, bisa dilakukan lebih terbuka, dan bila perlu masing-masing media memuat pengumuman seleksi.

Kesempatan yg sama diberikan kepada semua komponen media baik pusat dan daerah, untuk terlibat dalam proses pemilihan, bahkan menjadi orang yang dipilih. Negeri ini luas sekali, bahkan dengan hanya menambah pokja, dengan 7 anggota, dua wakil ketua, tak akan cukup. 

Intinya, menyerahkan masalah pers di Indonesia hanya kepada 9 anggota Dewan Pers tersebut, tak akan ampuh juga. Perlu juga dipikirkan, membuat perwakilan di daerah. Selain akan lebih baik, juga pembagian kewenangan ini akan lebih sesuai dengan semangat otonomi.

Dugaan lain, adanya anggota Dewan Pers yang terpilih tersebut adalah titipan dari perusahaan tertentu bahkan ada anggotanya yang merangkap komisaris di perusahaan tertentu, sehingga kerap terjadi konflik kepentingan ketika perusahaan yang diwakilinya, terlibat perselisihan dengan media. 

Anggota Dewan Pers juga disebut-sebut sering otoriter, tak mau terima masukan, bahkan langsung main vonis saat menyelesaikan sengketa pers, tanpa mendengarkan keterangan dari media yang mereka dakwa melakukan pelanggaran etika pers.

Pertanyaan ini kemudian dijawab anggota Dewan Pers Muhammad Ridlo ‘Eisy'. Menurutnya, tak ada keinginan dari Dewan Pers untuk mengabaikan atau tak melibatkan komponen pers di daerah, namun semua terkendala aturan. 

Prosedur pemilihan anggota Dewan Pers itu melalui pengusulan nama-nama calon lewat organisasi kewartawanan yang diakui pemerintah, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Aliansi Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), atau Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Selain itu juga menerima usulan dari perusahaan media-media besar melalui Serikat Perusahaan Pers (SPS).

Apakah perlu Dewan Pers di daerah? Ridlo mengungkap, sempat ada perdebatan sengin akan hal ini. Waktu menyusun draft terakhir terkait aturan Dewan Pers, para anggota Dewan Pers berdebat sampai pukul 03.00 pagi. Akhirnya disetujui bahwa Dewan Pers tak hanya pusat, tapi di daerah. 

Namun, setelah draft tersebut diajukan ke DPR, ternyata usulan tersebut ditolak. Dengan alasan tertentu, DPR memutuskan Dewan Pers hanya ada di pusat.

"Dalam tahun ini kami ragu mengirimkan RUU perubahan, khususnya ketika anggota DPR banyak 'ditembaki' KPK, sehingga ada kecenderungan agar tak diajukan dulu UU perubahan (agar Dewan Pers juga ada di daerah) itu," jelas Ridlo.

Tentang sikap Dewan Pres yang terkadang otoriter, Ridlo menjawab bahwa hal itu tergantung kasusnya. "Kalau kasusnya hitam putih (jelas, red), maka medianya tidak kami panggil, tapi langsung disurati. 'Anda salah!' Contohnya kasus media di Sumatera Selatan yang menampilkan gambar orang berhubungan badan," ujarnya.

Namun kalau ragu, maka medianya dipanggil. Tentu saja ada pembelaan dan sebagainya, melalui pertemuan tripartit. "Bila minta maaf, selesai. Terus terang banyak juga yang kurang lega, khususnya para korban yang melakukan pencemaran nama baik.

Tentang anggota Dewan Pers juga menjabat sebagai petinggi di sebuah perusahaan, sehingga dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan saat bersengketa dengan media, Dewan Pers memiliki kebijakan, anggota yang bersangkutan tak akan diundang dalam rapat mediasi dan semacamnya.

"Biasanya yang dilakukan Dewan Pers itu elegan, media yang bermasalah tak sanpai diperlakukan dengan malu," jamin Ridlo.

Skeptisme tentang Dewan Pers ini juga pernah mengemuka dalan talkshow di Radio KBR 68 H yang kemudian dirangkum dalam buku Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas. Dalam buku setebal 344 halaman itu didapat penjelasan tentang Dewan Pers. Berikut saya cuplik sedikit isinya.

Pembentukan Dewan Pers independen menjafi bagian penting dalam perubahan dari pers tidak bebas pada masa Orde Baru, menjadi pers bebas pada masa reformasi. UU No 40/1999 tentang Pers, tegas menyebut Dewan Pers sebagai lembaga independen, tidak (lagi) tunduk kepada pemerintah yang berkuasa atau partai politik.

Dalam posisi semacam itu, Dewan Pers dapat berperan di satu sisi melindungi kebebasan pers agar tetap terjamin, di sisi lain menjaga agar kebebasan pers tidak disalahgunakan oleh kalangan pers sendiri.

Dewan Pers lebih banyak berperan sebagai penegak etika pers, lembaga swaregulasi di bidang pers, jauh dari keinginan menjadi "monster pers" seperti di era Orde Baru. 

Peran seperti ini seringkali dikritik karena dianggap "tak bergigi", tumpul, cenderung lambat atau bahkan membiarkan praktik-praktik penyalahgunaan profesi wartawan. Kritik ini patut didengar untuk meningkatkan kinerja Dewan Pers dan profesionalisme pers Indonesia. ***

Meyakinkan Dunia

Selain keberanian, Bung Karno juga memiliki impian dan percaya diri yang besar. Hal tersebut ia dorong dengan sikap optimis, langkah nyata dan meyakinkan.

Seperti halnya saat dia mengeluarkan ketetapan bahwa Jakarta harus segera menjadi ibu kota dunia, presiden pertama ini membangun lapangan Merdeka, monumen-monumen, kota dipoles, sejumlah bank dan kantor baru yang berlapis kaca dan sebuah toko serba-ada yang besar dengan aksen barat. 

Inilah pembuktian bahwa Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri. Hasilnya, seluruh mata dunia mulai memandang dan memberi perhatian.

Menantang Bahaya

Apa yang dilakukan Bung Karno saat sebagian besar ibu kota dunia larut dalam konfrontasi dan melempar propaganda? 

Dia mengobarkan keberanian dengan nyala sikap diktatoris terang-terangan Eropa 1930-an. Malaysia hendak diganyang. Pelindung Malaysia yakni Inggris juga ditantang. Amerika Serikat ditolak. Seluruh dunia Barat dan India juga diajak bersitegang. 

Orang kulit putih dari kekuatan yang baru muncul—New Emerging Forces (Nefos), dan kekuatan lama yang mapan—Old Established Forces (Oldefos) disebut sebagai Neo-kolonial imperalis (Nekolim).

Dalam zona bahaya, hanya pemberani yang mampu menundukkannya!

Menabur Semangat dengan "Mantra"

Bung Karno sangat piawai menebar istilah-istilah dalam orasi yang membuat rakyat selalu terpesona. Bagai mantra, istilah-istilah itu mampu mendorong rakyat untuk setia memegang teguh prinsip kenegaraan.

Kita tentu ingat akan "Jas Merah" (Jangan Melupakan Sejarah) atau yang paling terkenal adalah judul pidatonya pada 17 Agustus 1964, yang menyebut tahun 1964-1965, sebagai tahun Vivere Pericoloso disingat TAVIP, atau Tahun yang Penuh Bahaya.

Tahun 1982, judul pidato tersebut dijadikan judul sebuah film, The Year of Living Dangerously dan memenangkan Oscar. 

Selasa, 18 Juni 2013

Curhat

Mencurhatkan masalah pada seseorang serasa mengurangi beban, namun tak akan membuat masalah itu selesai. Apalagi dicurhatkan pada orang yang tak tepat. Karena adakalanya orang yang mendengarkan curhat kita itu hanya karena penasaran, bukan karena peduli.

Sufi ternama, Nasruddin Hoja pernah berkata, "Saat aku kehilangan, orang yang datang hanya sibuk menyalahkanku. Tak ada dari mereka yang menunjukkan siapa pencurinya."

Senin, 17 Juni 2013

Pemulihan

Setiap manusia memiliki keahlian berbeda. Dengan keahlian itulah, manusia mampu mengubah dunia. Koki Prancis telah membuktikannya.

Ketika raja Louis ke 16 dan istrinya Marie Antoinette dipenggal, koki-koki istana kehilangan pekerjaan. Akhirnya mereka bikin rumah makan dengan format baru, rumah makan yang mampu merestorasi. 

Tujuannya setelah makan di sana, orang yang capek jadi semangat lagi. Bisnis ini berhasil dan mendunia, lama-kelamaan dikenal dengan sebutan "restoran".

Asap Kiriman

Warga Batam dan Kepri pada umumnya, lagi dan lagi, dibuat kalang-kabut. Sejak Senin (17/6) pagi, warga terkurung asap kiriman akibat terbakarnya hutan di Riau dan Jambi.

Meski dampaknya tak seburuk tahun 1997-1998, yang menyebabkan masalah kesehatan, ekonomi dan transportasi yang luas hingga ke serata Asia Tenggara, namun kabut asap kali ini skalanya cukup tinggi dibanding yang terjadi lima tahun terakhir.

Kian memalukan lagi, karena negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia ikut terekena dampaknya. Adap tersebut menyelimuti jalan dan pusat Bisnis mereka, membuat berita keluhan akibat kiriman asap Indonesia ini mendunia. 

Khusus Singupura, yang memiliki standar kebersihan dan kesehatan tinggi, kiriman asap ini seolah melempar kotoran ke wakah mereka. Bayangkan, menurut situs web Badan Lingkungan Nasional (NEA) Singapura, Indeks Standar Polutan pada Senin siang menujukkan level 80. Level indeks di atas 100 dianggap sudah tidak sehat. Kondisi ini diperkirakan berlangsung selama beberapa hari ke depan.

Sedangkan di Malaysia, asap kiriman ini mencapai level yang tidak sehat. Pada Senin, indeks polutan Malaysia menunjukkan level yang tidak sehat antara 102 dan 121 di negara bagian Pahang, Terengganu dan Malaka. Di ibukota Kuala Lumpur, langit tetap berkabut dengan indeks menunjukan angka 82.

Di Batam sendiri, asap kiriman ini membuat tak nyaman, temperatur panas jadi meningkat, udara kering, berdebu dan bau kayu terbakar.

Dinas Kesehatan Batam telah mengeluarkan peringatan agar warga berpenyakit jantung dan paru-paru, serta mereka yang berusia lebih dari 65 dan anak-anak disarankan untuk tidak terlalu lama berada di tempat terbuka atau di luar ruangan. Dan bila itu harus dilakukan, warga diminta mengenakan masker.

Berada lama-lama di luar ruang, dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Asap kiriman ini akan meracuni tenggorokan dan paru. Batuk dan gangguan saluran pernafasan atas siap mengancam. Mata pun perih.

Maka, dilemapun terjadi. Berada di luar ruang berisiko, sementara bila masuk ruang atau rumah, panasnya bukan main. Sedangkan bila menghidupkan pendingin udara, debu halus di luar akan tersedot masuk. Serba salah, memang.

Seperti yang disampaikan di atas, kasus ini selalu berulang dampaknya pun sangat memalukan, karena mengganggu negara tetangga. Namun, yang lebih memalukan melihat sikap kepala daerah di Batam khususnya, dan Kepri umumnya yang memilih sikap "tenang-tenang saja".

Tak ada reaksi, minimal protes agar jajaran pemerintah daerah Riau dan Jambi menanggulangi masalah kebakaran hutan di daerahnya, dan menjaga agar kebakaran ini tak terulang. Sebab menurut data statistik, 90 persen kebakaran hutan di Indonesia, disebabkan oleh manusia yang biasanya terkait pembukaan lahan atau deforesasi.

Bila nada protes dilayangkan, maka rakyat akan merasa dibela, dan merasa pemerintah daerah itu ada, Itulah gunanya wali kota dan gubernur, bukan? ***

Rabu, 12 Juni 2013

Selalu Ada Harapan

Tak ada hal yang mengerikan daripada berada di terowongan tanpa ujung, bagai masuk penderitaan tanpa harapan. Namun bila kita yakin bahwa terowongan itu dibuat untuk mencapai ujung, maka disorientasi itu tak perlu terjadi. 

Hal yang harus dilakukan hanyalah tenang, terus fokus, jernih, dan seimbang. Mengemudilah dengan baik, maka tak lama kemudian kita akan sampai ke ujung. Itulah solusinya. 

Carpe diem, quam minimum credula postero... yang berarti: ”Petiklah hari, dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok.”

Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan pahit pada awalnya, tapi manis melebihi madu pada akhirnya...”

Demikian bunyi tulisan Arab kufic yang tertera di piring suvenir dari Khurasan Iran yang dibuat tahun 1100 dan kini tersimpan di musium Louvre Prancis. Suvenir tersebut dibuat saat peradaban Islam, memimpin dalam segi ilmu pengetahuan, ekonomi dan tata pemerintahan. 

Tulisan di piring tadi menyadarkan, agar jangan malas mendapatkan ilmu baru. Tentu berat, pahit, dan capek. Namun semua kan membuat kita berkembang dan memiliki keahlian baru. Bukankah ini yang disebut madu?

Jalani Saja

Tahukah anda, sepatu hak tinggi yang kini nge-trend, bermula ketika warga Paris resah akibat banyaknya orang buang kotoran di jalan. Maka diciptakanlah sepatu hak tinggi agar kaki tak secara lagsung terinjak kotoran itu.

Kadang sesuatu yang buruk bisa menciptakan hal baik. Meminjam kekata AA Gym, ”Bila suatu saat nasi yang anda masak menjadi bubur, jangan dibuang apalagi marah-marah. Tambahkan sedikit variasi resep, maka jadilah bubur ayam.” 

Minggu, 09 Juni 2013

Me-manage Emosi

Kesulitan dalam memimpin adalah, ketika seorang pemimpin dihadapkan untuk me-manage emosi dan benturan-benturan ego masing-masing anggotanya. 

Untuk itu dibutuhkan konsep partisipatif dan orang yang memiliki leadership, brain, intelektual, sekaligus sense of bussines. Penting juga ada pertalian persahabatan.

"Me-manage perusahaan dibandingkan me-manage Kantata Takwa itu, seribu kali lebih sulit me-manage Kantata Takwa," ujar pengusaha dan sekaligus musisi, Setiawan Djody.

Nama dan Dusta

"Apalah arti sebuah nama?" begitu Willam Shakespeare pernah berkata. 

Sayangnya Shakespeare hidup di zaman di mana industri pencitraan belum begitu eksis. Ia tak paham, nama menjadi salah satu unsur penting dalam pencitraan.

Pencitraan akan mampu memoles nama agar baik dan mudah dikenal. Namun, bukan berarti memolesnya dengan dusta. Karena nama baik dan dusta tak akan bisa dibaurkan. Kalau dipaksa, maka tak akan hanya merusak nama, tapi juga melawan...... HATI NURANI

Jumat, 07 Juni 2013

Komik

 Sudah banyak buku yang membahas begitu perkasanya komik sebagai salah satu media komunikasi. Misalnya saja buku Graphic Storytelling karangan Will Eisner, atau Understanding Comics yang ditulis Scott Mc Cloud, atai di Indonesia ada buku 14 Jurus Membuat Komik karya Toni Masdiono.

Pakar komunikasi Mc Luhan mengatakan, "Medium is message", dan setiap media memiliki pesonanya sendiri. Bahasa bulenya, each medium has its own magic.

Misalnya novel, meski tak bergambar (hanya vignet), namun saat membacanya kita diajak menjelajah dunia kata yang tertulis. Pesona kalimatnya mampu membuat kita berempati bahkan berimajinasi tanpa batas.

Kata-katanya mempu memicu rasa, pesona, bahkan melahirkan penafsiran sehingga muncul rasa haru, geram bahkan tertawa. Inilah yang disebut the magic of written words.

Selain novel, ada media pentas di mana pesonanya ada di gerak dan laku para pemainnya di atas panggung, serta kata-kata yang disuarakan. Inilah yang disebut the magic of act and spoken.

Selanjutnya ada media televisi, film, koran, majalah yang masing-masing memiliki pesona berbeda, tapi memiliki pengaruh yang serupa. 

Dalam komik atau cerita bergambar, memiliki pesona penggabungan dari gambar-gambar diam dan kata-kata serta suara yang tertulis. 

Sekali lagi, "gambar diam", karena gerak dalam komik adalah ilusi. Namu bila gambar tersebut bergerak, itu bukan komik lagi namanya, namun animasi. 

Ada 4 elemen utama sesuatu itu bisa di sebut komik. 1) Sosok gambar atau ilustrasi. 2) Unsur tulisan atau teks, baik itu monolog, dialog, narasi dan efek suara. 3) Ada unsur kotak (frame) atau disebut juga dengan ruang pengadeganan. 4) Balon kata (balloon) tempat ruang menaruh teks narasi atau juga manampilkan kata-kata kutipan yang ringkas.

Kalau Dwi Koendoro mengatakan, ada 6 elemen yang banyak membantunya menyelesaikan pembuatan komik Panji Koming, karyanya yang terkenal itu. 

1). Kedalaman Observasi, senangiasa mengamati dan belajar dari apapun. 2). Keluasan Orientasi. Meninjau segala aspek kehidupan, melihat persoalan dari beragam sisi.

3). Penataan Proses Manajemen. Deadline, mood, semua harus ditata sedemikian mungkin. 4). Meningkatkan Iluminasi. Meningkatkan kreativitas, erat kaitannya dengan observasi dan orientasi.

5). Penajaman Verifikasi. Pengujian hasil karya, dimulai dari teman atau keluarga. 6). Bersikap Konsisten. Bersikap tetap, tapi harus meningkat dalam hal kreativitas dan teknis.

Komik merupakan kebudayaan tertua manusia. Dimulai sejak zaman Peleolithic yang ditorehkan di gua Lascaux, Prancis Selatan, 17 ribu tahun lalu. Kemudian ditemukan juga pada kebudayaan Yunani tahun 579 SM. Hal yang sama juga ditemukan di kebudayaan Mesir kuno, Assiria, Syiria, dan Persia yang digambar di papirus.

Di Indonesia komik muncul pertama kali lesat relief di Candi Borobudur di abad ke 8 dan di Candi Prambanan. Semua ini menambah khasanah cerlang budaya (local genius) negeri ini.

Hingga di awal abad 20 komik Indonesia menyita perhatian Marcel Boneff yang membuat desertasi tentang komik Indonesia yang kemudian dipertahankannya pada tahun 1972 di Prancis.

"Komik Indonesia berisi warisan yang kaya dan beragam, dan sekaligus memberikan sumbangan berarti. Namun komik juga terjebak pada haru biru transformasi haru-biru transformasi dialami negeri ini. Oleh karena itu, harus mampu berkembang untuk menjawab tuntutan-tuntutan baru," tulis Boneff di desertasinya yang diberi judul Les Bandes Dessineas Indonesiennes.

Hingga tahun 1931 komik mulai muncul di surat kabar Sin Po, karya komikus muda Kho Wang Gie atau Sopoiku dengan tokohnya bernama Put On yang sangat digandrungi pembaca.

Kemudian dari Solo, Jawa Tengah, mingguan Ratu Timur muncul komik strip Mentjari Poetri Hidjau, karya Nasrun AS, kala itu awal perang dunia II, tepatnya tahun 1940. Disusul harian Sinar Matahari di Yogyakarta ada komik strip, Pak Loeloer. Juga ada komik Roro Mendoet karya B Margono.

10 tahun kemudian, pelopor komik Indonesia muncul Abdoel Salam yang karyanya, Jaka Tingkir, Kidah Pendudukan Yogyakarta, dan Pemberontakan Pangeran Diponegoro, dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. 

Di awal tahu  1950-an juga muncul komik tenar kisah pendekar China, Sie Djin Koei, karya komikus Siauw Tik Kwie. Komik ini dangat disukai, sehingga di tanah air, mampu mengalahkan komik luar negeri, sekelas Flash Gordon (Mac Raboy dan On Moore) dan Tarzan (Burne Hogarth).

Dari sinilah kemudian memicu beberapa pelukis Indonesia yang mulanya terpengaruh superhero luar, menjadi melirik budaya sendiri. Adalah RA Kosasih yang pertama kali membuat komik tentang superhero Indonesia dalam bentuk buku. Judulnya Sri Asih. 

Komik ini segera menggusur dominasi komik luar, seperti Phantom, Mandrake dan lain-lain. Dari sinilah Kosasih disebut "bapak" komik Indonesia. Tak hanya itu, Kosasih juga menjadi "dalang" utama komik wayang yang membuka mata bangsa di era 1950-1960-an dengan kisah agung Mahabarata dan Ramayana.

Komik Indonesia terus muncul can mencapai masa keemasan di awal 1970-an. Muncullah kemudian kisah-kisah silat remaja, ada Jan Mintaraga (roman remaja), Ganes TH (kisah silat, yang paling tenar hingga difilmkan adalah, Si Buta dari Gua Hantu).

Komikus Indonesia kian tumbuh, dengan kisah beragam. Ada Indri Doedono (serial komik lucu Gareng Petruk), Djair Warni (Jaka Sembung), Wied NS (superhero Godam), serta Hasmi (kisah superhero yang hingga kini masih dikenal, Gundala Putra Petir).

Di Sumatera juga tak kalah seru. Ada Zam Nuldyn, Taguan Hardjo (Batas Firdaus), Bahzar, dan Djaz.

Namun di era 1990-an, dunia komik Indonesia seolah tenggelam dalam kesunyian, terkalahkan oleh film dan TV, sampai-sampai di tahun 1993 Dirjen Kebudayaan Depdikbud Edi Sedyawati, menggelar sayambara komik Indonesia.

Ajang ini terus bergulir, bahkan Edi ingin membawa gaweannya ke ajang Konggres Kesenian Nasional 1995. Setelah beraudisi dengan Presiden Soeharto di Istana Negara, Edi Sedyawati mengajak penulis merancang Pekan Komik Nasional. 

Di sinilah unsur animasi dimasukkan, sehingga namanya diganti Pakan Komik dan Animasi Nasional, yang perhelatan perdananya terselenggara pada Februari 1998.

Dari sinilah, bermunculan lebih dari seratus komikus baru dengan gaya bervariasi, termasuk gaya Jepang, gaya yang baru dianut setelah meledaknya komik-komik dan animasi dari negara Sakura tersebut di sini.

Kini, gaung komik tak lagi gempita. Kabar baiknya, animator-animator kita mulai berjaya, meka berkiprah di Malaysia, hingga Hollywood. Tampaknya perlu digagas lagi kesadaran untuk "berkomik" untuk menggali kekayaan cerlang budaya kita. ***

Diperkaya dengan mereferensi buku Yuk, Bikin Komik sambil Ketawa! Oleh: Dwi Koendoro Br.