Kamis, 14 November 2013

Keberpihakan Pemerintah dalam Pembangunan Bawean

Hari Sabtu-Minggu (16-17) November, saya diundang LSM Pusat Kajian Demokrasi, HAM dan Lingkungan Hidup (PUKAD-HALI) Jawa Timur, sebagai pembicara dalam seminar nasional,  “Bawean Dalam Perspektif Masyarakat”. Selain saya, ada enam pembicara lain yang turut diundang, beberapa orang profesor doktor dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Univetsitas Brawijaya Malang, Unair Surabaya, dan presiden persatuan Bawean Malaysia dan Singapura.

Di forum ini panitia meminta saya berbicara tentang "Keberpihakan Pemerintah dalam Pembangunan Bawean". Dari judul yang telah ditentukan itu, malah menimbulkan pertanyaan bagi saya. Apa memang ada keberpihakan pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten Gresik dalam pembangunan Bawean?

Kalau dibilang keberpihakan pemerintah dalam pembangunan Bawean tidak ada sama sekali, saya tak yakin itu. Hanya saja belum tepat, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak dirasakan langsung manfaatnya bagi masyarakat. 

Sebenarnya hal itu tak perlu terjadi, bila Pemkab Gresik memahami karakter dan kultur masyarakat Bawean itu sendiri. Konsep pembangunan dan pengembangan pulau Bawean, tentu tak sama dengan konsep Mayor Pierre L’Efant, membangun Washington, Raffless membangun Singapura, atau BJ Habibie membangun dan mengembangkan pulau Batam. Semua ini berbeda.

Batam adalah pulau industri, dari sebuah kawasan ekonomi khusus, inilah yang menjadi landasannya. Habibie mendisain ekonomi Batam untuk memanfaatkan sebesar-besarnya keuntungan ekonomi yang didapat singapura. Istilahnya, bila Singapura itu "balon pecah" maka pecahannya akan mengarah ke Batam. Dari sinilah Batam berkembang, dan pembangunannya dirasakan oleh masyarakat hingga ke anak cucu.

Sementara Bawean, itu berbeda. Lalu konsep seperti apakah yang tepat untuk mengembangkan pulau ini? Ada baiknya kita pahami dulu sejarahnya. 

Beberapa liratur menyebut Bawean telah ada ratusan tahun lalu. Dulu pulau ini bernama "Majadi", bahasa sansekerta yang berarti Matahari Terbit. Siatem pemerintahannya adalah kerajaan, dengan sistem kepercayaan lokal.

Hingga di abad 14, Cakraningrat IV dari Madura menaklukkan kerajaan ini. Dari sinilah Islam menyebar dan dianut 100 persen penduduknya. Tak hanya itu, proses akukturasi membuat asli Bawean hilang berganti bahasa penguasa, Madura, hingga kini.

Dari sini, Bawean menjelma menjadi pulau transit. Letaknya yang berada di tengah antara Jawa, Kalimantan dan Sumatera, membuat pulau ini kerap disinggahi kaum saudagar, nelayan dan para wali dari Jawa, Pelembang, Mandar bahkan Campa. 

Ada kalanya kaum-kaun tersebut menetap, membangun klan di Bawean, membuat warga Bawean menjadi multi kultur, hingga kini. Keberadaan pulau Bawean sebagai pelabuhan transit makin kukuh di era penjajahan Belanda.

Di sini mereka membangun pelabuhan moderen, lengkap dengan dam, perkantoran, dan pergudangan. Sistem ini menngingatkan pada sistem free trade zone yang jamak dijumpai saat ini. 

Hingga era kemerdekaan, pembangunan Bawean mandeg. Perannya sebagai kawasan transit tak lagi ada. Pemerintah setelahnya berupaya mengambangkan Bawean sebagai kawasan agraris, namun tak berhasil. Begitupun sempat dibikin sebagai sentra perikanan, juga tak jalan.

Hingga saat ini, arah pengenbangan Bawean kurang jelas ke mana arahnya. Namun, yang masih tak berubah adalah semangat penduduknya untuk merantau, sebagaimana yang dilakukan kakek buyutnya dulu. 

Bagi laki-laki Bawean belum bisa dikatakan matang bila belum merantau. Itulah yang mendorong banyak lelaki Bawean merantau, sehingga Bawean akhirnya disebut "pulau putri", karena di pulau Bawean yang tinggal hanya kaum perempuan saja.

Dari sinilah kemudian muncul idiom bagi lelaki Bawean yang berbunyi: "Jangan menikah sebelum membuka langit, jangan membuka langit sebelum merantau, jangan merantau sebelum memiliki bekal." Terkait "bekal" ini, di era 80-an ke bawah, ada tren anak-anak muda untuk berguru ilmu silat sebelum merantau.

Kebiasaan merantau ini sudah tercatat lama. Ada yang menyebut, pada abad ke 16 warga Bawean sudah berdiaspora ke semenanjung Malaya. Dari kaum perantau ini, masyarakat Bawean mengadopsi budaya Melayu, hingga kini. 

Hingga saat ini banyak warga Bawean mempunyai ikatan darah dengan masyarakat Malaysia dan Singapura. Singapura masih menyebut orang Bawean perantuan sebagai "boyanes", di mana berdasarkan sensus tahun 2010 ada 57.148 jiwa etnis Boyan yang kini menetap di Singapura.

Hingga ketika migrasi bebas ke Malaysia dilarang, seiring konfrontasi RI dan Malaysia, warga bawean banyak yang menetap di Kepulauan Riau. Seperti pulau Bintan, Batam, hingga Lingga. Sehingga jangan heran bila saat ini banyak ditemukan “peninggalan-peninggalan” para diaspora Bawean tersebut. 

Yang paling nyata, di daerah-daerah tersebut banyak ditemukan kampung Boyan. Bahkan di Bangkok, Thailand pun ada. Karena sudah lama berdiaspora, maka saat ini di daerah rantauan, keturunan bawean banyak yang sukses di segala bidang, baik di pemerintahan dan seni.

Berangkat dari uraian ini, maka mestinya sudah bisa dipahami ke mana arah pembangunan Bawean ditautkan. Karena karakter masyarakat Bawean adalah diaspora, maka apa yang bisa dikembangkan dari dispora? Dan apa yang paling dibutuhkan oleh diaspora?

Diaspora adalah fenomena yang lumrah atau biasa, namun menyimpan potensi yang luar biasa. World Bank bahkan mengakui diaspora mampu mengangkat perekonomian dengan menurunkan tingkat kemiskinan. 

Di Bawean sendiri, warga diaspora ini mempunyai sumbangsih besar bagi kemajuan pulau asal mereka. Potensi nyata dari diaspora Indonesia adalah pengiriman uang dari luar ke dalam negeri. 

Ini baru potensi remitansi, belum lagi potensi intangible lain yang bisa digunakan untuk membangun. Peningkatan investasi karena sebagian besar diaspora kita adalah pedagang dan ada yang memegang jabatan penting di sektor swasta dan pemerintah. Kebanyakan diaspora Bawean adalah orang dengan pemikiran cemerlang yang justru lebih banyak membantu negara tujuan. 

Gambaran kecil ini sudah menunjukkan potensi yang mestinya Pemkab Gresik bisa mengembangkan tiga fokus pembangunan di Bawean, sehingga hasilnya dirasakan masyarakat di sana. Seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan infrastruktur lunak (kesehatan dan pendidikan), dan pemanfaatan sumber daya alam. 
 
Fokuslah pada tiga hal tersebut. Sayang, pemkab gresik memang masih sangat lemah dalam memanfaatkan potensi Bawean. Lahan pertanian, perikanan, wisata, masih belum dikelola maksimal.

Belum lagi bila berbicara tentang transportasi, khususnya kapal, sesuatu yang sangat vital bagi masyarakat diaspora yang menganggap laut adalah penghubung. Ini adalah kunci utama. Sederhana saja, bila ingin membangun Bawean, perhatikan akses menuju ke sana. Sediakan transportasi (kapal) yang pasti.

Tapi kenyataannya, jangankan kapal terbang, kapal laut saja sulitnya bukan main. Hampir tiap hari kita melihat dan membaca tentang warga Bawean yang marah, karena ketiadaan kapal ini. Kadang di antara mereka ada warga keturunan Bawean yang ingin melihat kampung halaman kakek buyutnya, namun harus menelan getir juga.

Dari sinilah ketidak puasan ini bermula dan meluas, jadi bahan cerita di jejaring sosial. Kabar ini kian mendunia, membawa citra Bawean, sebagai pulau menyebalkan untuk dikunjungi.

Saya sebagai warga perantau merasakan betapa tersiksanya saat akan pulang ke Bawean, kampung halaman saya sendiri itu. Kadang harus terkatung-katung di gresik tanpa kepastian, dan ini berarti harus merogoh kocek ekstra untuk biaya makan dan penginapan.

Tak cukup hanya itu, pelayanan di pelabuhan jauh dari kata profesional dan manusiawi. Bahkan, pelayanan Pemko Tanjungpinang saat melayani TKI ilegal yang dideportasi dari Malaysia, jauh lebih baik dari pelayanan pelabuhan di Gresik.

Saat pulang ke Bawean, rasanya seperti tawanan perang. Ini sungguh memuakkan. Selalu berulang dan berulang. Jadi wajar saja bila warga Bawean mencap Gresik tak memperhatikan mereka. 

Bila soal kapal saja susah, bagaimana lagi mau bicara soal menggali potensi, misalnya pariwisata? Memangnya wisatawan mau ke Bawean pakai apa? Kunci wisata itu adalah pelayanan dan kenyamanan. Bila sudah tak nyaman, saya rasa mereka akan berpaling pada kawasan lain.

Bicara soal kapal ini, saya ada cerita sedikit. Di Kabupaten Natuna, wilayah utara Provinsi Kepulauan Riau juga memiliki masalah serupa. Untuk menuju ke kabupaten kaya minyak itu, warga menggunakan kapal laut, yang lebih tepatnya disebut dengan kapal barang.

Bedanya, pengelolaan kapal di sana lebih transparan. Sudah dua bulan ini, KM  Bahari 5, armada milik PT putra Anambas shipping yang memenangkan kontrak subsidi trayek Natuna-pontianak dan natuna-Tanjungpinang sebesar Rp23 miliar selama dua tahun, tak melaut.

KM Bahari 5 sudah tak beroperasi karena mesinnya rusak, dan sampai saat ini masih lego jangkar di pelabuhan rakyat, pelantar Penagi, Ranai. Akibat kerusakan ini PT putra Anambas shipping didenda sekitar Rp5 juta perhari selama satu bulan lebih. 

Tak hanya itu, berdasarkan perjanjian antara pemkab dan PT putra Anambas shipping, perusahaan itu terancam putus kontrak jika sampai tanggal 5 november tidak mengoperasikan KM Bahari 5 dengan rute Natuna-pontianak.

Daripada putus kontrak, akhirnya perusahaan tersebut mengerahkan armada pengganti bernama KM Tenang Jaya 1. Inilah yang disebut pemerintah pro rakyat, inilah yang disebut melayani rakyat, ini jualah yang disebut keberpihakan pembangunan. 

Di Bawean bagaimana? Apakah sistem ya seperti itu? Apakah pemkab gresik sudah transparan membeber kontrak kapal trayek Bawean-Gresik? Apa kompensasi yang diberi pada masyarakat bila suatu ketika armada perusahaan kapal tersebut tak melaut? 

Saya dengar belum ada...


*) Dibawakan dalam seminar "Bawean dalam Prespektif Masyarakat", di Hotel Halogen, Surabaya, 16-17 November 2013.