Jumat, 08 Juni 2012

Bahasa Melayu

Cerita ini berasal dari Aernoudt Lintgenszoon, seorang warga berkebangsaan Eropa. Dia berada di Bali dalam waktu yang lama dan menuliskan sendiri pengalamannya sebagai laporan pada donatur pelayaran pertama bangsa Belanda, sekitar tahun 1500-an.
Dalam buku Bali Tempoe Doloe disebut, kala itu Belanda banyak memakai jasa penerjemah untuk memperlancar misi dagangnya, waktu nusantara masih terbagi dari beberapa kerajaan.
Salah seorang penerjemah yang dipakai Belanda saat itu, bernama Juan, seorang Portugis. Tulisan ini menyebut, saat itu bangsa Melayu dan bangsa Portugis berlomba agar bahasanya menjadi lingua franca (bahasa pengantar) yang digunakan di seluruh Nusantara.
Namun rupanya bahasa Melayu lebih diterima, sehingga Juan menggunakan bahasa ini sebagai alat komunikasinya, meski dia berkebangsaan Portugis.
Kesan unik orang barat pada bahasa Melayu, saya temukan di tulisan Colin McPhee, komposer sekaligus pakar musik asal Kanada, yang ikut memberikan pengaruh pada musik kotemporer berkat kemampuannya mengelaborasi musik Bali secara rinci.
Catatan ini dia tulis tahun 1947-an. Dia mengisahkan, tentang kengguanannya belajar bahasa Belanda. Namun memilih bahasa Melayu.
Baginya, Melayu terdengar sebagai bahasa kekanakan namun sederhana untuk mengekspresikan keinginan sehari hari. Namun, bahasa melayu sangat rumit dan ambigu artinya jika digunakan untuk mengungkapkan pemikiran yang kompleks.
Bahasa Melayu, tulis Colin McPhee, adalah bahasa esperanto atau artifisial dari Melayu dan Indies. Perbendaharaan kata-katanya terdiri dari bahasa Arab, sedikit Sansekerta, Portugis dan Jawa, sedikit bahasa Belanda dan Inggris, serta kata-kata yang berbungi lucu untuk mendiskripsikan manusia, ikan dan kelapa.
Saya setuju Colin McPhee, bahasa Melayu memang mudah diterima, ibarat bahasa Inggris yang luga menyerap dan menggeser semua bahasa di sekitarnya. Sekadar mengulas ke belakang, Eropa di abad pertengahan, masyarakatnya digolongkan dalam tiga bahasa. Bahasa Inggris dipakai masyarakat kelas bawah, bahasa Latin dipakai kalangan gereja dan ilmuwan, dan bahasa Perancis dipakai untuk kaum bangsawan mulai daratan Inggris hingga Rusia.
Itulah mengapa, Raja Richard lebih mahir berbahasa Prancis dibanding Inggris, meski dia sendiri Raja Inggris. Bahkan gelar kebangsawanannya saja menggunakan bahasa Prancis, yakni Coeur de Lion (Lion Heart/Hati Singa).
Bahasa Perancis dianggap lebih terhormat dan teratur. Beda dengan bahasa Inggris yang lebih santai, tak terlalu terikat aturan. dengan kata lain, setiap orang boleh berbahasa Inggris dengan aksennya sendiri, asal tujuannya tercapai.
Karena fleksibel itulah, bahasa Inggris lebih bisa diterima, tak hanya di Eropa, namun juga dunia. Itu sebabnya ada bahasa Inggris-Amerika, Inggris-Australia, dan bahkan Singlish, alias Inggris-Singapura yang diwarnai Melayu dan dialek China.
Karena fleksibel juga, bahasa Inggris saat ini berubah dan berbeda jauh dengan bahasa Inggris dahulu kala, seperti yang tertulis dalam dokumen tentang kisah Beowulf. Karenanya, tak ada manusia moderen saat ini yang bisa membaca dokumen tersebut.
Sementara itu, bahasa Perancis kalah pamor karena terlalu kaku. Hingga tiga abad 19, tepatnya era perdagangan, bahasa Prancis kalah beradaptasi dan banyak ditinggalkan. Apalagi sebelumnya, Perancis telah membuat bahasanya bagai agama yang mengatur ”dosa” para penggunanya dengan mendirikan ”Académie Française”. Akademi ”dogma” bahasa ini didirikan Kardinal Richelieu.
Kembali lagi ke Bahasa Melayu, beginilah adanya bahasa ini. Mudah menyerap, diserap dan diterima. Sehingga ragamnya meluas, tak hanya di Indonesia, juga ke luar negeri. Apa yang kita kenal saat ini sebagai bahasa Indonesia, sebenarnya ruh-nya adalah bahasa Melayu, namun kosa katanya diperkaya dengan merangkul ratusan bahasa daerah yang ada. Luar biasa.
Contoh, kata ”nyeri” sebenarnya bahasa Sunda yang diadopsi jadi Bahasa Indonesia, artinya sakit bersifat tajam dan lokal. Dalam perkembanganya, banyak juga bahasa yang daerah yang diserap bahasa Indonesia. Tak hanya itu, ada kalanya kata serapan dari bahasa asing di-Indonesiakan. Seperti unduh untuk download, unggah untuk upload atau daring untuk online. Banyak lagi yang lain.
Cukup dulu ulasan soal bahasa ini. Sebelum saya akhiri, bila Juan, seorang Portugis saja bangga berbahasa Melayu sejak tahun 1500-an lalu, rasanya amat disayangkan bila pejabat teras di Kepulauan Riau ini, kurang menghargai bahasa ini. Misalnya saat berbicara di depan publik, dia menyelip-nyelipkan bahasa Inggris pasaran agar tampak hebat. ***