Kamis, 28 Agustus 2008

Kenangan Ramadan (1)

Sebentar lagi, Ramadan suci menjelang. Bagi saya bulan ini adalah buran romantis. Romantis akan manisnya hablum minallah, hablum minannas serta hubungan dengan batin.

Kedatangan Ramadan selalu disertai romansa masa kanak-kanan nan susah dilupakan. Romansa tentang manisnya jadi anak-anak yang mengisi waktu kala menahan haus dan menunggu berbuka puasa. Romansa tentang belai lembut jemari ibu yang membangunkan kala saat sahur tiba.

Ahhhh. Allahu akbar. Terima kasih telah engkau ciptakan Ramadan ini.

Saya lahir di Pulau Bawean, 80 mil laut dari Jawa Timur, 120 mil laut dari Kalimantan Selatan. Islam adalah satu-satunya agama yang dianut di pulau ini. Jadi tak heran, pulau ini kian hidup kala Ramadan menjelang.

Kampung yang saya diami bernama Kotta, 1 km dari alun-alun kecamatan Sangkapura. Kampung saya ini cukup kecil, hanya dihuni kurang dari 50 kepala keluarga.

Masa kanak-kanak Ramadan yang paling saya ingat ketika masih duduk di bangku kelas III SD, sekitar tahun 1983-an.

Manisnya Ramadan masa kanak-kanak, saya mulai kala berbuka usai. Dari sini, saya dan sebaya saya, bermain di luar rumah dengan lilin dan kembang api batang di tangan. Kadang saling kejar-kejaran di sebuah padang rumput, tak begitu luas, di dekat rumah Pak Muhammad.

Pak Muhammad adalah guru mengaji kami. Oleh anak-anaknya biasa dipanggil ‘’Ma-Ma”, asal kata rama/romo yang berarti ayah. Karena itulah kami juga memanggilnya Ma-Ma.

Di rumah Ma-Ma memang selalu ramai, maklum Kak En-na (namanya Masna), putrinya, selalu jualan rujak cingur yang kesedapannya menyeruak hingga kampung sebelah. Jadilah kak En-na selalu diserbu saat Ramadan jelang.

Kembali lagi soal bermain, saya ingat, saat itu saya belum berani memegang kembang api secara langsung. Apinya bikin kulit tercubit. Makanya saya memakai alat bantu berupa bambu sepanjang 50 cm untuk meletakkan kembang api di ujungnya.

Saat Ramadan, anak-anak sebaya kami asyik bermain mobil-mobilan kayu yang diseret ke sana-kemari. Saat itu mobil berbahan plastik masih jarang.

Saya ingat, kawan saya bernama Acang sangat mahir membuat mobil dari kayu ini. Ilmu ini dia warisi dari sang kakek, seorang pensiunan polisi di zaman prakemerdekaan, bernama Abdul Gani. Kami memanggilnya Pak Nek, tapi Acang memanggil dengan sebutan Pak Ci.

Kenangan Ramadan (2)


Mobil-mobilan buatan Acang berbahan triplek, sedangkan as dan rodanya dari papan. Biasanya model yang sering dibuat adalah pickup jenis Mitsubishi L 300. Maklum, mobil jenis inilah dulu satu-satunya yang digunakan sebagai angkutan umum di Bawean.

Acang bilang, ‘’Mobil Pak Adra-e”. Adra-e adalah haji yang dulu punya mobil seperti ini. Rupanya Acang sangat kagum, sehingga terobsesi memilikinya. Bahkan dia bercita-cita ingin jadi supir jika besar kelak.

Impiannya inilah yang dia ejawantahkan pada mobil-mobilan hasil kreasinya ini. Karena pandai membuat mobil-mobilan, Acang kerap ramai order saat Ramadan yang otomatis membuatnya banyak teman.

Mobil-mobilan buatan Acang amatlah tangguh. Mampu menerjang banjir hingga 5 cm. Bahkan mampu mengangkut beban hingga 1 kg.

Bagaimana kalau rusak, misal rodanya patah? Jangan khawatir, karena Acang juga punya bengkel khususnya. Bahkan dia juga membuat garasi khusus dari bahan non permanent yang letaknya di samping kandang ayam.

Mobil inilah yang selalu menemani anak-anak di kampung kami kala Ramadan. Kalau malam, suasana kian ramai. Di atas mobil ini selalu direkatkan lilin. Di sinilah anak-anak sebaya kami berimajinasi sebagai seorang supir profesional, atau Haji Adra-e itu sendiri.

Sedangkan saya, ogah pakai mobil-mobilan Acang, saya lebih memilih minta dibelikan mobil berbahan plastik dari kakak di Jawa. Untuk lampunya, saya juga tak pakai lilin. Karena takut terbakar.

Maka itu, saya minta kakak saya bernama Iim membuat lampu-lampunya. Bahannya dari bulb lampu senter. Untuk mengaktifkannya, hanya pakai batre ABC ukuran besar. Jadilah mobil saya yang paling semarak.


***

Nuansa malam di bulan Ramadan bagi anak-anak ini, kian semarak kala menginjak malam ke 21 dan 23. Di malam yang dipercaya datangnya Lailatul Qadr ini, anak-anak di Bawean memiliki tradisi khusus, bernama malem-maleman atau tolong-tolongan.

Di sini, anak-anak akan memajang mainan masing-masing di teras rumah. Selain itu, mereka menyediakan aneka makanan kecil, yang paling wajib adalah popcorn, atau biasa disebut ‘’kumbeng”.

Selanjutnya, dengan membawa baki warna-warni bersisi makanan kecil tersebut, mereka akan saling mengunjungi rumah tetangga atau kawannya di sekolah lalu dengan saling menukar makanannya. Take and give, saling membantu dan bersaudara. Begitulah pesan pada tradisi ini.

-------------
Foto: Inilah model mobil yang ditiru Acang

Kenangan Ramadan (3)

Bagi sahabat dekat, biasanya jenis makanan yang dibawa agak istimewa semisal permen, atau kembeng api. Namun, kumbeng tetap disertakan di sana. Meski sebenarnya anak-anak tak pernah mau memakan kumbeng ini.

Momen ini juga menjadi lahan bisnis bagi ibu-ibu. Biasanya mereka menjual kumbeng dan aneka makanan dari tepung. Paling umum berbentuk orang-orangan. Mirip sebuah karakter di film Shrek.

Hiruk-pikuk permainan anak-anak ini akan usai, seiring adzan isya berkumandang. Kamipun bergegas tarawih di surau tua dari kayu di kampung kami. Selama Ramadan, surau ini memang tak pernah sepi. Selain jadi tempat ibadah, juga jadi tempat anak tidur.

Yang seru saat Tarawih, khususnya kala 10 malam pertama. Namanya juga anak-anak, jangan harap khusyu, karena selalu saja dilalui dengan bergurau.

Tarawih di kampung kami menganut 23 rakaat. Biasanya pembacaan ayat-ayat sucinya dilakukan secara cepat. Imam yang kondang paling cepat dalam membaca ayat ayat suci saat tarawih adalah Wak Ali.

Wak Ali sebenarnya orang Bengko Sobung, rumahnya ada di perbatasan kampung kami. Selain itu Wak Ali aktif sebagai guru ngaji dan tukang azan di masjid Jami, Sangkapura.

Karena reputasinya itulah, selama Ramadan, Wak Ali didaulat menjadi imam tetap tarawih di kampung kami. Sedangkan Ma-Ma, hanya menjadi imam saat salat Isya dan Subuh saja.

Kadang kami sering membuat Wak Ali keliru dalam membaca ayat-ayat suci yang super cepat itu. Hal ini membuat Ma-Ma, marah-marah melihat kelakuan kami. Dimarahi begitu bukannya takut, malah cengengesan.

Saat itulah Ma-Ma mengeluarkan jurus jitu untuk mendiamkan kami, ‘’Awas, nanti saya bilangin ke Bapaknya!” waduh, kalau sudah begini mantranya, kami langsung diam.

Usai tarawih, saya biasa melanjutkan dengan tadarus. Ikut membaca Alquran. Kali ini kawan saya bukanlah anak sebaya, namun orang dewasa. Biasanya, orang kampung menyediakan teh dan kopi hangat, serta aneka jajanan pasar untuk orang-orang yang tadaruz ini.

Setelah tadarus usai, saya baru pulang ke rumah bersiap tidur. Jarak langgar ke rumah saya sekitar 200-an meter. Namanya juga kampong kecil, apalagi di zaman itu, listrik masih jarang. Banyak tempat masih gelap.

Namun anehnya, rasa takut saya hilang saat lewat di tempat gelap yang biasanya saya hindari itu. Ini karena saya sering dengar pak ustad bilang, bahwa di bulan Ramadan semua setan dibelenggu.

Sebenarnya, tak pulang pun tak apa, asal bilang pada orang tua. Sebab, di bulan Ramadan ini, para orang tua membebaskan anaknya untuk tak tidur di rumah. Karena mereka tahu, anaknya kalau tak tidur di surau atau langgar, pasti di rumah kawan untuk ikut ‘’a tung-tung”, sebelum sahun menjelang

‘’A tung-tung?” Ya. Atung-tung ini semacam ronda malam membangunkan orang untuk sahur. Tradisi ini tak hanya anak-anak saja yang ikut, tapi juga orang dewasa.
Biasanya dengan berombongan berisi 5-10 orang, mereka membawakan pantun melayu jalan keliling dari kampung ke kampung. Kadang juga diselingi lagu dangdut yang lagi tren saat itu.

Kenangan Ramadan (4)

Adapun yang lain, mengiringi dengan aneka tetabuhan akustik dari alat musik semisal jerigen besar untuk bas, klenengan untuk simbal, dan kentongan.

Kadang juga mereka membawa fujung, semacam kendi yang kepalanya ditutup balon. Alat musik ini mampu menghasilkan suara yang lebih ngebas. Ada juga yang pakai gitar dan sound system yang diangkut di gerobak.

Tung-tung ini kadang juga dimanfaatkan anak muda yang kasmaran. Biasanya saat melewati rumah pujaan hatinya, mereka selalu melempar pantun yang berisi pujian kepada sang gadis. So sweet.

Agar tercipta ke kompakan harmoni indah, maka biasanya sebelum a tung-tung, mereka latihan dulu lagu apa saja yang akan dibawa. Karena mentradisi, seni tung-tung ini kerap dilombakan saat perayaan hari besar Nasional, seperti 1 Muharram dan 17 Agustus.

***

Sahurpun menjelang.Untuk mempersiapkan sajian, ibu harus mempersiapkannya sejak jam 12 malam. Maklum saat itu penanak nasi elektrik belumlah ada. Kompor gas pun masih jarang, makanya masak nasi masih memakai kayu bakar dan dandang. Sehingga saat sahur hasilnya akan hangat.

Selanjutnya, kami sekeluarga larut dalam kebersamaan, menikmati hangatnya teh hasil racikan tangan ibu. Menu favorit saya saat sahur adalah kuah bening. Kami menyebutnya ‘’kla konce.”

Kalau sudah ikut sahur, saya pun tak berani untuk tak berpuasa. Kakakku selalu mengatakan, kalau sahur tak puasa maka kepala saya akan tumbuh tanduk. namanya juga masih anak-anak, makanya saya percaya saja.

Setelah sahur usai, saya bersiap ke langgar. Sebelum azan Subuh melantun, saya dan kawan sebaya sudah ngumpul di langgar. Lagi-lagi kami main lagi. Kali ini petasan yang bentuknya seukuran batang rokok mild.

‘’Tar… tar…” begitu bunyinya. Kami pun girang.

Saya ada kisah lucu soal petasan ini. Saat itu kawan saya bernama Samsu, menyulut petasan lalu dia buang ke jamban yang berada di belakang langgar. Samsu mengira jamban itu kosong.

Namun apa yang terjadi?

Ternyata di jamban itu ada Mama lagi buang hajat. Tentu saja, bunyi ledakan petasan mengejutkan Mama yang lagi asyik merenung itu. Spontan Mama langsung naik amarah. ‘’Hei… nakal kali anak anak ini, hamper saja saya jatuh ke parit!” katanya.

Kamipun kaget, lalu ambil langkah seribu sambil menahan tawa. Setelah jauh, barulah kami meledak, ‘’Ha ha ha ha…”

Samsu memang hobi main petasan. Reputasinya sudah terkenal. Ada saja idenya. Bahkan suatu hari dia pernah bereksperimen meledakkan kotoran sapi dengan petasan ini. Yang unik dari Samsu adalah hidungnya selalu meler atau beringus. Kami menyebutnya ‘’oseng”. Karena itulah Samsu selalu digelar ‘’oseng”.

Selanjutnya, momen Ramadan usai salat Subuh masih juga kami lewatkan dengan bermain monopoli. Saat itu, yang punya permainan ini hanya saya. Jadi, lokasinya ya di rumah. Permainan ini memiliki rentang waktu panjang, hingga dua jam. Jadi pas untuk menunggu malam.

Kenangan Ramadan (5)

Wedi anak Mama, dan Ame, selalu menjadi partner tetap saya saat main monopoli. Strategi keduanyapun berbeda. Kalau Wedi senangnya beli tanah yang murah dulu, seperti di Kemayoran atau Garut. Sedangkan Ame suka yang mahal dulu, semisal Singaraja dan Denpasar.

Selanjutnya, pagi hingga siang, masih kami lewatkan bermain. Kali ini lokasi favorit di sawah, mincing belut. Kadang juga saya ikutan kakak ipar Wedi, Kak Khalil yang juga suami Kak Enna, mincing kepiting di dermaga.

Kalau sudah begini, bisa setengah hari. Hasilnya, kadang kami makan saat berbuka. Soal belut ini, Wadi memang ahlinya. Tangannya lihai saat mincing dan juga saat memasaknya.


***

Ketika dhuhur tiba, anak-anak baru bisa lelap. Kehidupan mereka di mulai kembali saat Asar tiba, atau menjelang berbuka.

Saat itu, kami akan ke alun-alun kecamatan. Di sana ramai anak-anak jualan petasan dan lilin. Selain itu banyak warga yang jalan-jalan ngabuburit sembari mendengar ceramah yang terpancar luas dari corong masjid jami.

Di rumah saya sendiri, biasanya juga sudah sibuk mempersiapkan menu berbuka puasa. Menu lontong sayur adalah menu wajib kami. Biasanya diselingi aneka jajanan yang pada hari-hari biasa jarang ada, seperti serabi gula, kue banjar (semacam bolu berkuah air pandan), hingga tambak bedul.

Untuk airnya, biasanya ibu membuat es teh atau sirup. Karena saat itu lemari es masih jarang, maka dengan naik sepeda BMX, saya selalu membeli es dari pembuat es batu. Ada tiga tempat yang kerap saya datangi, yang agak dekat di rumah Haji Acik di kampong Laut Sungai.

Kalau di sini habis, saya pindah agak jauhan mencari ke Kolapadeng. Kalau di sini juga habis, maka terpaksa cari ke Per-ikanan yang lumayan jauh. Di sini selalu ada, karena es selalu diproduksi untuk mengawetkan ikan.

Hingga akhirnya, ‘’Duaaaarrr…” bunyi meriam karbit di masjid jami berbunyi, tanda berbuka sudah tiba. Biasanya juga akan diselingi bunyi sirene, mirip saat perang.

Oh ya, ada yang lupa saya sebutkan di atas. Saat Ramadan, sarung selalu tak lepas dari badan. Fungsinya memang praktis, selain bisa untuk ibadah, juga bisa menjadi selimut pengusir nyamuk dan dingin saat ikut tung-tung dan tidur di langgar.

Bahkan, anak-anak juga mengkreasikannya menjadi jubah super hero. Caranya, dengan melilitkan dari belakang kedua ujungnya ke leher, maka jadilah jubah Superman atau Batman.

Selain itu, juga bisa dibuat menjadi jubah ninja. Caranya, ujung satu dan lainnya dililitkan ke dahi. Selanjutnya, salah satu sisi yang menjuntai ke bawah, ditarik ke atas. Tada…. Jadilah kostum ninja.



Namun seiring zaman, semua tradisi Ramadan ini kini hilang. Semua leyap disapu televisi!

Lamunan Feri

Minggu lalu saya pergi ke Karimun. Untuk menuju ke sana, saya naik dari pelabuhan Sekupang. Jarak tempuhnya satu jam.

Satu jam lamanya di feri, membuat jenuh saya hinggap. Aksi gulat professional dari dua televisi 20 inc yang dipasang di sisi palka dekat tempat duduk paling depan, tak lagi menghiburku.

Sementara saat melihat ke samping, hanya ada cuaca hujan berkabut dan deru gelombang.

Sesekali saya melihat beberapa kapal melintas. Ada tongkang penuh muatan pasir melenggang ditarik tugboat.

Lho, katanya pasir sudah dilarang dikeruk. Kok? Ah peduli setan, emang aku siapa?

Ada juga kapal kontainer, beberapa kapal nelayan dan tentu saja, lalu-lalang feri.

Saat jenuh itulah, saya larut dalam lamunan. Melamunkan kisah Raja Ali Haji, panglima Kerajaan Melayu Riau Lingga, di buku yang baru saya baca.

Seorang panglima (mungkin juga laksamana?) yang brilian. Ahli strategi. Dari tangannyalah ibukota Riau Lingga dipindah dari Daik ke Penyengat.

Seorang Panglima yang saat dilantik berani mengucam sumpah ke pada Raja,

”Jika ada hal yang melintang mau Tuan tegakkan, maka akan Beta tegakkan!”

‘’Jika ada hal yang tegak mau Tuan lintangkan, maka akan Beta lintangkan!”

Mirip kisah Mahapatih Gajah Mada kala mengucap sumpah Amukti Palapa.

Lalu apa hubungannya dengan lamunan di feri?

Raja Ali Haji memiliki kapal perang bernama Bulang Linggi. Konon jika melihat kapal ini, para lanun akan bergegas sembunyi ke sarangnya.

Bulang Linggi juga telah mengarungi lautan higga ke kota dagang Fi Amanillah, yang kini disebut Filipina. Bahkan, Bulang Linggi sudah menjelajah hingga ke kerajaan Bugis bahkan Melaka.

Ini dia kaitan dengan lamunan saya itu.

Saya membayangkan, saat ini hanya satu jam saja saya melaut, sudah bosannya minta ampun. Bagaimana lagi dengan orang-orang di zaman Raja Ali Haji ini. Tentu akan lebih lama lagi daya tempuhnya. Belum lagi saat itu teknologi VCD belumlah ada.

Saya membayangkan, ikut Bulang Linggi dari Lingga yang berbatasan dengan Jambi itu, ke Penyengat! Wah berapa bulan tuh lamanya.

Saya juga membayangkan, penjelajahan Bulang Linggi hilir mudik menyatukan Kepulauan Riau ini. Namun tak terbayang juga. Yang ada hanya kekaguman semata.

Saat itu pula saya teringat kalimat Hassan Junus pada sebuah pertemuan di Sari Jaya Hotel, Batam tahun 2002 lalu.

‘’Saya lebih percaya kesusasteraan daripada buku sejarah. Sebab, sejarah sering direkayasa, sedangkan kesusasteraan adalah ungkapan jujur seseorang.” Begitu katanya.

Mungkin ibaratnya, kesusasteraan di masa lalu bak para penulis blog saat ini ya...?

Ah, Trans TV Lagi

Keasyikan santap siang di resto Pak Datuk, rumah makan Padang kawasan Batam Center, kemarin, terusik oleh berita peristiwa di televisi. Saat itu kami melihat reporter Trans TV meliput kejahatan di Jakarta.

Usai tayangan berlangsung, para penonton yang juga pengunjung rumah makan, asyik dalam komentar, termasuk dua orang yang makan di sebelah saya.

Mau tahu apa yang mereka perbincangkan? Salah besar jika Anda menjawab soal tayangan tadi, sebab yang mereka bincangkan soal kegagahan seragam reporter Trans TV saat meliput. ‘’Wah mirip seragam polisi Amerika, ya,” komentarnya.

‘’Kenapa wartawan di sini tak pakai seragam ya,” celetuk salah seorang di antaranya yang berwajah kotak, mirip Samwise si Hobbit, dalam Lord of The Ring itu. Rupanya kawan ini cukup kritis.

Menurut dia, seragam dapat membantu si wartawan itu sendiri gar tak selalu memikirkan baju baru. ''Kan malu juga kalau ke mana-mana baju yang dipakai itu-itu saja. Sementara keuangan tak cukup. Nah ini bisa diselamatkan oleh seragam,'' ujarnya.

‘’Wartawan itu berjiwa bebas Bang. Tempatnya di lapangan. Makanya kalau dibatasi seragam, khawatir nalurinya buntu,” jawab ku sekenanya.

Mereka pun berpaling. Melihat siapa gerangan pencuri jawaban pertanyaannya itu.

‘’Ah… Dasar wartawannya saja yang suka dibilang semau gue. Mereka memang senang dicitrakan tak teratur, kok. Bung! Sekarang ini bukan lagi zaman wartawan gigit besi, di mana pers adalah lahan para idialis. Sekarang adalah zaman wartawan gigit roti, di mana pers menjadi sebuah industri,” jawab si muka kotak sengit.

Selanjutnya mereka menyinggung soal Akta Diurna dan Akta Senatus, cikal-bakal pers yang bermula di zaman Romawi sebelum Masehi itu.

Aku terhenyak. Wah, benar kata Pemred Radar Surabaya, di luar sana masyarakat sudah lebih pandai menganalisa dan menilai kinerja pers dan wartawan itu sendiri.

Jadi teringat keluhan seorang kawan, beberapa waktu lalu. Saat itu bosnya didatangi wartawan untuk diwawancara.

”Sudah datangnya tak tepat waktu, pakaiannya sangat tak rapi. Apa tak bisa dia menghormati Bos kami?” keluhnya.

Aku hanya bisa diam.

Dia melanjutkan, sebenarnya sudah lama kenal dengan si wartawan. ‘’Sudah tiga tahun lalu saya kenal dia, pakaiannya masih begitu saja. Kaos oblong, jaket jins dan celana jins belel,” gembarnya.

”Apa salahnya sih wartawan berseragam? Lihat tuh Trans TV,” ujarnya.

Ah, Trans TV lagi.

Senin, 25 Agustus 2008

Lumpuh Layu

Senin pagi, saya mendapat tugas dari kantor menyerahkan kursi roda sumbangan Maria Monic Last Wish Foundation, untuk anak-anak penderita lumpuh layu dari keluarga tak mampu. Tenpatnya di Karimun, satu jam perjalanan laut dengan feri.

Ada rasa haru saat melihat momen ini, ketika saya melihat dari dekat kondisi mereka. Semuanya hanya tergolek lemas tak berdaya. hanya bola mata saja yang mampu mereka gerakkan sebagai isyarat.

Di sini pula, saya melihat ketulusan hati orang tua. Khususnya sang ibu, saat itu saya benar-benar melihat bahwa surga itu ada di telapak kakinya. Dengan sabar mereka merawat si anak yang badannya hampir seukuran tubuhnya sendiri. Kala lapar dia suapi, saat buang air pun juga diurus.

”Tak ade lain harapan saye, semoga anak ni lekas sembuh,” jelas mereka kepada saya kala itu. Bulir air bening tergenang tipis di pelupuk matanya, bak embun di dedaunan.

Pemandangan yang tak kala haru saya saksikan, ketika saking gembiranya mendapat kursi roda, si ibu terburu-buru menggendong putrinya yang lumpuh layu itu. Tanpa sadar, daun pintu menghantam kening si putri hingga dia menangis kesakitan.

Melihat ini, sang ibu berusaha menenangkannya. Namun si anak yang terkulai tak berdaya, hanya terus menangis. Sebuah tangisan tak bersuara, hanya air mata saja yang keluar. Melihat tangis putrinya yang sudah beranjak remaja itu tak kunjung reda, si ibu langsung mencium keningnya, sembari berbisik.

Saya tak jelas mendengarnya, namun saya yakin itu adalah permintaan maaf. Bersama itu pulalah, air mata si ibu ikut menetes. Sepertinya dia menyesal membuat putrinya kesakitan.

Dari semua yang saya tanya, para orang tua ini tak menyangka anaknya akan bernasib tragis seperti ini. Lumpuh layu yang membuyarkan semua angan dan citanya itu, menyerang mereka kala mereka sudah duduk di bangku SD.

Kisahnya macam-macam. Aldian, misalnya, anak ini lumpuh layu setelah berusia 1,5 tahun. saat itu tiba-tiba dia kejang-kejang, hinga akhirnya tak bisa bangun lagi.

Lain lagi kisah bocah yang lain. Dia disergap lumpuh layu saat duduk di bangku kelas III SD. Padahal di sekolah dia adalah anak yang sangat aktif. Semua kegiatan olah raga diikutinya. Hingga tiba-tiba sepulang sekolah, dia terjatuh. Dan lumpuh.

Menurut analisa medis, mereka diserang semacam virus yang melumpuhkan otak. Juga ada virus yang melumpuhkan tulang. Ini terjadi karena saat kecil, mereka tak diimunisasi miningitis.

Kenapa mereka lumpuh layu? Karena mereka abai.

Mengapa abai? Karena mereka miskin.

Mengapa mereka miskin? Karena mereka abai.

Jangankan imunisasi miningitis yang sekali suntik mencapai Rp400 ribu, untuk makan saja sudah susah.

Apakah masih bisa diobati? Tentu ada obatnya, namun harganya lebih dari Rp2 miliar.

Sayapun tertegun. benar kata orang bijak itu. Dengan banyak melihat orang yang kurang beruntung, maka kita akan semakin bersyukur.

Berganjak dari pengalaman inilah, ketika saya kembali ke rumah saya memeluk anak saya yang masih bayi itu, sembari berbisik. ”Regalia, marilah kita bersyukur kepada Allah atas nikmat karunia kesehatan ini. Tadi, Ayah melihat anak-anak yang kondisinya sangat menderita.”

Ya Allah, selamatkanlah istri dan anakku.

Sabtu, 23 Agustus 2008

Pisau Popularitas

Popularitas itu ibarat pisau bermata dua bagi manusia. Ibarat pohon, makin tinggi, makin kuat pula terpaan angin.

Saat kita mulai populer, itu sama halnya dengan kita membuka ruang bagi orang lain untuk menilai diri kita. Atau ibarat berdiri di cahaya lampu sorot dalam pentas opera. Semua mata tertuju pada kita, semua langkah dan gerak selalu di lihat dan dinilai.

Semua orang ingin tahu tentang siapa dan apa diri kita, tak ada lagi ruang yang tersisa. Tak hanya pujian yang manis, cacian hingga fitnahan pahit pun kerap dilayangkan. Bahkan ada yang sampai memparodikan segala. Maka itu kalau tidak siap, akan bikin kita sendiri yang susah.

Contohnya, Albert Einstein. Parodi kartun dan komiknya banyak dibuat hingga masa kini. Mulai dari rambutnya yang amburadul atau ekspresi wajahnya yang dibuat “melet” atau teorinya sekalipun. Tak bisa dibantah penemu teori relativitas ini sudah jadi selebriti dunia sains. Namanya bahkan identik dengan kata genius dan gila itu sendiri.

Di tanah air sendiri kita banyak melihat parodi serupa. AA Gym contohnya. Semua tata cara bicara hingga berpakaian dai kondang ini kerap ditiru. Bahkan ada yang memparodikannya. Namanya AA Jimmy.

Tak hanya itu, kemarin saya lihat gambar plesetan AA Gym tercetak di kaos oblong. Di sana, AA Gyim diplesetkan sebagai Kolonel Sanders penemu KFC. Gambarnya dibuat persis, cuma bedanya bersurban. Di atasnya ada tulisan, ”Rajanya Bayan”, sebagai plesetan kalimat Rajanya Ayam, slogan bisnis KFC.

Tak hanya itu, Presiden SBY, Gus Dur, Mega hingga Soeharto pun kerap diparodikan. Dulu ada nama acara Republik BBM, namun kini udah tak tayang lagi.

Ini adalah sebuah konsekuensi dari popularitas

Ibaratnya, kalau takut dihempas gelombang, janganlah tinggal di tepi pantai. Jadi, percuma saja berlayar, kalau kau takut gelombang...

Orang Pas-pasan (1)


Baru saja saya ditipu pedagang komputer di carnavall Mall. Komputer yang baru saja beli di sana -baru saja- sudah rusak. Ketika dihidupkan langsung mati. Begitu terus.

Dengan sedikit bersungut-sungut saya bawa ke tukang servis dekat perumahan kawasan Bukit Beruntung, Seipanas, sebagaimana rekomendasi seoerang kawan dekat.

”Wah Pak, parah sekali. Ini motherboard-nya yang kena. Tak ada jalan lain, harus diganti!” kata si tukang servis. Harganyapun cukup mahal, Rp650 ribu. ”Ini udah plus ongkos servis Pak,” jelasnya memberitahukan via ponsel.

Saya kaget juga. Kok semahal itu? Saya lalu coba menawar. Namun tetap tak bisa.

”Ya udah, nanti saya telpon lagi,” balas saya tak memberikan persetujuan.

Bingung juga saya. Kok akhir-akhir ini saya malah dihadapkan dengan masalah yang serba Rp650 ribu. Semuanya penting pula!

Di antaranya mau ngecat rumah, tukangnya minta Rp650 ribu. Ini kan mau hari raya. Masak rumah cemang cemong. Apa kata dunia?

Sementara itu, timingbelt mobil juga harus diganti sekaligus pakingnya. Soalnya oli mesin udah pada bocor. Kata Ayong, montir langgananku kalau tak cepat diganti takut bisa bikin mobil turun mesin. ”Abang kasih aja Rp650 ribu. Ini udah cincay lho,” kata Ayong.

Lain lagi, ketika saya melintas di konter Snoopy, saya tergiur diskon pakaian balita lengkap dengan sepatunya. ”Total harga sudah diskon Rp650 ribu Pak,” kata sang penjaga toko.

Aaaahhh.... Semua serba Rp650 ribu. Sama sama pentingnya pula.

”Coba bikin skala prioritas. First thing first, dahulukan yang utama.”

Kata-kata pakar manajemen keuangan keluarga Safir Senduk, berbisik di telinga. Saat itu pula, sata teringat saat bertemu Depan Maju Sihite tahun 2001 lalu. Kala itu, dia adalah Koordinator Sijori Pos yang kini menjadi Batam Pos.

Orang Pas-pasan (2)

Sambil membentangkan lima jari tangannya dia berkata, ”Kita ini orang kebanyakan Za. Kalau menginginkan sesuatu tak bisa dapat semuanya. Harus ada yang dikorbankan. Ibarat jari, kalau engkau pilih Jempol, maka jari yang lain tak akan dapat. Begitu sebaliknya,” jelas lelaki yang kini menjadi pimpinan Batam Cyber Zone, media online anak usaha Grup Batam Pos itu.

Berangkat dari sini, saya mulai memilah-milah. First thing first.

Selesaikan komputer.

Ini penting. Sebab fungsinya untuk menuimpan file-file perkembangan anak saya. Dari mulai lahir dan lain-lain. Kan tak lucu kalau dokumen keluarga ini saya simpan di komputer kantor, selain merusak privasi, juga tak enak kalau ketahuan tukang jaga jaringan.

Bisa-bisa saya dan keluarga jadi headline berhari-hari yang akhirnya hanya akan memunculkan pengumuman, ”Mohon jangan menyimpan apapun selain dokumen pekerjaan di komputer kantor. Server berat tahu!”.

Selain itu, komputer bisa menampung jika ide menulis meledak. Maklumlah, ide menulis ini kadang datang tak kenal waktu dan tempat. Kadang tengah malam atau saat asyik merenung di kloset. Kalau sudah datang, dada rasanya sakit digedor-gedor dari dalam, seolah ingin meledak.

Celakanya, kalau tak segera ditampung, maka bunga-bunga indahnya akan pudar. Tinggallah nanti yang tersisa ide utamanya saja. Jadi tak seru lagi.

Hal inilah yang membuat selama ini ide-ide menulis saya tumpul. Karena tak segera tertampung, maklum tak ada komputer. Sedangkan mau ditulis tangan, hasilnya mirip cakar sapi, tak jelas lagi mana jari tengah dan lainnya.

”Ya udah kayaknya ini lebih penting,” batinku. Soal ngecat rumah, ganti timingbelt mobil dan beliin pakaian anak, kan bisa digeser saat terima THR, sebulan lagi. Tak lama.

Tapi, tunggu dulu. Beban untuk THR-terlalu berat neh. Tentu banyak keperluan keluarga yang lain, belum lagi harus kirim ke kampung pula. Mana cukup. Emang THR-nya sebesar anggota dewan?!

Wah kian bingung lagi. Akhirnya saya putuskan, soal nanti biar dihitung nanti aja.

Nanti kalau THR sudah ada, baru bikin skala prioritas lagi.

Mau bagaimana lagi, inilah risiko orang kebanyakan, orang pas-pasan!



-----------
Almarhum ayahku berkata: Orang kaya itu adalah orang yang merasa cukup, sedangkan orang miskin adalah yang selalu merasa kurang.

Jumat, 22 Agustus 2008

Pekerjaan dan Kebutuhan



Saat ini hampir di serata pemerintah daerah Kepulauan Riau (Kepri) mengadakan seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Inilah saatnya mencari tenaga baru yang lebih segar, leboh bersemangat dan lebih profesional. Tentunya kita tak ingin apabila rekrutan CPNS dengan baiya besar ini hanya menghasilkan para pegawai dengan sindrom air soda. Apa itu?

Cobalah beli sebotol air soda, lalu guncang. Dalam sekejap, busa dalam jumlah banyak akan keluar hingga memenuhi botol. namun jangan gembira dulu, karena dalam hitungan detik busa itu akan berkurang sampai akhirnya lesap tak bersisa. Lalu apa hubungannya denagn mental pegawai, berikut uraiannya.

Sudah menjadi hal umum, jika dalam tes wawancara penerimaan calon karyawan, semua jawaban di dalamnya serba optimis, idealis dan rela susah. Intinya, semakin dibom dengan berita sedih, semakin kuat semangatnya (menjawab) untuk bertahan.

”Ngapain mau kerja di sini? Susah, gajinya kecil.”

Mendapat pertanyaan ini umumnya menjawab, ”Ah tak apa-apa. Justru ini adalah tantangan dalam hidup. Kebetulan saya orangnya suka tantangan.”

Hal yang lebih menarik ketika wawancara mulai menyinggung soal iming-iming kesejahteraan yang akan mereka dapat. ”Di sini peluang karir sangat luas. Jadi bisa jadi Anda nanti dapat mengembangkan diri lebih bagus lagi.”

Jawab mereka, ”Ah, bagi saya bisa bekerja dan diterima di sini saja sudah syukur.” Demikianlah.

Apakah nanti antara jawaban dan praktik di lapangan itu sama? Tentu waktu jualah yang bicara. Biasanya tak lama, pada tiga bulan pertama semua sifat aslinya akan terbongkar. Di sini akan dapat dinilai, apakah dia memang serius atau tidak. Saat itu pulalah akan dapat dilihat, apakah dia konsisten atau tidak.

Hal ini terjadi tak terlepas dari sifat manusia yang suka akan kebaruan. Hal itu mencakup juga suasana baru. Saat mendapat hal yang baru, biasanya akan timbul rasa apa yang orang Jawa sebut kemaruk. Kalau di bidang pekerjaan, biasanya akan di tunjukkan dengan tingkah yang kelewat; kelewat rajin dan kelewat-kelewat yang lain.

Namun seiring waktu, biasanya paling lama tiga bulan, kebosanan mulai merayap, sedikit-demi sedikit tingkah yang kelewat tadi akan memudar bahkan menjadi sebaliknya. Yang parah, jika semula kelewat rajin, menjadi kelewat malas! Inilah yang saya sebut dengan sindrom air soda tadi.

Agar hal ini dapat dikurangi, bisa disaring melalui metode yang dalam psikologi industri (organisasi industri) bernama Kraeplin atau psikotes.

Dengan tes ini selanjutnya akan tampak bagaimana mental asli pegawai atau karyawan yang bersangkutan, apakah memiliki motivasi yang bagus, apakah dia kecekatan, apakah memiliki ketepatan, dan bagaimana langkahnya saat menghadapi tekanan kerja. Apakah mampu melewatinay dengan baik, atau memilih panik, lepas tanggung jawab atau malah down!

Melalui tes inilah, pimpinan perusahaan akan mendapatkan barometer dan penilaian akurat mengenai si karyawan, apakah sudah sesuai standar dan efisien.

Saya rasa, selain membersihkan calo dan titipan, tak ada salahnya Pemda Kepri mencoba metode ini. Toh peminatnya sangat banyak, sehingga bisa terseleksi dengan baik antara yang mau bekerja dengan yang hanya cari peruntungan saja.

Setelah semua tersaring, lalu apa? Giliran mereka yang harus diperhatikan kebutuhannya. Abraham Maslow, pakar manajemen pernah mengurai, manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan dari yang paling penting hingga tidak penting, dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai. Menurutnya, motivasi manusia sangat dipengaruhi kebutuhan mendasar yang perlu dipenuhi.

Kebutuhan Maslow harus memenuhi kebutuhan yang paling penting dahulu, kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan, perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya.

Terjemahan bebas dari lima kebutuhan dasar Maslow tersebut adalah.

Kebutuhan Fisiologis: Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.

Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan: Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.

Kebutuhan Sosial: memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.

Kebutuhan Penghargaan: pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.

Kebutuhan Aktualisasi Diri: Adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

Di sinilah nantinya kesejatian akan teruji. Yang tak kuat atau merasa tak cocok dengan harapan akan keluar. Sedangkan yang bertahan, masih akan dihadapkan pada dua pilihan; Jika si pekerja menjadi orang yang selalu bersyukur, maka akan tetap bersih. Namun, jika menjadi pemuja materi, maka akan belajar koruptor dan lainnya.

------------------
Foto: Tahapan (dari dasar ke puncak) piramida kebutuhan Maslow.

Nge-Blog


Saat asyik posting, seorang kawan datang dan bertanya apa pentingnya nge-blog. ”Mau narsis-narsisan ya?” sindirnya.

”Oh, tentu tidak. Lagian apa yang mau dinarsiskan. Toh saya bukan apa-apa,” jawab saya.

Karena kawan saya terus mendesak, lalu saya katakan apa alasan utama saya nge-blog ini.

(1) Saya mau transfer otak ke blog.
Otak kita sangat luar biasa. Di dalamnya ada 100 miliar sel yang saling bertaut dan terus menyerap jutaan informasi, sejak kita kecil hingga saat ini. Beragam pahit manis kenangan, pengalaman buruk dan menarik, musibah dan hikmah, tersimpan di sana.

Sayangnya, kemampuan menyimpan otak ini tak bisa bertahan lama, seiring usia. Saya takut informasi tersebut ikut terkikis, maka dari itulah saya berusaha menggali lalu memindahkan ke blog.

(2). Otak ibarat pisau, jika kurang diasah maka akan tumpul.
Tiap hari saya selalu berhadapan dengan hal baru, baik itu informasi dan pengalaman. Dari sinilah saya belajar menggali, menganalisa, lalu menulis resumnya. Hasil-hasil pemikiran baru inilah yang juga saya pindahkan ke blog. Karena, sekali lagi, kalau disimpan di otak khawatir terkikis.

Selain itu suatu saat saya bisa melakukan kajian ulang dan komparasi jika menghadapi masalah yang sama, atau masalah lama namun aktual kembali. Jadi semacam tabungan ide-lah. Sewaktu-waktu dibutuhkan bisa dipakai.

(3). Saya bisa belajar menulis.

Posting tak perlu banyak-banyak, 10 topik sebulan saja sudah cukup. Karena ini untuk jangka panjang.

Kawan saya terdiam, lalu tersenyum simpul. terutama saat mendengar penjelasan kedua saya tadi. ”Ngapain juga repot. Toh pemikiran kamu tak dibutuhkan di sini,” katanya.

Wah, tajam juga kata-katanya. Sejenak saya terdiam lalu menjawab, bahwa sebagai lelaki muslim saya tercipta untuk menjadi khalifah. Minimal di keluarga. Saya rasa, pemikiran-pemikiran saya ini tetap diperlukan sebagai bekal mendidik anak saya kelak.

Paling tidak jika nanti saya telah tiada, buah pemikiran saya masih bisa dicerna oleh keturunan saya. ”Asalkan google masih beroperasi,” jelas saya.

Cicero pakar hukum dan filsuf besar dari zaman Romawi berkata, kehidupan yang mati tersimpan dalam kenangan yang hidup.

Kamis, 21 Agustus 2008

Masalah dan kebenaran (1)

Serombongan anak SMP Hang Tuah datang bertandang. Di ruang rapat kami terlibat diskusi hangat. Dari sebuah diskusi ini, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik.

Kala itu, seorang anak SMP kelas II mengacung lalu bertanya, ”Apa Kakak tak takut jika suatu saat masalah muncul?”

Kontan saat itu semua terdiam, termasuk para wali murid. Sayapun agak sedikit mengernyitkan dahi, mencai jawaban yang pas.

”Bagi kami yang penting bukan munculnya masalah, tapi bagaimana cara mengatasinya. Karena hidup tak bisa lepas dari masalah itu sendiri. Bahkan matipun, kita masih harus menghadapi masalah lain,” jawabku. Syukurlah mereka mengangguk.

Mengatasi masalah selalu identik dengan mencari kebenaran. Sebuah buku dasar-dasar ilmu filsafat sempat mengajarkan, ada empat cara yang bisa dilakukan dalam mencari kebenaran itu sendiri.

Pertama dengan kebiasaan, pengalaman, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Jenjang pelaksananya pun bertingkat, mulai dari bisa, terbiasa, pengalaman dan ahli.

Uraiannya seperti ini, kadang sering kita saksikan saat manusia bermasalah selalu berlari pada kebiasaan. ”Ah coba saja jalan seperti ini, biasanya selesai kok,” begitu kira-kira saran yang biasa kita terima.

Jika hal yang ”biasanya” ini tak berhasil, mulailah mencari orang yang berpengalaman artinya sudah sangat terbiasa dan berulang-ualang menghadapi masalah semacam ini. Jadi lebih tinggi lagi.

Semua percobaan dan pencarian ini, akan dirangkum dalam sebuah tata cara yang disebut sebuah ilmu pengetahuan.

Jika masalah terus juga muncul, berakar urat, dan laten, manusia cenderung memecahkannya melalui jalan filsafat. Dalam Wikipedia disebut, kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia.

Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb) dan (sophia = kebijaksanaan). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang ”pencinta kebijaksanaan”.

Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut ”filsuf”.

Masalah dan Kebenaran (2)

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa ”filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.

Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik.

Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity ”ketertarikan”.

Yang terakhir, memecahkan masalah atau mencari kebenaran melalui agama. Pemecahan semacam ini menjadi pencarian kebenaran yang tertinggi. Karena langsung berhadapan dengan Tuhan. Di sana ada harapan, kepasrahan dan kepercayaan yang tinggi pula. Sudah pada mencari ketenangan batin.

Jika semua usaha pemecahan masalah mentok, manusia cenderung memakai pendekatan Agama sebagai jalan terakhir. Mencari kebenaran yang tertinggi. Zaman dahulu di masa kejayaan Islam dulu, banyak ilmuan yang menemukan ilmu pengetahuan baru, penemuan-penemuan baru saat mengkaji Alquran.

Namun kini, khsusnya di Indonesia, jalan agama hanya dipakai ketika menghadapi masalah hidup saja, selalu identik dengan kepasrahan dan berharap mukjizat. Jadi jangan heran, jika banyak kita temui manusia lebih relegius usai ditimpa masalah.,

------------------------
Aduh agak berat uraian kali ini. Kapok deh nulis yang ginian lagi.

Rabu, 20 Agustus 2008

Approval

Setuju.

Biasanya manusia menganggukkan kepalanya jika tanda mengiyakan atau menyetujui sesuatu. Namun hati-hati, sebab ada sebuah suku di Asia Tengah yang menggeleng, sebagai tanda setuju.

Ada pula yang menepukkan telapak tangan kanan ke pundak lawan bicaranya, sebagai tanda setuju atau dukungan. Biasanya ini kerap dilakukan seorang atasan dengan bawahan, atau orang tua dengan anaknya.

Tanda persetujuan semacam ini sangat personal, efeknyapun sangat luar biasa bagi si penerima pesan, sebab melibatkan ”tango” atau sentuhan di sana.

Sebuah lambang persetujuan dan dukungan yang lebih personal lagi, biasanya dilakukan dengan menepuk pundak lawan bicara dengan kedua tangan.

Sekali lagi menepuk dengan telapak tangan yang mengambang, bukan mengepal. Karena jika mengepal, tentu berarti sebaliknya.

Selasa, 19 Agustus 2008

Untuk Koes (1)

”Kus”.

Nama lengkapnya Yani Koeswara, tapi saya dan kawan-kawan memanggilnya ”Pak Kus”.

Pak Kus, adalah guru di SMA kami, SMA Muhammadiyah 1 Gresik, yang berada di Bawean. Di sana, dia banyak mengajar tentang kesenian. Bidangnya adalah teater dan puisi.

Latar belakang Pak Kus adalah wartawan. Dia juga penulis lepas di sebuah majalah terbitan Surabaya. Tiap minggu ada saja cerpennya muncul. Kadang juga dicergamkan.

Pak Kus sendiri asli Malang, namun dia sudah lama mengajar di SMA Muhammadiyah Bawean. Saya sendiri mengenal Pak Kus sejak masih SD. Dia memang guru yang didatangkan khusus oleh yayasan untuk mengajar di Bawean.

Lewat tangan dinginnya Muhammadiyah banyak meraih penghargaan di bidang seni.

Pak Kus adalah seniman, maka itulah dia belajar kesenian. Panampilannya sangatlah nyeni. Yang masih terekam dalam ingatan saya, tingginya sekitar 170 cm, tidak gemuk namun tak terlalu kurus. Wajah Pak Koes berbentuk lonjong, rambutnya tebal di-beatle.

Yang khas adalah matanya, sepintas seperti orang ngantuk. Jika bepergian, Pak Kus selalu memakai kemeja dengan celana cutbray warna coklat Pramuka.

Sebenarnya, saya tak pernah diajar Pak Kus secara langsung di kelas. Karena setelah saya SMA, Pak Kus sudah pindah ke Jawa. Perkenalan langsung saya dengan Pak Kus terjadi ketika saya masih SMP kelas 1. Saat itu, sekitar tahun 1987-an Panitia Hari Besar Nasional, mengundang Muhammadiyah untuk memeriahkan pentas kemerdekaan di kota kecamatan kami.

Saat itulah, Pak Kus mendapat tugas dari ketua Yayasan. Maka, dipilihlah sebuah tema pementasan drama berjudul Raden Sutawijaya dan Arya Penangsang.

Sinopsisnya seperti ini, Raden Sutawi Jaya adalah anak kecil putra Raja Pajang, di era Mataram Islam. Ayahnya Ki Ageng Pamanahan dibunuh oleh pamannya sendiri bernama Arya Penangsang.

Hingga akhirnya, Sutawijaya membalas dendam dan berhasil membunuh Arya Penangsang dengan keris pusaka. Kisah ini mirip David dan Golliath.

Untuk Koes (2)

Dari sinopsis ini, Pak Kus membutuhkan pemeran Sutawijaya. Maka sayapun terpilih. Sedangkan peran Arya Penangsang diperankan oleh Arifin, anak kelas III SMA Muhammadiyah.

Arifin memang cocok mendapat peran ini. Tubuh pemuda Anak turunan Bugis Mandar ini tinggi besar, wajahnya kasar, kalau berbicara matanya melotot.

Bagi saya, manggung bukanlah hal yang baru, sebab saat itu saya juga aktif sebagai vokalis grup band Grand Funk. Namun untuk main drama, tentu menjadi hal baru.

Di bawah gemblengan Pak Kus, saya diajar bagaimana bermain drama. ”Kuncinya di pernafasan dan impriovisasi,” ujarnya.

Singkat kata, lakon dimulai. Kostum saya saat itu memakai celana hitam setinggi betis, baju putih berompi hitam dengan lis kuning emas di tiap sisi. Tak lupa memakai ikat kepala, khas pendekar tanah Jawa.

Yang paling saya suka dan ingat dalam pementasan ini, kala saya mengacungkan keris terhunus di tangan kanan, lalu berteriak, ''Paman Arya keluarlah. Mari kita bertarung!''

''Hei anak kecil! Berani sekali kamu!'' balas Arya Penangsang. Penonton pun hening mendengar dialog ini.

Selanjutnya, terjadi pertarungan yang akhirnya keris yang saya pegang berhasil menghujam jantung Arya Penangsang!

Lakon selesai. Penonton pun puas dan menjadi bahan cerita saat pulang ke rumah masing-masing.

Berkat tangan dingin Pak Koes itulah, saya sukses membawakan peran ini. Tanggapan masyarakat pun mengalir, hingga membuat ayah dan ibu bangga.













(oh, saya tak kuat membendung air mata kenangan ini. Ayah semoga engkau damai di sana)















(saya lanjutkan lagi)

Kesuksesan pementasan ini, membuat Pak Koes kian akrab dengan saya. Hingga setahun kemudian, saya diajak ikut lomba membaca puisi. Judulnya, Pangeran Diponegoro. Namun, saya kalah. Dari sini saya sadar, bahwa berkesenian tak bisa di-take granted semua. Harus ada minat dan bakat juga.

Waktu berlalu, hingga pada 2005 lalu, Kakak saya mengisahkan pertemuannya dengan Pak Koes di Malang. Tepatnya di Oro-oro Dhowo. Penampilannya masih seperti yang dulu, dengan celana cutbray dan rambut beatle-nya. Bedanya kini sudah beruban.

”Dia banyak menanyakan keberadaan kamu. Saya jawab kalau kamu suidah di Batam, sudah bekerja seperti apa yang diinspirasikan Pak Koes dulu,” jelas kakakku kala itu.


---------

Pak Kus, di mana gerangan kini? Jika suatu masa bapak membaca tulisan ini, sudilah kiranya menghubungi saya.

Patriot PKB


”Walau apa yang terjadi, saya tak akan pindah dari PKB. Ini sudah menjadi tekad Abang. Saya tak akan menyesal dengan pilihan ini.”

Begitulah tekad Abdul Basith Has, Ketua Dewan Syuro PKB Batam. Dia adalah loyalis Gus Dur yang kini tersingkir oleh kubu Muhaimin.

Celakanya, ini terjadi di titik akhir, saat musim pencalegan tiba. Maka jadilah Basith yang semula duduk di peringkat utama, melorot keperingkat akhir.

Lalu, siapa yang mengisi kursi caleg PKB Batam? ”Ya, semuanya adalah orang-orang Rudi (Ketua PKB Batam, yang juga loyalis Muhaimin),” jelas Basith.

O... Pantas saja jika wajah caleg di PKB semua adalah orang-orang baru yang nota bene sebelumnya kurang banyak berkiprah dalam kaderisasi PKB Batam.

”Sekali lagi, saya tak akan menyesal dengan pilihan saya ini. Bagi Abang, akan terus membela apa yang abang anggap benar.”

”Bagus itu Bang. Itu namanya patriot,” sambung saya saat itu. Bukankah patriot adalah orang yang rela mati demi membela keyakinan yang dianggapnya benar?

”(Posisi Basith) ini sudah tak bisa ditolong lagi. Soalnya dia terlibat konflik dengan Lukman (Lukman Edi, Sekjen PKB Muhaimin),” jelas Rudi, Ketua PKB Batam yang dihubungi terpisah.

Konflik DPP PKB bak puting beliung, meluluh lantakkan kader-kadernya di daerah. Banyak di antara mereka yang dulu berharap menjadi celeg, harus mengubur impiannya dalam-dalam setelah Muhaimin membekukan kepengurusannya. Padahal tenaga dan harta sudah dikorbankan untuk partai ini.

Ada yang menyelamatkan diri dengan meloncat ke partai lain. Namun juga ada yang masih bertahan. Politik memang kejam.

Namun di balik kasus ini, ada semacam tes yang tak terungkap. Yaitu soal loyalitas. Benar juga kata orang bijak, bahwa manusia akan kelihatan sifat aslinya pada saat kepepet.

Pakaian Harga Diriku (1)

Oprah Winfrey si ratu talkshow Amrik, kebingungan. Ruang seluas 100 meterpersegi tempat dia menyimpan koleksi pakaiannya, sudah tak cukup lagi.

Akhirnya terpikir olehnya untuk melelang sebagian baju keloeksinya tersebut untuk didermakan ke badan amal. Tapi baju yang mana?

Sebab, selain semua pakaiannya merupakan koleksi terbatas dari rumah mode dari Paris hingga New York, Oprah merasa semua koleksinya itu memiliki kenangan pribadi akan diri dan perjalanan kariernya.

Dasar otak talkshow, akhirnya Oprah membawa masalahnya ini ke talkshow yang dibawakannya. Di sana dia hadirkan beberapa orang kaya yang memiliki masalah yang sama dengannya, sekaligus mengundang desainer dan ahli kepribadian kondang untuk dimintai komentar.

Dari sana, Oprah mendapat penjelasan bagaimana menyeleksi baju yang pas untuk dirinya, dari desainer dan ahli kepribadian kondang tersebut. Ada beberapa poin yang disebutkan, intinya;

(1) apakah baju-baju tersebut jika dipakai masih sesuai dengan zaman dan kondisi saat ini, (2) apakah baju-baju tersebut jika dipakai dapat menambah kepercayaan diri, (3) apakah baju-baju tersebut jika dipakai dapat menambah citra diri dan lembaga yang diwakili.

Berbekal hal ini, Oprah dan orang-orang kaya bernasib sama itu, berhasil menyeleksi separuh dari koleksi busananya itu. Rumahnya yang luas langsung diserbu bak fleamarket. Hasil dari penjualan ini, dia sumbangkan ke yayasan amal.

Sungguh hebat citra yang ditimbulkan pakaian ini. Bahkan, warna-warna tertentu pun dapat membuka aura si pemakai, sehingga dia akan tampak lebih berwibawa. Tak percaya? Coba warna merah muda, tak akan menambah garang lelaki yang memakainya. Meski wajahnya penuh brewok dan kumis.

Dari kasus ini, ada tiga poin yang menarik dikupas adalah komentar para desainer dan ahli kepribadian kondang Amrik itu, jika semula hanya sekadar pembalut tubuh, kini menjadi penegak jati diri, status dan simbol pemakainya.

Bahkan seiring perkembangan zaman, militer banyak memodifikasi pakaian kini sebagai alat kamuflase. Tentunya kita pernah mendengar marinir Amerika yang ditugaskan menumpas gerilyawan Taliban di Afghanistan.

Pakaian Harga Diriku (2)

Mereka tak berbaju loreng, namun memakai jins denim dengan atasan baju lengan panjang warna coklat tanah. Sepintas mirip pendaki gunung.

Mungkin berkaca dari inilah marketing modern mewajibkan salesnya memakai dasi. Tujuannya, agar citra diri dan lembaga yang diwakilinya bertambah, sehingga kepercayaan orang yang akan membeli produknya juga akan bertambah pula.

Namun, kadang kondisi yang kita temui banyak terbalik. Jika para sales saja percaya diri berbusana rapi dan memakai dasi, tentu sangat aneh jika di sebuah perusahaan para menajernya kadang tak pede berbusana rapi dan berdasi. Parahnya lagi, hal ini menular pada jajaran di bawahnya.

Padahal dengan berbusana rapi, secara otomatis juga dia membantu membangun citra perusahaan. Lalu, apa salahnya membantu membangun citra perusahaan yang gajinya tiap bulan mereka nikmati bersama keluarga?

Apa jadinya jika orang luar melihat ada staf perusahaan yang ke kantor bergaya bak anak pinggiran. Sudah pakai kaos oblong yang warnanya sudah luntur, di belakangnya masih ada tulisan setengah lingkaran ”PT Semen Padang”. Lebih parahnya, saat berjalan ujung belakang sepatunya diinjak. Yang begini ini mengaku bekerja di perusahaan bonafid?!

Ada juga yang selalu bergaya musim dingin terus. Ke mana-mana pakai jaket. Itu-itu saja, kumal, berkutu dan bau. Belum lagi kalau diajak ngobrol bau mulutnya tak karuan. Bahkan kalau sedang ”beruntung”, kita akan menyaksikan selembar potongan cabe merah membentang di sela-sela gigi depannya. Wah... Gimana orang mau betah.

”Lalu gimana dong? Kalau harus ikut Oprah tentu tak bisa. Harga satu pakaiannya saja hampil Rp30 jutaan?!”

Tampil rapi, belum tentu harus mahal. Apalagi saat ini, baju-baju dari China banyak menyerbu. Di Batam, jika Anda ke DC Mall, di sana kemeja lengan panjang aneka motif dan warna hanya dibandrol Rp25 ribu. Ini belum diskon, kadang beli dua dapat lagi satu.

Ini bukan masalah harga, namun masalah disiplin untuk bersih, disiplin untuk rapi.

Akan SEZ-kah Kita Saudaraku?

Akankah status Batam jadi special economic zone? Akankah Batam bersemi bagai dulu lagi? Jawabnya, tidak! Masih jauh bung!

Inilah petikan perbincangan yang saya lakukan dengan kawan, orang pemerintah, yang banyak mengetahui rahasia orang-orang dalam di Batam ini.

Semula perbincangan berlangsung santai, hingga akhirnya mengarah pada status Batam yang belum juga special economic zone. Uraiannya rumit, namun saya sederhanakan seperti ini:

”Kamu tahu tidak, ganjalannya di mana?”

”Belum bang. Kata berita sih, presiden belum terima draftnya dari Gubernur, sedangkan Gubernur balik lempar lagi,” jawabku.

”Ya, ganjalannya di Otorita Batam. Kalau mereka rela dan ikhlas, besok juga kita SEZ!” jewab kawan saya itu serius.

Selanjutnya dia menerangkan maksud dari ”tergantung keihlasan OB” tersebut. Seperti diketahui, OB akan dilebur menjadi Badan Pengelolaan Kawasan jika SEZ terbentuk. Nah, di sinilah masalahnya. Di Badan ini, pengambil keputusannya paling tinggi harus dijabat Eselon II, sedangkan OB paling tinggi Eselon I.

”Pertanyaannya, apa para deputi itu mau turun pangkat jadi eselon II?”

Alasan yang lebih memberatkan lain adalah, ke mana nantinya karyawan OB itu akan dilebur? Sebab, susunan organisasi Badan Pengelolaan Kawasan amatlah ramping, yang tentu saja tak bisa menampung semua karyawan OB saat ini.

Alternatif lain, dengan melebur mereka ke beberapa Kabupaten yang ada di Kepri. ”Cuma masalahnya, apa para pegawai OB itu mau? Apalagi sudah keenakan tinggal di Batam,” jelasnya.

Sementara itu, para Pemkab itu belum tentu juga mau menerima penempatan para pegawai OB, sebab tak ada yang Melayu, sehingga kuota pegawai tempatan tak bisa terpenuhi.

”Yang paling memberatkan, para pegawai OB itu sudah bergaya high class, jadi mana mau mereka hidup sederhana lagi. Inilah yang bikin orang-orang di Pemkab itu alergi,” jelasnya.

Dari sinilah, saat ini konon di pusat, OB melakukan segala cara agar posisinya tak tergoyahkan. Semua ini dilakukan bukan masalah kepentingan rakyat, tapi sudah mengarah mengamankan kepangkatan, keuasaan, dan kepentingan pribadi saja.

Selain itu, saat ini blueprint SEZ masih belum jelas. Kadang tumpang tinding. Ada poin yang menyebutkan, orang yang duduk free trade zone lebih tinggi posisinya dari SEZ. ”Padahal FTZ itu, masuk dalam bagian SEZ, bersama free port zone dan lain-lain,” ujarnya.

Ada juga ditemukan kasus, susunan orang yang duduk di Dewan Kawasan, ternyata di SEZ Batam dia duduk sebagai anggota. Sehingga, tak mungkin ini bisa terjadi, sebab statusnya lebih tinggi Dewan Kawasan.

Banyak lagi ketidak beresan lain, sehingga SEZ belum juga terbentuk. Misalnya soal pertanggungjawaban yang mestinya di seskab, malah masuk ke setneg. Belum lagi ada orang ''dalam'' di pusat yang ditugaskan menggagalkan SEZ ini. Waduh.

Lalu di manakah peran instansi vertikal? Ini juga belum jelas. Apakah mereka masuk ke dewan kawasan atau tidak? Kalau mereka masuk ke Dewan Kawsan, maka akan bertanggungjawab ke siapa? Ke departemennya atau ke ketua Dewan Kawasan? Sementara mereka selama ini strukturnya terkait ke pusat, bukan daerah.

Masalah ini juga terus hangat di Pemko. Sehingga ketika dalam rapat pertama para petinggi pemko Batam dengan Wali Kota Batam yang mantan humas OB, mereka berseru, ”Pak saya harap Bapak di sini benar-benar menjadi wali kota Batam, bukan orang OB. Karena kalau tidak, kami dan kawan-kawan tidak akan mendukung.”

Saat itu Wali Kota Batam menjawab, ”Kalian jangan khawatir lah!”

Dari uraian sederhana ini saya berpikir, wajar saja SEZ di Batam belum juga terbentuk. Yang lebih parah, perang dingin OB-Pemko belum juga usai.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Cerpen-cerpenan

Kawanku, Pak Ucuk, rakyat jelata di Bengkong Harapan terkagum-kagum mendengar cerita Pak Acang, kawan lamanya yang baru saja ketemu sejak peristiwa kebakaran besar yang melumatkan Jodoh.

Bom bom tawa, saling terlempar di suasana pertemuan itu. Teras rumah Pak Ucuk yang sederhana itu seakan jadi saksi pertemuan dua sahabat kala saling meluahkan kisah heroiknya masing-masing.

Dari percakapan ini, lambat-laun Pak Acang tampak di posisi memimpin. Banyak sekali bahan-bahan yang dia lemparkan, sehingga membuat bibir Pak Ucuk mengerucut, dahinya mengernyit, larut dan hanyut dalam liku cerita Pak Acang yang dinilainya spektakuler.

Apalagi saat Pak Acang berkisah akan banyaknya pejabat dan artis yang dia kenal.

”Saya tiap hari sudah biasa mondar mandir di kantor camat. Bahkan, sering jumpa ama wali kota,” jelas Pak Acang, dengan nada agar keras, dengan harapan dapat didengar tetangga sekitar Pak Ucuk.

Ternyata kiatnya ini berhasil didengar tetangga sekitar yang sedari tadi lapat-lapat mendengar obrolan ini.

”Ah betol ni Bang, kenal same pak Wali?” Sambut Mak Inah, yang entah bagaimana ceritanya kok tiba-tiba wajahnya nongol dari balik pagar.

”Walah, walah walah. Ya iyalah Mak, masak ya iya dong. Duren aja dibelah, bukan dibedong. Bayi kalee, he he he,” jawab Pak Ucuk, coba melempar canda dengan mengutip bahasa gaul dari album terbaru Project Pop.

Mak Inah yang jelata nan lugu itupun kian penasaran. Jaraknya kian mendekat masuk ke teras Pak Ucuk. Seiring dengan itu, tetangga yang lain kian ramai yang penasaran, ingin melihat ada apa gerangan. Di antara mereka ada Mbok Dariyem, artis lokal yang oportunis dan Lae Sahat, calo apa saja di dinas mana saja.

”Manelah Bang buktinya. Saye nak tahu.”

Belum habis Mak Inah menelan ludah usai melempar tanya itu, tiba-tiba telapak tangan Pak Acang sudah menghadang wajahnya. Di sela jemarinya, mengapit foto Pak Acang berdua dengan Pak Wali.

”Neh, masih tak percaya juga,” katanya.

Di foto itu tampak Pak Acang berdua dengan Pak Wali. Gayanya aduhai benar, bak bunga dengan tangkainya.

Kontan saja, foto tersebut langsung jadi rebutan para tetangga Pak Ucuk. Sesekali gumaman kagum, terlempar dari bibir mereka.






”Wah, hebat betul ya Pak Acang...”

Warga yang lain malah mendekat ke Pak Ucuk, sambil mencubit perutnya yang buncit, dia berbisik,

”Sssst... Hebat kali kawan Pak Ucuk ini rupanya...”
Pak Ucuk menyambut pujian itu dengan senyum menengadah, tanda bangga.

Tak mau melewatkan kemeriahan ini, Pak Ucuk pun memanggil istrinya.

”Bunda.... Tambah teh atau kopi hangat buat Pak Acang ya. Kawan Abang ini,” serunya, bangga tiada terkira.

Maka, jadilah Pak Acang sebagai bintang malam itu. Apalagi, saat dia membeber beberapa nomor henpon dan kartu nama para pejabat dan pengusaha yang dia kenal.

Macam-macam, ada pengusaha panci, rujak manis, hingga kambing kurban. Juga ada beberapa kepala dinas, seperti dinas malam, dinas pagi, bahkan ada dinas siang hari. Poknya komplet.

Tak hanya itu, juga ikut pamerkan, aneka foto bersama para artis.

”Ini artis yang lagi heboh di tipi. Itu loh, yang punya goyang pengaduk dodol. Nah ni dia ratunya. Kawan saya nih,” ujarnya, sembari memamerkan foto dirinya bersama sang ratu goyang pengaduk dodol itu.

Wah, kian terkagum-kagumlah warga kala itu. Namun di tengah hiruk-pikuk warga yang lagi mabuk kekaguman akan Pak Acang, ada juga di antara mereka yang cerdas. Lalu bertanya.

”Emang kerjaan Pak Acang apaan ya?”

Sontak semua terdiam, sorot mata mereka serentak menuju Pak Acang, seolah menagih jawaban.

Jawaban Pak Acang inilah yang membuat kisah ini jadi antiklimaks.

”Saya wartawan!” jawab Pak Acang.

Warga yang tadinya sudah semangat, seakan tersadar dari hipnotis.

”Ya... Wartawan... Ya nggak hebat lah... Justru kalau wartawan tak kenal orang penting itu yang aneh,” gerutu warga, berganjak mengambil sandal masing-masing, lalu pulang.

Mak Inah pun yang tadinya berbinar, kini redup lalu ngedumel pulang. ''Alamak, mending tadi saye bikin kangkung belacan, daripade dengar bual Pak Acang. Macan tutul saje, eh maksudnya macem betol saje.''

Namun, tak semua yang pergi dari tempat itu. masih ada Mbok Dariyem dan Lae Sahat.

''Ha ha ha... malah kebetulan. Siapa tahu, dengan menempel Pak Acang popularitasku kian naik. Selanjutnya, saya bisa jadi anggota dewan. Mumpung lagi musim artis nyalon dewan,'' batin Bu dariyem.

Sementara itu, Lae Sahat langsung nembak. ''Ah... Abang kan kenal pak camat, maka itu bolehlah kiranya bantu usruskan KTP saya, ha ha ha.''

Mikul Dhuwur, Mendem Jhero

”Orang Indonesia ini cenderung kejam memperlakukan mantan pemimpinnya. Lihat saja, pemimpin yang baru cenderung suka menjelek-jelekkan pemimpin lama. Pokoknya yang lama itu salah, yang baru benar,” demikian sebuah pendapat seorang rekan yang lama ada di Amerika.

Beberapa waktu lalu, hal senada juga saya dengar dari mantan Presiden Megawati. Menurutnya, warga Amerika sangat menghargai para pemimpinnya (Presiden). Karena mereka adalah pride (kebanggan) bangsa.

Coba renungkan, tampaknya ada benarnya. Lihat saja, dalam konteks kepemimpinan nasional, lihatlah bagaimana rezim Soeharto memperlakukan rezim Soekarno. Sampai-sampai kita dicap sebagai bangsa yang sangat buruk memperlakukan mantan presidennya.

Contoh dari atas ini juga bergulir ke bawah, baik itu di instansi pemerintah hingga swasta. Tak jarang pimpinan baru, menjelek-jelekkan pimpinan yang lama. Jika ada masalah, selalu saja menimpakan kesalahan pada pendahulunya. Begitu terus, entah sampai kapan berhenti.

Menyikapi soal kepemimpinan ini, ada baiknya kita merenungkan sebuah kearifan Jawa, ”mikul dhuwur mendem jero”. Arti ringkasnya, menjunjung tinggi nama baik dan menyembunyikan aib sebisa mungkin.

”Mikul dhuwur” juga mengandung makna hendaknya setiap anggota keluarga- suku, bangsa, atau jenis kumpulan manusia lainnya- menjunjung tinggi–setinggi-tinggnya nama baik kelompok di muka umum. Hal ini bisa diartikan dengan mengekspos dan menghormati keunggulan-keunggulan kelompok di depan khalayak ramai.

Sedangkan “mendem jero” bermakna sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga, orang tua, masyarakat, atau jenis kelompok manusia lainnya.

Fasafah ini, tentu bukan bermakna agar kita memuji-muji pimpinan dan menutupi kejahatannya. Bukan, bukan seperti itu. Falsafah ini mengajarkan agar kita bisa menghargai jasa pemimpin terdahulu. Karena, tak semua yang dilakukannya itu buruk.

Karena tiap pemimpin, selalu meninggalkan legacy atau warisan. Dan ingat, tiap pemimpin tentu jua memiliki orang yang sangat loyal. Mereka, tentu tak akan tersakiti bila pimpinan yang dicintainya, diperlakukan dengan buruk. Tentu saja, bila tak diperhatikan, akan membikin suasana tak kondusif. Bukankah tugas seorang pemimpin mengayomi seluruh anggotanya?

Belajarlah dari pemimpin terdahulu, ambil yang baik buang yang buruk. Namun bukan berarti, pendamlah yang baik lalu jelek-jelekkanlah keburukannya. Ini akan salah kaprah.

Sebuah contoh. Seorang rekan saya yang bekerja di Kawasan Industri Batamindo Mukakuning, pernah bercerita. Dulu dia pernah punya seorang supervisor. Sang supervisor ini, gemar sekali menjelek-jelekkan supervisor di divisi lain. Ada saja sebutannya. ”Lihatlah divisi itu, suasana kerjanya tak kondusif. Operatornya bekerja dengan tegang,” ujarnya.

Hingga suatu ketika dia dipindah ke divisi yang sering dijelek-jelekkannya itu. Apa yang terjadi? Suasana kerja malah makin buruk. Operator bekerja dalam ketakutan, karena berada di bawah tekanan.

Yang paling heboh, di bawah kepemimpinannya, banyak operator yang dipecat tanpa alasan yang jelas. Sebuah prestasi burukyang belum pernah terjadi di masa kepemimpinan terdahulu.

Kenapa saya sebut prestasi buruk? Kecakapan seorang pemimpin itu diukur bukan dari berapa banyak dia memecat anak buahnya, tapi berapa banyak dia menghebatkan anak buahnya.

Memecat bukanlah hal yang baik. Apalagi dilakukan tanpa alasan yang jelas. Tindakan ini sama saja dengan tindakan Firuan yang tanpa sebab membunuh rakyatnya.

Di sisi lain, memecat orang berarti membuang anggaran (aset) kantor percuma. Berapa banyak sudah uang perusahaan yang telah dibayarkan, berakhir percuma saja. Belum lagi, anggaran untuk merekrut pegawai baru.

Anehnya noda hitam di masa kepemimpinannya hal ini tak dia sadari, karena dalam beberapa kesempatan dia sibuk menjelek-jelekkan para pemimpin terdahulu divisi tersebut. Dan sebaliknya, memuji-muji kepemimpinannya sendiri.

Memang benar, banyak prestasi yang berhasil diraih sejak dia memimpinj divisi tersebut, namun sayang, semua itu tertutup oleh ulahnya sendiri yang doyan menjelek-jelekkan pemimpin terdahulu. Sehingga setiap dia berbuat seperti itu, maka operator yang dipimpinnya refleks bergumam, “Ah, macam lu udah sempurna aja.”

Inilah sebuah contoh, betapa pentingnya sebuah sikap ”mikul dhuwur mendem jero”.

Mantan pemimpin memang bukanlah orang sempurna, namun bukan berarti mereka nista. Karena bisa jadi di masa kepemimpinannya, kita bisa memetik pelajaran yang berguna.

Dengan mempelajari kesalahan orang lain, maka kita akan dapat terhindar dari kesalahan serupa.

Bukankah begitu?

Jumat, 15 Agustus 2008

Panik

Kearifan Jawa mengajarkan agar menjadi manusia tak mudah heran, tak mentang-mentang dan jangan gampang panik.

Kalimat ini memang enteng diucap, tapi cukup susah dipraktikkan (tapi bukan berarti tak bisa dilakukan), terutama yang mengajarkan agar jangan panik tadi.

Jika dirinci, nasihat agar jangan mudah heran dianjurkan agar tak membuat mental kita rendah diri. Sebab, orang yang mudah heran akan sesuatu, cenderung kurang percaya diri saat berhadapan dengan sesuatu itu sendiri.

Akibatnya, dia akan mudah diperintah dan direndahkan oleh sesuatu tersebut. Padahal, jika mau mencari dan belajar ada apa di baliknya, belum tentu juga sesuatu tersebut sehebat apa yang dilihat.

Nasihat agar jangan mudah mentang-mentang, dianjurkan agar kita tak selalu tinggi hati dan sombong. Intinya selalu rendah hati dan egaliter.

Dua nasihat di atas tersebut mudah saja dilakukan, syaratnya harus memiliki pengatahuan, pengalaman dan kearifan yang luas. Itu saja.

Namun soal yang ketiga, ”jangan mudah panik”, ini jadi yang tersulit.

Tak panik dalam memecahkan persoalan tentunya sangat penting. Sehingga hasilnya akan tepat sasaran. Karena, panik biasanya membuat orang hilang kesadaran dan cenderung membabi buta dalam mengambil keputusan. Ibarat balon yang udaranya lepas, larinya cenderung tak karuan.

Karena hal ini pulalah, seorang kawan yang berdinas di militer pernah berkata, dalam situasi kontak senjata dengan musuh, lebih baik menembak rekan sendiri yang panik dari pada musuh. Sebab, bisa menjadi bumerang.

Untuk itulah mereka diajar bagaimana tetap tenang dalam menghadapi situasi segenting apapun. Dengan demikian, mereka bisa jernih menjalankan strategi yang telah direncanakan.

Karena, lagi-lagi, jika di tengah desingan peluru ada seorang prajurit yang panik, maka satu tim akan mudah dikalahkan lawan!

Dari uraian ini, terus terang, saya kagum akan ketenangan Syaidina Ali. Dalam sebuah peprangan, mata pedangnya akan menebas leher musuh. Saat itu juga, ''cuih...'' lelaki tersebut meludahi wajah Syaidina Ali.

Aksi ini membuat ayunan pedang sahabat Rasulullah itu terhenti. Musuhpun heran, dan bertanya ada apa gerangan. Ali pun menjawab, bahwa dia tak ingin membunuh karena amarah.

Gila, di saat segenting itu, jiwa Syaidina Ali masih setenang air, sehingga masih bisa memilah mana itu nafsu dan mana itu jalan Tuhan. Coba kalau Syaidina Ali orang yang mudah panik, pasti lain lagi ceritanya.

Kejahatan Aristoteles


”Kejahatan dapat menyatukan manusia”.

Dulu lama sekali saya mencoba merenungkan arti kata Aristoteles ini. Hingga suatu hari, saya menemukan tamsilnya. Meski tak terlalu sempurna, mungkin bisa mendekati saja.

Hal tersebut saya temukan pada masyarakat di sebuah kampung di Batam. Di kampung ini, warganya sangat abai akan lingkungan dan cenderung individualistis. Hingga akhirnya terjadi peristiwa perampokan di sana. Akibatnya, warga yang semula abai mulai waspada, lalu bersatu membuat pertahanan.

Hal senada dikisahkan rekan saya. Saat itu, perusahaan A tempat dia bekerja, membentuk usaha baru, namanya perusahaan B. Di perusahaan B ini, semua fasilitas kantornya serba terbatas, yang mengakibatkan kawan saya dan rekannya malas bekerja.

Hingga akhirnya, semangat mereka terlecut. Mengapa? Ternyata mereka sering menerima perlakuan jahat. Tiap hari, mereka selalu dihina dan direndahkan sebagai orang-orang buangan perusahaan A dan SDM yang rendah.

Kejahatan dan serangan dari luar ini ternyata membuat amarah kinerja anak-anak perusahaan B terlecut. Mereka yang tak mau dibilang pecundang, bekerja keras membuat pembuktian bahwa anggapan itu keliru. Hasilnya, kinerja mereka ini kian baik bahkan kian sukses.

Saya merenung, mungkinkah ini yang dimaksud Aristoteles? Kejahatan menyatukan manusia.

Memang, manusia terlahir dan diprogram untuk survive dari segala serangan dan tantangan lingkungan. Makanya, begitu naluri aslinya diusik dan diserang, resistennya akan timbul.

Hal inilah yang banyak dipakai dalam manajemen modern untuk memacu kinerja karyawannya. Kembangkan manajemen konflik, buatlah karyawan anda merasa diserang, suburkanlah rasa curiga maka rasa saing akan muncul, katakan pada mereka hak-haknya akan direbut musuh sehingga naluri survive-nya akan timbul.

Namun, hati-hati jangan sampai salah menerapkan permainan ini, dengan sering-sering mengatakan kehebatan musuh atau pesaing, ini hanya akan membunuh mental karyawan atau rakyat Anda itu sendiri. Contohnya adalah kisah Julius Caesar.

Ceritanya, sebelum menaklukkan musuhnya, kaisar ini menyusupkan prajuritnya ke daerah lawan. Di sana, sang prajurit selalu menyebarkan berita tentang kehebatan tentara sang Caesar.

Perang psikologi ini membuat lawan menjadi lemah, dan rasa takut pun menyergap, sehingga saat Julius Caesar datang, daerah tersebut sudah kalah sebelum perang. Pantaslah dia selalu berkata, Veni Vidi Vici, gua datang, gua lihat, gua menang. begitu kata orang Jakarte.

Beda dengan yang dilakukan Archilles saat akan menyerang Troya. kepada prajuritnya dia berkata, ”Hei, lihatlah negeri yang indah itu mereka curi dari kita, maka itu rebutlah, karena itu adalah hak kalian!”

Kalimat Aristotels ini juga ada kaitan dengan ungkapan, ”Amarah lebih baik dari putus asa.” Teori psikologi dasar ini juga sering diterapkan dalam keseharian, baik di dunia kerja maupun kemiliteran.

Kawan saya yang wartawan sering bercerita, dulu ada sumbernya yang kalau ingin beritanya naik, selalu bilang begini, ”Berani tidak naikkan berita saya?”

Kalimat ”berani” ini, ternyata sangat ampuh, sehingga si wartawan merasa tersindir kelelakiannya, dan takut dibilang penakut, sehingga sedaya upaya menaikkan berita tersebut. Karena jika tidak, dia akan malu dibilang sumbernya penakut.

Sedangkan dalam kemiliteran, sering terlihat bagaimana komandan latih membangkitkan semangat prajuritnya yang sudah putus asa atau lemah mental, dengan membangkitkan amarah mereka, bahkan menghinanya dengan sebutan ”Ladys”. Lelaki mana sih yang nggak marah dipanggil ibu-ibu? Apalagi itu tentara.

Amarah (bisa juga disebut kebencian) yang besar ini, bahkan bisa mencuci otak manusia sehingga mereka bisa diperintah melakukan apa saja.

---------
Foto: Aristoteles

Rabu, 13 Agustus 2008

The Amazing Ruslan Kasbulatov (1)


Beda brilian dan gila, beda hina dan terhormat, bukan dilihat dari bungkusnya, melainkan dari keberhasilannya.

Inilah yang saya lihat dalam hidup Ruslan Kasbulatov. Lelaki yang dulu sering diketawain orang karena tingkahnya yang dinilai tak lazim tersebut, kini menjadi orang cukup hebat, pemimpin PDIP Batam yang juga anggota DPRD Batam. Sebuah jabatan yang dulu disangsikan banyak orang bakal diraih Ruslan.

Siapa yang tak kenal Ruslan di Batam. Dulu dia masuk ikut LSM, nongkrong di warung kopi dan lain-lain.

Seiring DPRD pertama Kota Batam, Ruslan sempat membuat DPRD plus, sebuah organisasi bentukan para aktivis mirip DPRD, lengkap ketua dan komisinya. Ketuanya Comel Rahman. Ruslan di sana menjabat sebagai ketua komisi.

Keberadaan DPRD plus ini kontan mendapat ketawaan orang. ”Lihatlah barisan sakit hati itu,” begitulah cibiran mereka.

Tak begaung di DPRD plus, Ruslan membentuk Government and Parliament Watch. Sebuah LSM. Lagi-lagi polahnya ini menuai tawa dan cibir.

Namun waktu membuktikan. Hingga akhirnya Ruslan terpilih sebagai Ketua PDIP Batam. Kok bisa? Padahal saingan dia sangat berat, baik dari sisi finansial maupun citra diri.

Ruslan pun juga terkejut akan keberhasilannya ini. Dia menduga, bahwa pertemuannya dengan Bung Karno-lah yang menjadi penandanya.

Dia berkisah, pada sepertiga malam yang terakhir, Ruslan terbangun. Di kamarnay dia melihat sesosok lelaki berpakaian putih bak Soekarno, dengan tongkat komando di tangannya. Ruslanpun terkejut lalu bertanya, ”Bapak siapa?”

Lelaki itu tak menjawab. Dia hanya meminta agar Ruslan segera salat.
Ruslan pun menurut, dia langsung mengambil wudu lalu salat. Imamnya ya, lelaki yang mirip Sukarno tadi. ”Saya mendengar dia membaca ayat-ayat suci,” akunya.

-------------
foto: ruslan

The Amazing Ruslan Kasbulatov (2)

Seusai salat, lelaki tersebut menyerahkan tongkat komandonya ke Ruslan. ”Namun seiring azan Subuh berkumandang, lelaki itu hilang, begitu pula tongkat komandonya yang saya pegang itu,” jelasnya.

Dari kisah ini saya bertanya, kok istrinya di kamar tak bangun dari tidur? ”Ya saya juga aneh. Saya sudah bangunkan istri saya, dengan menggoyang-goyang pakai tangan, tapi dia tetap tidur. Sedangkan suara saya saat itu seperti tercekat. Ya sudah saya tak melanjutkan membangunkannya,” jelas Ruslan.

Benar atau tidak kisah ini, hanya Tuhan dan Ruslan saja yang tahu. Yang jelas Sejak saat itulah, Ruslan yang dulu tak pernah salat, kini sudah mendirikan lagi. Meski itu masih belang-belang. Yang lebih penting, kini Ruslan memang terbukti berhasil memimpin PDIP Batam.

”Setelah mimpi itu, langkah saya menjadi enteng. Bahkan saat bertemu kader, omongan saya jadi lancar dan penuh wibawa,” jelasnya. Dari sini saya teringat kisah nabi Musa yang minta dilancarkan omongannya, kala akan bertemu Raja Firaun.

Kembali ke Ruslan. Setelah berhasil, kini ide-ide Ruslan tak lagi jadi ketawaan. Soal DPRD plus dan Government and Parliament Watch, malah diamini orang sebagai gagasan yang brilian. ”Mestinya saat ini ada orang seperti Ruslan yang mau mengawasi kinerja DPRD, ”Puji tokoh masyarakat.”

Yang terpenting, bekal selama aktif di LSM, membuat Ruslan berani menghadapi demonstran. Terbukti, saat ada demo ke gedung DPRD, Ruslan berani tampil paling depan menghadapi mereka.

”Tak ada lagi yang saya takuti, selain kepada Allah,” katanya.

Hal ini sudah dia buktikan, ketika Petinggi PDIP Provinsi menggebrak mejanya kerjanya di DPC PDIP, Ruslan berani menegur, ”Hei, saya panggil Saudara ’Mas’ dan ’Ketua’, saya rasa sudah cukup menjadi tanda hormat saya. Jangan lantas Anda jadi seenaknya begini,” hardiknya kala itu (selanjutnya disensor aja, yang jelas akhirnya terjadi perdamaian).

Ketegasan Ruslan juga diperlihatkan kala dia memecat kadernya di tingkat kecamatan, bahkan membekukan Kholik, rekannya dari fraksi PDIP karena melenceng dari arahan partai.

The Amazing Ruslan Kasbulatov (3)

Saat pencalegan musim ini, menjadi era terdamai dalam sejarah PDIP Batam. Padahal, dulu sering terjadi perkelahian antarkader. Bahkan ada yang sampai kepalanya bocor. Lalu apa rahasia Ruslan?

”Saya ancam begini, ’jika nanti ada yang bentrok, maka akan saya lihat kader dari daerah mana mereka. Selanjutnya, caleg dari daetah tersebut akan saya coret!”
Wah, siapa yang tak keder diancam seperti ini. Wal hasil, pencalegan PDIP kali ini berjalan mulus.

”Kita memimpin harus tegas. Tapi bukan berarti otoriter. Saya tetap turun dan tetap sederhana,” jelasnya. Kesederhanaan Ruslan ini ditunjukkan, hingga kini dia masih tinggal di rumahnya, tipe 37 kawasan Anggrek sari, Batam Center.

Yang lebih menarik, melihat perhatian Ruslan pada anak-anak kurang mampu. Kini dia memiliki 173 anak asuh, mulai SD hingga universitas. Untuk membiayainya, dia merogoh kocek hingga 15 juta perbulan.

Namun saat tahun ajaran baru datang, anggaran ini membengkak menjadi Rp150 juta. Hal ini dia pakai untuk membeli seragam dan buku-buku baru. ”Kalau mau lihat, tiap sore pada akhir bilan, mereka biasa datang. Kalau tak di DPC ya ke fraksi,” jelasnya.

Tak hanya melengkapi keperluan belajarnya, Ruslan juga kadang membantu rehab rumah para anak asuhnya ini. Bahkan menyediakan guru les tiap sore.

Lalu, untuk apa Ruslan repot-repot begini? Ternyata dilatarbelakangi, masa lalu Ruslan yang sudah menjadi penopang keluarga. ”Ada sembilan adik aku yang harus aku biayai,” jelasnya.

Selain itu, Ruslan berharap agar anak-anaknya nanti memiliki banyak ”kakak”. ”Siapa tahu saya nanti sudah tak lagi jaya, kan ada mereka (anak asuh) yang membantu anak-anak saya,” jelasnya.

Soal namanya kenapa Ruslan Kasbulatov, itu didapat saat ayahnya menjadi pasukan Garuda II di Kongo. Di sana sang ayah kenal dengan perwira Rusia, bernama Ruslan Kasbulatov, yang kemudian diabadikan sebagai namanya.

”Tapi ibu saya tak suka nama Ksbulatov. Dia suka nama Ruslan saja. Karena itu mengapa di dokumen kelahiran saya tertulis Ruslan saja. Rupanya ibu saya bandel,” jelasnya.

Antara ide dan kesuksesan, antara gagasan dan kenyataan ada bayang-bayang. Dan ingat, great power has a great responsibility.

Lagi Buntu


Aku hari ini ingin menulis. Tapi menulis apa? Buntu sekali otak ini.

”Ting...” Aku dapat inspirasi. Bagaimana kalau menulis tentang harta kekayaan yang sudah saya peroleh kini. Atau tentang sehebat apakah jabatan yang sudah saya sandang kini?

Tapi, ide ini langsung memudar. Gila apa. Meski ini hanya blog, namun tetap saja sebuah media.

Pertimbangan saya begini, jika nanti dibaca orang yang lebih tinggi, lebih kaya, lebih berkedudukan dari saya, bukankah ini hanya akan menjadi ketawaan saja? Bisa saja nanti saya dicap anak bebek yang baru lepas dari induk.

Lihatlah di dunia luar sana, rumah John Travolta memiliki tiga jet pribadi yang di parkir di ”garasi” rumahnya.

Sedangkan jika dibaca orang yang lebih kekurangan, maka hanya dianggap sebagai suatu kesombongan saja, takutlah nanti saya disumpahin, ”Dasar pengidap wahan, hubbud dunya wa karahiatul maut! Abadilah kamu di neraka Jahim!”

Mengapa begitu? Ya, karena yang saya beber di sini bukanlah the way to reach, melainkan gain.

Apalagi kalau hanya keberhasilan level pekerja macam saya, apapun jabatannya, kurang laku dijual. Banyak sekali nanti prasangka yang akan saya dapat. ”Ah, bisa saja dia begitu karena KKN.”

Atau, mungkin nanti asaya dituding bahwa saya menjalankan peran yang sebenarnya menjadi takdir orang lain.

Maklumlah, biasanya orang hanya akan tertarik membaca kisah sukses para pemilik usaha dari pada pekerja itu sendiri.

Dari semua pertimbangan ini, saya putuskan tak jadi menulis. Mending berbuat sebagus mungkin, meski itu jauh dari sempurna, namun sudah bisa berguna, itu saja.

Dari pada berkoar-koar tentang kehebatan diri diblog, takut malah jadi penyakit.

Sedikit tapi Heboh

Berbuat sedikit, namun berarti dan mewarnai.

Itulah yang menjadi landasan saya, mengapa pada ulang tahun perusahaan ini menolak tugas (ups!) maksudnya lebih memilih menjemput dan menyerahkan sumbangan kepada orang kurang beruntung, dari pada menyambut Gubernur, Ketua DPRD dan petinggi Batam lain.

Kenapa? Kan enak, ruangannya ber AC lagi. Apa minder ya? Tidak, tentu saja. Malah bosan, tak ada hal yang baru, tak ada tantangan baru yang ada hanya topeng, senyam-senyum, narsis. Mirip pelacur yang menjajakan diri di bar.

Intinya, kehadiran saya saat itu tak bisa mewarnai apapun. Kan sudah ada bos saya yang tentu selevel, dan lebih pantas menemani para petinggi itu. Toh belum tentu juga sang Gubernur mau mengenal saya, apalagi mengingat. Semua lewat begitu saja.

Itulah mengapa saya lebih tertarik menjemput dan menyerahkan sumbangan kepada si papa dan cacat. Meski itu harus berpanas-panas, dan ke daerah yang terpencil pula. Hasilnya, di sana keberadaan saya lebih berarti. Senyum masyarakatnya tulus, tak bertopeng marsis. Ngomong juga apa adanya.

Di sana saya bisa memiliki sandara baru, kesan baru, bahkan hikmah baru yang bisa saya pelajari.

Etos

Beberapa hari lalu, saya membaca berita tentang Marganas Nainggolan kala pertama kali mengembangkan Batam Pos.

Menurut lelaki yang kini menjabat PO Batam Pos Grup itu, dulu hanya 3 jam saja dia bisa tidur. Waktunya dimulai pukul 8 pagi-12 siang, sudah sibuk ngurus usaha, duilanjutkan pukul 12-22 malam, dia ngurus redaksi, dan pukul 22 hingga pukul 4 pagi, dia habiskan ngurus percetakan. Luar bisa.

Menyikapi ini, sisi diriku terlibat diskusi panjang.
Bak retorika sufisme, si malas berkata sambil mencari pembenaran, ”Ya iyalah, kan dia belum berrumah tangga. Jadi wajar!”

Selanjutnya, si nge-bos, berkata, ”Ya salah dia sendiri. Kan dalam dunia kerja, ada pembagian tugas, mengapa tak dia suruh saja nak buahnya kerja. Toh memang itulah tugas anak buah. Kalau aku jadi Marganas, mending bergaya bak raja, naikkan kaki ke meja, perintah sana-sini, lalu tidur. Habis perkara!”

Namun si rajin berkata lain. ”Mestinya kita harus termotivasi oleh kinerja Marganas. Bos besar, namun masih mau turun langsung. Bukankah Dahlan Iskan mengajar ilmu (menulis, namun saya rasa pesan Dahlan ini mencakup hal lain) itu harus ditularkan? Bahkan milioner nyentrik Amrik, Donald Trump, pun masih melakukan pengawasan melekat sehingga ’rasa’ dia tetap bisa terjaga. Jadi meski dia tak ada, ’rasanya’ tetap terasa.”

Etos itu bukan kondisi dan situasi. Etos adalah sifat dasar manusia itu sendiri. Kalau malas ya malas saja. Kalau hanya alasan tentu bisa dicari kan? Sepintas masuk akal, sehingga kita terpesona.

Kalau nge-bos ya nge-bos saja, beribu dalil manajemen manajemen bisa saja dilontarkan. Orang macam begini, mirip politikus saja.

Tapi kalau memang rajin ya akan tetap rajin, meski di depannya ada atau tidak sang bos.

Contoh, kalau memang keluarga jadi alasan, mengapa Dahlan Iskan (dalam bukunya ganti hati dia menulis) yang kala itu sudah berkeluarga dan beranak pinak, masih mau bekerja dari pagi sampai malam? Bahkan dalam tulisannya dia berharap agar sehari semalam bisa 26 jam!

Terkait semua inilah mungkin, sehingga Dahlan pernah berpesan kepada para GM-nya dalam sebuah rapat umum. ”Memelihara orang yang tak kompeten sama saja dengan memelihara masalah.”

Bahkan kawan saya pernah berkata kepada CEO-nya, ”Si biang masalah itu adalah kangker, jadi harus segera dipotong agar tak merusak yang lain!”

Sedangkan Bapak Turki Moderen Mustapha Kemal Attarturk pernah berpesan salah satunya berbunyi, ”Berbuatlah, bukan karena saya tapi karena bangsa ini. Sehingga saat saya sudah mati, perbuatan kalian akan tetap dikenang.” Pesan-pesan Kemal ini masih terukir di kediamannya yang kini dijadikan museum bangsa Turki. Museum etos.

Senin, 11 Agustus 2008

Wel (1)

Sungguh terenyuh kala hari Minggu saya membaca cerpen di harian Batam, karya Immanuel Sebayang, atau akrab disapa Wel itu. Sebuah potret perjuangan, kerja, dan motivasi seorang fotografer media lokal yang luar biasa.

Sebuah kisah orang yang tak berdaya, berusaha mempertahankan haknya di tengah sergapan tekanan kompetisi dan kapitalisme. Bekerja terus bekerja bak robot bernyawa. Meski harus mengorbankan keharmonisan keluarga.

Ini dia cerpennya: Judulnyapun unik: Angin Duduk


Tiga hari sudah rasa ini tak mau pergi. Rasa mual, sedah dan kembung merasuk di lambung usus dua belas jari. Kadang-kadang rasa itu silih berganti menyentuh ulu hati, mencengkeram perut menimbulkan suara gaduh menjadi aduh teramat panjang. Sakit teramat sangat, memaksa aku harus terkapar di tempat tidur. Melewati hari libur yang seharusnya waktu kencan untuk istriku.

Di balik selimut tipis, ekor mataku menatap istriku yang sedari tadi asyik memeras sekepal kain kompresan di baskom kecil. ”Sudahlah, suara gemericik air itu membuat aku ingin ke belakang,” ujarku lirih bercampur cemas.

Bukannya berhenti, istriku malah bersemangat mengucek-ngucek kain bercampur minyak telon. Raut mukanya terlihat iba bercampur marah. Dalam hitungan detik, akhirnya kecemasan ku pun terbukti.

“Berapa kali adik harus bilang, abang jangan telat makan. Jangan sampai tidak makan. jangan lupa bawa jas hujan, dan berhentilah begadang. Kalau sudah begini, adik juga yang pusing,” gerutu istriku menyebutkan beragam kalimat ”jangan” lainnya.

Aku hanya bisa diam. Lemah tak bertenaga. Hanya bisa pasrah, ketika istriku memaksa membalikkan punggungku. Dengan sebiji logam ”cepek” di tangan, istriku menggerus jalur yang sama seperti malam sebelumnya. Jalur merah putih kataku. Merah di kiri dan merah di kanan. Di selingi warna putih pucat kulitku.

Suara mengaduh tak terucap lagi, yang terdengar cuma suara kerookkk-kerokkk, mengganas di punggungku. ”Sudah, sudah, sakit ma!,” jeritku tak tahan lagi. Aku tak ingat, butuh berapa lama Istriku membuat jalur merah putih. Yang pasti tak selama waktu yang ditempuh Almarhum Sophian Sophiaan dalam menunjukkan nasionalismenya.

Hmmm, setengah bergumam bercampur keringat dingin aku mencoba mengingat-ingat lagi kalimat istriku. ”Jangan telat makan”.

Sebenarnya, siapa sih yang tahan lapar? Soal makan sih gampang. Pencernaanku cukup kompromi untuk semua jenis makanan, kecuali seafood. Selain alergi kulit, aku khawatir jenis makanan ini dapat menyebabkan kecanduan. Kalau sudah kecanduan, aku tak yakin gajiku sebagai wartawan foto sanggup membelinya. Apalagi seafood punya jenis yang cukup banyak. Dari kepiting, cumi, udang sampai gonggong.

Tapi yang paling sering membuat aku telat makan cuma satu. SMS Kecemasan. Pesat singkat lewat HP yang sering membuat aku cemas. Bunyinya seperti ini, ”Bang, ada liputan ini, di sini, jam segini, dengan ini, jangan sampai telat ya! Belum lagi SMS peristiwa yang isinya sangat mendebarkan....Ada kebakaran, ada mayat ditemukan, razia polisi nih.”

Wel (2)

Tak jarang aku harus menyudahi suapan nasi ke mulutku. Demi tugas, loyalitas dan demi profesionalisme kerja. Ah, itu sih biasa. Seniorku terdahulu juga begitu.

Namanya juga wartawan. Harus tahan lapar, tahan banting dan tentu saja tahan menderita dengan gaji sebesar anggota DPRD. Maksudnya, gaji sopir pribadinya anggota dewan, gumamku tersenyum.

Nah, aku yakin telat makan bukan penyebab datangnya tamu tak diundang ini. Setengah beringsut aku menarik ujung selimutku. Aku mulai berpikir, jangan-jangan karena kehujanan? Beberapa hari ini cuaca Batam memang kurang bersahabat. Pagi cerah, tengah hari tiba-tiba hujan. Di Batam Centre panas, di Seipanas bisa hujan deras. Aneh, pikirku.

Soal jas hujan aku memang sedikit lalai. Lebih sering tak membawa ketimbang mengingat manfaatnya. Ini pasti karena peribahasa yang salah. Sedia payung sebelum hujan. Seharusnya sedia jas hujan sebelum hujan. Tapi aku nekad tak membawa jas hujan. Sebagai gantinya aku lebih mempercayakannya kepada jaket Army hijau milikku.

Meski agak kumuh, jaket ini cukup efektif menolak amplop dari nara sumber. Pasalnya, jaket ini tak punya saku depan seperti jaket kebanyakan. Aku tersenyum geli mengingat seorang narasumber kebingungan ketika memaksa untuk menerima amplop.

”Tak perlu begini pak, ini sudah tugas saya,” ujarku menolak halus pemberian si narasumber. ”Ah, sepertinya Anda tak mau berteman dengan saya,” ujar Bang Tigor, caleg salah satu partai yang sedang demam publikasi.

”Apa boleh buat. Karena Anda memaksa, saya pun terpaksa,” ujarku sambil membuka resluiting jaket, karena Ada dua saku besar di bagian dalamnya. Huh, tragis sekali. Ibarat memakan buah simalakama. Diterima takut melanggar kode etik, tak diterima, alamat motorku harus ngadat lagi karena sisa gaji bulanan cuma bisa beli oli oplosan di bengkel kawasan Bengkong.

”Hati-hati bang! Wak Sesok tetanggaku di Medan, mati karena angin duduk,” ujar Iman teman sekantorku mengingatkan bahaya kena angin duduk. ”Bisa mati?” Tanyaku, “Ya iyalah, masak ya iya dong!” ujarnya ngakak. Aku bergidik, seram juga kalau mati kena angin duduk.

Di koran-koran pastilah judul beritanya tak menarik. ”Fotografer senior Batam tewas kena angin duduk, atau Gara-angin duduk tewas terduduk”. ”Dik, dipijat lagi ya?” kataku sedikit memelas. Tanpa menjawab istriku langsung mengambil minyak gosok di atas rak TV.

Kali ini usaha menggusur angin berpindah di ruang tamu. Dari bayangan kaca TV, aku melihat wajah kesakitan dan kecemasan. “Iya dikit lagi nih, hampir enak” ujarku meringis.

Bercampur lelah istriku tetap setia memijat dengan tangannya. “Huh, kalo begini terus lebih baik abang kawin saja dengan tukang pijat,” gerutu istriku. ”Tukang pijat belum tentu pandai memasak,” kataku sedikit memuji.

Lima belas menit berlalu. Sarung cap Gajah Duduk yang kupakai, basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba tubuhku meriang. Menahan sakit teramat sangat. Seakan ada yang mendesak dari dari dalam.

Buzzz...preet, sesuatu yang sudah lama kutunggu akhirnya keluar lepas. “Hmmm, mungkin ini yang disebut gas buang,” gumamku lugu. Aneh, ada perasaan nyaman menjalar di sekujur kulitku.

Dari pantulan kaca TV aku bisa melihat wajahku mulai memerah semu. Tanda darah sudah mengalir lancar. Tapi, aku tak melihat bayangan istriku. Yang terdengar cuma bantingan daun pintu dan sumpah serapah istriku dari balik kamar. Oh, ternyata istriku terkena angin duduk.

Pimpinan Kawanku

Kawanku punya teman, temannya punya kawan yang perusahaan tempat dia menabung cita, komitmen, dan menyambung hidup berulang tahun. Dia menulis…

Ah, syukurlah semua berjalan sesuai yang direncanakan, meski ada sedikit improvisasi tentunya. Namun tetap manis.

Padahal, ada ganjalan pada detik-detik terakhir. Detik-detik yang menentukan. Kala itu, saya berkeinginan membuat resume tentang perjalanan perusahaan ini dan rupanya disetujui.

Hingga pada saat H – 2, ternyata bahan-bahan laporan belum juga ada. Kepala pimpinan pun bertanya, agak panik (seperti biasa), tentang sejauh mana kesiapannya. Tak hanya itu, dia meminta agar beberapa penjual juga dimasukkan dalam daftar laporan saya itu.

Lalu, saya jawab saja apa adanya. ‘’Ini kerja tim pak. Jadi sekarang menunggu bahan dari tim, belum juga masuk,” pak kepala pimpinan mafhum. Tak lama, dia menghilang dibalik skat-skat ruang kantor.

Hingga dua jam setelahnya, HP saya berdering. Dari nadanya saya tahu kalau itu dari pak kepala pimpinan. ‘’Ini saya tadi sudah wawancara beberapa penjual yang saya nilai berjasa. Jangan lupa dicek,” pesannya.

Penasaran, saya cek. Gila! Hasilnya perfect banget. Sesuai dengan apa yang saya harap dan rencanakan. Yang bikin saya haru adalah, pak kepala pimpinan ini bekerja sangat cepat. Padahal tim lain belum juga ada yang menyetor laporannya pada saya

Yang bikin haru, kepala pimpinan ini masih mau terjun ke lapangan mewawancarai penjual, memotretnya, dan membantu kerjaan saya yang nota bene masih anak buahnya level ke sekian sekian sekian. Padahal kalau mau, dia bisa menyuruh para bawahan saja untuk mengerjakan masalah ini..

Saya memang cukup kagum, maklum yang saya tahu selama ini kebanyakan pak kepala pimpinan yang saya kenal adalah orang yang maha eksklusif dan maha benar. Kadang selalu ingin diperlakukan istimewa. Sehingga rawan gesekan. Ibarat bermain api, silap sedikit bisa membakar. Bahaya sekali.

Yang paling nyebelin, sikapnya mirip aristokrat zaman Victoria. Kalau bertemu tak mau menatap orang yang tak selevel. Jadi, jika menatap saja enggan, apalagi bercakap-cakap. Apalagi membantu-bantu.

Dan yang lebih miris, kadang mirip dokter spesialis menghadapi pasen. Senangnya tinggal dalam ruang yang tertutup, entah apa yang dikerjakan di sana. Mungkin memang bekerja, atau mungkin hanya chatting atau nge-blog? Entahlah, yang jelas selalu dalam ruang tertutup.

Akibat sering melihat model kepala pimpinan semacam inilah, membuat saya mengagumi kisah raja raja atau bos-bos yang merakyat. Misalnya Dahlan Iskan. Bos Jawa Pos Grup ini masih mau jadi loper koran saat HUT Jawa Pos. Gila. Toh gengsinya tak juga luntur.

Kembali lagi ke pak kepala pimpinan tadi. Saya jadi salah tingkah. Maklum, beberapa hari lalu saya usai mengkritiknya habis-habisan. Dari sinilah saya terbetik untuk berterima kasih. Ya dong, jangan hanya sikap kurangnya saja yang diingat, kebaikannya harus dikenang. Ini sportif namanya.

Tak lama, HP saya berdering lagi. Pak kepala pimpinan nelepon lagi, mengatakan bahwa bahannya sudah dibikin, ‘’Apa sudah kamu cek?”

Saya jawab sudah. Dan…. ‘’Begini Pak, Bapak boleh bilang saya menjilat atau apalah. Tapi terus terang, saya berterimakasih sekali, Bapak sudah mau repot membantu kerjaan saya. Ternyata saya tak sendiri Pak,” jelas saya.

”Ah, ya sudahlah…” jelas Pak kepala Pipinan.

Begitulah kisah kawanku punya teman, temannya punya kawan.

Minggu Pagi di Piayu

Minggu pagi kemarin, saya ke Tanjungpiayu (saya lupa alamat tepatnya), ikut menyerahkan bantuan kepada anak-anak kurang beruntung. Di antaranya kursi roda kepada penderita lumpuh layu dan kaca mata bagi yang mengalami gangguan penglihatan.

Ada perasaan haru saat memasuki perkampungan tersebut. Rumah-rumah di sini sangat sederhana. Umumnya tipe 27, seluas 60 meter persegi. Dinding batako tampak menyembul karena tak semua rumah di sini diplester.

Gang yang membelah perumahan ini sangat sempit, 2 meter kurang. Sehungga kalau ada dua sepeda motor papasan di gang ini, maka jalan akan tersumbat.

Sanitasi di komplek ini juga kurang sehat. Parit kecil dengan air yang tak mengalir, kian membuat nyamuk betah bersarang.

Penghuni di sini umumnya keluarga dengan penghasilan rata-rata Rp2-3 juta perbulan. Mereka dulunya imigran asal Jawa yang bekerja sebagai buruh kontrak di Kawasan Industri Batamindo, Mukakuning. Selain pekerja, ada juga yang berwirausaha dengan membuka warung kelontong dan nasi.

Tanjungpiayu ini sendiri berasal dari daerah pindahan penggusuran warga Duriangkang, sebelum kawasan itu dibuat dam.

Namun yang cukup bikin iri dalah suasana kekeluargaan. Di daerah ini, penduduknya saling kenal. Saat saya ke sana, tampak ibu-ibu saling bertegur sapa. ‘’Titip rumah ya, saya mau ke pengajian dulu,” ujar salah seorang ibu, berbaju kurung. Bahannya cukup bagus, tak kalah dengan kaum gedongan.

Di tengah deretan rumah penduduk ini ada tanah kosong, yang dijadikan sarana olah raga. Di hari Minggu it, saya melihat anak-anak muda berolah raga bulu tangkis.

Di sini saya juga melihat anak kecil bermain riang, tak individualis. Seorang diantaranya tampak tidur di tengah gang yang kotor itu, sembari menangis sekerasnya, karena mainannya direbut kawannya yang memiliki badan lebih besar.



-----------
Regalia anakku, anak sebayamu di sini tumbuh dengan kondisi seadanya. Tidur beralas spingbed yang sisinya sudah menghitam, kadang juga dari tikar ayaman pandan. Hanya kipas angin kecil saja yang menjadi alat pengusir gerah.

Di sini juga anak sebayamu biasa diakrabkan ketetangga oleh orang tuanya dengan naik kereta dorong bayi yang roda-rodanya sudah aus dan tak lagi lurus.

Namun mereka bahagia… Mereka ceria…