Kamis, 28 Agustus 2008

Ah, Trans TV Lagi

Keasyikan santap siang di resto Pak Datuk, rumah makan Padang kawasan Batam Center, kemarin, terusik oleh berita peristiwa di televisi. Saat itu kami melihat reporter Trans TV meliput kejahatan di Jakarta.

Usai tayangan berlangsung, para penonton yang juga pengunjung rumah makan, asyik dalam komentar, termasuk dua orang yang makan di sebelah saya.

Mau tahu apa yang mereka perbincangkan? Salah besar jika Anda menjawab soal tayangan tadi, sebab yang mereka bincangkan soal kegagahan seragam reporter Trans TV saat meliput. ‘’Wah mirip seragam polisi Amerika, ya,” komentarnya.

‘’Kenapa wartawan di sini tak pakai seragam ya,” celetuk salah seorang di antaranya yang berwajah kotak, mirip Samwise si Hobbit, dalam Lord of The Ring itu. Rupanya kawan ini cukup kritis.

Menurut dia, seragam dapat membantu si wartawan itu sendiri gar tak selalu memikirkan baju baru. ''Kan malu juga kalau ke mana-mana baju yang dipakai itu-itu saja. Sementara keuangan tak cukup. Nah ini bisa diselamatkan oleh seragam,'' ujarnya.

‘’Wartawan itu berjiwa bebas Bang. Tempatnya di lapangan. Makanya kalau dibatasi seragam, khawatir nalurinya buntu,” jawab ku sekenanya.

Mereka pun berpaling. Melihat siapa gerangan pencuri jawaban pertanyaannya itu.

‘’Ah… Dasar wartawannya saja yang suka dibilang semau gue. Mereka memang senang dicitrakan tak teratur, kok. Bung! Sekarang ini bukan lagi zaman wartawan gigit besi, di mana pers adalah lahan para idialis. Sekarang adalah zaman wartawan gigit roti, di mana pers menjadi sebuah industri,” jawab si muka kotak sengit.

Selanjutnya mereka menyinggung soal Akta Diurna dan Akta Senatus, cikal-bakal pers yang bermula di zaman Romawi sebelum Masehi itu.

Aku terhenyak. Wah, benar kata Pemred Radar Surabaya, di luar sana masyarakat sudah lebih pandai menganalisa dan menilai kinerja pers dan wartawan itu sendiri.

Jadi teringat keluhan seorang kawan, beberapa waktu lalu. Saat itu bosnya didatangi wartawan untuk diwawancara.

”Sudah datangnya tak tepat waktu, pakaiannya sangat tak rapi. Apa tak bisa dia menghormati Bos kami?” keluhnya.

Aku hanya bisa diam.

Dia melanjutkan, sebenarnya sudah lama kenal dengan si wartawan. ‘’Sudah tiga tahun lalu saya kenal dia, pakaiannya masih begitu saja. Kaos oblong, jaket jins dan celana jins belel,” gembarnya.

”Apa salahnya sih wartawan berseragam? Lihat tuh Trans TV,” ujarnya.

Ah, Trans TV lagi.

Tidak ada komentar: