Kamis, 28 Agustus 2008

Kenangan Ramadan (5)

Wedi anak Mama, dan Ame, selalu menjadi partner tetap saya saat main monopoli. Strategi keduanyapun berbeda. Kalau Wedi senangnya beli tanah yang murah dulu, seperti di Kemayoran atau Garut. Sedangkan Ame suka yang mahal dulu, semisal Singaraja dan Denpasar.

Selanjutnya, pagi hingga siang, masih kami lewatkan bermain. Kali ini lokasi favorit di sawah, mincing belut. Kadang juga saya ikutan kakak ipar Wedi, Kak Khalil yang juga suami Kak Enna, mincing kepiting di dermaga.

Kalau sudah begini, bisa setengah hari. Hasilnya, kadang kami makan saat berbuka. Soal belut ini, Wadi memang ahlinya. Tangannya lihai saat mincing dan juga saat memasaknya.


***

Ketika dhuhur tiba, anak-anak baru bisa lelap. Kehidupan mereka di mulai kembali saat Asar tiba, atau menjelang berbuka.

Saat itu, kami akan ke alun-alun kecamatan. Di sana ramai anak-anak jualan petasan dan lilin. Selain itu banyak warga yang jalan-jalan ngabuburit sembari mendengar ceramah yang terpancar luas dari corong masjid jami.

Di rumah saya sendiri, biasanya juga sudah sibuk mempersiapkan menu berbuka puasa. Menu lontong sayur adalah menu wajib kami. Biasanya diselingi aneka jajanan yang pada hari-hari biasa jarang ada, seperti serabi gula, kue banjar (semacam bolu berkuah air pandan), hingga tambak bedul.

Untuk airnya, biasanya ibu membuat es teh atau sirup. Karena saat itu lemari es masih jarang, maka dengan naik sepeda BMX, saya selalu membeli es dari pembuat es batu. Ada tiga tempat yang kerap saya datangi, yang agak dekat di rumah Haji Acik di kampong Laut Sungai.

Kalau di sini habis, saya pindah agak jauhan mencari ke Kolapadeng. Kalau di sini juga habis, maka terpaksa cari ke Per-ikanan yang lumayan jauh. Di sini selalu ada, karena es selalu diproduksi untuk mengawetkan ikan.

Hingga akhirnya, ‘’Duaaaarrr…” bunyi meriam karbit di masjid jami berbunyi, tanda berbuka sudah tiba. Biasanya juga akan diselingi bunyi sirene, mirip saat perang.

Oh ya, ada yang lupa saya sebutkan di atas. Saat Ramadan, sarung selalu tak lepas dari badan. Fungsinya memang praktis, selain bisa untuk ibadah, juga bisa menjadi selimut pengusir nyamuk dan dingin saat ikut tung-tung dan tidur di langgar.

Bahkan, anak-anak juga mengkreasikannya menjadi jubah super hero. Caranya, dengan melilitkan dari belakang kedua ujungnya ke leher, maka jadilah jubah Superman atau Batman.

Selain itu, juga bisa dibuat menjadi jubah ninja. Caranya, ujung satu dan lainnya dililitkan ke dahi. Selanjutnya, salah satu sisi yang menjuntai ke bawah, ditarik ke atas. Tada…. Jadilah kostum ninja.



Namun seiring zaman, semua tradisi Ramadan ini kini hilang. Semua leyap disapu televisi!

Tidak ada komentar: