Jumat, 27 Juli 2012

Halal

Sekitar November tahun lalu, saya diundang Batam Pos Entrepreneur School dalam sebuah diskusi yang melibatkan entrepreneur di Kota Batam, Dinas Kesehatan Kota Batam, Dinas Pariwisata Kota Batam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Batam. Di sana saya menemukan hal menarik yang mungkin bisa dibagi dalam kolom ini.
Ditemukan fakta bahwa banyak resto di Batam, baik besar maupun kecil, memalsukan label MUI sebagai penarik konsumen. Semua itu dilakukan secara terang-terangan, label itu di tempel di dinding yang bisa dilihat oleh pengunjung.
Dan anehnya, banyak pengunjung yang cuek. Yang penting asal dilihat tulisan ”halal” dengan huruf Arab, sudah disangka bahwa itu sudah sesuai standar kehalalal MUI. Padahal tidak.
Akibatnya, sering kali ditemukan beberapa resto memasak makanan dengan mengabaikan kehalalal. Halal tak hanya menyajikan makanan yang higinis dan bersih, namun sesuai kaidah dalam agama Islam.
Pentingnya di mana? Jangan sampai apa yang sempat termuat di surat pembaca Batam Pos, menimpa kita. Di surat pembaca itu seseorang menulis, tentang sebuah resto yang kokinya selalu memasak ditemani anjing kesayangannya. Adakalanya juga si anjing, mencicipi bekas makanan yang menempel di alat masak sang koki.
Berbicara tentang produk halal, 50 tahun yang lalu, belum ada yang berpikir bahwa produk berlabel halal akan laku dijual. Namun kini, semua sudah melihat perdagangan dengan label halal ini mampu mengeruk uang miliaran dolar AS.
Kini label halal tak hanya bisnis makanan saja, tapi sudah merambah pada perbankan. Bank syariah, misalnya. Siapa yang menyangka bila bank syariah akan bisa menjaring begitu banyak nasabah.
Hingga saat ini bank-bank konvensional, yang dulu sempat diperdebatkan kehalalannya karena menggunakan sistem bunga, berlomba membentuk divisi baru berlabel “syariah” dengan tawaran yang menarik dan tentu saja halal.
Fenomena ”halal” ini juga merambah di bidang broadcasting. Di tengah dominasi dunia oleh berita-berita BBC dan CNN, Al Jazeera hadir memberikan alternatif baru bagi pemirsa Muslim. Kontan saja, peminatnya luar biasa. Bahkan kabarnya, stasiun televisi ini saat perang teluk II sempat membikin George W Bush berang hingga berniat mengebom-nya.
Kehadiaran Al Jazeera dengan kemasan berita yang menarik, dinilai mampu membela kaum Muslimin di tengah terpaan pemberitaan BBC dan CNN yang selama ini dikenal tak netral, syarat dengan agenda Amerika dan Inggris.
Produk berlabel halal juga menyeruak di jejaring sosial. Saat ini, sudah banyak jejeraing sosial berkonten “halal”. Di Indonesia ada salingsapa.com dan semacamnya. Saya juga pernah membaca tulisan M Aji Surya, “Segenggam Cinta dari Moskwa” bahwa di awal November 2011 lalu, di Mesir para pakar IT dunia tengah menggagas mendirikan jejaring sosial berkonten halal.
Menurut mereka, ini merupakan peluang bisnis yang bagus. Nama yang disepakati adalah SalamWorld.com. yang menarik, pendirinya bukanlah warga negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di Dunia, melainkan dari warga Rusia. Mereka menjamin, kontennya akan jauh dari hal yang haram, semacam pornografi dan tentu saja aman karena akan menyertakan nilai-nilai luhur agama.
Saat ini sudah ada beberapa investor dari beragam belahan dunia yang sudah menggelontorkan puluhan juta dolar. kantor pusatnya terletak di Istambul dan Moskwa, sedangkan IT-nya diboyong dari India. Nantinya, mereka akan masuk bersaing merebut pasar yang saat ini masih didominasi google.com, twitter.com, yahoo.com, facebook.com, e-Bay, wikipedia dan lainnya.
Jejaring sosial berlabel halal, merupakan peluang yang bagus, bila melihat jumlah umat Islam dunia yang mencapai 1,5 miliar. Belum lagi, kian memasyarakatnya internet dan ponsel pintar. Sehingga, masing-masing orang dengan mudahnya kian terhubung.
Saat ini saja di Indonesia ada sekitar 35 juta muslim pengguna internet, disusul Turki dan Iran (30 juta), Malaysia (10-an juta) dan oman (5 juta). Ini bukan data mati, karena dalam empat tahun ke depan jumlahnya akan membengkak. Di Iran Muslim pengguna internet diperkirakan mencapai 100 juta orang, Mesir (55 juta), Nigeria (50 juta), Turki (43 juta) dan Indonesia (40 juta).

Rabu, 18 Juli 2012

From Rusia with Iman

Ramadan lalu saya sempat menulis tentang masjid di Wina Austria yang kerap menebar hidayah bagi warga setempat. Nama etpatnya, Vienna Islamic Center. Letaknya berada di tepian sungai Danube, sungai terkenal di Eropa (lebih lenjut sila klik http://rizafahlevi.blogspot.com/2011/08/h-i-d-y-h.html).
Kembali di penghujung Ramadan kali ini, saya kembali akan mengupas sedikit tentang cahaya Islam di Rusia yang erat kaitannya dengan masjid.
Sekadar diketahui, Islam masuk ke Rusia jauh lebih awal dari Indonesia. Tepatnya sekitar tahun 637, masih di era khulafaurrasyidin. Kota pertama yang diterpa cahaya Islam adalah Derbent, dekat Grozny ibukota Chechnya.
Kabarnya, Khalifah Umar bin Khattab mengirim sahabat nabi, Suraqat bin Amr ke wilayah ini sekitar tahun 22 Hijriyah atau abad ke 7 masehi. Selanjutnya Salman bin Rabi’i (komendan pasukan) dan Abdurrahman bin Rabi’i (logistik) juga dikirim ke Derben. Hingga akhirnya Salman bin Rabi’i, disusul Abdurrahman bin Rabi’i, memimpin Derbent setelah Suraqat meninggal.
Setelah mereka, Derbent banyak disinggahi tabit-tabiin. Di antaranya ada Huzaifah bin Yaman, bahkan ahli strategi perang Salman Alfarisi dan perawi hadis Abu Hurairah juga singgah di sini. Ratusan tahun penyebar Islam bertempat di sini, sehingga penduduknya mayoritas Muslim.
Hal inilah mengapa, Islam di Rusia, khususnya Derbend, sangat kokoh. Meski selama 70 tahun negara ini masuk dalam sistem komunis yang melarang kegiatan keagamaan, namun umat islam di sana tak jua berpaling. malah kian kokoh.
Nah, bila melancong ke Rusia jangan lupa mampir ke Masjid Biru. Di sini kita bisa mengenang celoteh presiden pertama, Soekarno, yang disegani pemimpin negara adidaya, Rusia.
Seorang diplomat kita, M Aji Surya, dalam bukunya “Segenggam Cinta dari Moskwa” menulis, sebenarnya blue mosque bernama Masjid Jamul Muslimin, namun karena kubah dan gerbangnya berwarna biru langit nan elok, maka untuk memudahkan warga setempat menamainya masjid biru. Letak masjid ini berada di antara dua obyek wisata Rusia, yakni benteng Peter & Paul serta sungai Neva. Itulah mengapa masjid ini ikutan terkenal.
Lantai satu masjid biru bisa menampung 2.00-an jemaah, sedangkan lantai dua dan tiga dipakai untuk jemaah wanita.
Hubungan masjid ini dengan Soekarno terjadi ektika tahun 1955 sang presiden berlibur ke St Pitersburgh yang saat itu bernama Leningrad, bersama putrinya, Megawati menikmati keindahan kota yang dibangun Peter yang Agung.
Hingga kemudian sang Proklamator melihat bangunan yang dia rasa masjid, kemudian minta sopir mengantarkan ke sana. Namun, permintaan ini tak dipatuhi. Hingga kemudian, dalam lawatan resminya ke Rusia guna perundingan tingkat tinggi hubungan bilateral terkait perang dingin, kepada pemimpin Rusia saat itu Nikita Sargeyevich Krushchev, Soekarno ditanya tentang kunjungnnnya ke Leningrad tempo hari.
Dia menjawab, ”Rasanya saya belum pernah ke Leningrad.” Krushchev bingung, ”Bukannya tempo hari tuan presiden berjalan-jalan bersama sang puteri di sana?” kejar Krushchev.
”Ya kami memang berada di sana, tapi belum ke sana. karena Saya tak dibolehkan sopir mengunjungi bangunan yang saya yakini itu sebuah masjid,” jelasnya.
Seminggu setelah kunjungan usai, Kremlin menginfokan, satu-satunya masjidf di Leningrad yang telah menjadi gudang pasca-revolusi Bolshevic boleh dibuka kembali untuk beribadah, tanpa persyaratan apapun. Padahal semua tahu saat itu, Rusia sangat melarang semua yang berbau agama. Bahkan, beberapa tempat ibadah yang bernilai historispun sekelas Khram Khrista Spasitelya, mereka ratakan dengan tanah.
Selain masjid biru juga ada masjid Prospek Mira di jantung kota Moskwa. Namun utnuk bisa salat di masjid Rusia, harus datang beberapa jam lebih awal. Bila tidak, anda tak akan kebagian lagi tempat. Maka, terpaksalah salat meluber ke jalan.
Apalagi pas Idul Fitri atau Idul Adha. Lautan jemaah ibarat lebah mengepung sarang, meluber sampai jauh. Saking jauhnya, jemaah tak lagi bisa mendengar suara imam. Bahkan, tuntunan Fiqih agar jangan salat di depan imam pun tak lagi berlaku. ”Allah maha mengerti,” ujar mereka.
Yang mengharukan, semangat melaksanakan salat berjamaah ini tak kendor meski negara di belahan utara Bumi itu mamasuki musim salju yang sangat dingin. Beginilah kiranya kekuatan iman itu.
Kian melubernya jemaah ini, akibat jumlah kaum muslimin Rusia terus bertambah, sementara masjid masih jarang. Bayangkan di kota Moskwa saja ada 2 juta kaum Muslimin, ini merupakan jumlah Muslim terbesar di Eropa. Sementara masjid hanya enam.
Sebenarnya dulu, di masa Tsar ada sekitar 15 ribuan masjid di Rusia. Namun, pascarevolusi Bolshevic jumlahnya menyusut hanya 100 masjid. banyak yang dihancurkan dan dialihfungsikan sebagai gudang dan semacamnya. Nasib baik Masjid Prospek Mira ini tak ikut dihancurkan juga. Alhamdulillah.

Kamis, 12 Juli 2012

Eta Rossiya!

Dulu saya sempat menulis di kolom ini, tentang Tsar Rusia, Peter yang Agung (Peter 1). Sebagaimana diketahui, Peter 1 (1672-1725), sukses memimpin Rusia menjadi negara maju dan kuat setelah membawa negara ini berkiblat ke Eropa, utamanya soal teknologi dan seni.
Di Prusia dia mengikuti pelatihan menembakkan meriam, serta memiliki kepedulian tentang anatomi. Di Belanda dia belajar teknik pembuatan kapal dan di Inggris dia belajar tentang pelatihan militer.
Peter juga terinspirasi karya seni seniman-seniman Prancis. Hasil karya seninya yang bertahan hingga kini adalah istana musim panas Petrodvorets yang indah sehingga disebut juga Istana Versailles dari Rusia.
Karya Peter 1 lainnya adalah kota Saint Petersburgh (Leningrad), yang merupakan kota paling keren di Eropa, juga pusat kebudayaan dan kesenian. Kota yang akhirnya jadi ibu kota kekaisaran Rusia ini, dibangun tahun 1703, di muara sungai Neva yang menghubungkan 101 buah pulau dengan 500 jembatan.
Hingga tibalah masa revolusi Bolshevich pimpinan Lenin yang muncul akibat aksi protes atas kemewahan hidup para tsar. Rusia pun mencampakkan segala atribut kebaratannya dan berubah menjadi Republik Sosialis.
Sistem ini, juga sukses membawa Rusia menjadi negara adidaya di era perang dingin. Selama 70 tahun negeri ini ”mandiri” dengan konsep sama rata sama rasa. Masyarakat tak perlu banyak bicara atau banyak kerja, semua telah ditanggung pemerintah.
Tak hanya itu, agama yang dianggap candu juga dilarang. Tempat ibadah dirobohkan atau dialih fungsikan, tak peduli apakah itu memiliki nilai historis, semacam Khram Khrista Spasitelya atau Katedral Kristus Sang penyelamat yang dibangun pasca kekalahan Napoleon, 1837.
Angin-pun berubah, hidup sama rasa sama rata yang menyeragamkan kehidupan rakyat dengan pemerintah, akhirnya bubar di era Gorbachev. Tahun 1991 glassnot dan perestroika berhembus, sistem sosialis sebagai pilar Uni Soviet (dewan berserikat) tumbang.
Kini masyarakat Rusia sangat terbuka. Globalisasi dan pop culture menembus sendi-sendi tirai besi sang berung merah. Kapitalisme kian tak terbendung. Warga Rusia sendiri tak siap menghadapi era pasar bebas, sehingga menjadi pasar raksasa beragam produk-produk Barat, China dan Jepang, serta resto waralaba ala Amrik. Gerai-gerai junk food terasa gagah dimakan, menggusur kartoshka (kentang bakar bertabur daging dan sayuran). Pizza pun menggusur ukha (sup ikan) dan borsk (sup sayuran merah).
Sebuah buku Segenggam Cinta dari Moskwa, tulisan M Aji Surya, diplomat kita di Rusia mengupas, betapa bangganya bila orang Rusia saat ini bisa hidup ala Hollywood. Naik BMW, Ferrari, Harley atau ngadem di mobil buatan Jepang. Tak ayal, dalam sekejap mobil-mobil buatan nasional yang berkibar di era perang dingin, semacam Neva, UAZ menangis darah bertahan. Yang masih membanggakan dari produk rusia adalah industri pertahanannya. Tentunya kita sudah kenal apa itu Sukhoy, atau AK-47.
Kini Rusia yang Masyarakatnya berdiri di dua kaki: Eropa dan Asia itu, mengahadapi kegamangan kemanakah menentukan kiblatnya. Masyarakatnya terbelah pada dua ”benua”, antara kaum Slavophil dan Zapadniki.
Kaum Slavophil menyatakan, Rusia harus menapaki nilai-nilai aslinya karakter nasional (samobytnost) dan kekhasan budayanya. Perkembangan Rusia harus bertumpu pada ortodoksi (pravoslavie), otokrasi (samodherzavie) dan kerakyatan (narodnost). Nilai-nilai ini harus dituangakan dalam semangat kolektif (sobornost) bukan dengan individualisme barat. Bahkan Pyotr Chaadaev, pemikir Rusia beraliran Slavophil, bersikeras bahwa kebesaran peradaban rusia terletak pada keaslian gereja orthodoks dan beragam institusi sosial tradisional rusia.
Sedangkan kaum Zapadniki, terus memotori agar Rusia, sebagai bagian dari Eropa, kembali mengadopsi ide-ide Barat demi kemajuan dan masa depan negara, sebagaimana yang dilakukan Peter yang Agung.
Polemik kebudayaan antara Slavopil (yang lahir lebih tua) dan Zapadniki (aliran utama yang muncul tahun 1840-an) ini dipicu pasca reformasi yang dilakuakn Peter 1 Agung 1672-1725.
Meski gamang menentukan arah kiblat, namun ada satu yang membanggakan dari Rusia. Hukum di negara ini dijalankan sangat tegas. Bahkan di sana, seorang satpam pun bisa mengusir mobil petinggi negara bila tak memeneuhi prosedur.
Jadi jangan macam-macam. Eta Rossiya! (ini Rusia Bung!). ***