Kamis, 31 Juli 2008

Gila Radar Surabaya

Hari ini saya baca Radar Surabaya. Gila. Ide-idenya hebat banget. saya sampai mau pingsan, merinding, dan keluar keringat dingin.

Maaf tak bisa nulis lagi

Senin, 28 Juli 2008

Di-KO Ayam Sayur (1)

Burung merpati mengeluh. jati dirnya merasa dilecehkan, bukan oleh orang luar, melainkan dari speciesnya sendiri.

Hal ini terkait pada idenya mengunjungi masyarakat untuk mencari tahu apa masalah, atau mencari solusi dari masalah yang dihadapi di daerahnya.

Bisa menyangkut lingkungan, sosial, hingga kebijakan pemerintah marga satwa setempat. Hasil pertemuan ini, lalu dia tuangkan dalam sebuah laporan.

Namun, maksud baik tak sepenuhnya diterima baik pula. Rupanya ada yang merasa terganggu atas langkah merpati ini. Yakni, para ayam sayur. Sebab, ternyata banyak masyarakat margasatwa yang mengeluhkan soal tingkah ayam sayur yang menurutnya semena-mena.

Hingga pada suatu hari, di saat matahari baru membuka hari, bos persatuan ayam sayur itu datang menemui bos merpati itu. Mereka protes, kenapa selalu ayam sayur yang diangkat-angkat.

Selanjutnya, bos ayam sayur itu mengungkit-ungkit soal sumbangsihnya atas kandang merpati itu sendiri. Akhirnya, pertemuan penuh topeng itu usai, dan ditutup ucapan, ”Eih... janji lho nek, kita sesama unggas jangan saling mendahului ya,” ujarnya, mirip tulisan di bis kota.

Usai pertemuan ini, bos merpati itu nelpon. Nadanya keras, lalu marah-marah. Rupanya, ancaman bos ayam sayur itu membuatnya keluar keringat dingin.

Diapun langsung panik sepanik-paniknya, mirip ibu-ibu kebakaran konde. Wajarlah, karena tuipikal merpati macam ini biasanya takut kehilangan banyak hal. Pantas jika cenderung Machiavellis.

”Apa hasil pertemuan yang kamu rangkum minggu ini?!”

Mendengar pertanyaan ini, kawanku yang sudah mengetahu akan pertemuan itu langsung berkata, ”Tenang saja bos, tak ada menyinggung ayam sayur lagi kok!”

”Eh nek, akika tahu enggak sih, tadi pagi bos ayam sayur datang ke kandang. Katanya kalian tak pernah meminta keterangan dari mereka. Pokoknya tak ada lagi ayam sayur!”

Dan, kalimat ini ditutup dengan kata amat menyakitkan si merpati, ”Kalau memang selalu bermasalah, bubarkan saja acaramu itu!”

Di-KO Ayam Sayur (2)

Dia melanjutkan, sebenarnya tujuan acaranya ini karena ingin mendekatkan merpati tersebut dengan margasatwa lain.

Selain itu, untuk melatih dan membiasakan speciesnya berhadapan, berkomunikasi, berinteraksi dengan beragam jenis margasatwa lain. ”Sebab selama ini, kawan saya tak berani tampil. Hanya diam saja!” tuturnya.

Dan yang terpenting, bagaimana mempraktikkan ilmu yang diperoleh di lapangan. ”Kalau hanya teori saja yang diberikan, kami sudah hatam. Yang penting sekarang praktik.

Satwa yang hebat bukanlah yang hanya hafal ribuan teori, semua ini tergantung aplikasinya di masyarakat! Toh kambing juga bisa berenang, meski tak baca teori bagaimana cara berenang!” jelasnya.

Soal tuduhan tak pernah meminta keterangan itu, menurut si merpati sama sekali tak benar. Justru si bos ayam sayur lah yang selalu menghindar saat timnya datang meminta keterangan soal keluhan satwa lain tadi. ”Sebenarnya kami yang dianiaya, tapi kok malah dibalik begini?” jelasnya.

Hingga akhirnya, saat rapat berlangsung, merpati protes. ”Tolonglah Bos, kalau ada masalah jangan kami juga diminta dikonfirmasi, jangan hanya mendengarkan pengaduan sepihak dari ayam sayur saja! Bagaimanapun kami bekerja di sini. Jadi kalau Bos sudah tak mau membela kami, lalu siapa lagi?” jelasnya.

Menurutnya, sebagai merpati yang bergerak di bidang jasa, wajar saja jika dapat dikomplen. ”Masalah selalu saja ada. Yang penting adalah bagaimana kita mengatasinya! Itu saja. Jangan mudah panik, bahaya,” jelasnya.

Namun sayang, rupanya penjelasan merpati ini susah ditangkap oleh pimpinannya itu. Sehingga diskusi di meja rapat itu jadi ajang kurang nyambung.

Terenyuh juga saya akan kisah merpati ini. Wahai burung merpati, biasanya semakin besar organisasi sosial, justru masalah itu bukannya datang dari luar, namun dari orang dalam itu sendiri. Yang mengekang kebebasan berpendapat bukannya dari satwa lain, namun dari lingkungan dalam itu sendiri. Semua hanyalah kepentingan.

Ada dongeng dari China, tentang anak muda yang menemui Xen Xen dan meminta petunjuk bagaimana jalan untuk sukses. Xen Xen pun membawa anak muda itu ke kali. Di sana dia membenamkan kepalanya berkali-kali ke air.

Tentu saja si anak muda memberontak dan mencoba sekuat tenaga keluar dari air. Namun, cengkraman tangan Xen Xen begitu kuat. Hingga tiga kali sudah dia menenggelamkan kepala si anak muda itu ke air.

Setelah lemas, Xen Xen mengajak anak muda itu pulang lalu diberi makan. Selanjutnya dia bertanya, ”Apa yang kamu inginkan saat saya tenggelamkan tadi.”

Si anak muda geram, lalu berkata, ”Ya bernafas!”

Xen Xen tersenyum. ”Jika keinginanmu bernafas sekuat keinginanmu untuk sukses, maka kamu akan bisa menuju ke sana.”

--------------
Hikmah dari tulisan ini adalah, bagaimana cara menangani masalah atau problem solving.

Minggu, 27 Juli 2008

Pasar Pagi Samarinda (1)

Namanya Pasar Pagi Samarinda, Jodoh. Orang biasa menyebut Samarinda, karena letaknya di antara dua mall besar, Ramayana dan Samarinda. Namanya juga pasar pagi, pasar ini mulai buka pada pukul 03.00 hingga 09.00 pagi.

Pasar ini tiap hari selalu diserbu warga di seantero Batam. Karena sangat murah, harga-harga lauk pauk dan satyur-mayur di sini sampai 50 persen lebih murah dari seluruh pasar basah di Batam. Misal, ikan benggol di sini sekilonya dibandrol Rp10 ribu, sementara di pasar lain mencapai Rp14 ribu perkilo.

Yang paling mencolok adalah harga sayur mayur. Di sini satu buah timun dibandrol Rp500, sedangkan di pasar lain harga perbuahnya mencapai Rp1.000-2.000! Belum lagi sawi, jika di tempat lain per ikat dijual Rp2.000, di sini malah dijual Rp3.000 per enam ikat!

Saya minggu kemarin, sempat berbelanja di sini. Istri saya rupanya tertarik akan jeruk nipis. Lalu dia minta membeli Rp2.000, seperti yang dia lakukan di Pasar Mitra Raya, tempat kami biasa belanja. Dengan uang segitu, biasanya dapat beberapa buah saja.

Namun, penjualnya malah senyum simpul. ”Waduh, gimana ya Bu, mau dikasih berapa. Nanggung sih. Udah ibu ambil aja sekantong Rp2.000,” katanya sembari menunjukkan jeruk yang sudah dibungkus kantung plastik ukuran sedang. Beratnya mencapai setengah kilo!

Istri saya heran, lalu kami saling pandang sebentar. ”Waduh, sebanyak itu hanya Rp5.000? Gila,” akhirnya kami putuskan urung membelinya, sebab kebanyakan, mau dijus-pun tak mungkin.

Kami pun terus menjelajah, akhirnya masuk ke pasar ikan yang letaknya di bangunan dalam. Di sini, suasana nampak bukan seperti orang jualan, tapi obralan! Bayangkan, semua jenis ikan perkilonya dibandrol Rp10 ribu.

Sedangkan jenis-jenis ikan ”golongan atas” seperti kakap cs dan kerapu, dibandrol Rp25 ribu perkilo. Padahal di pasar lain, mencapai Rp35-40 ribu perkilo!

Pasar Pagi Samarinda (2)

Makin keranjinganlah kami berbelanja. Tak terasa dua tangan saya sudah kebas akibat kebanyak membawa kantong-kantong belanjaan. Ini baru belanja lauk, belum lagi sayur.

Jadilah, jika biasanya dengan uang Rp150 ribu kami dapat belanjaan dalam sekali angkut, kini harus dua kali. Bagasipun sampai sesak oleh belanjaan. ”Wah, bisa dua minggu tak belanja neh,” seloroh istriku.

Karena harga-harga yang miring inilah, Pasar Pagi Samarinda selalu menjadi rujukan belanja warga Batam. Bahkan ada yang belanja di sini untuk dijual lagi di lingkungannya masing-masing.

Lumayan, kalau ikan perkilo bisa menangguk untung Rp5 ribu atau lebih. Sedangkan sayur, wow bisa lebih banyak lagi.

Tapi ingat. Jika ingin belanjaan yang lebih segar, maka Anda harus pagi-pagi sekali ke mari. Ya, sekitar pukul 03.00-an lah. Sebab, kalau sudah pukul 06.00 apalagi lebih, maka Anda hanya akan dapat sisa orang.

Mak Eca contohnya, wanita 50 tahun yang tinggal di Taman Raya Batam Center ini, tiap hari Minggu selalu berbelanja di pasar ini.

Padahal jarak rumahnya ke mari mencapai 10 kiloan. Biasanya dia diantar putra sulungnya dengan sepeda motor. ”Berangkatnya ya pagi-pagi jam tiga, jadi setengah jam sampai,” tipsnya.

Menjawab mengapa rela jauh-jauh datang, padahal di kompleknya juga ada pasar basah? Mak Eca menjawab,

”Du apa... Kalau di sini (pasar Pagi) kan murah, uang seribu (rupiah) masih berharga. Kalau di (komplek) rumah mana boleh. Lima puluh (ribu rupiah) hanya dapat sedikit. Mana cukup, kelauarga kami kan banyak,” tegasnya.

Ada gula ada semut, ada yang murah banyak yang menyerbu. Begitulah pemandangan di Pasar Pagi Samarinda. Jika Anda yang tak terbiasa berdesakan dengan beragam manusia dan baunya, ya jangan coba-coba ke mari.

Di sini suasanya sangat ramai dan sesak. Suasana di pasar sayur, lapak-lapak pedagang berderet berhimpit hingga jalan raya. Suara-suara abang-abang menjajakan dagangan terdengar lantang di tiap sudut.

”Ayo-ayo jeruk-jeruk sekantong lima ribu (rupiah)!” teriak pedagang di sebelah timur. belum reda teriakan ini sudah di susul teriakan lain, ”Sawi-sawi murah. Lima ikan dua ribu (rupiah)!” begitu terus.

Pasar Pagi Samarinda (3)

Sementara itu, hilir mudik para pembeli berhimpit berdesakan di sela-sela lapak yang lebar jalannya hanya 1 meter saja.

Tunggu dulu, ini masih belum sesak, masih belum sempit, sebab di tengah-tengah lapak tersebut ada pangkalan ojek. Aduh, jadilah kadang sepeda mortor-sepeda motor tersebut berjalan diantara sesaknya pembeli.

Coba bayangkan deh. Pusing kan? Baru bayangkan saja sudah pusing, bagaimana lagi merasakan langsung!

Suasana kian pusing, mana kala akibat lalu-lalang sepeda motor ini, seorang inang-inang (sebutan pedagang wanita Batak) paruh baya berteriak, ”Hei, kau kalau parkir sana jauh-jauh. Habislah dagangan saya nanti tak mau dibeli orang,” hardiknya kepada seorang pengendara sepeda motor yang parkir di dekatnya.

Saya perhatikan, inang inang ini memang gagah. wajahnya lonjong, badannya tinggi kekar, kulitnya hitam, sehitam rambut panjangnya ditutup topi pet warna biru tua yang mulai kumal. Bercelana bluejins ketat, memakai t shirt yang dibalut sweater woll belang-belang putih hitam.

Namun, wajah galak si inang tak membuat pengendara motor keder. Lelaki Jawa yang memiliki kumis tebal ini cuek saja, sehingg si inang kian murka. ”Kau kalau dikasih dibilangin tak ngerti juga rupanya. Nanti saya lempar baru rasa kau!” lengkingnya.

”Sebhentar!” balas si pengendara sekenanya, medok sekali aksen Jawanya. Lalu dia ngeloyor begitu saja meninggalkan sepeda motornya ke dalam pasar. Oh, rupanya dia pengojek yang tengah menjemput langganan.

”Ah... Kau sebentar sebentar, lama juga kereta (beginilah sebutan orang medan untuk sepeda motor) kau parkir di sini!” teriaknya, menahan dongkol.

Suasana di pasar ikan tak kalah ”seramnya”. Teriakan-teriakan pedagang, ”Ayo-ayo benggol sepuluh ribu!” atau ”Ayo-ayo sotong murah-sotong murah!” berbaur dengan suara-suara pembeli menawar ikan.

Tak hanya itu, suasananya pengap, bau amis ikan bercampur dan ketiak manusia menjadi satu. Belum lagi sesaknya pembeli yang berebut memilih dan mengincar ikan murah.

Pasar Pagi Samarinda (4)

Parahnya, lantainya becek. Air setinggi 3 cm menggenang di mana-mana. Jadi habislah sandal Fladeo yang saya pakai terendam air. Belum lagi cipratannya, mencapai hingga betis. Gatal ranya saat airnya mengering. Ah, mestinya saya memakai sepatu boot saja.

Tak cukup hanya itu, kesesakan ini masih ditambah lalu-lintas buruh angkut. ”Awas, awas, awas, berat, berat, berat...” kata seorang lelaki menggendong sekarung kedelai di punggungnya. Huh....

Sedikit kisah kebelakang, Pasar Pagi Samarinda ini tak seramai sekarang. Dulu sejak Batam ada, warga Jodoh dan sekitarnya biasa belanja di Pasar Pagi Jodoh yang letaknya di Jalan Ali Haji yang menjadi pusat bisnis di Jodoh, sekitar 500 meter dari Pasar Pagi Samarinda.

Selain itu, ada juga Pasar Puja Bahari di Nagoya, yang juga berjarak 500 meter dari Pasar Pagi Samarinda.

Namun seiring zaman, meski masih ada, dua pasar tersebut kalah pamor. Apalagi, khusus di Pasar Jodoh, pedagang yang berjual di luar pertokoan kerap digusur Satpol PP.

Setelah Mall Samarinda dan Ramayana berdiri, pasar pagi ini kian pesat. Awalnya bengini, konsep membidik kalangan menengah ke bawah kedua mall tersebut, membuat pengunjung kian deras.

Misal Samarinda banyak menjual pecah belah. Bahkan samarinda-lah yang pertama mengenalkan metode penjualan ”tiga lima ribu” di Batam. Sedangkan Ramayana, fokus pada fesyen menangah bawah.

Dari sinilah, bermula berdiri pangkalan-pangkalan taksi dan ojek bayangan yang mangkal di sekitar Ramayana. Hingga akhirnya, menjanmur pedagang kaki lima.

Tak hanya itu, rupanya pedagang di pasar basah kian ekspansi ke luar dan disusul beberapa pedagang pendatang lain. Ternyata, keberadaan mereka membuat para bos pemasok lauk pauk dan sayur-mayur tertarik. Dari sanalah mengapa harga di pasar ini sangat murah. Jadilah kini pasar Pagi Samarinda menjadi pasar sejuta ummat.

Akibat hiruk-pikuknya suasana ini, membuat pengunjung Ramayana kian berkurang. Maklum, meski tutup pukul 09.00 pagi, umumnya pengunjung tak tahan akan bau amis dan sampah sayur yang sisa-sisa jualan pedagang.

Entah ada protes atau tidak dari manajemen Ramayana, sebenarnay para pedagang yang berjualan di luar komplek pasar sempat ditertibkan Satpol PP. Namun tak mempan.

Akhirnya, Ramayana pun tutup. Kini bangunannya berganti Plaza Avava dan sebuah klub malam bernama Jurassic Pub.

Jumat, 25 Juli 2008

Dunia Fana Zein Alatas (1)

Saat membeli buku-buku Islam di Hang FM, Carnavall Mall Batam Center, mataku tak bergeming menatap seorang lelaki tua, oh… tidak, bukan lelaki tua, dia masih muda, sekitar kepala 4-an, Cuma rambutnya saja penuh uban.

Pakaian yang dinekanan bermodel gamis putih dengan celana warna senada yang ujungnya 10 centi dari tumit.

Saya perhatikan, lahap sekali dia menyantap nasi berbungkus stereofom yang menyajikan masakan padang, lauk ayam gule. Tanpa sendok, dia makan pakai tangan, sesuai sunnah rasul.

Sesekali kacamata minusnya mau jatuh, lalu dia seka lagi dengan punggung tangan kanannya.

”Mari Bang…” sapanya ramah. Oh, rupanya dia tahu saya perhatikan.

Lelaki itu mengingatkan saya pada lelaki yang di awa;l 2000an dulu menjadi buah bibir di Batam, lelaki top, kawan Wali Kota Batam, kala itu Nyat Kadir. Dialah Zein Alatas.

Tapi, apa iya? Kok Zein yang saya lihat ini berbeda 180 derajad?

Zein Alatas di awal 2000-an, merupakan bos Bank Pembangunan Riau. Dulu kantornya masih di Nagoya, dekat Soto Cak Man deretan restoran siap saji Jepang, Hoka Hoka Bento.

Selain bos BPD, Zein juga memiliki bisnis studio musik di bawah bendera BMC. Studio ini berada di lantai 1 rumahnya, kawasan Greend Land Batam Center. Tiap sore, banyak anak baru gede, bermain di sana. Saat itu, sewa perjamnya hanya Rp15 ribu.

Zein memiliki sebuah rumah lagi di samping, yang di emperannya dia bangun kafe yang menyajikan aneka soft drink dan roti isi. Di sinilah anak muda itu kerap kongkow, sebelum atau sesudah ngeband.

Tak hanya itu, BMC juga melebarkan bisnisnya ke sewa menyewa sound system. Saya masih ingat, mobil kantornya mirip kendaraan The A Team. Jenisnya juga minibus, bercat hitam pekat dengan tulisan ‘’BMC” berwarna merah di tiap sisinya.

Tahun 2002, di masa keemasannya, Zein memiliki studio rekaman pertama di Batam. Teknisinya, langsung dia rekrut dari Singapura, seorang lelaki keturunan Jawa bernama Sunaryo.

Di masa keemasannya inilah, saya sempat bertemu dengan Zein, di lantai dua rumahnya di Greend Land. Pertama kali melihat, saya sempat kagum. Luas rumah ini lebih dari 300 meter persegi dan di cat serba hitam, dengan sedikit lis putih. Terakhir saya baru tahu, bahwa ‘’hitam” merupakan brand imege perusahaannya.

Saya hitung lebih dari dua tingkat. Di lantai satu dibangun kamar-kamar kecil, tempat studio musik yang dia sewakan itu. Saya sempat mengintip dari pintunya, semua penuh dengan grup band anak muda yang lagi tampil.

Naik ke lantai dua, tempat saya bertemu Zein, di sana teronggok TV Sony 32 inc. Teronggok saja, tak ditonton. Di sini konon ditempati beberapa karyawan Zein, saat mau santai. Sedangkan keluarga Zein menempati lantai 2 dan 3.

Selain itu, interior rumah ini cukup lux. Sampai saya berdecak kagum. Pokoknya cukup mewakili nafsu duniawi.

Dunia Fana Zein Alatas (2)

Setelah menunggu sebentar, Zein datang dari kantornya. Kala itu, dia pakai baju koko warna merah anggur. Maklum, hari Jumat. Di tangannya tergenggam sebuah nokia communicator seri pertama, yang ring tonenya selalu berbunyi.

Zein selanjutnya berkisah soal bisnis rekaman yang baru digelutinya. ‘’Saya ingin mengorbitkan artis dari Batam. Kenapa harus jauh-jauh rekaman ke Jakarta,” katanya kala itu.

Logika Zein sederhana saja. Di studio musiknya, banyak dipadati anak-anak muda yang tengah meretas pentas musik. Nah, dari sana dia bisa sekalian menjajal studio rekaman.

Bersama Sunaryo, saya diantar melihat-lihat ke studio rekamannya. ‘’Sunaryo ini adalah orang berpengalaman di bidang recording di Singapura,” kenalnya.

Sunaryo pun, tak canggung mengenalkan saya nama alat-alat yang penuh panel itu. Perbincangan pun meluas hingga ke jenis musik.

Dari sana saya tahu, bahwa studio Zein ini rupanya menarik perhatian beberapa pejabat daerah untuk merekam suaranya. Salah satunya Nyat Kadir, yang merekam lagu-lagu melayu. Maklum kala itu, lagi trend pejabat punya album.

Usai pertemuan ini, Zein melebarkan bisnisnya ke radio. Dia beri nama 106.2 Hang FM. Radio bergenre anak muda. Studionya cukup besar, menempati ruang belakang Carnavall Mall, mall prestisius di Batam kala itu.

Di awal peluncurannya, hang FM gabung dengan Batam TV. Peresmiannya cukup besar-besaran, langsung dilakukan wali kota Nyat Kadir, dan dihadiri beberapa orang top, diantaranya, tentu saja, raja media Riau Rida K Liamsi.

Demikainlah kehidupan Zein kala itu. Penuh gemerlap. Hingga akhirnya, petaka datang. Tudingan korupsi miliaran di BPD menyeretnya ke jeruji penjara. Hampir lima tahun Zein menjalani proses ini, hingga namanya hilang dari ranah orang-orang top di Batam.

Tak heran, saat saya melihat lelaki yang ‘’mirip” Zein itu, mata saya langsung tak berkedip. Mirip? Ah, bisa jadi itu Zein.

Untuk membunuh rasa penasaran itulah, saya sengaja menunggu lelaki mirip habib-habib itu, menuntaskan makan siangnya.

Dunia Fana Zein Alatas (3)

Setelah makan, dia cuci tangan ke luar ruang melintas di hadapanku. Namun saya tetap diam dulu. Barulah setelah dia benar-benar selesai makan, saya temui.

Dari balik dinding triplek yang memisahkan ke ruang tempat dia makan itu saya berseru, ‘’Bang Zein?”

Lelaki ini terhenyak dari kursinya. Matanya langsung menatap tajam ke arahku. ‘’Eh, Antum siapa ya?”

Saya langsung gembira. ‘’Saya adalah…” sebut saya mengenalkan diri.

‘’O… ‘’ tuturnya bergegas menemui saya. Selanjutnya dia mangajak saya menuju ruang, tempat sebuah sofa panjang terpasang. Di sanalah kami duduk.

Layaknya pertemuan dua sahabat yang terpisah begitu lama, yang ditanya adalah kabar masing-masing. Hal standar saja.

Hingga di tengah-tenga pertemuan itu Zein mulai berkisah getir hidupnya. ‘’Abang tak punya apa-apa lagi sekarang,” jelasnya. Tak ada raut wajah sedih, malah yang tampak (maaf) ibarat orang buang kotoran ihlas saja. ''Oh... rupanya begini jiwa orang yang bebas dari keserakahan duniawi,'' pikirku

Rupanya semua harta, aset miliaran rupiah, termasuk rumah mewahnya di Greenland sudah disita kejaksaan.

Setelah di penjara itulah, Zein menemukan jati dirinya. Dia ingin selalu dekat pada Allah sang penciptanya. Jalan hidup baru ini dia dapat, kala di penjara selalu membaca buku-buku tentang Islam.

Maka, jadilah kini Zein yang baru. Bukan lagi lelaki klimis yang tampil perlente dengan jas, dasi, serta suguhan musik jazz yang jadi favoritnya.

Zein kini adalah lelaki dengan janggut tebal putih, berbaju gamis putih, dengan peci bulat putih bermotif timur tengah selalu terpasang di kepalanya. Rambutnyapun tak lagi semi beatle, melainkan dipotong tipis. Sebuah kacamana berframe tipis, melengkapi kezuhudannya.

Tak hanya itu, saat berkomunikasi dia mengganti panggilan ''Anda'' kepada lawan bicaranya dengan kalimat ''Antum''.

Radionya, Hang FM, yang masih tersisa dia sulap menjadi radio dakwah beraliran salaf, aliran yang masih dipandang tegas dalam qidah. Karena itulah, di sini Zein mengharamkan semua musik dan lagu. Termasuk musik religi Islam sendiri, bahkan alunan takbir saat Hari Raya juga dihilangkan. Yang ada hanya alunan orang membaca Alquran dan dakwah.

Namanya juga radio dakwah, selama 24 jam penuh radio ini mengudara, siarannya hanya membahas Alquran dan Hadis. Ada juga acara interaktif, tapi membahas Alquran dan Hadis. Di sini pendengar biasanya minta diputarkan surat-surat dari Alquran, atau ada yang membacakan ayat suci saja. Lain tidak.

Karena aliran yang mengharamkan musik dan lagu inilah, radio ini sepi iklan. ‘’Bagaimana lagi, iklan sekarang semua dilengkapi musik sebagai ilustrasinya. Sementara di (radio) sini boleh beriklan, asal dibacakan saja. Karena itu mereka tak mau,” jelasnya.

Lalu dari mana Zein membiayai operasional radionya? ‘’Ya dari sumbangan dermawan saja,” ungkapnya.

Namun Zein tak mau bergantung pada sumbangan saja, kini di bawah studionya yang luas itu, dia membuka toko bernafaskan Islam yang mengusung pemikiran salaf. Mulai parfum hingga buku. ‘’Dari sinilah diharapkan bisa membantu operasional Hang FM,” jelasnya.

Kini Zein tinggal di sebuah rumah sederhana di kota kelahirannya, Tanjungpinang. Karena pekerjaanya di Batam, dia terpaksa bolak-balik naik feri. Kadang tidur di kantor.

----------
Anakku Regalia, doakan ayah selalu di jalan yang benar ya... Air mata ayah menetes nak...

Kok Ibu Saya Belum Mati?

Arham Wakil Pemred Batam Pos dalam sebuah perbincangan pernah berkata, ‘’Orang Singapura itu di negaranya merasa dikekang, sehingga kalau di negara lain inginnya melanggar hukum terus.

Beda dengan orang Jepang yang di negaranya terbiasa disiplin, sehingga di negeri orang pun selalu demikian.”

Menarik juga uraian Arham ini. Namun apa yang saya nilai ternyata lebih parah. Orang Singapura ternyata memiliki tingkat individualisme yang sangat tinggi. Selalu berorientasi pada uang!

Aktivitas dan rutinitas yang menjebak mereka, terkadang membuatnya tak mampu lagi bersosialisasi dengan baik. Jangankan dengan orang lain, dengan keluarga sendiripun kadang kacau.

Entah kebetulan atau tidak. Kebetulan saya punya kenalan beberapa orang Singapura. Saya kaget, ketika pada suatu masa dia terus bertanya kapan ibunya meninggal. ‘’Kapan ya Bang. Kondisinya sudah gawat,” katanya ringan.

Saya jawab sekenanya, ‘’Tunggu saja. Tak lama lagi.”

Ternyata keesokan harinya, ibunya belum juga meninggal. Maka kian gencarlah dia menelepon saya. ‘’Kok ibu saya belum mati ya?” katanya.

Akupun bingung, lalu bertanya kenapa kok ingin ibunya mati. Dengan enteng dia menjawab, ‘’Ya, kan sudah tua. Ngapain juga. Kami repot mengurusnya, kerjaan banyak tersita,” jelasnya.

Selang tiga hari kemudian ibunya meninggal. Kawan saya ini dengan mimik gembira kembali menelepon. ‘’Bang, akhirnya ibu saya meninggal,” jelasnya.

Beda lagi dengan kawan saya yang lain. Saat itu dia terlibat percakapan dengan ibundanya yang mengeluhkan belum membayar pajak. Selanjutnya dia minta sang anak membayarkannya. Apa jawab sang anak?

”Sudahah bu, tak usah dibayar. Paling juga ibu dipenjara. 40 hari juga keluar,” jawabnya.

Tulisan ini meski tak bisa mewakili 100 persen warga Singapura, namun bisa menjadi sekelumit gambaran tentang kehidupan warga di sana.

Pergilah, Kami Mau Bertempur! (1)

Sabtu lalu seusai ngurus kerjaan ke kawan saya seorang ketua Yayasan sebuah pendidikan modern di Sekupang, ada hal menarik yang terjadi.

Saat itu, pak ketua tengah gundah gulana. Bayangkan, 5 guru terbaiknya akan hengkang dari sekolah itu. Padahal mereka sudah masuk sejak awal sekolah itu berdiri.

Karena sudah akrab, saya pun ikut nimbrung. ”Gimana pak, saya takut kepergian mereka akan membuat gejolak bagi guru yang lain,” keluhnya. Lalu ketua yayasan punya usul, akan membuat acara perpisahan. Alasannya menghargai lima guru itu.

Saya pun tergugah. Lalu aku minta diri untuk merenung. Aku membayangkan, mengapa ketua yayasan semelankolis ini. Bukankah ini akan kian melemahkan kinerja organisasi sekolahnya?

Analisa pemikiran saya sederhana saja. Lihat saaja anak sekolah yang baru lulus, selalu saja coret-coret baju lamanya, sebagai simbol sudah lepas dan bebas dari semua beban yang dia dera.

Orang yang akan hengkang, meski kelihatan sedih (aneh juga, kalau sedih mengapa mau hengkang?) paling gampang mengucapkan selama tinggal kepada rekan-rekannya. Toh dia tak ada beban lagi untuk menjalankan tugas, mengemban amanat memajukan sekolahnya.

Bahkan bisa jadi di hati kecilnya berkata, ‘’Ha ha ha… selamat tinggal orang-orang tolol! Saya akan pergi, persetan dengan kerjaan kalian! Sekarang gua bebas!”

Sementara kawan-kawannya yang masih tinggal, adalah orang yang paling tersiksa. Mentalnya lemah. Pasalnya, di saat kawannya lepas dari deraan tugas, dia masih berpikir tentang tugas-tugas yang akan menderanya nanti.

Kalau tak ditangani dengan bijak, maka ini bahaya. Sebab, bagaimana pun merekalah tenaga yang dimiliki saat ini.

Tak lama setelah renungan ini, saya menemui ketua yayasan lagi. ”Pak, saya punya usul. Lupakan acara perpisahan itu!”

Ketua yayasan bingung, lalu berkata. ‘’Maksud mu apa?”

Pergilah, Kami Mau Bertempur! (2)

”Kita balik aja pak! Justru yang masih bertahan kita kasih apresiasi yang bagus. Yang hengkang kita biarin aja. Toh mereka tak lagi kita butuhkan!” Ketua yayasan belum juga mengerti.

Hingga akhirnya acara perpisahan itu terjadi. Satu dari perwakilan lima guru yang mau hengkang naik pentas mengucapkan kata perpisahan, disertai minta maaf, disertai nangis juga, lalu ditutup dengan salam-salaman.

Tak lama, saya berbisik pada ketua yayasan. ‘’Pak, inilah saatnya!”
Lalu, sang ketua yayasan tampil. ‘’Guru-guru yang bertahan harap tetap di sini. Karena kita akan membahas program-program ke depan yang telah disiapkan. Termasuk akan ada pembagian seragam!”

Apa yang terjadi? Hal yang dikhawatirkan tak terbukti.
Lima guru yang hengkang tadi, mautak mau langsung menyingkir. Habis ngapain lagi, kan sudah berpisah? Kan sudah jadi orang luar, jadi tak pantas ytahu rahasia perusahaan!

Sementara yang tinggal langsung timbul semangatnya untuk kembali menata hari esok di yayasan stersebut. Kebanggaan pun timbul, motivasi menyusul, saat mereka melihat rekan-rekannya yang tinggal dan masih kompak.

Yang nangis? Tak bertahan lama juga. Mereka berpikir, ”Ah orang mati saja haram diratapi, kenapa orang yang hengkang harus ditangisi? EGP lah, masak EGP dong. Mulan aja Jamilah, bukan Jamidong!”

Coba seandainya ketua yayasan memberikan ruang besar bagi orang yang hengkang itu di acara perpisahan, maka yang tinggal akan berpikir, ‘’O… rupanya di sini baru dihargai pada saat mau hengkang. Ah, kapan-kapan aku hengkang juga ah…”

Gila! Apa jadinya nanti jika kebanggaan pada pekerjaan yang kita tekuni sudah hilang?

Lalu apakah ide saya dalam memperlakukan mereka yang hengkang itu kejam? Saya rasa tidak juga.

Rekan saya yang lain, Bambang, yang kabarnya kini sudah jadi Pemred berkisah, Zainal Muttaqin, petinggi Kaltim Pos dulu sempat mengirim email kepada seluruh wartawannya yang masih tinggal, saat menghadapi banyak wartawannya pindah ke Tribun Kaltim. Bunyinya; ‘’Ayo! Siapa agi yang mau pindah?!” Kalimat ini menawarkan, bukan menyuruh.

Pergilah, Kami Mau Bertempur! (3)

Metode ini manjur, sebab mendengar kalimat ini yang tinggal malah terlecut ‘’nasionalismenya” untuk maju mengalahkan sang pesaing yang telah menerima kawan-kawannya bergabung.

Tak ada itu perpisahan, apalagi tangisan termehek-mehek! Soal hubungan pertemanan dengan yang hengkang, itu sah saja dilakukan. Namun soal kerjaan, ini masalah professional, tak ada hubungannya dengan pamitan dan termehek-mehek tadi.

Kerja bukanlah sinetron cinta yang cengeng. Kerja harus melihat ke depan, que sera-sera, what ever will be, will be!

Emang kalau tanpa orang-orang hengkang itu kenapa rupanya? Apalagi yang hengkang belum tentu orang yang berkinerja baik dan pekerjaan baru yang dia pilih belum tentu baik dari pekerjaan lamanya. Jadi buat apa?

Di kota-kota besar, pindah-pindah kerja sudah menjadi sarapan sehari-hari. Apa jadinya jika tiap perusahaan melakukan acara perpisahan atau terus mengenang-ngenang orang yang telah pergi itu, ah mending bubar saja!

Malah yang lebih tegas, di beberapa perusahaan terbuka mewajibkan perusahaan yang menerima staf ahlinya yang hengkang membayar uang transfer. Karena perusahaan sudah mengeluarkan banyak dana, mulai pendidikan internal dan lain-lain, untuk membentuk si SDM tersebut hingga sehebat sekarang.

Inti dari tulisan ini adalah, yang hengkang tak usahlah dikenang apalagi terus dipuja-puja. Justru yang bertahan dan yang loyal dan yang masih menghargai profesi ini harus diberi penghargaan, harus terus diasah, karena mau tak mau itulah aset kita.

Kembali lagi ke ketua yayasan kawan saya tadi. Saya berpesan, kini setiap kali karyawannya bertemu dengan lima orang yang hengkang tadi, menceritakanlah bahwa pekerjaan di Yayasan itu kian menarik.

Sehingga yang hengkang berpikir, ”Ah, ngapain saya hengkang ya???”

----------------
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Agnes Dhamayanti

Sang Kancil dan Sang Monyet

(Disadur dari kisah-kisah rakyat Pulau Bawean)


Kancil. Siapa yang tak kenal hewan ini. Dia dikenal memiliki kemampuan lebih dari hewan lain. Larinya kencang dan tangkas. Otaknya pun encer. Namun akhir-akhir ini, dia mengalami krisis percaya diri. Apa pasal?

Oh, gara-gara saat melintas di ladang anggur dia melihat ada buah buah anggur yang siap petik. Ranum dan manis. Namun, apa daya sang kancil tak mampu meraihnya.

Bagaimana supaya buah itu tak diambil hewan lain? Maka kancil bilang kepada warga hutan, bahwa anggur itu pahit rasanya. ‘’Enggak enak. Jangan dimakan!” ingatnya pada sang landak, kawan dekatnya. Meski demikian, diam-diam sang kancil rajin datang ke ladang anggur tersebut, berharap dapat kejatuhan buah yang selalu dia idamkan itu.

Tiba-tiba, datang monyet menyambar buah tersebut. Rupanya monyet ini bukanlah hewan yang mudah dikibuli. Otaknya selalu berpikir ‘’mengapa” setiap melihat persoalan yang terjadi.

Dari sinilah bencana pada diri sang kancil bermula. Krisis percaya diri terus menghinggapinya. Seakan dia hewan tak berdaya (padahal dia hewan yang cerdas). Akhirnya, tiap hari dia datang ke danau yang airnya jernih bak cermin.

Kepada bayangannya sendiri dia berkata. ‘’Hei, lihatlah si monyet itu. Dia mahluk yang hebat. Bukan seperti kamu! Lihat saja buktinya, dia bisa ngambil anggur. Maka itu jadilah monyet, jangan jadi kancil!”

Meski ini hanya dongeng orang-orang desa, namun pesan di dalamnya cukup menarik disimak. Dalam teori psikologi ulah si kancil saat berpesan bahwa anggur itu pahit, agar tak dimakan binatang lain, disebut juga sebagai reaksi formasi.

Dalam kehidupan moderen, banyak kita temukan orang-orang dengan reaksi formasi semacam ini. Contoh, hanya karena tak mampu mendapatkan pujaan hatinya, seorang pemuda berkata pada rekan-rekannya bahwa wanita yang sebenarnya dicintai itu, dengan hal-hal negatif.

Sedangkan tingkah si kancil saat berbicara kepada bayangan dirinya di atas air itu, disebut ego defend mekanisme, sebuah bentuk egoisme dari mekanisme pertahanan diri. Dalam kehidupan masyarakat, cermin di sini bisa berbentuk kawan-kawan atau orang terdekatnya.

Intinya sama, sebenarnya orang tersebut iri melihat kemampuan seseorang saat menggapai hal tertentu, namun dia tak bisa melakukannya. Maka dari itu, dia frustasi. Selanjutnya dia melampiaskan kemarahan akan ketidak mampuannya, dengan menceritakan kehebatan orang yang dia puja, kepada kawan-kawannya.

Karena di saat menceritakan tentang orang tersebut, sebenarnya dia marah kepada dirinya sendiri, mengapa kok dia tak bisa sehebat seperti orang yang berhasil menggapai apa yang dia inginkan. Inilah yang dinamakan krisis identitas, krisis percaya diri.

Rumit juga ya?

-------------------
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Agnes Dhamayanti

Senin, 21 Juli 2008

Kreatif Jepang



Jepang emang negara maju. Kreatif sekali. Mereka selalu jenuh akan hal-hal biasa, maka terus mencari sesuatu hal yang baru yang lebih baik.

Salah satu yang pali baru, seperti foto-foto di atas, saat ini di negara sakura itu, mengubah barcode dari semula amat memuakkan dan paling diabaikan, kini menjadi sesuatu hal yang unik dan sangat jadi ingin dilihat.

Meski demikian, kreativitas ini tak mengubah khittah si barcode itu sendiri sebagai penanda, sebab tetap bisa dibaca kok.

Minggu, 20 Juli 2008

Gabriel yang Hilang (1)


Di Batam ada seorang anak yang ikut Idola Cilik di RCTI. Namanya Gabriel. Kiprah anak ini di ajang talent search terdengar masyarakat kala ada koran lokal dengan gencar memberitakannya.

Bahkan melebihi pemberitaan yang dilakukan si empunya hajatan, dalam hal ini RCTI, koran Sindo, dan media-meia lain yang tergabung dalam payung MNC.

Lihat saja, mulai saat Gabriel mendaftar hingga kegiatan kesehariannya terus diberitakan. Aktivitas sebelum lomba, hingga kegiatan anak ini setelah lomba pun diliput. Ke bangku sekolah pun diikuti. Bahkan sehari sebelum Gabriel mentas di idola Cilik, juga dipasang berita, ''Hari Ini Gabriel Manggung'' atau ''Ayo Dukung Gabriel''.

Beritanya pun menempati ruang cukup lebar di halaman depan pula. Sepintas lalu, koran ini jadi seperti buku harian dan ajang promosi Gabriel. Tak pelak, Gabriel menjadi selebritis lokal.

Alasan pemberitaan ini, konon untuk memancing emosi pembaca serta memotivasi anak-anak sebayanya agar berjuang seprti Gabriel. Tapi, bukankah masih banyak anak yang berprestasi, misal di bidang ilmu pengetahuan dan baca alquran, mengapa kok tak segencar ini?

Dan selanjutnya, apa yang terjadi? Emosi pembaca akan Gabriel memang terpancing, tapi bukan menguntungkan media lokal tersebut, tapi malah menguntungkan RCTI. Sebab, secara tak langsung ikut menyumbang SMS Rp2 ribu, di mana Rp1.500 dari tiap SMS ini masuk ke kantong RCTI!

Ini baru satu orang, jika seribu orang, berapa lagi yang mereka dapat? Makin makmurlah stasiun ini. Sementara si media lokal hanya dapat capeeeeeek deeeeeh, aja.

Akibat pemberitaan ini jua, Gabriel (baca orang tuanya) menangguk untung. Banyak pejabat yang ingin nampang memanfaatkan piopularitas anak ini. Ada yang ngasih laptop hingga rumah tipe 27.

---------------
foto: Gabriel dan mamanya dapat laptop dari pejabat

Gabriel yang Hilang (2)


Lalu, setelah semua ini mereka dapat, apa yang mereka lakukan? Ternyata mereka dengan tanpa sungkan, meproklamirkan diri akan pindah ke Jakarta. Alasannya juga di beber, ”Karena kalau di Batam, kariernya tak berkembang!”

Sah-sah saja, sih. api mestinya tak terlalu terang-terangan seperti itu untuk menjaga perasaan orang Batam yang telah mendukungnya.

Tak hanya itu, baru-baru ini tersiar kabar bahwa Gabriel memasang tarif Rp15 juta untuk menghadiri ulang tahun sebuah mall di Batam. Tentu saja pengelola mall ini kecewa.

Lalu, apa sumbangsih (orang tua) anak ini terhadap media yang telah mengenalkannya ke publik? Tak ada sama sekali. Jangankan terima kasih, di telepon saja sudah susah.

Gabriel memang tidak bisa disalahkan, karena dia masihlah anak-anak. Namun orang tuanya mestinya lebih bijak lagi. Mestinya mereka sadar, bahwa ini hanyalah popularitas sesaat (apalagi Gabriel hanyalah juara tiga).

Mereka tak sadar, bahwa Gabriel hanyalah buah imperialisme pertunjukan idol. Sebuah ajang mengeruk keuntunagn dari bisnis SMS!

Apalagi popularitas yang didapat hanya dari SMS semata, bukan sebuah talent yang didapat berdasar kemampuan yang matang. Cobalah diamati, merapa banyak orang-orang yang berhasil di ajang SMS ini, hanya bertahan beberapa saat saja. Tak lama.

Janganjkan juara tiga, juara satu pun tak selalu mujur.

Sementara itu, penyelenggara akan terus memunculkan bintang-bintang karbitan baru. Jadilah bintang lama kian terkubur.

Di saat kontrak mulai pudar, ke manakah Gabriel melangkah? Jika belum apa-apa dia sudah melupakan masyarakat dan media yang mengenalkannya?

Seandainya seluruh penduduk dunia saling mengenal dengan baik, maka mereka tak akan membenci dan mengidolakan seseorang.


--------------
Foto: Gabriel diundang khusus di DPRD Batam

Jumat, 18 Juli 2008

Kisah dalam Sepotong Roti (1)

Kawanku punya perusahaan roti. Bentuknya sangat unik, satu kotak terdiri dari 12 potong. Masing-masing potong, diberi gambar wajah tokoh. Karakter para tokoh ini dipilih dengan cermat dan berdasarkan beberapa kreteria yang fair.

Karena bentuknya unik dan rasanya enak, maka saat pertama diluncurkan, roti ini mendapat respon baik dari masyarakat. Semua berlangganan. Namun seiring maraknya persaingan, akhir-akhir ini roti yang dikembangkan sebagai roti berlangganan itu, digerus jadi roti eceran.

Mestinya, pemasarannya menemukan cara-cara kreatif dalam mencari pelanggan. Kalau hanya kiat menampilkan wajah pembeli di tiap potong, asal mereka beli roti lebih sari satu, rasanya tak perlulah dibentuk departemen pemasaran segala.

Anak SD pun bisa jualan macam gini. Mudah saja, apalagi roti ini cukup punya nama, semua pasti ingin dimuat di dalamnya, no matter it takes!

Sepintas cara macam ini memang dapat mendongkrak penjualan roti tersebut, namun lihat saja, jumlah pencapaian ini ibarat gula-gula kapas yang dijual di pasar malam. Hanya mengembang karena angin, sama sekali tak mengenyangkan. Ibarat floating mass, dalam politik, sama sekali tak bisa dijadikan pijakan. Hanya jadi penggembira sesaat saja, bukan massa riil.

Yang belipun orang yang punya kepentingan saja, itupun tak dimakan. Sebab, mereka hanya ingin melihat, apakah wajahnya benar-benar tercetak di potong demi potong roti ini.

Dampak lain, hanya akan merusak kualitas roti itu sendiri. Tak lagi ada keinginan untuk memberikan yang terbaik di dalamnya, ujung-ujungnya konsumen juga yang rugi, beli roti ternyata isinya cuma pesanan orang..

Di lain sisi, ‘’orang miskin” akan mengutuk dan mengecap roti ini sebagai roti aji mumpung. Bahkan bisa jadi mereka nantinya akan bikin roti sendiri.

Kisah dalam Sepotong Roti (2)

Habis, tak mampu lagi dimasukkan di roti tersebut, bukan karena ketokohannya, namun karena tak mempu beli beberapa potong roti sebagai syarat agar wajahnya naik!

Dari sini tampak, bahwa tim-tim penggerak pabrik roti ini hanya berpikir bagaimana menyelematkan bokongnya saja dari deraan target, tanpa mau susah payah berpikir lebih jauh. ‘’Ah yang penting aman!”

Proses brain wash ini (entah disadari atau tidak, entah disengaja atau tidak) terus dilakukan ke jajaran koki roti tersebut, manakala tiap minggu selalu dibeberkan data bahwa ‘’Kalau paling depan gambarnya ini, angka penjualannya segini”, begitu terus.

Menurut saya data seperti ini sah-sah saja. Tapi ingat, pembeberan data yang salah kaprah semacam ini hanya kian melemahkan kinerja koki saja, dan mencuci otak mereka agar berpikir praktis layaknya roti eceran.

Nantinya bisa timbul pola pikir, bahwa jualan roti itu ya gambar depannya saja, jadi buat apa bikin isi di dalamnya yang lain bagus?! Sementara koki yang bertugas memoles gambar paling depan berpikir, ‘’Ah tak perlu isi, yang penting jual wajah saja!” Yang lain akan berpikir, ‘’Buat apa kita menggali dan mencari variasi baru?!”

Bahaya memang. Padahal variasi, ibarat perekat dalam menjaring pelanggan, sekali lagi pelanggan, bukan pengecer. Tak hanya itu, lama-lama roti ini akan ditandai konsumennya, ‘’Ah roti ini hanya polesan doang, rasanya amburadul!”

Data ‘’lebih dari 50 persen pembeli roti ini adalah pengecer”, mestinya dijadikan pemicu untuk menggali ide-ide baru dalam merekatkan pelanggan, bukan malah makin gila-gilaan menjadikan roti ini sebagai roti eceran. Roti murahan!

Menurut saya ini hanya adalah bukti kemalasan dan kemandekan sebuah ide. Jangan hanya karena kemalasan tim pemasaran mencari ide-ide baru dalam mengembangkan roti ini, malah jajaran koki dimanfaatkan dan idealismenya dikorbankan.

Memang kita harus berpikir pasar, tapi tentunya tidak mengorbankan siapapun. Ini adalah sebuah brain wash!


Setiap zaman selalu melahirkan para tiran, sesaat mereka berhasil, namun mereka selalu JATUH. Selalu!

Jumat, 11 Juli 2008

Asal Salat 5 Waktu

Nabi Muhammad SAW merupakan nabi terakhir yang diutuskan oleh Allah SWT untuk membimbing manusia ke arah jalan kebenaran. Tidak seperti umat nabi-nabi yang lain, umat nabi Muhammad telah diperintahkan untuk mengerjakan solat 5 waktu setiap hari. Ini merupakan kelebihan dan anugerah Allah SWT terhadap umat nabi Muhammad dimana solat tersebut akan memberikan perlindungan ketika di hari pembalasan kelak. Berikut diterangkan asal-usul bagaimana setiap solat mula dikerjakan.

Subuh:

Manusia pertama yang mengerjakan solat subuh ialah Nabi Adam a.s. iaitu ketika baginda keluar dari syurga lalu diturunkan ke bumi. Perkara pertama yang dilihatnya ialah kegelapan dan baginda berasa takut yang amat sangat. Apabila fajar subuh telah keluar, Nabi Adam a.s. pun bersembahyang dua rakaat.

Rakaat pertama: Tanda bersyukur kerana baginda terlepas dari kegelapan malam.
Rakaat kedua: Tanda bersyukur kerana siang telah menjelma.

Zohor:

Manusia pertama yang mengerjakan solat Zohor ialah Nabi Ibrahim a.s. iaitu tatkala Allah SWT telah memerintahkan padanya agar menyembelih anaknya Nabi Ismail a.s.. Seruan itu datang pada waktu tergelincir matahari, lalu sujudlah Nabi Ibrahim sebanyak empat rakaat.

Rakaat pertama: Tanda bersyukur bagi penebusan.
Rakaat kedua: Tanda bersyukur kerana dibukakan dukacitanya dan juga anaknya.
Rakaat ketiga: Tanda bersyukur dan memohon akan keredhaan Allah SWT.
Rakaat keempat: Tanda bersyukur kerana korbannya digantikan dengan tebusan kibas.

Asar:

Manusia pertama yang mengerjakan solat Asar ialah Nabi Yunus a.s. tatkala baginda dikeluarkan oleh Allah SWT dari perut ikan Nun. Ikan Nun telah memuntahkan Nabi Yunus di tepi pantai, sedang ketika itu telah masuk waktu Asar. Maka bersyukurlah Nabi Yunus lalu bersembahyang empat rakaat kerana baginda telah diselamatkan oleh Allah SWT daripada 4 kegelapan iaitu:

Rakaat pertama: Kelam dengan kesalahan.
Rakaat kedua: Kelam dengan air laut.
Rakaat ketiga: Kelam dengan malam.
Rakaat keempat: Kelam dengan perut ikan Nun.

Maghrib:

Manusia pertama yang mengerjakan solat Maghrib ialah Nabi Isa a.s. iaitu ketika baginda dikeluarkan oleh Allah SWT dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang waktu itu telah terbenamnya matahari. Bersyukur Nabi Isa, lalu bersembahyang tiga rakaat kerana diselamatkan dari kejahilan tersebut iaitu:

Rakaat pertama: Untuk menafikan ketuhanan selain daripada Allah yang Maha Esa.
Rakaat kedua: Untuk menafikan tuduhan dan juga tohmahan ke atas ibunya Siti Mariam yang telah dituduh melakukan perbuatan sumbang.
Rakaat ketiga: Untuk meyakinkan kaumnya bahawa Tuhan itu hanya satu iaitu Allah SWT semata-mata, tiada dua atau tiganya.

Isyak:

Manusia pertama yang mengerjakan solat Isyak ialah Nabi Musa a.s.. Pada ketika itu, Nabi Musa telah tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madyan, sedang dalam dadanya penuh dengan perasaan dukacita. Allah SWT menghilangkan semua perasaan dukacitanya itu pada waktu Isyak yang akhir. Lalu sembahyanglah Nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur.

Rakaat pertama: Tanda dukacita terhadap isterinya.
Rakaat kedua: Tanda dukacita terhadap saudaranya Nabi Harun.
Rakaat ketiga: Tanda dukacita terhadap Firaun.
Rakaat keempat: Tanda dukacita terhadap anak Firaun

Organisasi dan Target (1)

Seorang kawan yang bekerja sebagai personalia di perusahaan terkemuka, mengeluh melihat dari semua berkas lamaran kerja yang diterimanya, banyak yang tak memiliki pengalaman di organisasi. ‘’Payah. Emang kerja tak masuk organisasi apa!?,” gerutunya.

Sebenarnya, manusia sudah akrab dalam alam organisasi. Paling tidak dimulai di rumah. Namun, di sini aturan dan metode pengajarannya belum jelas. Hingga masuk sekolah, ada juga organisasi kepanduan hingga OSIS. Namun, lagi-lagi banyak yang malas terlibat.

Saat mahasiswa, apalagi. Banyak organisasi formal yang lebih bagus lagi. Namun, lagi-lagi banyak yang malas. Tak heran, saat kembali ke masyarakat, banyak mahasiswa yang sangat tidak siap. Apalagi dalam meretas dunia kerja, kian parah saja

Mungkin untuk menyiasati hal semacam inilah, pondok moderen kelas wahid di Indonesia, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, mewajibkan disiplin dan kepiawaian bersosialisasi dan organisasi kepada para santrinya. Hasilnya, banyak lulusan Gontor yang lebih siap jadi orang. Minimal opinion leader di lingkungannya sendiri.

Memiliki pengalaman organisasi memang bukan syarat mutlak untuk memperoleh pekerjaan, namun paling tidak bisa memberikan nilai plus bagi karyawan dan perusahaan itu sendiri.

Pasalnya, dunia kerja modern bukan hanya ajang mencari uang, juga disusun berdasar organisasi yang solid. Pengembangannya bermula dari konsep Alexander Agung saat pendirian Alexanderia.

Dalam organisasi selalu diajar disiplin, loyalitas, harmoni antara atasan, bawahan, sesame, dan masyarakat. Selain itu juga diajar bagaimana menjalankan dan membuat aturan, koordinasi, strategi, sosialisasi, hingga seni dalam memimpin.

Di organisasi diajarkan bagaimana kerjasama tim itu dibentuk dan dijalankan. Atasan di sini tak lain adalah bagian dari tim, artinya seorang bawahan bisa menegur atasan jika dia salah.

Di sini juga diajar bagaimana menghargai kewenangan masing-masing, sejauh mana jangkauan tugas, sehingga tak menimbulkan gesekan internal. Jadi tak mentang-mentang pimpinan, tanpa permisi bisa memotong kewenangan bawahan.

Organisasi dan Target (2)

Bahkan di organisasi semacam Muhammadiyah, juga diajar bagai mana individu selalu siap tampil di manapun dia berada. Lebih mudahnya begini, Muhammadiyah selalu mengajarkan jika tak ada imam, maka dia harus siap tampil ke depan. Intinya, tak bergantung kepada patron dan tokoh. Kapanpun diperlukan mampu mengambil keputusan.

Selain Muhammadiyah, saya rasa di semua organisasi baik spiritual material, maupun material spiritual pasti anggotanya diajar seni kepemimpinan ini. Paling tidak, berani berbicara (mengemukakan pendapat) di depan umum!

Kesadaran agar karyawan memiliki pengalaman berorganisasi sebenarnya sudah dilakukan beberapa CEO dan perusahaan besar di dunia. Kita lihat bagaimana konglomerat AS, Donald Trump di Apprentice selalu menekankan akan hal ini bagi para calon karyawannya. Hal ini juga sudah disadari di Indonesia.

Rekan saya, yang perusahaannya baru diakusisi oleh perusahaan asing berkisah, bagaimana bos barunya agak kelimpungan melihat karyawannya (orang Indonesia) kurang bisa berorganisasi.

Ini terjadi di perusahaan besar, bagaimana lagi di perusahaan kecil? Ini terjadi di Jakarta, bagaimana lagi di daerah? Pantaslah kadang mereka terseok-seok mengejar target!

Padahal, sekali lagi, dunia kerja modern bukan hanya ajang mencari uang, juga disusun berdasar organisasi yang solid!

Namun, masih kata rekan saya itu, tak ada kata terlambat untuk memulaianya. Saat ini, bos barunya terus menggiatkan cara bagaimana karyawannya terbiasa dengan organisasi. Maka mulailah dibuat program outbond, hingga mengirim jajaran manajerial AA Gym, di Daruttauhid. Di sana hanya diajar bagaimana berorganisasi dalam dunia kerja.

Selain itu, tiap tiga bulan sekali dilakukan feedback game artinya, si bawahan bebas mengkritik atasannya, atau sebaliknya. Permainannya seperti ini; biasanya ditentukan dulu siapa yang akan di-feedback, misalnya Pak A . Selanjutnya, karyawan menulis dalam secarik kertas sikap apa dari Pak A itu, yang tidak disukainya.

‘’Hasilnya cukup efektif. Ada manajer di kantor yang semula Kendal logat Bataknya, jadi hilang setelah di feedback,”kisah rekanku itu. Dengan demikian, komunikasi di perusahaan kian sehat.

Bagaimana di tempat Anda?

Carnaval Mall yang Hilang (1)

Carnaval Mall. Siapa yang tak kenal mall modern yang pertama kali berdiri di Batam Center ini. Dulu saat orang malas bermukim di Batam Center, mall ini sudah ada, meski terseok-seok mengalahkan sentra bisnis kejayaan Nagoya dan Jodoh, namun mall ini cukup berhasil menjadi magnet agar penduduk beralih dari dua kawasan tersebut.

Seperti diketahui, di awal-awal perkembangannya dulu sentra bisnis Batam hanya berada di Nagoya dan Jodoh. Di sini berdiri mall megah (kala itu) bernama Nagoya Lucky Plaza. Namanya diambil dari nama mall di Singapura.

Tak hanya itu, kantor pusat bank-bank besar juga berdiri di kawasan ini, seperti BCA (Jodoh) dan Bank Mandiri (Nagoya). Bahkan restoran cepat saji pun sekelas Mc Donald dan KFC, bermula dari sini.

Batam Center saat itu hanya didiami kantor Otorita Batam dan Pemko Batam. Gedung DPRD masih belum ada. Tak banyak orang mau bermukim di sini, sehingga tak heran Sijori Pos pada Desember 1999 menulis, beberapa perumahan sekelas Rosedale, Citra Batam, hingga Duta Mas yang kini menjadi perumahan elit, menjadi rumah ‘’hantu”, akibat tak ada yang membeli.

Terpusatnya sentra bisnis di Nagoya dan Jodoh, membuat penumpukan penduduk di kedua daerah itu. Hingga akhirnya, Otorita Batam memiliki gagasan untuk memindahkan ‘’kepala naga” tersebut ke Batam Center. Salah satunya dengan mendirikan mall, dan terakhir pelabuhan internasional.

Maka menjelmalah Carnavall Mall. Di lantai 3 mall ini, berdiam toko serba ada yang bernama My Mart. Akhirnya nama My Mart lebih lekat disebut, daripada Carnavall Mall itu sendiri.

Di awal 2000-an dulu, mall ini kerap menjadi ajang ngeceng anak-anak muda Batam, layaknya Lintas Melawai, di Jakarta . Tiap sore di pelataran parkirnya, sering ada atraksi sekumpulan anak muda ber skate board hingga basket.

Masuk ke dalam, udara dingin AC central dan alunan m,usik top 40 kala itu langsung menyergap. Di hall mall ini terdapat mesin ATM BII, berdiri gerai-gerai kerajinan tangan hingga agen talent yang katanya mampu mengorbitkan menjadi artis ibukota. Di sebelahnya ada wahana permainan anak-anak, dan kafe.

Carnaval Mall yang Hilang (2)

Di sini ada toko buku dan stationary yang paling ternal saat itu bernama Kharisma, berdekatan dengan penjual CD bajakan terbesar di Batam. Di belakang, masih di lantai I, bermacam toko busana berjejer. Yang paling dikenal adalah Topposh.

‘’Topposh ini, berarti busana yang kerap dipakai orang ngetop,” jelas manajer tokonya, saat saya bertanya apa artinya kala itu.

Di lantai dua juga tak kalah riuh. Di sini juga ada kafe. Letaknya persis di atas hall. Sehingga orang yang kongkow di sini bisa melihat pemandangan di bawah. Selain itu, pedagang elektronik ada dan semacamnya, mulai AC, mesin cuci, hingga komputer. Bahkan, Galeria Matahari juga buka di sini.

Di lantai ini juga ada wahana permainan komedi putar dengan kuta warna warninya, letaknya menjorok di balkon mall. Melihat dari letaknya, memang didesain demikian. Mungkin untuk menegaskan bahwa mall ini juga memadukan unsure karnaval. Maka itulah, namanya Carnavall Mall.

Naik ke lantai tiga, ada ruang semacam aula yang luas, yang kerap menggelar iven festival musik remaja hingga kadang konferensi.

Pokoknya riuh rendah.

Namun, semua keriuhan itu kini tak terdengar lagi. Kemarin, saya mengunjungi mall ini suasanya sudah jauh berubah. Tak ada lagi udara dingin, karena AC-nya sudah dimatikan. Tangga berjalannya sudah mati, sementara lantai 2 dan 3 sudah kosong.

Tak ada lagi keriuhan anak-anak muda ngeceng atau main band. Tak ada lagi dijumpai riauhrendahnya tawa anak-anak bermain di komedi putar, sementara ibu-ibu lain sibuk antre giliran.

Tak hanya itu, gerai-gerainya busana sudah hengkang berganti gerai komputer. Semuanya komputer, mulai bekas hingga baru, mulai menjual hingga reparasi.

Semua tenan kini telah hengkang ke mall yang lebih besar dan lebih moderen, semacam Mega Mall, Nagoya Hill hingga BCS.

Untuk bersaing dengan para raksasa itu, pengelola tentu tak mampu. Untuk itu, mall ini kini berubah bentuk dengan menghususkan diri pada penjualan komputer.

Saat saya berkunjung ke sana kemarin, ada orang Padang menawar computer untuk anaknya di kampung. ‘’Di sini lebih murah daripada di Padang,” jelasnya.

---------
Carnavall Mall akhirnya hangus dilalap api. Selengkapnya klik http://rizafahlevi.blogspot.com/2008/10/carnavall-mall-hangus-hang-fm-hancur.html

Kampung Belian yang Terbeli

Kurang satu kilo meter dari gedung Pemko Batam nan megah, terhampar kampung tua bernama Kampung Belian.

Sebutan itu bermula pada zaman dulu, di kampong tersebut banyak buah durian. Penduduk setempat menyebut ‘’derian”. Lama kelamaan, kata ‘’derian” berubah menjadi ‘’belian”.

Sejarahnya, kampong ini telah ada jauh sebelum peradaban di Batam di bangun. Tepatnya masa kejayaan Kerajaan Riau Lingga yang berpusat di Penyengat (kini masuk wilayah Kota Tanjungpinang).

Hal ini dibuktikan, dengan kuburan orang-orang yang konon memiliki kekerabatan dengan raja-diraja Penyengat. Lokasi makam tersebut sekitar 20 meteran darti pintu gerbang Kampung Belian.

Hingga kini pemakan tersebut dijaga dan dihormati oleh penduduk setempat. Mereka memanggilnya dengan ‘’keramat”. Konon banyak orang yang punya hajat, sering nyekar ke makam tersebut.

Kampung Belian ini sempat hilang, namun kini muncul kembali. Di masa kejayaan Otorita Batam, sekitar tahun 1992 kampung ini pernah digusur paksa oleh sepasukan Brimob dengan alat-alat berat. Warga pun kocar-kacir pindah entah di mana. Bahkan ada yang bermukim di hutan bakau.

Hingga tahun 1998, di era-era reformasi, warga yang tergusur kembali menempati kampung ini. Hingga akhirnya, sekitar tahun 2002, Wali Kota Batam kala itu, Nyat Kadir menetapkan Kampung Belian sebagai kampung tua. Artinya, status tanah di kampong ini diakui pemerintah daerah.

Setelah Nyat Lengser, Kampung Belian ini kian tak terurus. Meski berada di dekat kantor wali kota, namun kondisinya memprihatinkan. Selain tak tersentuh air bersih, infrastruktur menuju ke sana sangat minim. Jalannya masih tanah, tanpa lampu jalan.

Jika malam menjelang, maka jalan menuju kampung ini bagaikan menuju daerah terpencil di tengah hutan. Gelap gulita dan rawan tindak kejahatan. Padahal kampong ini letaknya kurang 1 kilo saja dari pusat kota Batam.

Karena hal inilah, sesepuh kampung tersebut Selasa lalu, sempat mengeluh tentang nasibnya yang diterlantarkan. ‘’Kami bingung Pak, malah kampong yang jauh di Nongsa yang diaspal,” sebutnya.

''Ya maklum saja, sebab di sana kampong Wali Kota (Ahmad Dahlan),” sindirnya.

Senin, 07 Juli 2008

PKB Kepri Goyah


Konflik antara kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar membuat jajaran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kepri, guncang.

Dimulai dari kabar hengkangnya Ketua DPW PKB Kepri Nyat Kadir, hingga membelotnya Petinggi PKB Batam ke kubu Muhaimin.

Soal pembelotan ini, kabarnya dipergoki Nyat Kadir sendiri. Saat itu, Nyat yang tengah menginap di sebuah hotel di Jakarta, melihat petinggi PKB Batam itu di hotel yang sama tengah melakukan pertemuan rahasia dengan orang-orang kubu Muhaimin.

''Lho ngapaian di sini?'' tanya Nyat, saat itu. Saksi mata mengaku, saat itu lelaki tersebut dikabarkan langsung salah tingkah.

Tak hanya itu, di Batam sendiri petinggi PKB Batam itu dikabarkan akan mendongkel Ketua Dewan penasihat PKB Abdul Basith Has, dengan cara mempengaruhi orang-orang Basith untuk bergabung dengannya. Hampir tiap hari dia membuat pertemuan rahasia.

Tentu saja, langkahnya tak berjalan mulus. Loyalis Basith terlalu kuat. Bahkan akibat semua ini, malah dikabarkan petinggi PKB Batam itu tengah kehilangan kepercayaan dari warga PKB Batam.

Gajah bertarung, pelanduk terjepit. Kader akar rumput partai "bintang sembilan" itu pun ikut terseret. Mereka terus mempertanyakan kebenaran akan semua ini. Jika tak ditangani dengan baik, maka dapat mengancam kesolidan partai kaum Nahdliyin itu.

Saat ditanya soal kasus Rudi yang hendak membelot ke kubu Muhaimin, Nyat tak membantah juga tak mengiyakan. Menurutnya, semua itu terjadi akibat kecemasan sang kader akan situasi di pusat.

Hal ini terus memuncak, manakala banyak analisa yang menyebut jika Gus Dur menang Muhaimin hancur, atau jika Muhaimin menang Gusdur tergusur.

Persepsi ini terus dikembangkan pihak-pihak tertentu, sehingga ada kader PKB di Kepri yang tak memahami masalah ini mulai panik lalu coba membuat manuver semisal bergabung ke kubu Muhaimin.

Menurut Nyat, mestinya hal itu tak perlu dilakukan, sebab kenyataannya Gus Dur dan Muhaimin tetaplah satu. Seperti diketahui, setelah pecah konflik di Dewan Pimpinan Pusat antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, DPW PKB Kepri secara bulat tetap menjadi "makmum" Gus Dur.

Mantan Wali Kota Batam ini melanjutkan, yang jadi masalah dari semua ini adalah hasil keputusan muktamar luar biasa di mana masing-masing kubu membentuk formasi baru, usai penghentian Muhaimin sebagai ketua DPP. Di luar itu, tak masalah PKB tetap satu.

Lalu bagaimana soal kabar dirinya yang hendak menyebrang ke PAN?

"Adinda, sekali lagi saya minta tolong luruskan berita ini. Sekali lagi, tak benar saya akan hijrah ke partai lain!" tegas Nyat Kadir.

Bantahan ini lagi dan lagi dia lakukan, karena rumor ini menyebabkan kadaer-kadaernya resah. Namun dia mengakui, sebelum keputusan PN Jaksel yang memenangkan kubu Muhaimin pada 30 Juni lalu, memang ada partai yang mencoba mendekatinya. Namun, pendekatan tersebut belum formal.

Menurutnya, menjelang pencalonan anggota legislatif yang dimulai 5 Agustus nanti, wajar saja ada partai politik mendekati para tokoh yang dipandang bisa mendulang suara di pemilu nanti.

Yang jelas, saat ini kader PKB sedang menunggu keputusan DPP PKB, apakah melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung atau memilih islah. Apapun keputusannya, kader PKB Kepri akan ikut. "Kalau DPP bilang islah, ya semuanya harus ikut, demi kejayaan PKB," ujarnya.
----------
Foto: Nyat Kadir

Buah Merah dari Papua



Pagi tadi, seorang rekan dari Papua bertandang. Oh, rupanya dia membawakan oleh-oleh yang aku pesan, buah merah.

Seperti diketahui, khasiat buah merah papua sudah lama dikenal bisa menyembuhkan penyakit, mulai darah tinggi, kolesterol, kangker bahkan AIDS.

”Ini pesananmu,” katanya menyodorkan beberapa botol minuman enersi Kratingdaeng.
Sayapun kaget. Sebab, sejak awal bayangan saya ya buah. Namanya juga buah merah.

”Ini sudah dijadikan saripati. Habis, siapa yang mau bawa gedenya aja segini!” jelasnya, sembari membentangkan tangannya sepanjang satu meter.

Sayapun mengambil sari pati buah ajaib yang dikemas dalam botol kratingdang itu. Botolnya memang daur ulang, namun labelnya sudah diganti. Bahkan sudah disegel dengan baik.

Di label itu tertulis siapa yang memproduksi, rupanya orang Jawa. ”Ya, di Papua kotanya memang banyak orang Jawa,” jelasnya. Oh, mungkin ini akibat pemerataan penduduk di era Orde Baru yang dikenal dengan Transmigrasi itu.

Dulu, untuk mengurangi ledakan penduduk di Jawa, pemerintah mengadakan program transmigrasi dengan mengirim warga Jawa ke pulau-pulau besar di Indonesia. Di daerah baru itu, mereka diberikan tempat tingal dan dibukakan lahan.

Tak heran, program ini juga diplesetkan dengan istilah ”Jawanisasi”. Kini, banyak lahan baru tersebut menjadi kota yang maju.

Selain keterangan produksi tadi, di botol tersebut tercantum kandungan nutrisi, izin depkes, dan aturan pakai. ”Cukup dua sendok makan sehari,” jelasnya. Tak hanya itu, juga disebut kegunaannya, seperti yang sudah dikenal selama ini.

Yang menarik, juga ditempel gambar buah merah itu sendiri. Lagi-lagi bayangan saya keliru. Semula saya pikir, buah merah itu bentuknya bulat. Mirip, buah merah yang ada di Bawean, Jawa Timur, tempat saya lahir.

Ternyata bentuknya memanjang mirip ubi kayu namun lebih panjang. Semua tongkolnya dipenuhi biji, pokoknya mirip jagung lah, cuma ukurannya besar. Tak heran rekan saya tadi sampai mengaku kesulitan membawanya di pesawat. Warnanya, tentu saja; merah. ”Satu botol ini merupakan sari pati dari beberapa buah merah. Kalau hanya satu batang saja tak cukup,” jelasnya.

Cukup soal penjelasan ini. Sekarang saatnya mencoba. Setelah segel saya buka, lalu isinya dituang ke sendok makan. Cairannya berwarna merah, semerah darah pekat.

”Bismillahirrahmanirrahim... gluk... gluk... Blieeeehhh...” rasanya mirip makan tanah dicampur oli (ini hanya istilah saya saja, sebab seumur hidup belum pernah saya memakan tanah campur oli, he he).

Pokoknya rasanya berminyak. Pantas saja, di labelnya dipasang anjuran sebelum dan sesudah meminum obat ini, haruslah minum air putih.

''Ya memang sari pati buah merah itu berminyak,'' jelasnya.

Sayapun penasaran, lalu mengambil setetes di ujung jari. Selanjutnya, saya usap-usap. Ternyata teksturnya memang berminyak dan lengket.

Selanjutnya saya cuci dengan air. Apa yang terjadi? Seluruh tangan saya penuh dengan warna merah. Saya basuh lagi, masih ada hingga bilasan terakhir yang tersisa warna kekuningan dan hilang.

Lalu, bagaimana hasilnya? Tak lama saya mengantuk. Hingga dua jam berlalu, sekitar pukul 12.00-an saya terbangun oleh telepon saudara di Perth.

Saat itulah, saya rasa kok tidur kali ini amatlah berkualitas. Mantap rasanya, capek-capek pun hilang.

Pantas saja, sebotol kecil ekstrak buah merah ini di Papua di bandrol Rp150 ribu!
--------------
Foto: Perdagangan buah merah di Papua

Sarang Semut dari Papua


Biar nyambung, sebelum membaca posting ini jangan lupa baca Buah Merah dari Papua dulu.

Selain membawa buah merah, rekan saya ini juga membawa satu dus kecil sarang semut. Apa lagi ya?

Setelah malam menjelang, sekitar pukul 19.00 WIB, saya membukanya. Ternyata isinya mirip jamur yang sudah kering, warnanya kecoklatan. Sepintas, kepingannya mirip telinga manusia.

”Ini adalah parasit yang tumbuh di pohon di pedalaman papua,” jelas rekan saya tadi.

Berbeda dengan ekstrak buah merah tadi, untuk mendapat khasiatnya kita harus merebusnya, setelah sebelumnya dijemur hingga kering. ”Khasiatnya juga sama dengan buah merah,” jelasnya.

Selanjutnya saya coba mengambil dua keping sarang semut dengan dua gelas air. Setelah mendidih, airnya mulai kecoklatan, mirip teh Cina. Selanjutnya, satu gelas saya minum. ”Bismillahirrahmanirrahim...” gluk, gluk, gluk...

Kali ini rasanya mirip tanah dan sedikit bau apak. ''Usai minum ini, biasanya akan sering buang air kecil,'' ujar rekan saya tadi.

Selanjutnya dia menerangkan, khasiat sarang semut ini akan terus ada selama saat direbus airnya masih berwarna coklat.

”Biar tak capak, rebus saja dalam jumlah banyak, lalu simpan di kulkas. Rasanya akan lebih enak,” jelasnya.

Selanjutnya, khasiat ramuan ini mulai bekerja. Sayapun tak kuasa menahan kantuk. Hingga pukul 20.00 saya terbangun. Wah, rasanya lebih enak, tak kalah dengan ekstrak buah merah. Tapi penggunaannya, lebih hemat, asal kuat merebusnya saja.
--------------
Foto: Tumbuhan sarang semut, saat masih utuh.

Jumat, 04 Juli 2008

Aku Orang Batam (1)


Baru-baru ini saya bersua dengan kawan lama yang kini telah menjadi pejabat teras di sebuah perusahaan di Batam. Bertempat di sebuah kedai empek-empek, makanan khas Palembang, perbincangan hangatpun langsung terjadi.

Dia agak resah melihat warga Batam, masih membanggakan daerah asalnya. Padahal mereka mencari nafkah di sini.

”Mestinya mereka harus bisa melepas identitas lamanya itu, mengganti dengan identitas Batam,” bebernya.

Sekadar diketahui, kawan saya ini adalah pendatang. Namun sudah menetap di Batam.
Lapat-lapat saya bisa menangkap apa yang menjadi masalahnya adalah; identitas Batam belumlah diakui oleh warganya sendiri. Apa iya?

Sedikit mengurai, Batam adalah daerah orang-orang Melayu. Namun berbeda dengan Tanjungpinang, yang sudah ada sejak kejayaan kerajaan Riau Lingga dulu, Batam baru dikembangkan. Baru saja.

Pemkonya saja baru terbentuk awal 2001 lalu. Warga di sini, mayoritas adalah pendatang yang terdiri dari suku Jawa, Batak, Padang, Palembang bahkan Melayu itu sendiri.

Karenanya meski tak juga dibenarkan, wajar saja jika pendatang kurang menerima identitas daerah ini. Mereka masih memegang teguh adat dari daerahnya masing-masing.

Sebelum dikembangkan jadi kawasan industri, pulau Batam merupakan kelurahan dari Kecamatan Belakang Padang. Di pedalaman, tanahnya tandus berboksit. Namun lautnya, memiliki kekayaan yang luar biasa. Karena itulah mengapa warga asli Batam banyak yang berdiam di pesisir dari pada di pedalaman.

Hingga pada suatu ketika, tahun 1976 Batam dibuka sebagai daerah industri baru. Mulailah, pulau ini menjadi serbuan warga dari luar. Apalagi kabarnya, dulu untuk menarik warga bermukim di Batam, Otorita sempat membikin iklan di media massa nasional.
---------------
foto: Arus masuk pendatang ke kota Batam, memadati pelabuhan

Aku Orang Batam (2)


Waktu bergulir, Batam kian terbuka, lahan pekerjaan kian lapang, cari uang kian gampang. Dulu di tahun 2000-an, pendapatan pengojek di sini setara dengan gaji supervisor di perusahaan. Apalagi pendapatan yang lain tentu kian besar.

Maka, kian deraslah serbuan pendatang. Saking kuatnya, sampai-sampai Wali Kota Batam Nyat Kadir harus membuat perda soal pembatasan penduduk yang disosialisasikan hingga ke Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Namun, pendatang tetap deras.

Para pendatang inilah, lambat laun mewarnai Batam dengan budayanya masing-masing. Termasuk masakan, dan tingkah laku. Tak heran jika saat ini, di Batam masih terjadi polarisasi budaya antar suku-suku yang ada. Yang Batak dengan ke batakannya, yang Jawa dengan ke jawaannya. Begitu seterusnya.

Namun berkaca pada pola akulturasi budaya di daerah-daerah lain di Indonesia bahkan di dunia, dari semua polarisasi ini akan menimbulkan akulturasi. Mereka semua akan melebur, membentuk sebuah tatanan budaya baru; budaya Batam.

Meski demikian, bukan berarti budaya yang mereka bawa dari kampung halaman itu hilang, paling tidak masih terlihat pada saat prosesi penting semacam pernikahan.

Semua ini akan terjadi penyesuaian menuju peradaban baru. Namanya juga ''peradaban'' yang beradab akan diambil, yang tidak akan dibuang. Hasilnya, sebuah adat baru akan muncul, yakni adat khas Batam yang merupakan sari pati dari keragaman itu sendiri.

Bisa jadi, orang Batam akan sangat patuh kepada orang tuanya, merunut pada budaya kaum Tionghoa. Orang Batam akan teguh memegang harga dirinya, merujuk pada budaya siri suku Bugis.

Orang Batam juga akan santun pada sesama dan ulet bekerja, merujuk pada budaya Jawa dan orang Batam suka terus terang merujuk pada adat Batak. Semua ini dibalut indah dengan budaya asli, budaya Melayu.

Tentunya, Melayu yang umum. Melayu Khas Kepulauan Riau, bukan Melayu batam apalagi Riau daratan. Kenapa demikian? Karena Melayu itu sangat beragam, baik bahasa dan adatnya. Jangankan dengan Melayu di Riau daratan, Melayu di Batam ini saja sangat banyak ragamnya.

Contoh akulturasi budaya seperti ini juga terjadi di Pulau Bawean, Jawa Timur. Belasan abad lalu, pulau ini bernama Majadi, kerajaan kecil beragama Hindu. Hingga akhirnya Raja Sumenep, Madura bernama Cakraningrat menguasainya.

Melalui orang kepercayaannya bernama Umar Masud, Kerajaan Sumenep menyebarkan agama Islam dan kebudayaan lain. Bahasa yang digunakan, tentu saja bahasa Madura.

-------
Foto: Generasi baru yang lahir di Batam. Orang tua mereka adalah pendatang.

Aku Orang Batam (3)


Dari sini, peradaban baru berkembang, peradaban Islam dan Bahasa Madura Sumenep, menjadi bahasa baru di Pulau Bawean hingga saat ini. Sedangkan bahasa lama sudah hilang.

Tak hanya itu, suku Bugis Mandar juga kerap mencari ikan di daerah ini dan kemudian menetap. Mereka pun ikut menyebarkan adat dan budayanya. Sementara warga Bawean yang kerap merantau ke Semenanjung Malaka, membawa pulang budaya dari negeri itu. Tak hanya itu, warga Palembang yang merajai perdagangan di pulai ini pada Zaman Belanda, ikut memberikan sumbangsih budayanya.

Semua ini menimbulkan budaya baru, akulturasi baru, hingga jadilah warga Bawean berbahasa Madura dan beradat Melayu. Sopan-santunnya dari Jawa. Di Pulau ini, juga keturunan orang Bugis memiliki ritus tersendiri saat menikahkan anaknya. Namun, orang Bawean tak mau disebut orang Madura, meski berbahasa Sumenep.

Bukankah ini juga yang terjadi di New York? Dulu kota didirikan oleh para pendatang dari Eropa. Sama seperti Batam, mula awalnya dulu timbul polarisasi budaya bahkan gesekan kuat antara orang dari suku bangsa A dengan suku bangsa B, persis saat Batam pertama didirikan dulu.

Namun, semua ini akhirnya melebur. Kini orang New York memiliki identitras budaya baru, budaya moderen dan bisnis. Hal serupa juga terjadi di Jakarta dan kota-kota leburan lain.

Lalu, kapan itu terjadi di Batam? Saat ini sebenarnya sudah tampak, meski masih samar dan kecil. Ya, paling tidak kita bisa melihat bagaimana orang Batam di perkotaan yang selalu menyelipkan kata-kata asing dalam aksen bicara khas Jakartanya. Jadi itulah Batam.

Yang paling bisa dirasakan, jika kita jalan-jalan di Tunjungan Plaza Surabaya. Di salah satu gerai mall terbesar di Jawa Timur itu, kita akan melihat restoran yang bagga menulis ”Ayam Penyet Khas Batam”. Padahal, di sana adalah markasnya ayam penyet.

Jadi apakah ini bukan identitas? Lalu akulturasi yang mana lagi yang belum terjadi? Kebanggaan dan identitas yang mana lagi yang belum diakui?

Jadi, selain dari perhitungan bisnis, bukan berarti penjual soto Madura di Batam masih membanggakan kedaerahannya. Karena jika ini nantinya terkenal, akan menjadi bakal identitas baru bagi Batam. Demikian juga yang lain.

Toh di Medan masih ada bika Ambon yang kini menjadi identitas, bahkan oleh-oleh khas daerah tersebut. Padahal, di Ambon sendiri belumlah tentu ada.

Berdirinya sebuah peradaban baru, bukan berarti menggerus habis peradaban yang lama dan peradaban pendatang itu sendiri. Yang lama tetap ada, namun diperkaya oleh pendatang. Namun bukan ada jaminan juga yang lama itu akan bertahan lama.

----------------
Foto: Tari persembahan, khas Melayu, kerap dipentaskan pada saat pembukaan sebuah acara. Inilah Batam.

Rabu, 02 Juli 2008

Penguasa, Beri Kami Air! (1)



Selasa malam, sekitar pukul 19.30, saya diundang warga RT 18 Kelurahan Batu Merah. Mereka ingin berbagi ”derita” tentang apa yang dialaminya selama ini. Bayangkan sejak Batam berdiri mereka belum mencicipi aliran air bersih.

Diskusi dilangsungkan di halaman rumah penduduk, di bawah pohon meranggi yang bersanding dengan satu batam pohon kelapa. Di tanah seluas 5 x 5 meter tersebut, di jejer dua meja panjang berbentuk ”L” dan beberapa kursi plastik, aneka bentuk dan warna.

”Tenang saja Pak, buahnya tak akan jatuh. Tadi sore sudah kami bersihkan,” jelas salah seorang pemuda, saat saya mulai khawatir kejatuhan buah kelapa. Maklum, posisi duduk saya persis di bawah pohon kelapa. Spontan saya tengadah. ternyata benar, buahnya sudah bersih.

Hingga akhirnya setelah semua berkumpul, Aminuddin, Ketua Karangtaruna setempat membuka acara. ”Terima kasih Pak. Sebenarnya kami ingin mengadukan masalah air,” jelas pemuda brewok ini.

Penampilannya malam itu cukup sangar, dengan t shirt bermotif Formula 1 dan sebuah kalung berbentuk tasbih dibiarkan keluar. Sepintas mirip bintang The A Team, Mr T.

Di sebelahnya duduk ketua RW Asanuddin, dan beberapa pemuda lain. Saking berjubelnya, kursi sampai penuh. Sehingga sisanya ada yang berdiri, atau duduk di beranda rumah yang dekat dengan lokasi diskusi.

Aminuddin melanjutkan, sudah lama warga di sini mendambakan air dari ATB. Namun, hal tersebut belum juga terealisasi. Calon kepala daerah, baik wali kota hingga gubernur, kerap datang menebar janji. Namun setelah terpilih, mereka seolah lupa. Begitu terus.

Sebenarnya hal ini telah mereka sampaikan ke ATB. Namun, satu-satunya perusahaan air di Batam itu, meminta kejelasan status tanah mereka dari Otorita Batam.

Setelah hal ini mereka tanya ke OB, jawaban mereka malah melempar kembali ke AB. ”Status tanah kan sudah ada. Minta aja rekomendasi dari ATB,” jelas Aminuddin, menirukan pejabat OB.

Lalu, dari mana mereka mencukupi kebutuhan air selama ini? ”Warga banyak membuat sumor bor, Pak. Tapi airnya cetek, apalagi di saat musim kemarau begini,” jelasnya.

Sedikit diskripsi, Kelurahan Batu Merah berada di tubir pantai. Pertama sebagian besar warganya berdiam di rumah-rumah yang didirikan di atas laut yang disebut pelantar. Untuk menghubukannya, warga membuat jembatan bambu sebagai gang.

Kampung ini rawan dari puting beliung dan gelombang pasang. Bencana terhebat terjadi Desember 1999. Saat itu, ombak besar menggulung ratusan rumah di pelantar.

Kembali ke sumur bor tadi. Agar airnya tak asin, warga harus membuatnya agak jauh ke dalam. Saya pun meminta melihat sumur bor itu. Seorang pemuda bernama Raja langsung mengantar ke sebuah posyandu, sekitar 100 meter dari lokasi diskusi atau 200 meter dari bibir pantai, di sana saya melihat ada tiga buah sumur bor.

Penasaran, sayapun melongokkan kepala ke salah satu sumur bor tadi. Lembap dan gelap. Raja tadi langsung mengambil inisiatif, membuat penerangan dari lampu ponselnya.
-------------
Keterangan Foto: Suasana saat diskusi (atas). Warga yang tak kebagian kursi terpaksa berdiri (bawah).

Penguasa, Beri Kami Air! (2)



Ternyata dalamnya kurang 10 meter, sementara dinding pembatasnya dibangun setinggi 1 meter dari permukaan tanah. Sumur tersebut dibiarkan tanpa tutup.

Di tengah keremangan malam itu, saya melihat bayangan bulan di permukaan airnya yang tinggal sedikit. Tak sampai 10 centi saja.

Seorang wanita paruh baya tiba-tiba keluar dari Posyandu. ”Ada apa ini?” Si pemuda pun langsung menjelaskan kedatngan saya. ”Oh... Ya beginilah Pak. Pejabat-pejabat itu hanya janji-janji saja. Begitu terpilih langsung lupa,” keluhnya.

Akhirnya saya kembali lagi ke tempat diskusi.

Sesampainya di sana, saya bertanya. Selain sumur bor, dari mana warga mendapat air. ”ATB telah membangunkan kami sebuah kios air,” katanya, sembari menunjuk kontainer putih di seberang jalan. Penasaran saya memeriksa.

Saya lihat, di sisi bawahnya banyak tersambung pipa PVC dan di sisi depan kontainer tersebut tertulis, ”Kios Air ATB”.

Kios air ini dikelola oleh rekanan ATB, tak jelas bagaimana regulasinya. Yang mendapat kepercayaan tersebut bernama Bu Ratna, tinggalnya di ujung jalan masuk ke Batumerah, dekat terminal taksi.

Dari kios ini, air dicurahkan. ATB hanya mematok harga Rp3.500 pertong. Namun selanjutnya terserah pada pengelola mau menjual berapa.

Teknisnya, jika ada warga yang berminat, maka Bu Ratna akan mengalirkan dengan selang dari kios ini. Makin jauh letak rumah dari kios, makin besar juga biayanya. Ada yang kena Rp4 ribu, bahkan Rp7.500 pertong.

Setelah BBM naik, maka harga ini kian menanjak lagi. ”Dari mana kami bayarnya. Sebab, kadang dalam sehari kami menghabiskan tiga tong,” keluh mereka.

Warga mengkalkulasi, jika dirata-ratakan dalam sehari dua tong, dengan harga Rp5.000 pertong, maka dalam sebulan bisa mencapai Rp300 ribu. Ini untuk beli air saja. Belum lagi biaya hidup yang lain. Padahal pelanggan ATB kalangan rumah tangga kecil, paling banter hanya Rp60 ribu saja perbulan.

Lebih miris lagi, saat mereka melihat kampung mereka digali untuk pipa ATB menuju Sengkuang. ”Ini jelas tak adil. Masak Sengkuang yang baru saja ada, langsung bisa dialiri ATB, sedangkan kampung kami tidak?!” ujar Raja.

''Kami sudah lelah Pak. Pokoknya kalau sampai air ATB tak juga mengalir ke tempat kami, maka pipa ini akan kami bongkar! ” ancam mereka, yang disambut semangat dari warga lainnya. ”Kami sudah bosan janji-janji, tapi kami tak ingin demo,” sambungnya.

--------
Foto: Ibu-ibu yang ikut hadir dalam duiskusi. Dari kanan: Nur, Karlina, penjual kue, dan Umiyati. Foto kiri, kios air ATB.

Penguasa, Beri Kami Air! (3)


Sebelum terlanjur parah, saya pun meng SMS Humas ATB Adang Gumilar. Tak lama, Adang menelepon lalu saya tawarkan berbicara langsung dengan warga. ''Bapak harus menjelaskan di hadapan warga!'' Diapun setuju.

Ponsel saya alihkan ke speaker. beberapa pertanyaan meluncur dari saya, warga pun hening dan menyimak. ”Intinya memang ATB hanya meminta kejelasan status lahan saja,” jelas Adang.

Sekitar setengah jam, komunikasi dengan Adang berlangsung. Setelah ditutup, aaya pun lalu meminta agar mereka kembali menanyakan hal ini ke OB dulu, selanjutnya baru bertindak. Wargapun setuju. Kini mereka balik menyalahkan OB.

Dalam diskusi tersebut saya juga meminta agar dihadirkan ibu-ibu rumah tangga. Sebab, merklalah yang paham langsung bagaimana repotnya ngurus rumah di tengah krisis air ini.

Tak lama, empat orang ibu-ibu hadir. Ada Nur, ibu rumah tangga murni, Hermiati ada pedagang ikan, ada juga yang jualan nasi. Semuanya usia paruh baya. Hanya satu yang masih kepala tiga, namanya Karlina.

Berbeda dengan tiga ibu-ibu itu, yang hanya tampil dengan busana khas (kerudung, kaos, dan sarung lusuh), karlina tampil modis dengan rambut direbonding sebahu.

Setelah memperkenalkan diri, saya meminta mereka menceritakan tentang bagaimana trik dan tips mengelola air. Ibu Nur mulai angkat bicara. ”Wah susah Pak, kadang anak kami sampai tukaran untuk memperebutkan air ini,” jelasnya diselingi senyum mengambang.

Hermiati lain lagi, dia mengeluhkan betapa susahnya jual ikan tanpa air bersih. ”Masak mau dicuci dengan iar asin,“ jelasnya.

Sedangkan pedangan makanan, susah dimintai keterangannya. ”Pak, kalau bertanya agak keras ya. Dia agak kurang dengar,” jelas seorang pemuda, sembari menunjuk telinganya, mengisyaratkan tuli.

Yang menarik saat Karlina berbicara. Dia berkisah tips mandi hemat. ”Caranya, satu orang satu ember. Dua gayung kali siraman pertama, lalu sabun, sisanya untuk bilas,” jelasnya. Satu ember yang dimaksud, seukuran tempat cat 5 kilo.

Yang bikin senewen saat datang bulan. ”saat itu kanj perlu banyak air Pak. Jadi rasanya kurang bersih,” jelasnya.

----------
Foto: Raja (kiri) saat wawancara via telepon dengan Adang Gumilar

Selasa, 01 Juli 2008

Ketua dan Panutan

Secara etimologis ”panutan” berasal dari kata ”anut”, kalimat pendek yang mengandung pengertian bersih, bisa dicontoh, dipercaya, bahkan diimani. Orang yang mencontoh dan mempercayai disebut penganut.

Panutan memang harus ada dalam kehidupan, sebab dalam keseharian, manusia memang memerlukan patron yang tujuannya untuk memelihara sebuah tatanan.

Lalu apa bedanya dengan ketua? Sama saja, sebagai orang yang bisa dicontoh dan kata-katanya diikuti. Badanya, ketua tak selamanya orang yang bersih, bisa dipercaya, apalagi harus diimani. Lihat saja, dalam organisasi mafia juga ada ketuanya kan?

Selain itu, ketua biasanya terkait pada pekerjaan teknis. Karenanya sebutannya bermacam-macam, bisa pimpinan, manajer, kepala dan lain-lain. Wilayahnya sudah jelas, hanya pada dimensi raga dan duniawi.

Sedangkan wilayah panutan, selalu berkutat pada rohani dan akhirat. Dan penyebutannya pun tidak banyak, umumnya dikenal sebagai imam, atau clerik. Dari uraian ini, tak heran timbul ungkapan bahwa ketua belum tentu panutan, tapi panutan umumnya adalah ketua.

Selain itu, setiap panutan tak selalu berpikir menjadi ketua dan semacamnya, karena tanpa harus menunjukkan diri, orang sudah mengakuinya.

Namun ketua selalu ingin menjadi panutan. Tak heran, banyak di antara mereka yang terkadang bersusah payah agar bisa menggapainya.

Seorang kawan bercerita, ada seorang ketuanya saat di depan para stafnya selalu jaga image alias jaim bahkan ingin tampak memiliki wibawa.

Misalnya, saat berpapasan mukanya selalu dipasang masam, saat pertemuan selalu telat biar kelihatan bahwa kedatangannya ditunggu. Bahkan kalau berbicara seolah menjadi pembela. Padahal aslinya tidak seperti itu.

Ada juga yang seperti ini; ingin dilihat bahwa dia adalah orang yang punya jabatan. Maka dalam kesehariannya di kantor, selalu mempraktikkan bagaimana biasanya orang memiliki jabatan penting.

Kadang cara bicaranya agak dibuat layaknya tokoh pejabat tertentu, kalau berpapasan enggan menyapa, atau pura-pura main ponsel, bahkan sering pamer ”kaki”.

Namun untuk menilai ketua semacam ini, bisa dilihat saat mereka berada di tengah masyarakat. Bagaimana mereka bersosialisasi, dan bagaimana mereka dinilai? Kadang ada ketua yang sok wibawa di dalam, ternyata orang di luar memiliki penyakit minder dan gagap. Lihat orang lari!

Ada juga yang ternyata, di luar tak dianggap sama sekali!

Inilah memang kenapa seorang panutan biasanya terbentuk dari alam. Ini murni pengakuan. Sedangkan ketua adalah sesuatu hal yang bisa tercipta tergantung atasannya memandang, bisa karena seleksi dengan standar kecakapan yang baik, atau karena faktor lain.

Sehingga tak jarang kita temui, ada orang yang tak becus pun bisa menjadi ketua. Tak heran selalu menjadi bahan tertawaan bawahannya. Ada yang terang-terangan, namun ada yang hanya dalam hati.