Jumat, 18 Juli 2008

Kisah dalam Sepotong Roti (1)

Kawanku punya perusahaan roti. Bentuknya sangat unik, satu kotak terdiri dari 12 potong. Masing-masing potong, diberi gambar wajah tokoh. Karakter para tokoh ini dipilih dengan cermat dan berdasarkan beberapa kreteria yang fair.

Karena bentuknya unik dan rasanya enak, maka saat pertama diluncurkan, roti ini mendapat respon baik dari masyarakat. Semua berlangganan. Namun seiring maraknya persaingan, akhir-akhir ini roti yang dikembangkan sebagai roti berlangganan itu, digerus jadi roti eceran.

Mestinya, pemasarannya menemukan cara-cara kreatif dalam mencari pelanggan. Kalau hanya kiat menampilkan wajah pembeli di tiap potong, asal mereka beli roti lebih sari satu, rasanya tak perlulah dibentuk departemen pemasaran segala.

Anak SD pun bisa jualan macam gini. Mudah saja, apalagi roti ini cukup punya nama, semua pasti ingin dimuat di dalamnya, no matter it takes!

Sepintas cara macam ini memang dapat mendongkrak penjualan roti tersebut, namun lihat saja, jumlah pencapaian ini ibarat gula-gula kapas yang dijual di pasar malam. Hanya mengembang karena angin, sama sekali tak mengenyangkan. Ibarat floating mass, dalam politik, sama sekali tak bisa dijadikan pijakan. Hanya jadi penggembira sesaat saja, bukan massa riil.

Yang belipun orang yang punya kepentingan saja, itupun tak dimakan. Sebab, mereka hanya ingin melihat, apakah wajahnya benar-benar tercetak di potong demi potong roti ini.

Dampak lain, hanya akan merusak kualitas roti itu sendiri. Tak lagi ada keinginan untuk memberikan yang terbaik di dalamnya, ujung-ujungnya konsumen juga yang rugi, beli roti ternyata isinya cuma pesanan orang..

Di lain sisi, ‘’orang miskin” akan mengutuk dan mengecap roti ini sebagai roti aji mumpung. Bahkan bisa jadi mereka nantinya akan bikin roti sendiri.

Tidak ada komentar: