Jumat, 25 Juli 2008

Sang Kancil dan Sang Monyet

(Disadur dari kisah-kisah rakyat Pulau Bawean)


Kancil. Siapa yang tak kenal hewan ini. Dia dikenal memiliki kemampuan lebih dari hewan lain. Larinya kencang dan tangkas. Otaknya pun encer. Namun akhir-akhir ini, dia mengalami krisis percaya diri. Apa pasal?

Oh, gara-gara saat melintas di ladang anggur dia melihat ada buah buah anggur yang siap petik. Ranum dan manis. Namun, apa daya sang kancil tak mampu meraihnya.

Bagaimana supaya buah itu tak diambil hewan lain? Maka kancil bilang kepada warga hutan, bahwa anggur itu pahit rasanya. ‘’Enggak enak. Jangan dimakan!” ingatnya pada sang landak, kawan dekatnya. Meski demikian, diam-diam sang kancil rajin datang ke ladang anggur tersebut, berharap dapat kejatuhan buah yang selalu dia idamkan itu.

Tiba-tiba, datang monyet menyambar buah tersebut. Rupanya monyet ini bukanlah hewan yang mudah dikibuli. Otaknya selalu berpikir ‘’mengapa” setiap melihat persoalan yang terjadi.

Dari sinilah bencana pada diri sang kancil bermula. Krisis percaya diri terus menghinggapinya. Seakan dia hewan tak berdaya (padahal dia hewan yang cerdas). Akhirnya, tiap hari dia datang ke danau yang airnya jernih bak cermin.

Kepada bayangannya sendiri dia berkata. ‘’Hei, lihatlah si monyet itu. Dia mahluk yang hebat. Bukan seperti kamu! Lihat saja buktinya, dia bisa ngambil anggur. Maka itu jadilah monyet, jangan jadi kancil!”

Meski ini hanya dongeng orang-orang desa, namun pesan di dalamnya cukup menarik disimak. Dalam teori psikologi ulah si kancil saat berpesan bahwa anggur itu pahit, agar tak dimakan binatang lain, disebut juga sebagai reaksi formasi.

Dalam kehidupan moderen, banyak kita temukan orang-orang dengan reaksi formasi semacam ini. Contoh, hanya karena tak mampu mendapatkan pujaan hatinya, seorang pemuda berkata pada rekan-rekannya bahwa wanita yang sebenarnya dicintai itu, dengan hal-hal negatif.

Sedangkan tingkah si kancil saat berbicara kepada bayangan dirinya di atas air itu, disebut ego defend mekanisme, sebuah bentuk egoisme dari mekanisme pertahanan diri. Dalam kehidupan masyarakat, cermin di sini bisa berbentuk kawan-kawan atau orang terdekatnya.

Intinya sama, sebenarnya orang tersebut iri melihat kemampuan seseorang saat menggapai hal tertentu, namun dia tak bisa melakukannya. Maka dari itu, dia frustasi. Selanjutnya dia melampiaskan kemarahan akan ketidak mampuannya, dengan menceritakan kehebatan orang yang dia puja, kepada kawan-kawannya.

Karena di saat menceritakan tentang orang tersebut, sebenarnya dia marah kepada dirinya sendiri, mengapa kok dia tak bisa sehebat seperti orang yang berhasil menggapai apa yang dia inginkan. Inilah yang dinamakan krisis identitas, krisis percaya diri.

Rumit juga ya?

-------------------
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Agnes Dhamayanti

Tidak ada komentar: