Rabu, 27 Maret 2013

Penyerbuan

Minggu ini kita dikejutkan dengan kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sleman di Jalan Bedingin, Mlati, Jogyakarta, Sabtu (23/3).
Empat tahanan titipan Polda Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) tewas diberondong tembakan di dalam sel, sekitar pukul 00.15 dini hari. Empat orang itu adalah Adrianus Candra Galaga, Yohanes Juan Mambait, Gameliel Yermiayanto Rohi Riwu, dan Hendrik Angel Sahetapi alias Deki.
Para tersangka ini belum genap 24 jam berada di lapas setelah dipindahkan dari sel Mapolda Jateng. Mereka ditahan karena dugaan kasus penganiayaan dan pengeroyokan terhadap Sertu Santoso,31, di Hugo’s Cafe pada Selasa (19/3) pagi.
Anggota TNI yang disebut-sebut dari Korps Kopassus Kandang Menjangan Sukorajo tersebut tewas saat dilarikan ke rumah sakit akibat luka tusukan pisau pada bagian dada. Hingga menjelang Subuh pejabat tinggi Polda dan Korem 072/Pamungkas tampak keluar masuk lapas.
Pertanyaannya, siapa pelaku penyerbuan ini? Hingga detik ini belum terungkap. Semua bagai mati gaya, diam seribu bahasa. Yang ada hanya asumsi-asumsi liar yang bila diteruskan akan masuk pada debat kusir tak berujung.
Kita tak yakin bila Polri tak bisa melacak para pelaku. Aparat kita sangat gemilang kala mengungkap pelaku terorisme, jadi tak mungkin bila mengungkap kasus ini saja mereka gelagapan. Cuma tinggal masalah keberanian dan kemauan, plus desakan dari kita, rakyat, selaku pemegang daulat di negeri ini.
Dari berita yang ada, aparat beralasan kesulitan menelusuri siapa pelaku karena minim bukti akibat CCTV dirusak. Namun, hal ini bukanlah alasan yang tepat juga. Karena pembuktian kasus kejahatan, tak mesti dari CCTV. Toh dulu, sebelum CCTV ada, banyak juga kasus kejahatan pelik seperti ini berhasil diungkap.
Masih banyak data-data fisik di tempat kejadian perkara dan pemeriksaan saksi-saksi yang bisa diselidiki. Misalnya, jenis mobil yang dipakai pelaku dengan memriksa jejak bannya, proyektil peluru, bekas sepatu, bahkan bekas hantaman popor senjata.
Kemudian, berapa lama proses eksekusi 4 orang itu, bila ada 31 bekas proyektil peluru di tubuh ke empat korban, maka per orang akan dapat tembakan antara 7-8 peluru. Dari sini kita akan tahu berapa jumlah eksekutornya.
Selanjutnya, bisa diperiksa para saksi, baik sipir dan warga sekitar. Misalnya, apakah saat itu mereka mendengar hal yang khas, mulai teriakan, perintah, aksen atau logat bahasa. Apakah mereka juga melihat bagaimana mereka bergerak, apakah terarah dan fokus, atau malah serampangan? Apakah gerakannya terlatih atau tidak?
Hal lain apakah para saksi ini juga melihat postur tubuh para penyerbu itu? Bila wajah tak bisa dilihat karena menggunakan cadar, tapi masih bisa dilihat dari berapa tingginya, berbadan gemuk, sedang atau kurus. Apakah karakter fisiknya seragam? Tegap semua apa variatif? Pertanyaan-pertanyaan tadi untuk mengetahui, apakah ini gerombolan terlatih atau bukan. Dari unsur oknum aparat apa milisi atau preman.
Selanjutnya kita masuk pada motif. Biasanya ada tiga hal yang melandasi manusia membunuh, yakni uang, dendam, kecemburuan. Nah, dari sini dapat diraba, motif apa yang mendorong para pelaku menghabisi empat korban itu. Adakah unsur uang? Adakah unsur dendam? Ataukah ada unsur kecemburuan?
Untuk menjawabnya, kita tengok dulu jati diri korban, apa pekerjaannya, dan sempat punya masalah dengan siapa saja. Yang terang, keempat korban ditangkap karena dugaan membunuh Sertu Santoso. Apakah tindakan pelaku ada kaitannya dengan dugaan pembunuhan ini, atau terkait masalah pekerjaan yang dijalankan korban sebagai sekuriti di Hugo’s cafe?
Iya atau tidak, benar atau salah? Apapun jawabannya, nanti akan bisa mengungkap siapa saja pelaku penyerbuan tersebut.
Dan terakhir, bisa dicari fakta dari data intelijen. Misalnya bisa dilakukan dengan menyelidiki peristiwa sebelum penyerbuan ini terjadi. Misalnya menyelidiki peristiwa apa yang dialami oleh Kalapas atau bahkan Kapolda.
Kelompok ini bisa dicari dari faksi mana? berapa lama persiapannya? Apakah mereka dari luar Jogja atau dari dalam Jogja? Bila dari luar, bagaimana pergerakannya? Bagaimana mereka mengumpulkan senjata dan amunisi? Masak iya tak bisa tercium? ***

Senin, 25 Maret 2013

Menulis (Tak) Sulit

Sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib berkata , ”Bila ilmu itu binatang buas, maka ikatlah ia dengan tulisan.”
Sementara itu, ilmuan terkemuka Muslim, Al Gazali, mengatakan, ”Jika kau bukan anak raja dan juga bukan anak ulama besar, maka menulislah.”
Lain lagi ”anak semua bangsa,” sastrawan angkatan 66, Pramoedya Ananta Toer juga berujar, ”Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Semua kalimat itu saya kutip untuk menjelaskan akan pentingnya menulis. Verba volant, scripta manent. Apa yang terucap akan sirna, tapi tulisan akan abadi. Inilah mengapa sejarah itu dimulai sejak manusia mengenal tulisan.
Sebagaimana dijelaskan pada kolom sebelumnya, bagaimana manusia membangun dan mengubah peradabannya dengan tulisan. Tulisan mereka ukir dan lukis mulai dari dinding gua, batu, papan, daun, kertas dan kini internet.
Dulu sebelum situs-situs micro blogging boom seperti saat ini, banyak orang gandrung pada blog. Di sanalah dia mencurahkan segala perasaan dan beban hidupnya. Tak hanya soal rasa hati, rasa lidah-pun ada di sana.
Bicara soal blog, saya adalah orang yang sempat menggandrunginya. Hingga saat ini, kebiasaan itu tak saya tinggalkan. Ada tiga alasan mengapa saya rajin nge-blog. Alasan pertama, Ingin transfer otak ke blog.
Otak kita sangat luar biasa. Di dalamnya ada 100 miliar sel yang saling bertaut dan terus menyerap jutaan informasi, sejak kita kecil hingga saat ini. Beragam pahit manis kenangan, pengalaman buruk dan menarik, musibah dan hikmah, tersimpan di sana. Sayangnya, kemampuan menyimpan otak ini tak bisa bertahan lama, seiring usia. Saya takut informasi tersebut ikut terkikis, maka dari itulah saya berusaha menggali lalu memindahkan ke blog.
Alasan kedua, otak ibarat pisau, jika kurang diasah maka akan tumpul.
Tiap hari saya selalu berhadapan dengan hal baru, baik itu informasi dan pengalaman. Dari sinilah saya belajar menggali, menganalisa, lalu menulis resumnya. Hasil-hasil pemikiran baru inilah yang juga saya pindahkan ke blog. Karena, sekali lagi, kalau disimpan di otak khawatir terkikis.
Selain itu suatu saat saya bisa melakukan kajian ulang dan komparasi jika menghadapi masalah yang sama, atau masalah lama namun aktual kembali. Jadi semacam tabungan ide-lah. Sewaktu-waktu dibutuhkan bisa dipakai.
Alasan ketiga, ingin mengabadikan momen melalui tulisan.
Kadang pada saat senggang, saya sering membuka lagi posting-posting lama saya. Saat itu, saya serasa memasuki lorong waktu, kembali ke masa lalu. Bukankah kata Cicero, pakar hukum dan filsuf besar dari zaman Romawi, ”kehidupan yang mati tersimpan dalam kenangan yang hidup.”
Pengalaman saya nge-blog ini, adalah satu dari beberapa manfaat menulis. Manfaat lain adalah, untuk melatih kepekaan dalam melihat realitas di sekitar kita. Selain itu, dapat juga mendorong untuk belajar lebih banyak. Baik dengan melakukan studi literasi, via membaca buku, majalah, koran dan sejenisnya.
Menulis juga dapat melatih menyusun pemikiran dan argumen dengan baik dan benar. Runtut, sistematis dan logis. Bahkan dalam psikologi disebut, menulis dapat menjadi katarsis, penyaluran dari rasa stres, sehingga otomatis mampu menguranginya.
Dan yang sudah pasti, dengan menulis akan mendapat kepuasan batin dan amteri, bila ternyata tulisan yang dibuat nge-hit. Andrea Hirata salah satunya. Tulisannya dalam sebuah buku berjudul Laskar Pelangi, sangat digandrungi, sehingga jadi best seller. Dan kita tahu sendirilah, bagaimana masyhurnya Andea saat ini.
Jadi, menulislah mulai sekarang. Tunggu apalagi. Tapi bagaimana caranya? Terkait hal ini, ada sebuah pengalaman menarik yang ingin saya bagi di sini.
Ceritanya, pada Jumat, 22 Maret lalu, saya diminta memberikan materi di pelatihan Jurnalistik dan Public Relation bagi unsur pimpinan Bank Riau Kepri di Sumatera. Acara ini memang digelar setiap tahun, dengan peserta dan tempat berbeda.
Tahun lalu, bertempat di Pekanbaru, pesertanya adalah para segenap kepala cabang. Saat itu saya diminta memberi materai tentang membuat press release. Sedangkan yang kali ini di Batam, pesertanya adalah para wakil pimpinan, saya diminta mengisi tentang Teknik Penulisan Jurnalistik Populer.
Dalam pertemuan itu saya sampaikan, bahwa menulis sebenarnya tak sulit. Tapi juga tak mudah.
Seperti yang saya kemukakan, bahwa menulis adalah mengabadikan ucapan. Maka itu, sebelum menulis, harus tahu dulu apa yang akan kita disampaikan. Dari sini, pokok pikiran sudah ada. Tinggal pengembangan. Dalam jurnalistik, hal ini bisa digali dengan resep 5w 1 H, yakni singkatan dari ”what, who, when, where, why, how,” yang dalam bahasa Indonesia menjadi ”apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana.”
Menulis tak sulit, iya, bila yang ingin kita sampaikan hanya sebatas ”apa, siapa, kapan, di mana.” Namun menulis jadi tak mudah ketika mulai masuk pada pertanyaan yang menjadi kunci untuk menciptakan berita besar: ”mengapa dan bagaimana”. ***

Selasa, 19 Maret 2013

Membaca Tulisan

Seiring berkembangnya teknologi percetakan dan longgarnya izin penerbitan, membuat kita kian mudah menerbitkan media cetak dan buku. Jadi jangan heran bila saat ini banyak terbit koran-koran dan buku-buku baru. Tentu ini bagus, ini bagian dari kebebasan berpendapat dan demokrasi. Nikmatilah.
Namun bukan hal yang baru juga bila ditemukan, kadang apa yang diterbitkan isinya tak jauh dari tendensi negatif dan lemparan tudingan tanpa verifikasi. Batas antara fakta, realita dan asumsi sidah tak jelas lagi.
Banyak kita temukan saat ini ada orang yang sakit hati, lalu menerbitkan sebuah buku atau koran. Isinya, tentu saja, mengeluarkan karut marut pada orang atau lembaga yang dibencinya. Hal ini sempat ditemukan di Batam.
Kala itu, menjelang pemilihan wali kota Batam tahun 2010 lalu, ada koran mingguan yang isinya tentang sumpah serapah terhadap salah satu calon wali kota Batam. Tak hanya lewat tulisan, foto sang calon wali kota itu divisualkan dengan gambar layaknya bajak laut.
Kala itu, saya sempat bertanya pada sang calon wali kota tersebut, mengapa tak menanggapi propaganda negatif ini. ”Tidak lah. Kita hanya akan dianggap sama gilanya,” ujarnya singkat. Selain itu, dia menjelaskan, hanya akan membuat koran tersebut kian dapat publisitas gratis. ”Sama saja saya mebesarkan namanya.”
Seiring dengan hal ini, ada juga kala itu sebuah buku terbitan penulis lokal, yang menuding siapa-siapa saja yang terlibat korupsi Bansos. Namun, lagi-lagi, buku itu hanya berisi tudingan, tanda ada data-data yang jelas.
Lagi-lagi, kejelian pembaca diuji dalam mengonsumsi sebuah kabar baik dari buku dan koran. Karena di masa kian mudahnya usaha penerbitan, usai dicabutnya surat izin usaha penerbitan press (SIUPP), ada kalanya beragam pihak memanfatkan buku atau koran untuk menanamkan ideologinya dan lain-lain.
Bagi pembaca sejati, tentu akan mudah memilih buku yang bagus sebagai bahan referensinya. Koran atau buku bagus tentunya bisa dilihat dari isinya yang jernih, serta tak hanya menyajikan kumpulan data, namun juga informasi. Karena informasi itu bukanlah pengetahuan.
Yang paling penting, lihat dan kenali siapa penulisnya. Di Indonesia, masih banyak penulis-penulis yang baik. Misalnya untuk novel sastra, ada Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma. Untuk puisi ialah Oka Rusmini, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Subagyo Sastrowardoyo. Dan masih banyak contoh lainnya.
Tahu siapa penulisnya itu penting, karena bila penulisnya adalah orang yang kredibilitasnya dipertanyakan, atau malah tukang peras, akan sangat sulit melahirkan tulisan berkualitas. Sebab, seperti yang saya paparkan di atas, zaman ini banyak penjahat dan kelompok-kelompok kepentingan juga menerbitkan buku dan koran. Tentunya bertujuan untuk memuluskan aksinya, baik untuk memeras dan menyebar luaskan ideologinya.
Alasan lain tentang pentingnya kita mengenal penulis, dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini. Ceritanya, Marcopolo sang penjelajah dunia, penemu dunia timur itu, pernah dituding orang Eropa sebagai pembohong kelas wahid, gara-gara sebuah buku Ill Millione (The Million) yang berkisah menemukan jalan ke timur dan menetap di sana (China).
Di buku itu ditulis, Marcopolo pernah bergaul dekat dengan Kublai Khan, Raja Mongol. Marcopolo juga berkisah tentang perjumpaannya dengan para perintis jalur sutra (The Silk Road).
Buku ini sebenarnya jujur, namun dia disebut berbohong, hanya karena yang menulis kisahnya itu adalah penulis fiksi, Rustichello. Keduanya bertemu dalam satu sel saat Marcopolo dipenjara ketika terjadinya bentrok antara Venesia-Genoa (1928).
Baiklah, kembali lagi pada bahasan kita. Untuk sebuah buku, kita harus tahu siapa penerbitnya. Ini penting, untuk melihat apakah sebelum diterbitkan buku tersebut melalui editing yang ketat atau tidak.
Editing tak hanya soal mengoreksi kesalahan huruf, namun juga etika dan logika dalam hal yang disampaikan. sehingga, informasi yang akan kita lalap dalam buku tersebut ”aman dikonsumsi”, tak mengandung unsur kebencian. Pada surat kabar, unsur kebencian ini bisa dilihat pada sejauh mana usahanya menyajikan fakta dan menkonfirmasi terkait tudingan-tudingan tersebut.
Adakalanya, saat ini tulisan berbau investigasi laris. Namun, tetap harus jeli memilihnya. Jangan sampai investigasi tersebut mengandung unsur fitnah, membangun opini sesat, membelokkan bahkan menyebarkan berita bohong dengan data palsu.
Jangan sampai tulisan yang katanya investigasi itu, dibuat dilandasi dendam, karena penulisnya kecewa targetnya tak tercapai. Di Batam pernah ada seorang yang pernah dipecat dan blacklist perusahaannya, lalu menjelek-jelekkan perusahaannya itu lewat buku yang dia tulis. Kasus serupa pernah terjadi pada Trans TV. Karyawan yang dipecat itu menulis dengan menjelek-jelekkan jajaran media tersebut mulai Chairul Tanjung hingga Wishnutama.
Namanya juga dendam, bisa ditebak, yang ditulisnya asal-asalan. Apa menariknya membaca tulisan seperti ini? Intelektual tentu beda dengan sampah. Buku tentu beda dengan selebaran gelap.
Karena itu, tetaplah aktif memilah dan memilih bahan bacaan, baik itu buku dan media cetak. ***

Selasa, 12 Maret 2013

Komunikasi dan Massa

Komunikasi ada hakikatnya untuk mencari jawaban. Maka itu prinsip dasarnya selalu bertanya, yg paling umum adalah bertanya tenang nama-nama, kemudian kabar. Sesederhana itu.
Kemudian seiring pertumbuhan jumlah manusia dan perkembangan peradaban, kumunikasi juga berkembang. Semula dari pribadi ke pribadi, menjadi antar kelompok, hingga kemudian antar masyarakat. Maka menjelmalah komunikasi massa.
Komunikasi tak lagi verbal, tapi juga non verbal atau komunikasi simbol yang kemudian simbol-simbol ini menjelma menjadi abjad (baca: tulisan). Untuk menampung simbol atau tulisan tersebut, manusia menciptakan alat komunikasi massa.
Alat atau media yang dapat menghubungkan/menggadakan komunikasi dengan massa. Dari sinilah, media komunikasi dikembangkan.
Sebelum era manusia moderen, manusia nederthal telah menjadikan dinding gua sebagai medianya. Peninggalan prasejarah ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan di dinding gua Altamira, Spanyol.
Ketika era manusia nederthal berakhir, manusia moderen memimpin, media pun berkembang lebih baik. Komunikasi yang intinya bertukar simbol tadi, kian intens. Lukisan berubah menjadi hyroglif atau huruf sandi atau dikenal juga sebagai huruf paku.
Tulisan paku (cunei form) ini, menggunakan ± 350 tanda gambar dan setiap gambar merupakan satu suku kata. Huruf-huruf "paku", disebut demikian, karena dituliskan pada papan tanah liat yang digoresi/ditulisi menggunakan karang yang keras dan berujung tajam, mirip paku.
Hyroglif dan tulisan paku memang lazim ditemukan pada peradaban-peradaban kuno. Misalnya Mesir kuno, atau kerajaan-kerajaan Mesopotamia, di antaranya Sumeria, Assyiria, Akkadia, dan yang paling terkenal adalah Babylonia. Kerajaan-kerajaan ini terletak di antara dua aliran sungai yaitu sugai eufrat, dan sungai tigris. .
Peninggalan media di era ini yang paling terkenal adalah ketika raja Babilonia I, Hammurabi, memerintahkan menulis undang-undang yang dipahatkan di batu yang berisi : larangan main hakim sendiri, sehingga keamanan dan keadilan masyarakat dijunjung tinggi Hukum Perdata dan Pidana. Inilah undang-undang tertua di dunia, yang kemudian dikenal dengan Codex Hamurabi.
Namun Codex Hammurabi ini hanyalah memuat undang-undang yang "rasa" komunikasi massanya masih belum tampak. Hingga beribu tahun kemudian, para senator Romawi kuno membuat kebiasaan membuat catatan rapat dan yang tidak pernah dipublikasikan alias menjadi rahasia negara. Inilah Acta Senatus.
Namun di era Julius Caesar, tahun 59 SM, hasil rapat senator ini dipasang di tempat umum agar diketahui orang banyak. Papan-papan pengumuman itu selanjutnya disebut Acta Diurna. Acta Diurna diakui sebagai media massa (koran) generasi pertama di dunia.
Secara harfiah Acta Diurna berarti catatan harian. Karena saat itu belum dikenal teknologi cetak dan kertas, Acta Diurna ditulis dengan cara dipahat pada batu atau logam.
Melalui Acta Diurna atau disebut juga Acta Popidi atau Acta Publica, Romawi ingin menerapkan prinsip ketersediaan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan publik yang sekaligus menjadi penanda peradaban dunia berbasis teks.
Inilah proses pendokumentasian pertama dalam sejarah peradaban manusia. Pada perkembangannya Acta Diurna memuat tentang kabar kelahiran, pernikahan, kematian, pengadilan, dan merambah pada kabar harga barang juga promosi. Inilah cikal bakal ilmu dan jurnalistik di dunia, dan dari kata "diurna" inilah, kata "jurnal" akar dari "jurnalistik" berasal.
Zaman terus berlalu, akhirnya dari huruf sandi yang dilukis dan dipahat ini berganti dengan huruf yang ditulis: alfabet. Alfabet adalah sebuah sistem tulisan yang berdasarkan lambang fonem vokal dan konsonan.
Selain huruf, mediapun pun berkembang. Semula menggunakan dinding gua (dilukis), lalu papan tanah liat atau batu dan kayu (dipahat). Selanjutnya papirus, ada juga daun lontar hingga akhirnya kertas (ditulis). Aha! Koran pun muncul (dicetak).
Era satelit pun dimulai, media merambah menggunakan gelombang udara. Radio, disusul televisi dan kini era digital: internet meraja. Faboulus.
Dari uraian di atas, maka komunikasi massa, sama halnya dengan komunikasi dyadic, untuk memberi jawaban atas masalah-masalah yang ada. Jawaban ini hanya bisa digali dengan bertanya, tentang apa, kapan, dimana, mengapa, dan siapa.
Bertanya ini serasa sepele, namun sangat sulit dilakukan. Agar mendapatkan informasi atau jawaban yang dalam dan lengkap, diperlukan pertanyaan yang bagus dan tajam. Untuk itu si penanya harus punya wawasan dan memahami masalah. Semua ini memiliki metoda dan teknik tertentu.
Kinerja komunikasi massa umumnya selalu berdasar pada post factum (bertindak setelah terjadi). Alurnya seperti ini: semula ada peristiwa, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan, muncul jawaban atau fakta-fakta baru.
Dalam jurnalistik, beragam fakta tersebut biasa disebut angle. Beragam angle ini kemudian dipilah dan dipilih dengan mempertimbangkan ketokohan, besar, dekat, pertama kali atau baru, human interest, dan dipertimbangkan misi/tujuan apa yang akan dibidik dari berita ini. Yang paling menarik dari semua pertimbangan itulah kemudian diangkat jadi judul.
Sekali lagi, fakta-fakta baru tadi ditelaah lagi, lalu muncul pertanyaan-pertanyan baru lalu dicarikan jawabannya. Begitu terus. Karena itu, jurnalis disebut orang yg mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan informasi secara kontinyu.
Contohnya seperti ini. Belum lama ini geger kasus Idawati Pasaribu yang diduga membunuh bidan Nurmala Dewi Tinambunan, di Medan.
Pada hari Sabtu, 9 Maret 2013, Batam Pos memuat headline berjudul, Dua Tahun Diburu Idawati Pasaribu. Berton Sembunyi di Langkat.
Dalam berita tersebut banyak ditemukan fakta fakta baru tentang keberadaan Berton Silaban, orang yang disebut-sebut sebagai pemicu bidan Nurmala Dewi Tinambunan dihabisi orang suruhan Idawati Pasaribu.
Fakta tersebut adalah, pertama, sejak kabur dari Batam dan dilaporkan Idawati ke polisi, ternyata Berton disembunyikan L Tinambunan, ayah bidan Dewi di Besitang, Kabupaten Langkat.
Fakta kedua, Berton dibawa keluarga L Tinambunan ke Besitang, tepatnya ke kebun sawit milik keluarga L Tinambunan.
Fakta ketiga, Berton adalah anak dari tulang (paman) kandung Idawati. Sehingga karirnya di PT Marsada Jaya, perusahaan milik Idawati, cepat melejit. Idawati menghadiahinya jabatan Direktur Operasional di PT Masada Jaya. Berton dipercaya mengelola SPBU di Seiharapan.
Namun sekitar 2011 lalu, Berton menghilang. Selain membawa sejumlah uang perusahaan, Berton juga meninggalkan banyak beban tugas serta tanggung jawab selaku direktur operasional.
Banyak lagi fakta-fakta baru dalam kasus ini, dan setelah ditelaah, ternyata masih memunculkan lagi hal hal yang belum terjawab. Misalnya, keberadaan Berton masih belum jelas, ibu korban belum ada diminta keterangan terkait kasus ini.
Pertanyaan lain, belum ada keterangan dari Polresta Barelang terkait benar tidak ya laporan Idawati atas dugaan penggelapan Berton di perusahaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, tentu saja. ***

Minggu, 03 Maret 2013

Wartawan dan Modus Anomali

Empat bocah ditemukan tewas dalam mobil, Kamis (28/2) lalu. Mereka adalah Maria Magdalena Yelson Fenge (6), Kosmas Ferson Farera (4), Wihelmus Rudi Farera (3), dan Aprillius Ama Mado (5), di dalam mobil Subaru BM 1306 XS.
Berita ini sontak mengemparkan, memancing analis dan spekulan mulai tingkat warung kopi hingga para ahli. Apakah mereka dibunuh atau terbunuh? Inilah yang masih jadi misteri.
Empat bocah ditemukan tewas dalam mobil, Kamis (28/2) lalu. Mereka adalah Maria Magdalena Yelson Fenge (6), Kosmas Ferson Farera (4), Wihelmus Rudi Farera (3), dan Aprillius Ama Mado (5), di dalam mobil Subaru BM 1306 XS.
Berita ini sontak mengemparkan, memancing analis dan spekulan mulai tingkat warung kopi hingga para ahli. Apakah mereka dibunuh atau terbunuh? Inilah yang masih jadi misteri.
Menyimpulkan memang mudah, namun untuk kasus seberat ini tentu tak bisa asal-asalan, harus berbasis bukti. Harus bisa dipilah mana fakta, realita dan asumsi.
Masalahnya, mencari bukti rasional itulah yang jadi masalah. Kadang, seperti yang disebut tadi, masyarakat kerap masih belum bisa membedakan mana fakta, realita dan asumsi. Semua ini harus menempuh proses berpikir yang panjang.
Sudah galibnya sebuah misteri atau peristiwa yang tidak diketahui penyebabnya, memiliki anomali atau kejanggalan. Kejanggalan ini muncul, bisa jadi karena peristiwanya masih baru, atau memang pola berpikir kita yang belum sampai ke sana, sehingga susah (atau malas?) untuk menganalisanya.
Padahal hakikatnya manusia sudah lahir dengan dibekali naluri alamiah sebagai peneliti, sebagaimana pakar pendidikan AS R Buckminster Fuller yang hidup tahun 1895 - 1983. Metode penelitian ini sudah biasa kita lakukan sejak masih anak-anak. Coba saja amati bayi yang masih merangkak. Lepas saja dia di ruang tamu, lalu perhatikan apa yang dilakukan.
Pertama mereka akan ”menyisir” ruangan tersebut, ini namanya observasi. Selanjutnya mereka akan menemukan benda. Bisa jadi itu tanah, bisa jadi mainan atau remah roti.
Spontan saja otaknya bekerja dan mencari tahu apa gerangan benda tersebut. Mulailah dia penelitian, caranya menganalisa data. Namanya juga bayi yang masih fase faal, analisa tersebut dilakukan dengan mulut. Mulailah dia memasukkan benda baru itu ke mulutnya.
Di sanalah dia mendapatkan hasil, apakah benda itu baik atau buruk bagi dirinya. Bila baik, dia akan sebarkan hasil hasil temuannya itu pada orang di sekitar, bila buruk biasanya akan dia buang. Begitulah kita terbentuk. Cuma seiring waktu, jiwa peneliti ini kadang tak terpupuk dengan baik.
Jangankan memandang misteri besar, semacam meninggalnya empat anak yang terjadi baru-baru ini di Batam, saat tiba-tiba melihat ban mobil kempes saja, pikiran kita akan langsung terfokus untuk mencari penyebabnya.
Kenapa tiba-tiba kempes? Lalu naluri kita membimbing untuk melakukan penelitian. Oh, ternyata tertusuk paku. Paku ini dari mana? Apakah tak sengaja tertebar di jalan, atau memang sengaja di sebar orang? Begitu terus.
Hingga kita mendapatkan kesimpulan akhir, apakah ingin melanjutkan mencari penyebab utamanya atau menutup saja kasus ini dengan mendatangi tambal ban.
Seperti saya urai di atas, ada beragam cara atau pendekatan ilmu untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi. Menurut filsafat ada empat kebenaran yaitu metafisika, etika, logic dan empirik yang masing-masing mempunyai pandangan khas yang berbeda tentang kebenaran.
Dalam dunia jurnalistik, metode seperti ini dikenal dengan sebutan investigasi. Secara umum, dari berbagai definisi yang ada, investigasi bisa diartikan sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran –atau bahkan kesalahan- sebuah fakta.
Melakukan kegiatan investigatif sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. ”
Petunjak awal adalah sumber dari mana saja yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa itu, mempelajari kelemahan sistem dan internal control suatu objek, pengorganisasian data dengan mengklasifikasi dokumen yang diperoleh serta analisis kasus dengan melakukan pembandingan, pemeriksaan bukti tertulis, rekonsiliasi, penghitungan kembali, dll, untuk diperbandingkan dengan informasi dari sumber.
Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk mengungkap kasus anak yang tewas ini, bisa dengan membuat studi analisis atau kajian menggunakan pendekatan ilmiah. Misalnya dari olah tempat kejadian perkara, analisa psikologi (kebiasaan/peer group), analisa medis berdasar hasil visum atau koroner.
Namun Pendekatan ini biasanya jarang dilakukan karena rumit sehingga bikin malas. Yang sering dan gampang dilakukan dalam menganalisa misteri pembunuhan ini dengan berprasangka buruk, menuding ke sana-kemari, atau mengarang tentang teori konspirasi yang di luar nalar.
Hal ini juga, amat disayangkan, kerap menjangkiti wartawan. Mereka enggan menguji informasi yang datang. Misalnya dalam kasus tewasnya empat bocah ini, belum ada wartawan yang berupaya menyajikan liputan berdasar investigasinya. Mengapa? Bukankah wartawan itu investigator? Misalnya melakukan analisa lapangan kemudian membandingkan temuannya dengan para pakar atau hasil studi literasi.
Disayangkan bila mereka hanya mencari, mengumpulkan, megolah dan menyebarkan berita dari sumber yang selain kapasitasnya diragukan, juga menyimpulkan hanya berdasar asumsi, bukan fakta atau realita. Maka, jatuhlah si wartawan dan liputannya pada model jurnalis copy paste, jurnalisme klaim.
Berbicara tentang investigasi ini, contoh yang terbaik adalah bagaimana Bondan ”maknyus” Winarno meliput skandal emas Busang. Yang manarik adalah metode yang dipakai Bondan.
Dia menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral dan cara-cara ”meracuni” mata bor dengan ”emas luar” sedemikian rupa sehingga dibuat kesimpulan ada cebakan emas yang luar biasa besarnya di bawah permukaan hutan Busang.
Intinya Bondan menganggap Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, ”meracuni” sample hasil pemboran mereka dan melakukan kejahatan canggih untuk memperkaya diri mereka. Bondan secara mengejutkan juga memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan.
Bondan melaporkan bahwa mayat yang ditemukan di tengah hutan Busang itu tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti yang dimiliki de Guzman. Geolog Filipina ini juga mempunyai gaya hidup mewah, suka berfoya-foya, main perempuan, yang tidak cocok dengan tipe orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Aneh juga bahwa de Gusman tidak duduk di samping pilot helikopter namun di belakang. Bondan mewawancarai dua orang dokter yang melakukan autopsi terhadap jasad tersebut serta seorang dari empat isteri de Guzman. Luar biasa. Benar-benar mak nyus! ***

Bermain

Maria Magdalena Yelson Fenge (6), Kosmas Ferson Farera (4), Wihelmus Rudi Farera (3), dan Aprillius Ama Mado (5), ditemukan tewas dalam mobil Subaru BM 1306 XS, Kamis (28/2) lalu.
Untuk mengungkap semua modus ini, tentunya kita serahkan dari hasil penyelidikan dan penyidikan aparat dengan segala kecanggihan ilmu dan perngkat kerjanya itu.
Yang menarik kita amati adalah, sebenarnya kejadian anak yang tewas saat bermain bukan kali ini saja terjadi di Batam. Kasus ini terus berulang, cuma tempat kejadian perkaranya saja berbeda. Bila kali ini di dalam mobil rusak, sebelumnya terjadi di kolam yang tak terurus.
Hal ini kembali mengusik tanya kita tentang lemahnya pengawasan orang tua. Selain itu mengingatkan kita bahwa anak-anak kota tidak memiliki lingkungan yang ramah, gratis, dan aman untuk bermain. Tempat bermain penting untuk tumbuh kembang anak. Inilah yang harus diperhatikan pemerintah kota ini.
Mestinya pemerintah bersama masyarakt ikut mengupayakan tersedianya taman bermain murah yang dekat dengan pemukiman. Ini sebagai sarana penyeimbang akan maraknya komersialisasi lahan bermain yang marak di mall-mall.
Bagi kalangan berduit, mungkin itu tak masalah. Mereka bisa menyediakan dana mingguan untuk dihabiskan anaknya di meja Timezone dan semacamnya. Tapi bagi kalangan bawah, umumnya anak-anak ini akan dilepas begitu saja.
Anak-anak ini akhirnya mencari sendiri lahan permainannya, pertama di sekitar rumah kemudian ke jalan. Di jalanan mereka bergaul, di jalanan mereka tumbuh, di jalanan mereka berkembang, di jalanan mereka menjadi manusia, dan di jalanan mereka bekerja.
Apa yang terjadi? Lahirlah anak-anak jalanan yang keras. Anak-anak jalanan yang sebenarnya dilahirkan oleh ketidakbecusan pemerintah dalam memperhatikan rakyat kecil. ***