Selasa, 19 Maret 2013

Membaca Tulisan

Seiring berkembangnya teknologi percetakan dan longgarnya izin penerbitan, membuat kita kian mudah menerbitkan media cetak dan buku. Jadi jangan heran bila saat ini banyak terbit koran-koran dan buku-buku baru. Tentu ini bagus, ini bagian dari kebebasan berpendapat dan demokrasi. Nikmatilah.
Namun bukan hal yang baru juga bila ditemukan, kadang apa yang diterbitkan isinya tak jauh dari tendensi negatif dan lemparan tudingan tanpa verifikasi. Batas antara fakta, realita dan asumsi sidah tak jelas lagi.
Banyak kita temukan saat ini ada orang yang sakit hati, lalu menerbitkan sebuah buku atau koran. Isinya, tentu saja, mengeluarkan karut marut pada orang atau lembaga yang dibencinya. Hal ini sempat ditemukan di Batam.
Kala itu, menjelang pemilihan wali kota Batam tahun 2010 lalu, ada koran mingguan yang isinya tentang sumpah serapah terhadap salah satu calon wali kota Batam. Tak hanya lewat tulisan, foto sang calon wali kota itu divisualkan dengan gambar layaknya bajak laut.
Kala itu, saya sempat bertanya pada sang calon wali kota tersebut, mengapa tak menanggapi propaganda negatif ini. ”Tidak lah. Kita hanya akan dianggap sama gilanya,” ujarnya singkat. Selain itu, dia menjelaskan, hanya akan membuat koran tersebut kian dapat publisitas gratis. ”Sama saja saya mebesarkan namanya.”
Seiring dengan hal ini, ada juga kala itu sebuah buku terbitan penulis lokal, yang menuding siapa-siapa saja yang terlibat korupsi Bansos. Namun, lagi-lagi, buku itu hanya berisi tudingan, tanda ada data-data yang jelas.
Lagi-lagi, kejelian pembaca diuji dalam mengonsumsi sebuah kabar baik dari buku dan koran. Karena di masa kian mudahnya usaha penerbitan, usai dicabutnya surat izin usaha penerbitan press (SIUPP), ada kalanya beragam pihak memanfatkan buku atau koran untuk menanamkan ideologinya dan lain-lain.
Bagi pembaca sejati, tentu akan mudah memilih buku yang bagus sebagai bahan referensinya. Koran atau buku bagus tentunya bisa dilihat dari isinya yang jernih, serta tak hanya menyajikan kumpulan data, namun juga informasi. Karena informasi itu bukanlah pengetahuan.
Yang paling penting, lihat dan kenali siapa penulisnya. Di Indonesia, masih banyak penulis-penulis yang baik. Misalnya untuk novel sastra, ada Pramoedya Ananta Toer, Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma. Untuk puisi ialah Oka Rusmini, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Subagyo Sastrowardoyo. Dan masih banyak contoh lainnya.
Tahu siapa penulisnya itu penting, karena bila penulisnya adalah orang yang kredibilitasnya dipertanyakan, atau malah tukang peras, akan sangat sulit melahirkan tulisan berkualitas. Sebab, seperti yang saya paparkan di atas, zaman ini banyak penjahat dan kelompok-kelompok kepentingan juga menerbitkan buku dan koran. Tentunya bertujuan untuk memuluskan aksinya, baik untuk memeras dan menyebar luaskan ideologinya.
Alasan lain tentang pentingnya kita mengenal penulis, dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini. Ceritanya, Marcopolo sang penjelajah dunia, penemu dunia timur itu, pernah dituding orang Eropa sebagai pembohong kelas wahid, gara-gara sebuah buku Ill Millione (The Million) yang berkisah menemukan jalan ke timur dan menetap di sana (China).
Di buku itu ditulis, Marcopolo pernah bergaul dekat dengan Kublai Khan, Raja Mongol. Marcopolo juga berkisah tentang perjumpaannya dengan para perintis jalur sutra (The Silk Road).
Buku ini sebenarnya jujur, namun dia disebut berbohong, hanya karena yang menulis kisahnya itu adalah penulis fiksi, Rustichello. Keduanya bertemu dalam satu sel saat Marcopolo dipenjara ketika terjadinya bentrok antara Venesia-Genoa (1928).
Baiklah, kembali lagi pada bahasan kita. Untuk sebuah buku, kita harus tahu siapa penerbitnya. Ini penting, untuk melihat apakah sebelum diterbitkan buku tersebut melalui editing yang ketat atau tidak.
Editing tak hanya soal mengoreksi kesalahan huruf, namun juga etika dan logika dalam hal yang disampaikan. sehingga, informasi yang akan kita lalap dalam buku tersebut ”aman dikonsumsi”, tak mengandung unsur kebencian. Pada surat kabar, unsur kebencian ini bisa dilihat pada sejauh mana usahanya menyajikan fakta dan menkonfirmasi terkait tudingan-tudingan tersebut.
Adakalanya, saat ini tulisan berbau investigasi laris. Namun, tetap harus jeli memilihnya. Jangan sampai investigasi tersebut mengandung unsur fitnah, membangun opini sesat, membelokkan bahkan menyebarkan berita bohong dengan data palsu.
Jangan sampai tulisan yang katanya investigasi itu, dibuat dilandasi dendam, karena penulisnya kecewa targetnya tak tercapai. Di Batam pernah ada seorang yang pernah dipecat dan blacklist perusahaannya, lalu menjelek-jelekkan perusahaannya itu lewat buku yang dia tulis. Kasus serupa pernah terjadi pada Trans TV. Karyawan yang dipecat itu menulis dengan menjelek-jelekkan jajaran media tersebut mulai Chairul Tanjung hingga Wishnutama.
Namanya juga dendam, bisa ditebak, yang ditulisnya asal-asalan. Apa menariknya membaca tulisan seperti ini? Intelektual tentu beda dengan sampah. Buku tentu beda dengan selebaran gelap.
Karena itu, tetaplah aktif memilah dan memilih bahan bacaan, baik itu buku dan media cetak. ***

Tidak ada komentar: