Minggu, 18 November 2012

Ciyuuus... Miapah?

Ciyuuus... Miapah? Akhir-akhir ini kita sering diakrabkan oleh kalimat tersebut. Apalagi setelah provider telpon seluler mengangakap dua kata itu sebagai tag line iklan mereka. Ciiyus (serius)... Miapah (demi apa?), tak ayal menjadi ”mantra/sihir” manusia moderen Indonesia dalam berainteraksi.
Semula kalimat ini berkembang lewat jejeraing sosial Twitter, menyusul lebay (berlebihan), kepo (ingin tahu), curcol (curhat colongan) yang sudah lebih dulu lazim dipakai. Namun, dibanding ”pendahulunya” kalimat ciyuuus, miapah, lebih bisa diterima dan menyebar luas.
Inilah yang disebut bahasa alay. Bahasa pergaulan yang mulai populer tahun 2009 ini tetap eksis sampai saat ini dalam berbagai variasi. Bahasa ini makin masif karena media massa memopulerkannya lewat iklan dan tayangan lainnya.
Ada yang sewot, sampai-sampai menghubungkan bahwa bahasa alay ini dapat menggerus rasa nasionalisme segala macam. Padahal kalau ditelaah, tak ada negara yang hancur karena serbuan bahasa alay. Karena bahasa itu fleksibel, dia akan selalu menyerap bahasa lain atau membentuk bahasa baru, agar tetap bertahan. Bila kaku, akan lenyap.
Bahasa prokem, gaul dan alay, sebenarnya adalah ”bahasa Slang”, sebuah ragam bahasa tidak resmi, dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kelompok sosial terteentu untuk komunnikasi intern, dengan maksud, agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.
Slang di ciptakan oleh perubahan bentuk pesan linguistik tanpa mengubah isinya untuk maksud penyembunyian atau kejenakaan, jadi slang bukanlah jika kita berbicara yang seharusnya sebuah bahasa, melainkan hanya transformasi parsial sebagian dari suatu bahasa menurut pola-pola tertentu. Contohnya, kata bahasa Indonesia mobil dapat di ubah wujudnya menjadi bo'il, bolim, demobs atau kosmob.
Karena itulah, fenomena bahasa slang, bukan hanya terjadi saat ini saja, setiap generasi punya bahasa slang-nya sendiri. Tak hanya di Indonesia saja, di belahan dunia manapun, seperti Singapura atau Amerika, punya bahasa slang.
Di Indoensia sendiri, pada era 1980-an, anak-anak muda kala itu telah terpapar bahasa prokem. Tak lama bahasa ini pudar, dan kemudian di penghujung 1990-an, ada bahasa gaul. Bahasa ini sangat lekat di kalangan anak muda, sampi-sampai Kamus Bahasa Gaul, karangan artis Debby Sahertian pun, laris manis diburu. Setelah bahasa gaul tak lagi trend, bahasa alay pun muncul.
Bila mau menilik jauh ke belakang, sebelum prokem dan bahasa gaul muncul, orang Malang, Jawa Timur telah menggunakan bahasa slang yang mereka sebut osob kiwalan kera ngalam (boso nalawik arek Malang ) bahasa terbalik Arek Malang.
Adalah Suyudi Raharno, seorang tokoh pejuang kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) Malang (tahun 1949), yang mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang sehingga dapat menjadi suatu identitas tersendiri sekaligus menjaga keamanan informasi.
Bahasa yang dibuat untuk menangkal banyak mata-mata Belanda yang disusupkan dalam kelompok pejuang Malang ini, haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat pada aturan tata bahasa baik itu bahasa nasional, bahasa daerah (Jawa, Madura, Arab, China) maupun mengikuti istilah yang umum dan baku. Bahasa campuran tersebut hanya mengenal satu cara baik pengucapan maupun penulisan yaitu secara terbalik dari belakang dibaca ke depan.
Dan terbukti, bahasa baru ini efektif menangkal aksi mata-mata Belanda tersebut. Jadi tak selalu bahasa slang ini buruk, bukan? Namun bukan berarti bahasa tak harus dijaga. Inilah tugas media sebagai polisi bahasa yang menjaga standar bahasa, dan bagi masyarakat, khususnya publik figure, harus mampu memberi contoh dan bagga berbahasa Indonesia yang baik dan benar.