Rabu, 27 Februari 2013

Pers di Malaysia

Kebebasan pers telah bergema di Indonesia, pascatumbangnya Orde Baru.
Kebebasan pers telah bergema di Indonesia, pascatumbangnya Orde Baru. Sejak saat itu tak ada lagi kita dengar adanya media yang di-bredel pemerintah karena beritanya terlalu tajam mengkritik penguasa rezim seperti yang dialami Majalah Tempo, bersama Detik, dan Editor pada 21 Juni 1994. Ketika itu, wartawan Tempo, Detik dan Editor cerai berai.
Seperti diketahui, pada 21 Juni 1994, Tempo, untuk kali kedua, dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan majalah yang sedang berkembang: Detik. Penyebabnya karena Tempo memberitakan pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie, sehingga membuat para pejabat militer meradang karena merasa otoritasnya dilangkahi.
Tapi, berita BJ Habibie yang dijadikan dasar membredel itu hanyalah alasan pembenaran. Alasan sebenarnya karena Presiden Soeharto yang notabene motor partai Golkar, diduga sudah tidak suka pada Tempo sejak majalah ini meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, tahun 1982 yang berakhir rusuh.
Akibat berita itu Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan) membredel majalah ini tepat pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun. Alasannya, telah melanggar kode etik pers. Anehnya lagi, ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota.
Itu sekadar flashback, sebagai pengingat betapa tak nyamannya bekerja di media, kala kebebasan berpendapat dilarang. Apalagi di era internet seperti saat ini, di mana manusia sudah sangat terbuka dalam mem-share informasi. Dan, masa lalu Indonesia itulah yang kembali saya rasakan saat ke Malaysia tahun lalu.
Di negara para raja ini, kebebasan berpendapat, khususnya kebebasan pers, memang belum seperti Indonesia saat ini. Pemerintah, dalam hal ini partai penguasa BN yang dikomandani UMNO (United Malays National Organisation/Organisasi Nasional Melayu Bersatu) sangat ketat mengontrol media, khususnya media massa utama baik cetak dan televisi. Maka jangan heran, yang mereka beritakan hanyalah kelebihan program pemerintah. Sedangkan kekurangannya disembunyikan.
BN adalah singkatan dari Barisan Nasional, sebagai pelanjut Parti Perikatan (Alliance) dan telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Koalisi ini dibentuk pada 1973 yang terdiri dari 13 partai politik yang masing-masing mewakili masing-masing suku atau ras. Di antaranya ada MIC (India), MCA (China), dan UMNO (Melayu).
Oleh karana mayoritas populasi penduduk di Malaysia adalah Melayu, maka UMNO mempunyai hak untuk menjadi leader dalam Barisan Nasional. Jadi masuk akal bila kebanyakan menteri-menteri di malaysia saat ini adalah kader UMNO.
Namun, tak semua media tunduk pada UMNO. Di sana haluan media terbelah, pro UMNO (yang paling terkenal adalah Utusan), anti-UMNO dan ”non blok”. Kristalisasi haluan media tersebut kian tajam saat ini, mana kala Malaysia bersiap akan melangsungkan pemilihan umum.
Bak pepatah Inggris, ”Politics is the art of looking trouble...” Nah, apa jadinya bila media bersekutu dengan politik? Maka, perang kepentingan untuk meraih kekuasaan lewat headline dan rubrik, bermunculan. Mirip kondisi pers di Indonesia tahun 1965-an, kala media terbelah antara pro PKI dan anti-PKI. Antara kubu Pramodya Ananta Toer dan Hamka.
Partai di Malaysia yang paling banyak diserang media pro BN saat ini adalah Pakatan Rakyat. Sama halnya dengan BN, Pakatan Rakyat adalag aliansi dari beberapa partai oposisi besar yang memiliki visi dan misi yang sama, misalnya Partai Keadilan Rakyat (PKR) pimpinan Anwar Ibrahim, dan DAP, sebuah parti politik yang 90 persen anggotanya kaum Tionghoa pimpinan Lim Kit Siang, dan Partai Islam se Malaysia (PAS) pimpinan Abdul Hadi Awang.
Ada saja isu yang diangkat untuk menebar stigma negatif itu. Seperti baru-baru ini, media pro BN menyerang PAS dengan mengeluarkan headline berjudul ”Sikap PAS Lebih Teruk daripada Kafir”, yang diambil dari pernyataan Mufti Perak, Tan Sri Harun Sani. Ada juga headline yang berbunyi, ”Ulama Kelantan Sokong BN”.
Serangan-serangan media pro-Barisan nasional tersebut, umumnya meminjam mulut mufti (semacam majelis ulama) dan warga Melayu, dengan mengusung isu agama dan ras. Yang paling lazim dilontarkan adalah, bila BN tak memimpin, maka Malaysia akan jatuh ke tangan orang bukan Melayu dan Islam tak akan jadi agama resmi.
Tudingan ini langsung dibalas oleh media-media pembangkang, yang paling tenar adalah Harakah, Suara Keadilan, dan Selangor Kini. Ketiganya terbit tak hanya cetak, juga daring. Ketiga media itu memang selama ini rajin mengkritik pemerintah. Tentu saja mereka memiliki data yang sangat kuat. Bila tidak, mereka bisa diadukan ke depan hukum, bila kalah harus bayar denda.
Bagaimanapun juga media pembangkang ini menjadi rongrongan bagi BN, khususnya UMNO. Untuk itu, ada larangan tak tertulis bagi media tersebut agar tak beredar di ruang publik, mall atau supermarket ternama semacam 7 Eleven. Jadi wajar sangat susah ditemui. Selain oplahnya kecil, sirkulasinya hanya diperbolehkan di kios-kios kecil jauh dari keramaian.
Sedangkan media tengah, biasanya tak dimiliki partai pembangkang atau oposisi, juga bukan berhaluan ke UMNO. Mereka kadang juga melancarkan kritik pada pemerintah, meski caranya sangat halus dan terkesan ”mati gaya”.
Hal yang menarik saya temukan pada sebuah harian yang tampaknya ingin sekali memaparkan betapa bobroknya penegakan hukum di Malaysia. Namun apadaya, tak berani terang-terangan, karena khawatir dicap membangkang.
Saat itu pers Malaysia diramaikan kasus mantan Menteri Besar Selangor Khir Toyo, yang terbukti korupsi RM 700 juta dan hanya dihukum 1 tahun! Gilanya lagi sebagian uang yang dikorupsi tersebut, RM 45 juta, dipakai merenovasi rumahnya yang semewah istana.
Berita ini berhari-hari mengisi halaman utama, lengkap dengan foto dan info grafis-nya. Di tengah hangatnya kasus ini, ada seorang bapak miskin yang dihukum 3 tahun karena mencuri susu untuk anaknya. Alasannya tak punya uang.
Dua kasus kontras itulah yang diangkat bersamaan pada halaman utama. Tujuannya, secara tak langsung sebagai perbandingan, sehingga tanpa dituntun oleh lead atau headline, masyarakat akan bisa menilai sendiri betapa ketidak adilan itu.
Dan memang benar, dua berita itu menjadi perbincangan hangat bagi masyarakat Malaysia yang melek media itu. Mereka cerdas, tak mudahh dibohongi. Mereka tahu media-media utama di Malaysia ditekan, makanya mereka tak berharap banyak pada media mainstream, ”Semue cerita tipu,” katanya.
Lalu, ke mana mereka beralih bila ingin mendapat infomasi yang benar? Jawabnya; internet, baik blog, jejaring sosial maupun website media-media yang dikelola perorangan (bukan pers sebagai lembaga ekonomi). Yang paling sering diakses adalah website Malaysia Kini atau Berita Semasa. Beberapa berita Malaysia Kini kerap menyerang kebijakan pemerintah Malaysia dan membongkar kasus korupsi.
Misalnya mereka pertama kali mengungkap kasus mark-up pengaaan komputer untuk guru. Satu unit komputer dibandrol RM 1.000 padahal harganya cuma RM 100. Kasus ini bergulir, hingga kemudian membuat media berani ikut memberitakan. Polanya mirip skandal Halle Burton (proyek AS di Irak) yang pertamakali dibongkar oleh blogger AS.
Berita-berita di media tersebut kian menggelinding bak bola salju, karena juga di-share di facebook atau twitter. Dari sinilah interaksi terjadi. Komentar dan protes pun ditulis gamblang. Banyak lagi kasus kecurangan lain yang diungkap blogger dan situs Malaysia Kini. Lagi-lagi, UMNO kurang senang. Namun untuk memberangus media online, apalagi dengan pesatnya jejaring sosial saat ini, tentu tak mudah.
Akankah Malaysia akan berubah menjadi negara yang melindungi kebebasan pers? Akankah Arab Spring yang digerakkan oleh jejaring sosial itu bakal terjadi juga di Malaysia? Kita lihat saja nanti. ***

Sabtu, 23 Februari 2013

Blusukan

”Blusukan”
Akhir-akhir ini ”kalimat” tersebut kain nge-top, seiring popularitas Jokowi, Gubernur Jakarta, yang memiliki kebiasaan secara diam-diam meninjau warganya. Kata ”kalimat” kami kasih kutip, karena bila berdasarkan praktiknya, blusukan seorang pejabat bukan hal yang baru. Dari generasi-ke generasi pejabat memiliki gaya dan tradisi blusukannya sendiri.
Raja atau khalifah zaman dahulu juga banyak yang tradisi blusukan ke kampung-kampung miskin meninjau rakyatnya secara langsung. Di era pemerintahan moderen Indonesia, pemimpin terdahulu juga memiliki tradisi blusukan.
Soekarno misalnya, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam pernah mengisahkan, blusukan atau incognito yang dilakukan presiden pertama RI ini terjadi dalam perjalanan Jakarta-Bogor. Di tengah jalan, tiba-tiba Soekarno memberhentikan rombongan, karena ingin buang air kecil.
Usai menunaikan hajatnya, rupanya penduduk di sana, spontan mengerubungi Soekarno karena kaget ada presiden. Merekapun terlibat perbincangan. Kisah lain ketika Soekarno mau membeli buah-buahan saat perjalanan ke Bogor. Dia turun langsung menawar mangga. Yang jualan terkejut, ada presiden.
Blusukan Soekarno ini terasa lebih natural, lebih spontanitas. Bahkan pernah mobil Soekarno mogok, dia kemudian dorong bersama pengawal-pengawalnya.
Beda lagi dengan Soeharto. Blusukan presiden ke dua RI ini lebih diatur, lebih formal. Misalnya sering tampil di acara kelompok pendengar pembaca dan pemirsa (Kelompencapir) bentukan Menteri Penerangan kala itu, Harmoko. Kadang juga sering turun langsung ke peternakan di Tapos, lalu diskusi dengan peternak.
Namun, tetap saja blusukan Soeharto ini telah dipersiapkan dengan matang. Pengamanan ketat, intel canggih, sehingga tidak mudah mendekatinya. Kalaupun rakyat bisa salaman itu sudah melalui perhitungan matang.
Hingga saat ini, blusukan kian tenar menyebar. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terkenal jaim itu, melakukan kunjungan mendadak alias blusukan ke kampung nelayan di Tangerang, Banten, Jumat (4/1) lalu. Namun dia menolak bila hal tersebut dibilang meniru Jokowi.
Sementara itu, pemimpin-pemimpin di daerah juga makin giat. Ini bagus. Namun, tetaplah kita harus menilainya dengan cerdas berdasarkan kinerja, tugas pokok dan fungsi, kepatutan dan kelayakan.
Jangan sampai blusukan tapi tak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Misalnya, pejabat yang ngurus pariwisata malah blusukan meninjau harga sembako. Ini tentu kurang pas.
Atau ada pejabat yang blusukan, namun tak berani memandang yang benar itu benar dan yang salah itu salah, saat hal tersebut berlawanan dengan kepentingannya. Misalnya, dia blusukan menangani masalah di luar kewenangannya, sementara masalah seabrek yang menjadi tugas pokok dan fungsinya dia abaikan, hanya karena itu menyangkut proyek atau kepentingannya.
Kita dukung para pejabat yang rajin blusukan, ini baik, asal tujuannya untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk menyelamatkan citranya. Karena keberadaan pemerintah itu bisa dirasakan ketika para pemimpinnya hadir saat rakyatnya mendapat kesulitan. ***

Rabu, 20 Februari 2013

Pers dan Politik

Dari awal berdirinya, media massa di Indonesia tak lepas kaitannya dengan pusaran politik: sebagai alat perjuangan.
Sama halnya dengan kaum penjajah, Belanda dan Jepang, yang menjadikan media sebagai alat propaganda memperkuat hegemoni mereka di Indonesia.
Dari media propaganda penjajah inilah, anak bangsa mengenal jurnalistik. Sebut saja yang paling masyhur adalah Djamaluddin. pemuda Sumatera Barat ini sebenarnya menempuh pendidikan Dokter Hindia Belanda (STOVIA) Batavia, yang mendidik dokter bumiputra (inlandse artsen). Namun dia putus di tengah jalan karena tertarik pada ilmu jurnalistik.
Hingga akhirnya dia bertemu dengan Pemimpin Redaksi Tjaja Hindia Landjoemin Datoek Toemengung, yang menyarankan agar Djamaluddin memakai nom-de-plume atau nama samaran berbau Jawa agar karirnya cepat maju. Maka jadilah dia: Adinegoro.
Selanjutnya, Adinegoro yang namanya diabadikan pada piala karya jurnalistik ternama di Indonesia tersebut, pergi ke Hochschule fur Journalismus di Jerman dan dengan begitu dia adalah pionir wartawan Indonesia yang menuntut ilmu jurnalistik di universitas luar negeri.
Berlanjut pada masa kemerdekaan, pemerintah republik mendirikan media juga untuk melawan propaganda media penjajah ini. Dari media-media inilah, kemudian banyak mencetak wartawan-wartawan andal anak negeri.
Sebut saja misalnya, wartawan ekonomi senior Sanjoto, memulai kariernya sebagai wartawan majalah berbahasa belanda, Het Inzicht, yang diterbitkan kementerian Penerangan RI untuk men-counterpropaganda Belanda yang disuarakan lewat Het Uitzicht. Majalah itu dipimpin oleh Soejatmoko. Dalam Het Inzicht, Sanjoto banyak menulis soal-soal internasional.
Sementara itu, dari Sulawesi Selatan terbit Pedoman Rakyat, didirikan Henky Rondonuwu dari Partai kedaulatan Rakyat pada zaman NICA (Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.
NICA adalah tentara sekutu yang bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada Perang Dunia II pada pertengahan 14 Agustus 1945. Daerah Hindia Belanda sekarang berada di negara Indonesia. NICA menumpang sekutu sewaktu datang ke Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Nah, sikap politik Pedoman ini pro-Republik. Hingga akhirnya Pedoman benar-benar dibredel oleh Jawatan Penerangan Pemerintah (RVD) NICA yang kala itu menguasai pemerintahan jakarta, tepatnya tanggal 31 Januari 1949.
Berlanjut di era Soekarno, tahun 1965-an lampau, persaingan ideologi (politik) media massa di Indonesia kembali memanas. ”Lawannya” kali ini adalah sesana anak negeri.
Benihnya bermula dari pertentangan di dunia sastra antara kelompok Islam yang diwakili Hamka dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang diwakili Pramudya Ananta Toer, sebagaimana ditulis dalam buku Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi tentang Tragedi 1965 .
Namanya sastrawan, tentu ”mainnya” di koran, melalui tulisan. Akibatnya koran-koran saat itu terbagi tiga poros: kiri, tengah, dan kanan. Soal haluannya, kiri itu Marxis, kanan: Islam, yang tengah tak jelas. Tapi cenderung kiri.
Misalnya ada Koran milik PKI, Harian Rakyat, dengan rubrik Bintang Timur-nya yang kekiri-kirian. Juga ada harian Merdeka dan Berita Indonesia.
Namun yang menarik di balik polarisasi ini adalah, kebebasan berpendapat sudah sangat terjaga dengan baik. Suatu hal yang kemudian sangat ditabukan di era Orde Baru yang muncul seiring runtuhnya rezim Soekarno.
Jadi tak heran bila wartawan selalu bersentuhan dengan dunia politik. Karena embrionaya dari sini. ”Wartawan politik” yang paling terkenal adalah Baharuddin Muhammad Diah, atau BM Diah.
Dalam buku Sang Pelopor: Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa (Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, #6) Rosihan Anwar menulis, Diah sudah menjadi redaktur luar negeri di Harian Asia Raya awal april 1943.
Koran ini berhenti terbit 7 September 1945. Namun tanggal 1 Oktober 1945 setelah percetakan belanda, De Unie, diambil alih dari Jepang dan dinyatakan sebagai ”hak milik republik”, maka terbitlah Harian Merdeka. Pemimpin Redaksinya adalah Diah yang kala itu baru berusia 28 tahun.
Di zaman apa yang disebut Soekarno sebagai ”era iberalisme” (1950), Diah kemudian berada di pihak Soekarno dan menentang AH Nasution dalam peristiwa 17 Oktober 1952.
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat A.H. Nasution) dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana. Dalihnya melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
Diah juga mendukung konsepsi presiden dan Nasakom. Ia menjadi dewan nasional. Karena sikap dan jasanya itu, Diah diangkat oleh Soekarno menjadi duta besar RI di Cekoslowakia, Hongaria, Inggris dan Thailand (1956-1965).
Saat menjadi Dubes di Bangkok, Diah kembali menunjukkan perannya ketika mengamati Presiden Soekarno makin terpuruk dalam cengkeraman PKI. Bersama Adam Malik, dia menghimpun wartawan antikomunis dalam suatu wadah yang dinamakan Badan Pembela Soekarnoisme (BPS).
Selanjutnya Diah lama menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Pers (1974-1989). Diah mencatat wawancaranya dengan Michail Gorbachev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, di Moskwa bulan Juli 1987 sebagai mahkota karier kewartawanannya. Saya pikir sebagai waertawan saya berhasil,” ujar Diah dalam biografinya.
Apakah Diah wartawan atau politikus? Kuncien W Pye, guru besar Amerika pada awal 196-an memberikan difinisi berikut, ”Wartawan dan komunikator profesional adalah men whu understand politics but are not of politics (orang yang mengerti politik, tapi bukan dari politik).
Dengan tolok ukur ini, maka serupa dengan adam malik, Diah lebih banyak politician ketimbang wartawan. sebagai politikus. Diah berjaya karena seperti dikatakan oleh Aristides Katoppo, ”Diah mengerti the nature of power (tabiat kekuasaan).
Bagaimana wajah pers (media dan wartawan) saat ini? Silakan dibandingkan. ***

Senin, 18 Februari 2013

Iklan & Media

Bukan rahasia lagi media massa saat ini telah menjadi lembaga eknomi yang erat kaitannya dengan industri dan mekanisme pasar. Mekanisme pasar artinya tak lepas dari aktivitas ekonomi atau bisnis yang erat kaitannya dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa.
Karena itu media massa saat ini berdiri pada dua kaki, satu kaki menjejak pada idealisme dan kaki lain pada industri. Idealisme ibarat hati untuk bisa merasa dan meraba, sedangkan industri ibarat jantung untuk menjaga agar hidup dan tumbuh.
Agar jantung tetap berdetak, tentunya harus ada darah yang dipompa ke penjuru tubuh. Darah di media massa ini adalah iklan. Bila iklan lancar maka pendapatan akan meningkat, mediapun akan sehat. Tapi bila iklan seret, media akan anemia. Apabila terus begitu, bisa berakibat fatal, pingsan atau bahkan mati.
Pers bisa berkembang seperti saat ini bila ditopang oleh iklan. Semakin banyak yang beriklan, maka akan semakin kuatlah perusahaan pers tersebut. Di tahun 2013 ini, kue iklan yang tersedia bakal mencapai Rp80 triliun!
Kue ini tak datang pada perusahaan pers atau media dengan sukarela, namun harus diperebutkan. Di antara yang berebut itu ada media elektronik (televisi dan radio), cetak (koran, tabloid dan majalah), serta online.
Untuk itu, media harus bersaing menyajikan konten baik format hiburan, edukasi dan informasi yang sangat menarik agar masyarakat tertarik. Semakin banyak yang tertarik lalu menonton atau membaca, maka ratingnya akan naik, tirasnya akan terdongkrak.
Dari sinilah pemasang iklan akan masuk. Karena semakin banyak media ditonton atau dibaca, akan semakin besar pula ”jualan” yang disampaikan pengiklan, diterima masyarakat. Sebaliknya, dari sinilah media menjaring rupiah sebesar-besarnya.
Di televisi misalnya, untuk acara ber-rating tinggi, harga iklannya dipatok sangat tinggi. Untuk iklan dengan durasi 15 hingga 30 detik saja, harganya sekitar 10 juta hingga 15 juta rupiah! Contohnya acara Termehek-mehek di Trans TV, yang harga iklannya mencapai Rp 5,5 juta per slot, dengan durasi 30 detik.
Memang harga ini tak seragam, tergantung "hukum ekonomi", semakin banyak dikonsumsi maka akan semakin mahal. Namun bila dikalkulasikan, rata-rata tarif iklan televisi terbagi dalam dua jenis, tarif murah berkisar 50 ribu hingga 350 ribu rupiah per spot (durasi 15-30 detik) dan tarif mahal berkisar 6 juta hingga 16 juta rupiah per spot (durasi 15-30 detik).
Demikian juga pada media cetak. Misalnya koran, harga iklan dibandrol per milimeter kolom. Sama halnya dengan televisi, di koran harga iklan-iklan di halaman utama, tentunya berbeda dengan di halaman yang kurang diminati. Demikian.
Tentang bagaimana iklan menopang hidup sebuah media ini dapat kita pelajari pada kasus penerbit majalah di New York yang diambang kebangkrutan. Di antaranya Readers Diggest Association dan enam perusahaan afiliasinya. Chief Executive Readers Digest, Bob Guth, menyebutkan, penyebabnya karena kurangnya iklan yang masuk.
Nasib yang sama juga didera time Warner Inc, yang bisnisnya meliputi televisi, film, dan percetakan. Saat ini, perusahaan media mingguan Time tersebut sedang membahas penjualan sebagian majalahnya kepada Meredith Corp, penerbit majalah Better Homes dan Gardens.
Setelah diteliti, langkah ini untuk mendukung rencana Time Warner untuk merombak beberapa divisi usaha yang performanya dinilai buruk, serta melindungi perusahaan dari penurunan dalam penjualan iklan.
Tahun lalu, pendapatan divisi iklan salah satu unit penerbit majalah terbesar di Amerika Serikat itu, turun 7 persen menjadi USD3,4 miliar, sedangkan laba usaha menurun 25 persen menjadi USD420 juta, karena iklan dan pendapatan langganan yang lebih rendah.
Kondisi itu akibat menjamurnya media digital yang menjadi saingan utama bisnis media cetak tersebut. Di negara maju seperti Amerika Serikat, di mana internet kian mewabah, konsumsi media cetak kian rendah. Masyarakat kian beralih pada televisi dan media digital.
Apa yang terjadi di Amerika ini, mulai ada gejalanya menular ke Indonesia. Di kota-kota besar, di mana akses internet kian massive, masyarakatnya pun sudah tak terbiasa lagi mengkonsumsi informasi dari media cetak. mereka sudah beralih mengkonsumsi informasi dari televisi dan tablet, bahkan kebiasaan ini dimulai sedari balita. Akibatnya, konsumsi iklan media cetak menurun.
Riset AC-Nielsen, The Nielsen Indonesia, Advertising Information Services Nielsen, awal Mei 2011 lalu menyebut, belanja iklan di Indonesia pada kuartal I/2011 meningkat tumbuh 20 persen menjadi Rp15,6 triliun dibandingkan periode yang sama 2010 senilai Rp13,0 triliun.
Televisi menjadi media utama yang menjaring iklan terbanyak pada kuartal I/2011, dengan meraup 62% dari total belanja iklan, atau sekitar Rp9,672triliun. Artinya, belanja iklan di televisi mengalami peningkatan sebesar 21% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Selanjutnya, surat kabar menjadi media kedua yang disasar industri untuk membelanjakan anggaran iklan mereka, dengan meraih 35% pangsa iklan atau sekitar Rp5,45 triliun dari total belanja iklan kuartal I/2011. Sedangkan majalah dan tabloid menjadi media yang meraih 3% pangsa pasar iklan atau sekitar Rp0,468 triliun.
Besarnya kue iklan yang harus direbut ini akan sangat prospektif sekaligus kompetitif bagi media, baik cetak, elektronik dan daring untuk terus berbenah dan tumbuh. Namun tetap harus diingat bahwa bisnis media adalah bisnis kepercayaan yang harus dirawat. Jangan sampai ditukar dengan iklan. ***

Senin, 11 Februari 2013

Berbincang dengan (ex) Presiden PKS

Saya berjumpa dengan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq, pada tanggal 24 Januari, tepat seminggu lalu. Hari itu, hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW. Lutfi datang berkunjung ke Batam Pos dalam rangkaian Safari Dakwah di Batam.
Lutfi datang disertai beberapa petinggi PKS, pusat dan daerah. "Assalamualaikum ustad," sambut saya di depan pintu ruang redaksi. lutfi pun menyambut dengan senyum, "Walaiakum salam," balasnya. Suaranya berat, namun pelan.
Penampilan Lutfi saat itu sangat bersahaja. Berbaju koko putih dengan celana kain hitam, khas warna kebesaran PKS. Yang unik selain senyumnya, adalah uban yang ada di rambutnya yang bagi saya sangat khas.
Berbeda dengan uban orang kebanyakan yang tersebar merata, Uban Lutfi itu "kompak" berkumpul tepat di atas dahinya. Ini mengingatkan saya pada "uban lokal" presenter lawas Koes Hendratmo yang hanya berada di sisi kanan dan kiri kepala, tepat di atas telinga.
Seperti umumnya tamu saat berkunjung ke redaksi, saya memperkenalkan tentang apa dan siapa Batam Pos. Sejenak, Lutfi kagum melihat deretan award yang berderet rapi di ruang redaksi.
Sayapun menjelaskan satu persatu award yang berhasil di raih Batam Pos tersebut, di antaranya Adi Negoro, Muchtar Lubis Award dan Adiwarta Sampoerna. "Hanya Batam Pos koran lokal yang berhasil menyabet aneka penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik, pak," sebut saya.
Lutfi pun mengangguk kagum. Saya lihat pupil matanya agak menajam, tanda serius menyimak. Kemudian "sang presiden" dan rombongan saya ajak ke ruang redaksi, melintasi beberapa meja bulat tim redaktur pelaksana yang juga saya terangkan satu persatu.
Tiba di ruang rapat tedaksi, Lutfi saya persilakan ambil posisi centre. Kami pun saling mengenalkan "rombongan" masing-masing. Semula saya, kemudian giliran Lutfi.
Meski badannya tegap, namun suaranya berat tapi lembut, sehingga saya perlu menajamkan telinga untuk menangkap pesan yang dia sampaikan.
Sepanjang diskusi Lutfi sangat open mind dan santun. Pengetahuannya luas, mendekati apa yang dibilang ilmuan renaissance sebagai "homo universale".
Tak pernah sekali pun dia memotong pembicaraan atau sok tahu. Bila ada pertanyaan yang kurang difahami, dia memilih diam sembari meminta agar dijelaskan.
Situasi yang mengarah kaku ini, membuat saya putar otak melontarkan homor-humor kecil agar suasana cair. Syukurlah ini berhasil. Dari sini pula saya baru tahu bahwa Lutfi juga humoris.
Pembawaannya yang tenang membuat dia mampu menjawab pertanyaan dengan baik. Bahkan pertanyaan yang bernada menyerang pun, dia tanggapi dengan sangat bijak. Seperti saat saya bertanya tentang maraknya stigma negatif orang terhadap PKS saat ini.
"Ini berat bagi PKS untuk merebut posisi 3 besar di 2014 nanti," cecar saya. Lutfi hanya senyum lalu menjawab. Itu menandakan harapan masyarakat terhadap PKS sangat besar. "Mereka tak ingin kami salah. Maka itu akan jadi sensor bagi kader PKS untuk hati-hati," jelasnya.
Tentang maraknya anggota DPR yang "arisanan ke penjara" akibat mahalnya ongkos politik ke parlemen, Lutfi juga menjawab bahwa setiap kader diminta mandiri. Maju dengan biaya sendiri. Namun bila tak bisa maka akan dibantu, "urunan".
"Kalau yang lain-lain arisan masuk penjara, kalau kami arisan sebelum masuk penjara. Sehingga membuat kita bebas dari penjara. Karena kalau kita yang bermasalah, langsung minta berhenti dan digantikan yg lain. Kalau jadi beban, mundur," tegasnya.
Terkait jabatan, bagi Lutfi bukan hal yang harus diagungkan. Amanahlah yang harus dijaga lebih dari segalanya. "Kapanpun saya siap bila hari ini diminta meletakkan jabatan sebagai presiden PKS. Lha wong saya dipilih pun tanpa sepengetahuan saya kok," jelasnya.
Lutfi berkisah, kala itu dia di Turki bersiap ke Belanda. Tiba-tiba ditelepon dari Jakarta, diminta berangkat ke Jakarta. Terpaksalah dia beli tiket baru. Sesampainya di DPP PKS, Jakarta hari sudah malam, sekitar pukul 23.00.
Tahulah dia saat itu baru digelar pemilihan presiden PKS. Belum hilang kebingungannya, tiba-tiba ada yang menyalami sembari berucap, "Selamat, ente gantikan Tifatul (Tifatul Sembiring, presiden PKS terdahulu)". Demikian kisah Lutfi.
"Jadi kalau sekarang jabatan saya mau diambil, ya silakan saja. Karena bukan jabatan yang penting, tapi bagaimana selalu berjuang dan melayani rakyat," jelasnya.
Yang lucu saat saya bertanya bagaimana agar calon legislatif dari PKS. Lutfi pun tertawa terkekeh. Menurutnya, PKS memilih kader untuk di-calegkan melalui penyaringan ketat. Track record dan pengabdian ke masyarakat akan jadi pertimbangan utama. Jadi tak hanya modal beken.
Setelah duduk di DPR pun, sedikitnya gaji mereka Rp20 juta harus disumbangkan ke perjuangan PKS. Intinya, kader PKS akan sulit untuk mendapat reward financial, malah harus memberi kontribusi untuk perjuangan. "Mau jadi caleg ya? He he he," selorohnya.
Diskusi terus mengalir cair, hingga akhirnya ada seorang menyela lembut "Pak..." Katanya sambil menunjuk ke jam tangannya. "Sudah waktunya ya?" tanya Lutfi. Rupanya dia harus segera bertemu dengan kader PKS Batam yang telah menunggu.
Sayapun harus tahu diri untuk segera mengerem pertanyaan. "Nah, benar kan, perlu 1001 malam untuk membedah PKS," canda saya, yang dijawab dengan koor tawa.
Kemudian pertemuan ini ditutup dengan foto bersama sambil berbagi cindera mata. Saat itu Lutfi berujar pada saya, "Ayo foto dengan saya, biar nanti jadi anggota dewan," katanya, menebar tawa. O... Rupanya dia masih teringat pertanyaan saya tadi. ***

Diskusi Asyik bersama Dik Doang

Azan Maghrib usai berkumandang dari Masjid Raya Batam, saat Raden Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denada Kusuma, sebut saja Dik Doank, bertandang ke ruang redaksi Batam Pos, lantai II Graha Pena Batam Center, Sabtu (9/2).
Mengenakan pakaian ala penyanyi hip-hop, sweater hitam, celana jins, topi sebo hitam, plus kacamata frame tebal, Dik akrab menyapa awak redaksi yang tengah sibuk “memasak” berita. Kedatangan Dik ke Batam Pos diantar Sugeng Riyadi selaku Sekretaris Umum Forum Kumunikasi Alumni ESQ Kepri, beserta Ketua Harian Gema 165 Kepri Ray Marciano, dan anggota ESQ Kepri Dewi Anggraini.
Dik ke Batam memang atas undangan FKA ESQ Kepri, dalam acara Konvoi Spiritual Asmaaul Husna 11 se Kepri yang digelar pagi ini, sekitar pukul 07.00-09.00. Konvoi ini mengambil start dari Masjid Raya dan finish di gedung Lembaga Adat Melayu, Batam Center.
Rutenya, lanjut Sugeng, mulai dari Masjid Agung Batam, menuju simpang Kabil Kepri Mall, kemudian Batuaji, Basecamp Sagulung, tembus Seiharapan, Tiban, Simpang Baloi, kemudian belok ke Batuampar, dan akhirnya menuju Gedung LAM lewat Seipanas.
Selain Dik, konvoi ini juga diikuti trainer ESQ dan dimeriahkan beberapa klub otomotif. Selanjutnya, pukul 09.00 hingga selesai, Dik dijadwalkan menjadi pembicara sebagai praktisi pendidikan anak yang diselenggarakan di gedung LAM.
“Mari silakan,” ujar Wapemred Batam Pos M Riza Fahlevi, telapak tangannya mengarah ke ruang rapat redaksi. Namun ajakan itu tak berbalas. Perhatian Dik terfokus pada rak yang memajang aneka award yang berhasil diraih Batam Pos. Riza-pun “balik kanan” menemani Dik berbincang tentang award-award itu. “Itu kami berhasil menyabet penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik di Indonesia. Di antaranya Adinegoro, Muchtar Lubis dan Adiwarta Sampoerna,” jelas Riza.
Selanjutnya, Dik mengambil kursi, lalu duduk di meja redaktur yang saat itu sedang kosong. “Kalau begitu, sekalian saja jadi redaktur tamu,” ujar Riza, sembari menarik Dik duduk ke meja redaktur Metropolis yang saat itu sudah selesai di layout.
Dik-pun menyambut riang. Candaan-candaan segar pun meluncur dari artis yang tahun 1997 lalu tenar dengan lagu Pulang itu, sehingga suasana redaksi cair dan segar. Tiba-tiba dia berdiri, “Eh, selamat hari wartawan, ya... Hari ini kan? (Maksudnya Hari Pers Nasional, 9 Februari),” ujarnya sembari menyalami awak redaksi satu-persatu. Dan, tawa membahana.
Sebagai artis, Dik sangat dekat dengan wartawan. “Anda khalifah melalui pena. Anda bisa mengubah sejarah, Anda bisa mengubah Indonesia dengan ujung pena,” jelasnya. Namun, Dik sedikit menyentil akan bahaya gibah yang marak dipertontonkan di infotainment saat ini.
Menurutnya, orang yang membicarakan orang lain tanpa kebenaran, maka tak punya jati diri, karena sibuk ngurusin orang lain. Yang memprihatinkan, yang mengkonsumsi infotaintmen itu kaum ibu.
“Ibu-ibu itu sumber cinta yang mendidik anak. Ibu-ibu itu kerjaannya dua; mendidik anak dan mengurus suami. Tapi jam kerjanya 24 jam. Makanya saya ingin membangun perguruan tinggi untuk ibu-ibu,” ujarnya serius.
Berbicara tentang dunia pendidikan yang kini digelutinya, Dik pun berubah serius. Seperti diketahui, di tempat tinggalnya, di kawasan Jurangmangu, Ciputat, Tangerang, pria kelahiran 21 September 1968 tersebut mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu yang sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Sekolah bertema alam tersebut diberi nama “Kandank Jurank Doank”. Sekolah yang berawal dari keprihatinan Dik terhadap keterpurukan nasib pendidikan sebagian anak-anak Indonesia.
Wawasan Dik tentang dunia pendidikan ini sangat luas. Namun, Dik mampu menerangkan sistem pendidikan yang rumit menjadi sangat sederhana, penuh makna dan mudah dicerna.
Seperti bagaimana Dik menyampaikan gagasannya tentang Kurikulum Asmaul Husna (99 Nama-nama indah Allah). ”Ajari anak-anak itu pengasih (Ar-Rahman), ajari dia Al-Malik (jadi pemimpin), Al-Kuddus (yang suci), As-Salam (mensejahterakan),” jelasnya.
Selanjutnya, lanjut Dik, didik anak-anak menjadi Al-Mukmin, orang yang dimanapun berada selalu menyenangkan orang lain, karena kehadirannya tak pernah menggores perasaan orang lain, tak pernah mengambil jabatan orang lain, tak pernah mengganggu kedudukan orang lain, bahkan darah yang mengalir pun tak kotor. “Kalau dia tak ada, maka tak tergantikan,” urainya.
Kemudian, Muhaimin (Yang Maha Memelihara) serta Al Aziz (Yang Perkasa). “Kita harus kuat. Bila dihina kita mendoakan, dipuji balas memuji. Hak dipuji kan Dia (Tuhan), kok kita dikritik marah?” jelasnya. Kemudian Al-Jabbar Yang Maha Memperbaiki, tak merusak. Dilanjutkan Al-Mutakabbir Yang Maha Megah.
Dari sini kemudian Dik menyentil kurikulum pendidikan saat ini yang menurutnya tak melihat ke depan. Mestinya kita harus mendidik anak-anak kita sebagai bangsa pencipta dan penemu, bukan bangsa menjiplak dan peniru. “Kalau begini, nanti bakal ada tsunami yang lebih dahsyat dari tsunami Aceh, yakni gelombang pengangguran akibat kebodohan di mana-mana,” jelasnya.
Dik mengingatkan betapa dahsyatnya konsep pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantoro. Yang pertama Ki Hajar Dewantoro mengajarkan “cipto”. Mencipta dulu, bukan calistung (baca tulis dan hitung).
Ki Hajar pun menamakan tempat belajarnya “Taman Siswa”, bukan “sekolah siswa”. Karena orang bisa belajar di mana saja. Sedangkan sekolah, masuk kelas. Bukan hanya raga, tapi pemikiran tersekat. Jadi jangan harap anak-anak menjaga lingkungan. “Kita harus meloncat. Kalau kita mundur, itu harus dengan alasan karena kita ingin meloncat. Kalau kita melangkah harus maju,” falsafahnya.
Selain mengurai Asmaul Husna melalui kurikulum, Dik juga mengurai nama indah Allah itu melalui bola. Menurutnya, olahraga bola itu ciptaan Allah. Mengapa? ”Pemain bola ada berapa? 11. 11 itu Al-Khaaliq (Maha Menciptakan). Dalam bola harus menciptakan gol,” terangnya.
Dik melanjutkan, bila dua kesebelasan digabung maka berjumlah 22, Al-Khaafiz (Maha Merendahkan). “Semua yang jadi bintang di lapangan harus rendahkan hati. Jangan jumawa saat mencipta gol,” sarannya.
Selanjutnya, dalam bola ada 45 menit, itu merujuk pada Al-Waasi’ (Maha Luas). Bola ini tayangan paling luas, penontonnya pun paling bayak. Selanjutnya 45 ditambah 45 jadilah 90, Al-Maane (Maha Melarang). Maksudnya bila sudah ke menit 90 maka harus berakhir.
“Nah sekarang nomor berapa yang paling dicari pemain bola? Nomor 10, Al-Mutakabbir (Maha Memiliki Segala Keagungan). Kalau mainnya tak megah, maka tak bakal pakai nomor 10. Maradona pakai, Messi juga pakai,” urainya.
Yang terakhir, tentang kiper yang bernomor 1. Menurut Dik, semua di dunia ini menuju ke nomor 1, Tuhan yang esa. Demikian Dik, dia menempuh jalan sangat serius tapi dengan cara yang santai. ***

Film Batam

”Uni Soviet itu runtuh oleh aksi Rambo.” Begitulah olok-olok yang dulu sempat tenar. Namun boleh jadi olok-olok ini benar adanya, karena begitu kuatnya pengaruh film dalam masyarakat. Bukan rahasia lagi bila pengaruh Amerika ikut terdongkrak oleh film-film yang mereka produksi.
Film bagi Amerika saat ini bisa juga menjadi senjata untuk propaganda, melemahkan mental musuh sebagaimana Al;exander Agung dulu lakukan dengan teknik ”getok ular”, atau Hitler dengan segala macam slogan dan film pendeknya.
Ah itu urusan politik, jangan sangkal juga bahwa film juga berperan dalam memperkenalkan nama atau budaya sebuah negara atau daerah. Sebut saja pariwisata.
Pernah mendengar nama Gunung Tongariro? Mungkin tak banyak yang tahu. Namun saat ditanya, tahu Gunung Lord of The Ring? Semua akan paham.
Ya, Gunung Tongariro di Selandia Baru ini tenar ketika menjadi latar lokasi syuting film The Lord of the Rings, hingga kemudian pemerintah setempat menamai dengan Gunung Lord of The Ring. Gara-gara film itulah, tempat ini laku dijual sebagai kawasan wisata.
Hal serupa juga dilakukan Thailand saat menjual Maya Beach, di Pulau Phi Phi atau Koh Phi Phi (‘Koh’ berarti pulau). Ya, Maya Beach ikut terkenal setelah menjadi lokasi syuting film The Beach yang dibintangi Leonardo di Caprio.
Tak usah jauh-jauh, lihatlah Belitung, khususnya Pantai Tanjung Tinggi, yang kian tenar setelah menjadi lokasi syuting film Laskar Pelangi. Batu-batu besar menghiasi pantai berpasir putih menjadi daya tarik utama. Dan masih banyak lagi. Batam bagaimana?
Sudah mulai. Adalah film True Heart yang secara gamblang memperkenalkan Batam, sekaligus ikon wisatanya, jembatan Barelang. Meski film ini masih ”kaku-kaku”, namun semangatnya layak dipuji.
Terlepas dari itu, mimpi Batam akan menjadi pusat perfilman Asia, bisa saja terbukti. Karena di sini, dari sebuah resor di salah satu sudut Pulau Batam, telah lahir puluhan film animasi yang kualitasnya tak kalah dari film produksi dari negeri Paman Sam sekalipun.
Ratusan kaum muda kreatif itu bekerja di bawah payung PT Systrans Multi Media dengan bendera Infinite Frameworks (IFW), yang pada perkembangannya juga membuat studio film raksasa yang belum ada di Asia Tenggara.
Dengan demikian, impian Batam untuk lebih dikenal lagi oleh dunia akan lebih terbuka. Asalkan, film-film yang bersetting Batam nantinya haruslah bermutu dan rasional, sehingga bisa dikenal dan dikenang. Jangan lagi membuat film yang di luar nalar, walaupun itu dengan alasan ”Ah, ini kan hanya film.” atau ”Logika film tidak sama dengan logika kita...” ***

Nuklir Teknologi Informasi

Sejak bayi anak sekarang sudah terbiasa bersentuhan dengan gadget. Bermula dari ponsel dengan fitur kamera, kemudian dilengkapi perekam suara dan visual. Hingga ketika umurnya menginjak 4 tahun, dia sudah terbiasa dengan tablet.

Sejak saat itu hubungannya dengan tablet kian erat. Tiada hari tanpa tablet. Kalau tak pegang iPad, rewel. Maklumlah di tablet dia menemukan segalanya. Kesenangan, informasi bahkan aktualisasi. Di tablet dia bisa menonton tv, film, lagu favorit, bahkan buku-buku dari dongeng kegemarannya pun ada.

Mereka, seperti jutaan anak-anak lainnya, juga anak anda, adalah generasi baru yang lahir oleh ledakan teknologi informasi. Inilah generasi yang selalu terkoneksi, aktif, transparan dan indipendent dalam menyerap informasi. Generasi baru yang paperless, yang terbiasa menggali apa, kapan, di mana, siapa dan mengapa dengan hanya menggerakkan ujung jari.

Generasi yang disebut Dan Pakarz, seorang peneliti Australia, sebagai generasi C, yang bisa berarti content, connected, digital creative, cocreation, costomize, curiosity, dan cyborg. Namun bisa juga berarti cyber, cracker, dan chameleon (bunglon).

Mereka sangat aktif dan partisipatif menjelajah dunia online baik lewat komputer maupun ponsel. Tak hanya pengunjung juga pencipta masyarakat online di dalamnya. Mereka juga menjadi follower orang-orang hebat dan lebih mudah menemukan fakta-fakta, konsep atau teori baru.

Di sini mereka bebas mengutarakan opini, saling berbagi isu hangat baik tingkat lokal maupun dunia kemudian didiskusikan bersama. Bahkan juga menjadi wartawan dadakan (citizen journalism). Karena itu, Gen C ini sangat ampuh mengusung perubahan.

Dengan sudah terbiasanya mengkonsumsi media seperti ini, maka muncul pertanyaan, akan kemanakah nasib koran mendatang, yang secara fisik membuat mereka awkward, karena pasif, satuarah, ”menggurui”, otoriter, lambat, dan ungkapan ”pemalas” lainnya.

Pertanyaan senada juga sempat mengemuka saat pertama kali CEO Apple Steve Jobs, meluncurkan iPad. ”Apakah iPad menjadi penghancur atau jembatan untuk memajukan surat kabar?” demikian.

Disebut penghancur bila kita kaitkan dengan banyak media massa cetak yang tutup atau beralih haluan menjadi paperless alias cetak digital.

Dimulai dari ambruknya Tribune Coorporation yang dipandang pengamat media sebagai keambrukan usaha media massa terbesar abad ini, dan terakhir kita lihat Newsweek yang beralih menjadi majalah cetak daring.

Inilah yang saya sebut sebagai efek ”ledakan nuklir teknologi informasi”. Dan media cetak yang tersisa saat ini adalah survivor dari ledakan tersebut. Untuk itu harus benar-benar dirawat dengan inovasi dan kredibilitas.

Dan kita tahu, bagaimana susahnya menjaga kredibilitas ini. ”Barang” yang satu ini susah sekali didapat, namun mudah hilang. Meraih kadang mudah, mempertahankan sangat susah. Tak hanya tenaga, pikiran pun terkuras.

Kembali lagi menjawab pertanyaan di atas. iPad atau tablet bisa juga menjadi sebuah ”jembatan” bila kita lihat fakta bahwa seiring maraknya jejaring sosial, membuat wartawan media cetak kian terbantu manyajikan berita yang aman dan dibutuhkan masyarakat. Bukankah berita dibuat untuk dibaca? Dan agar dibaca, tentunya harus dibutuhkan.

Selain itu, kian banyak masyarakat yang peduli pada kinerja wartawan. Hal apa yang dikatakan wartawan senior Farid Gaban, ”Jurnalisme terlalu penting untuk hanya diurus para wartawan saja. Publik perlu mempersenjatai diri dengan pengetahuan bagaimana industri media beroperasi, bagaimana wartawan bekerja.” ***

Pars Pro Toto

Satu kutipan dari puluhan film James Bond yang sangat berkesan bagi saya sebagai jurnalis adalah, saat Elliot Carver, Bos Carver Media Group, terlibat percakapan dengan James Bond (diperankan Pierce Brosnan).
Carver yang diperankan sangat apik oleh Jonathan Pryce ini berkata, ”Saat berusia 16 tahun, saya bekerja pada sebuah koran di Hongkong. Ini koran picisan. Tapi redakturnya mengajarkan saya satu pelajaran penting. Katanya, kunci menciptakan berita besar bukan pada pertanyaan siapa (who), atau apa (what) atau kapan (when). Tapi mengapa (why).
Dialog ini berbalas hingga berbuah pertarungan antara Bond dan Carver. Dan, lagi-lagi ditutup sebuah dialog lagi. Kali ini Bond yang berucap, ”Kau lupa pada aturan utama media massa, Elliot! Beri masyarakat apa yang mereka inginkan!
Kutipan inilah yang sering saya kutip pada jurnalis-jurnalis baru Batam Pos. Saya cuma ingin agar mereka bisa menghasilkan berita hebat, berita yang prudent, berita yang tak hanya kulit namun bersisi dan bernutrisi.
Untuk itu perlulah skeptis dalam memandang sebuah persoalan, dengan patokan dont trust anyone. Perbanyak bertanya mengapa, perbanyak mereferensi, agar berita yang dihasilkan tak salah nalar.
Manusia bisa saja keliru menduga, tapi wartawan haram hukumnya melakukan itu. Kredibilitas adalah harga mati. Inilah harga diri bagi jurnalis. Bila ini hilang, maka hilang juga maruahnya sebagai wartawan, terlebih lagi media tempat dia bernaung.
Terus terang, saat ini sering kali kita lihat jurnalis sering tak menguasai masalah. Belum lama ini saya dengar sebuah berita di radio, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SBY mengumpulkan kadernya untuk menandatangani pakta integritas.
Saat itu wartawan radio bersangkutan melakukan wawancara live dengan seorang pengamat politik. Namun pertanyaan yang meluncur membuat mual. Dia bertanya, ”Bagaimana menurut pendapat bapak tentang adanya fakta integritas ini?”
Yang benar adalah ”pakta integritas”, bukan ”fakta integritas.” Pakta dan fakta itu berbeda. Fakta adalah kenyataan atau sesuatu yg benar-benar ada atau terjadi. Sedangkan pakta adalah perjanjian. Pertanyaan ini menandakan si reporter tak paham persoalan, dan saya rasa itu bukan salah ucap, sebab dilakukan berulang-ulang.
Penyakit semacam ini sering terjadi. Dalam perjalanan sebagai jurnalis, banyak wartawan yang tak mengerti hal yang dia tulis. Maka jadilah berita yang dihasilkan kurang mendalam, bahkan cenderung dibohongi nara sumber.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ada wartawan di batam mengutip mentah-mentah omongan seorang pejabat yang mengatakan jalan rusak di depan perumahan ”A” telah diaspal dan siap dilalui kendaraan. Kemudian ucapan si pejabat dan terbit di media bersangkutan.
Keesokan harinya, media tersebut panen komplain dari pembacanya. Karena jalan yang maksud ternyata belumlah diaspal. Malah kerusakannya kian parah. Dan banyak lagi contoh lain yang membuat berita kurang dalam, salah, sesat, dan sebagainya, akibat keteledoran bahkan malasnya wartawan menelaah informasi yang datang.
Saat ini, di era jejaring sosial di mana kian majunya teknologi komunikasi dan informasi, jurnalis dan media khususnya, sudah tak bisa sembarangan lagi merilis sebuah berita. Publik sudah kian pandai dan kritis dalam mengawasi. Dengan cepat mereka mengetahui udang di balik keyboard, atau apakah media ini adalah buzzer atau wartawannya adalah spin doctor.
Untuk itu kehati-hatian dalam mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi mutlak diperlukan sehingga bisa terhindar dari sikap ”pars pro toto” alias paham sedikit tapi sudah merasa paham semuanya lalu menvonis. ***