Rabu, 27 Februari 2013

Pers di Malaysia

Kebebasan pers telah bergema di Indonesia, pascatumbangnya Orde Baru.
Kebebasan pers telah bergema di Indonesia, pascatumbangnya Orde Baru. Sejak saat itu tak ada lagi kita dengar adanya media yang di-bredel pemerintah karena beritanya terlalu tajam mengkritik penguasa rezim seperti yang dialami Majalah Tempo, bersama Detik, dan Editor pada 21 Juni 1994. Ketika itu, wartawan Tempo, Detik dan Editor cerai berai.
Seperti diketahui, pada 21 Juni 1994, Tempo, untuk kali kedua, dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan majalah yang sedang berkembang: Detik. Penyebabnya karena Tempo memberitakan pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie, sehingga membuat para pejabat militer meradang karena merasa otoritasnya dilangkahi.
Tapi, berita BJ Habibie yang dijadikan dasar membredel itu hanyalah alasan pembenaran. Alasan sebenarnya karena Presiden Soeharto yang notabene motor partai Golkar, diduga sudah tidak suka pada Tempo sejak majalah ini meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, tahun 1982 yang berakhir rusuh.
Akibat berita itu Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan) membredel majalah ini tepat pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun. Alasannya, telah melanggar kode etik pers. Anehnya lagi, ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota.
Itu sekadar flashback, sebagai pengingat betapa tak nyamannya bekerja di media, kala kebebasan berpendapat dilarang. Apalagi di era internet seperti saat ini, di mana manusia sudah sangat terbuka dalam mem-share informasi. Dan, masa lalu Indonesia itulah yang kembali saya rasakan saat ke Malaysia tahun lalu.
Di negara para raja ini, kebebasan berpendapat, khususnya kebebasan pers, memang belum seperti Indonesia saat ini. Pemerintah, dalam hal ini partai penguasa BN yang dikomandani UMNO (United Malays National Organisation/Organisasi Nasional Melayu Bersatu) sangat ketat mengontrol media, khususnya media massa utama baik cetak dan televisi. Maka jangan heran, yang mereka beritakan hanyalah kelebihan program pemerintah. Sedangkan kekurangannya disembunyikan.
BN adalah singkatan dari Barisan Nasional, sebagai pelanjut Parti Perikatan (Alliance) dan telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Koalisi ini dibentuk pada 1973 yang terdiri dari 13 partai politik yang masing-masing mewakili masing-masing suku atau ras. Di antaranya ada MIC (India), MCA (China), dan UMNO (Melayu).
Oleh karana mayoritas populasi penduduk di Malaysia adalah Melayu, maka UMNO mempunyai hak untuk menjadi leader dalam Barisan Nasional. Jadi masuk akal bila kebanyakan menteri-menteri di malaysia saat ini adalah kader UMNO.
Namun, tak semua media tunduk pada UMNO. Di sana haluan media terbelah, pro UMNO (yang paling terkenal adalah Utusan), anti-UMNO dan ”non blok”. Kristalisasi haluan media tersebut kian tajam saat ini, mana kala Malaysia bersiap akan melangsungkan pemilihan umum.
Bak pepatah Inggris, ”Politics is the art of looking trouble...” Nah, apa jadinya bila media bersekutu dengan politik? Maka, perang kepentingan untuk meraih kekuasaan lewat headline dan rubrik, bermunculan. Mirip kondisi pers di Indonesia tahun 1965-an, kala media terbelah antara pro PKI dan anti-PKI. Antara kubu Pramodya Ananta Toer dan Hamka.
Partai di Malaysia yang paling banyak diserang media pro BN saat ini adalah Pakatan Rakyat. Sama halnya dengan BN, Pakatan Rakyat adalag aliansi dari beberapa partai oposisi besar yang memiliki visi dan misi yang sama, misalnya Partai Keadilan Rakyat (PKR) pimpinan Anwar Ibrahim, dan DAP, sebuah parti politik yang 90 persen anggotanya kaum Tionghoa pimpinan Lim Kit Siang, dan Partai Islam se Malaysia (PAS) pimpinan Abdul Hadi Awang.
Ada saja isu yang diangkat untuk menebar stigma negatif itu. Seperti baru-baru ini, media pro BN menyerang PAS dengan mengeluarkan headline berjudul ”Sikap PAS Lebih Teruk daripada Kafir”, yang diambil dari pernyataan Mufti Perak, Tan Sri Harun Sani. Ada juga headline yang berbunyi, ”Ulama Kelantan Sokong BN”.
Serangan-serangan media pro-Barisan nasional tersebut, umumnya meminjam mulut mufti (semacam majelis ulama) dan warga Melayu, dengan mengusung isu agama dan ras. Yang paling lazim dilontarkan adalah, bila BN tak memimpin, maka Malaysia akan jatuh ke tangan orang bukan Melayu dan Islam tak akan jadi agama resmi.
Tudingan ini langsung dibalas oleh media-media pembangkang, yang paling tenar adalah Harakah, Suara Keadilan, dan Selangor Kini. Ketiganya terbit tak hanya cetak, juga daring. Ketiga media itu memang selama ini rajin mengkritik pemerintah. Tentu saja mereka memiliki data yang sangat kuat. Bila tidak, mereka bisa diadukan ke depan hukum, bila kalah harus bayar denda.
Bagaimanapun juga media pembangkang ini menjadi rongrongan bagi BN, khususnya UMNO. Untuk itu, ada larangan tak tertulis bagi media tersebut agar tak beredar di ruang publik, mall atau supermarket ternama semacam 7 Eleven. Jadi wajar sangat susah ditemui. Selain oplahnya kecil, sirkulasinya hanya diperbolehkan di kios-kios kecil jauh dari keramaian.
Sedangkan media tengah, biasanya tak dimiliki partai pembangkang atau oposisi, juga bukan berhaluan ke UMNO. Mereka kadang juga melancarkan kritik pada pemerintah, meski caranya sangat halus dan terkesan ”mati gaya”.
Hal yang menarik saya temukan pada sebuah harian yang tampaknya ingin sekali memaparkan betapa bobroknya penegakan hukum di Malaysia. Namun apadaya, tak berani terang-terangan, karena khawatir dicap membangkang.
Saat itu pers Malaysia diramaikan kasus mantan Menteri Besar Selangor Khir Toyo, yang terbukti korupsi RM 700 juta dan hanya dihukum 1 tahun! Gilanya lagi sebagian uang yang dikorupsi tersebut, RM 45 juta, dipakai merenovasi rumahnya yang semewah istana.
Berita ini berhari-hari mengisi halaman utama, lengkap dengan foto dan info grafis-nya. Di tengah hangatnya kasus ini, ada seorang bapak miskin yang dihukum 3 tahun karena mencuri susu untuk anaknya. Alasannya tak punya uang.
Dua kasus kontras itulah yang diangkat bersamaan pada halaman utama. Tujuannya, secara tak langsung sebagai perbandingan, sehingga tanpa dituntun oleh lead atau headline, masyarakat akan bisa menilai sendiri betapa ketidak adilan itu.
Dan memang benar, dua berita itu menjadi perbincangan hangat bagi masyarakat Malaysia yang melek media itu. Mereka cerdas, tak mudahh dibohongi. Mereka tahu media-media utama di Malaysia ditekan, makanya mereka tak berharap banyak pada media mainstream, ”Semue cerita tipu,” katanya.
Lalu, ke mana mereka beralih bila ingin mendapat infomasi yang benar? Jawabnya; internet, baik blog, jejaring sosial maupun website media-media yang dikelola perorangan (bukan pers sebagai lembaga ekonomi). Yang paling sering diakses adalah website Malaysia Kini atau Berita Semasa. Beberapa berita Malaysia Kini kerap menyerang kebijakan pemerintah Malaysia dan membongkar kasus korupsi.
Misalnya mereka pertama kali mengungkap kasus mark-up pengaaan komputer untuk guru. Satu unit komputer dibandrol RM 1.000 padahal harganya cuma RM 100. Kasus ini bergulir, hingga kemudian membuat media berani ikut memberitakan. Polanya mirip skandal Halle Burton (proyek AS di Irak) yang pertamakali dibongkar oleh blogger AS.
Berita-berita di media tersebut kian menggelinding bak bola salju, karena juga di-share di facebook atau twitter. Dari sinilah interaksi terjadi. Komentar dan protes pun ditulis gamblang. Banyak lagi kasus kecurangan lain yang diungkap blogger dan situs Malaysia Kini. Lagi-lagi, UMNO kurang senang. Namun untuk memberangus media online, apalagi dengan pesatnya jejaring sosial saat ini, tentu tak mudah.
Akankah Malaysia akan berubah menjadi negara yang melindungi kebebasan pers? Akankah Arab Spring yang digerakkan oleh jejaring sosial itu bakal terjadi juga di Malaysia? Kita lihat saja nanti. ***

Tidak ada komentar: