Sabtu, 23 Februari 2013

Blusukan

”Blusukan”
Akhir-akhir ini ”kalimat” tersebut kain nge-top, seiring popularitas Jokowi, Gubernur Jakarta, yang memiliki kebiasaan secara diam-diam meninjau warganya. Kata ”kalimat” kami kasih kutip, karena bila berdasarkan praktiknya, blusukan seorang pejabat bukan hal yang baru. Dari generasi-ke generasi pejabat memiliki gaya dan tradisi blusukannya sendiri.
Raja atau khalifah zaman dahulu juga banyak yang tradisi blusukan ke kampung-kampung miskin meninjau rakyatnya secara langsung. Di era pemerintahan moderen Indonesia, pemimpin terdahulu juga memiliki tradisi blusukan.
Soekarno misalnya, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam pernah mengisahkan, blusukan atau incognito yang dilakukan presiden pertama RI ini terjadi dalam perjalanan Jakarta-Bogor. Di tengah jalan, tiba-tiba Soekarno memberhentikan rombongan, karena ingin buang air kecil.
Usai menunaikan hajatnya, rupanya penduduk di sana, spontan mengerubungi Soekarno karena kaget ada presiden. Merekapun terlibat perbincangan. Kisah lain ketika Soekarno mau membeli buah-buahan saat perjalanan ke Bogor. Dia turun langsung menawar mangga. Yang jualan terkejut, ada presiden.
Blusukan Soekarno ini terasa lebih natural, lebih spontanitas. Bahkan pernah mobil Soekarno mogok, dia kemudian dorong bersama pengawal-pengawalnya.
Beda lagi dengan Soeharto. Blusukan presiden ke dua RI ini lebih diatur, lebih formal. Misalnya sering tampil di acara kelompok pendengar pembaca dan pemirsa (Kelompencapir) bentukan Menteri Penerangan kala itu, Harmoko. Kadang juga sering turun langsung ke peternakan di Tapos, lalu diskusi dengan peternak.
Namun, tetap saja blusukan Soeharto ini telah dipersiapkan dengan matang. Pengamanan ketat, intel canggih, sehingga tidak mudah mendekatinya. Kalaupun rakyat bisa salaman itu sudah melalui perhitungan matang.
Hingga saat ini, blusukan kian tenar menyebar. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terkenal jaim itu, melakukan kunjungan mendadak alias blusukan ke kampung nelayan di Tangerang, Banten, Jumat (4/1) lalu. Namun dia menolak bila hal tersebut dibilang meniru Jokowi.
Sementara itu, pemimpin-pemimpin di daerah juga makin giat. Ini bagus. Namun, tetaplah kita harus menilainya dengan cerdas berdasarkan kinerja, tugas pokok dan fungsi, kepatutan dan kelayakan.
Jangan sampai blusukan tapi tak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Misalnya, pejabat yang ngurus pariwisata malah blusukan meninjau harga sembako. Ini tentu kurang pas.
Atau ada pejabat yang blusukan, namun tak berani memandang yang benar itu benar dan yang salah itu salah, saat hal tersebut berlawanan dengan kepentingannya. Misalnya, dia blusukan menangani masalah di luar kewenangannya, sementara masalah seabrek yang menjadi tugas pokok dan fungsinya dia abaikan, hanya karena itu menyangkut proyek atau kepentingannya.
Kita dukung para pejabat yang rajin blusukan, ini baik, asal tujuannya untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk menyelamatkan citranya. Karena keberadaan pemerintah itu bisa dirasakan ketika para pemimpinnya hadir saat rakyatnya mendapat kesulitan. ***

Tidak ada komentar: