Kamis, 25 September 2008

Ajahku (1)

Di saat ini ingin ku mengenang lagi ayah ku. Sengaja saya menulis judul di atas dengan ejaan lama ini. Hal initerispirasi pada buku Buya Hamka, seorang pemikir, wartawan, doktor honouris causa yang sangat saya kagumi, meski dia hidup sebelum era saya bisa berfikir (selengkapnya tentang Buya, klik http://id.wikipedia.org/wiki/Hamka).

Di daerah kami, putra Syekh Abdul Karim bin Amrullah ini dikenal sebagai orang Sumatera Barat dari pada orang Padang. Sebutan “Sumatera Barat” dinilai lebih mengandung makna sebagai daerah pemikir, cendekia utama, dari pada “Padang” yang konotasinya selalu pedagang dan bahkan ada yang menyelipkan dengan pomeo negatif lainnya.

Buku ”Ajahku” diterbitkan Buya pada tahun 50-an, saat itu tentunya saya masih TK. Isinya, tentu saja, mengisahkan tentang Buya yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dari sinilah rupanya nama ”Hamka” berasal.

Di sampul buku ini terpampang foto hitam putih Buya, memakai peci hitam dan jas putih (tak jelas apa warna aslinya, namanya saja juga foto hitam putih).

Ikhwal kekaguman saya kepada Buya, tak lepas dari ayah saya yang memang sudah lama mengaguminya. Semua ini bermula dari hobi ayah saya membaca dan mendengar semua jenis informasi.

Saya sendiri tentunya belum bisa membaca bacaan seberat ini. Paling banter hanya lihat sampulnya lalu mengecek apa di dalamnya ada halaman bergambar. Kalau tidak, ya tak dibaca, malas. Tapi saya selalu meminta ayah menceritakan soal apa buku ini berkisah.

Ayahku adalah seorang tamatan sekolah rakyat. Meski begitu dia banyak mengerti dan memperaktikan berbagai disiplin ilmu. Mulai manajemen, pembukuan, navigasi, jurnalis, disain, rancang bangun, ilmu pertukangan hingga kerajinan tangan.

Seni pun juga mengalir di darahnya. Selain mahir menggambar, ayahku juga termasuk personel orkes Bunga Seroja. Nama ini diambil dari single piringan hitam Said Effendi berjudul sama yang ngetop di pertengahan tahun 50-an. Di Bunga Seroja Ayah memegang accordion.

Terkait keahliannya ini, ayah banyak mendapat job semasa mudanya. Di era sebelum kemerdekaan, di mana beras susah didapat, ayah sering mendapat order membikin stempel dinas oleh karisidenan kawedanan Sangkapura. Dari hasil jerih payahnya ini, ayah dibayar 5 kilogram beras.

Selain itu, ayah kerap mendapat order membikin prasasti. Hasil karyanya hingga kini bisa masih terukir kokoh di tugu pesangrahan Belanda di Pateken.

Ajahku (2)

Bahkan, di era tahun 60-an di mana krisis moneter terhebat melanda negeri ini -kala itu nilai mata uang anjlok sehingga pemerintah menerapkan gunting uang yang mengakibatkan uang kertas langka- lagi-lagi ayah diminta oleh karusidenan kawedanan Sangkapura, untuk mendisain uang kertas.

Hasil karyanya ini masih disimpan dalam buku tulis yang berfungsi sebagai jurnal/arsip harian. ”Ini nak, lihatlah desain uang kertas ayah saat itu,” ujarnya kala itu. Dari bakat seninya ini, ayahku sudah mampu membiayai masa mudanya dengan cukup layak.

Keahlian rancang bangunnya juga diterapkan ketika membangun rumah permanen kami di tahun 70-an. Sebenarnya, kami sudah punya rumah, namun masih berbahan kayu dan bambu.

Ketika ekonomi keluarga keluarga kami membaik, ayah memutuskan membangun rumah permanen berbahan batu bata seluas 300 meter persegi. Saat itu, di Bawean masih jarang rumah berbahan batu bata. Yang ada hanya berbahan bambu dan kayu.

Berkat keahliannya, ayah langsung terjun menjadi mandor. Dialah yang mengatur seberapa campuran semen, beton, ukuran kusen dan lainnya. “Tukangnya enak, hanya tinggal kerja aja,” jelasnya.

Untuk manajemen dan pembukuan Ayah terapkan saat menjadi pedagang, juga saat ketika ditunjuk mengelola koperasi. Di sana dia membentuk neraca dan pembukuan moderen, yang kala itu masih jarang dilakukan warga kampung kami.

Ayahku juga orang yang tertib, bersih dan rapi. Kapan dan di manapun, rambutnya selalu tersisir rapi serta mengkilap oleh krim rambut Tancho atau minyak Rivon warna hijau. Pakaiannya juga selalu licin disetrika.

Ayahku juga orang yang terorganisir dan terencana. Dia masih dengan rapi mengarsip buku kerja hingga surat dari anak-anaknya. Bahkan ayah menulis semua peristiwa kelahiran anak-anaknya.

Selain itu, saat akan berangkat ke pasar, ayahku selalu membuat daftar apa-apa saja yang akan dibawa, mulai pulpen hingga dokumen penting.

Yang paling menonjol, rumah kamipun selalu bebas kotor. Ayahku tak suka kotor. Soal ini, dia akan sangat marah besar. Dari sini ayah juga selalu mengajar menjaga kebersihan, bukan dengan omongan, namun dengan aksi. Tiap sore ayahlah yang menyapu rumah bahkan halaman kami yang luas itu.

Ayah tak kenal apa itu gengsi. Kehidupan Yatim di masa kanak-kanannya, telah mengajarkan apa itu kerja keras dan mandiri. Hingga kini, ajarannya soal ini masih melekat di benak saya dan putranya yang lain.

Soal keahliannya berorganisasi, juga dituangkan di Muhammadiyah. Ayah selain membidani berdirinya organisasi ini di Bawean, juga ditunjuk sebagai fungsionaris di sana.

Hingga saat Muhammadiyah mendirikan Balai Kesehatan Islam (disingkat Bakis) pada tahun 87-an, yah iikut membidaninya.

Ajahku (3)

“Sebenarnya saya usul namanya ‘Balkis’, sebab lebih Islami karena dekat dengan nama Ratu Balkis. Tapi, entah mengapa mereka memilih 'Bakis'. Tak ada makna sama sekali,” kisahnya pada ku soal nama balai kesehatan itu.

Yang paling khas dari ayahku soal penguasaannya akan ilmu pertukangan hingga kerajinan tangan. Dulu saat meja setrika belum ada, ayah sudah membuatnya. Demikian pula dengan gantungan handuk dan rak sepatu. Buatan ayah ini sangat rapi dan awet.

Yang paling saya ingat, dulu semasa booming film Johny Indo, sekitar akhir tahun 80-an, ayah membuatkan saya sebuah riffle mirip yang dipakai Johny.

Larasnya dari kayu, sedangkan saluran pelurunya dari pipa PVC. Pelurunya berbahan tulang arang batu batre ABC ukuran besar. Pemicunya menggunakan tenaga karet yang dikaitkan di ujung moncong senapan.

Dengan senapan ini saya bisa membidik sasaran lurus sejauh 5 meter. Jika lebih jauh dari itu, maka laju pelurunya akan membentuk gaya parabola selengkung 20 derajat, sehingga sering meleset.

Ayahku juga mengerti akan tajwid Alquran. Ilmu ini pernah dia ajarkan kepada Zainuddin, saudara sepupunya yang kini menetap di Singapura. Berkat bimbingan ayah, dulu Zainuddin berhasil memenangkan MTQ tingkat daerah,

Ilmu ini juga diajarkan pada anak-anaknya, termasuk saya. Dulu, usai salat maghrib ayah mengajar kami mengaji. Mulai belajar alif, ba, ta hingga tamat Juz Amma. Cukup? Tidak, pelajaran langsung dilanjutkan pelajaran tajwid. Dari sinilah saya diajar melafazkan Alquran dengan benar. Dari sinilah saya paham idgham bigunnah, idgham bilagunnah, ikhfa dan lain-lain.

***

Ayahku juga orang yang gemar melalap informasi. Mulai membaca, hingga mendengar. Ketika itu di Bawean hanya segelintir saja orang yang melek informasi. Media informasi masih terbatas, paling banter baru radio transistor. Televisi masih jarang, pelanggan koran dan majalah apalagi.

Maklum, untuk bisa membaca media cetak, harus pesan ke Jawa. Selanjutnya, majalah itu selama 12 jam di bawa kapal mesin yang kala itu hanya seminggu sekali melayani rute Bawean-Gresik.

Untuk melengkapi lalapan ilmu pengetahuannya, ayah berlangganan majalah mingguan Panji Masyarakat, kala itu pemimpin redaksinya Buya Hamka sebelum (apa sesudah? saya kurang pasti) dia ditunjuk sebagai menteri Agama.

Dari majalah inilah, kami banyak paham akan isu-isu ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan.

Ajahku (4)

Majalah ini pun kadang tak lama di rumah. Sebab, baru saja selesai di baca, sudah dipinjam orang. Mulai pegawai negeri hingga langganan ayahku di pasar. Maklum ayah adalah seorang pedagang sembako. Bahkan, tak jarang, guru saya meminjam majalah ini.

Saya juga sangat suka membaca majalah ini. Tentunya isu-isu yang menarik saja, semisal berita dunia. Jika ada istilah yang tak saya mengerti, langsung saya tanya ke ayah. Alhamdulillah, ayah tak pernah mengecewakan soal ini. Semua pertanyaan dia jawab dengan baik.

Tak heran, jika soal pengetahuan umum saya lebih unggul dibanding kawan-kawan di SD dulu. Saat kawan-kawan hanya hafal lagu Rhoma Irama, saya sudah hafal beberapa nama perdana mentri kala itu, seperti Indira Gandhi (India) atau Yatsuhiro Nakasone (Jepang).

Bahkan, saya orang (anak) pertama di SD yang paham kronologi meledaknya pesawat ulang alik Challenger awal tahun 1986 lalu.

Soal perkenalan saya akan pemikiran Buya, sudah terjadi ketika tahun 1983 Buya menerbitkan dua jilid buku berjudul 25 Nabi dan Rasul. Ayah membelikan buku ini setelah diiklankan di Panji Masyarakat.

Saya masih ingat, jilid satu bersampul merah, bergambar Nabi Ibrahim saat menghancurkan berhala Raja Namrudz, sedangkan yang kedua bersampul biru, bergambar Nabi Yunus dilempar ke laut. Di sebalahnya telah menunggu ikan paus.

Saya sangat suka membaca buku ini. Bahasanya lugas, dengan font agak besar ukuran 16 pt. Yang menarik, setiap awal kalimat Buya selalu menulis, “Cucu, cucuku”. Dari sinilah kecintaan saya akan buku bermula, dari sini pulalah kecintaan saya akan Buya Hamka, yang lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat itu muncul.

Kakak-kakak saya pun suka membaca karya Buya. Yang berat ada Tasawwuf Moderen dan Tafsir Alazhar, sedangkan yang ringan ada Di Bawah Naungan Kakbah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1930), adalah novel favorit mereka. Buku ini memang best seller di zamannya, sampai-sampai Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk pada tahun 80-an dibuat versi sandiwaranya yang diformat dalam kaset C 60. Kami suka mendengarnya.

”Buya itu sebutan orang Padang kepada tokoh agama. Kalau kita bilang kyai. Atau juga bermakna panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati,” jelas ayah, menjawab keheranan saya akan panggilan “Buya” ini.

Namun, hingga saat mahasiswa kecintaan saya membaca tak lagi terpupuk. Saya lebih memilih mendapat informasi dari audio visual atau diskusi langsung. Menurut saya, orang yang suka membaca biasanya susah mendengar, merasa benar, mereka introvert, terkurung dalam dunianya sendiri dan pemikirannya banyak didikte oleh si pengarang.

***

Selain melalap informasi dari buku, ayah juga mengimbanginya dengan mendengarkan radio. Di kamar tidurnya ada radio Telesonic, lengkap dengan AM hingga SW 1, 2, 3. Radio seukuran layak komputer itu dia dapat dari Singapura, sehingga tahan banting. Tenaganya menggunakan 12 batrey ABC ukuran besar.

Ayah mulai mendengar radio ketika pagi usai salat subuh.

Ajahku (5)

Saat itu dia mendengarkan kuliah subuh dari Radio Mujahidin, Suara Perak Jaya, Surabaya. Saat itu yang sering diputar adalah ceramah Buya Hamka.

Saking seringnya, sampai-sampai saya masih ingat lagu wajib radio ini sebelum dan sesudah acara ceramah agama, yaitu lagu gambus berjudul Panggilan Jihad. Tak hanya puas di jalur AM ayah juga membasuh kehausan informasinya di jaur SW. Biasanya dia sering mendengar radio Malaysia. Saat itu pulalah dia menceritakan tentang apa yang didengarnya.

Kegemaran mendengar radio ini juga ayah lakukan ketika istirahat siang, sepulang dari pasar. Hingga pada pertengahan tahun 80-an, ketenangannya mendengarkan radio itu terusik, kala Niki Kosasih menciptakan sandiwara radio Brama Kumbara.

Sandiwara ini berdurasi 30 menit, iklan utamanya Entrostop dan Procold produksi Kalbe Farma. Setiap sesi ada 60 episode dan kala itu masih diputar setiap pukul 16.00, jadi usai pulang madrasah saya ikut nguping.

Sampai-sampai ayahku berkata, “Kalau saya jadi mentri penerangan, akan saya larang saja acara ini. Kamu malah tak konsentrasi lagi belajarnya,” gerutuinya saat itu.

Ayah marah, karena kadang saya sempat bolos madrasah hanya untuk mendengarkan satu episode yang menurut saya sedang genting, misalnya kala Brama akan dihajar bajak laut atau penyamun.

Ya, memang saya sangat menyukai kisah petualangan Brama ini. Maklum, dulu televisi tak semarak sekarang. Sampai saat ini saya masih ingat nama-nama pemerannya yang berasal dari Sanggar Prativi Jakarta itu, seperti Ferry Fadly (Brama), Ermawati (Mantili), Bahar Mario (Bongkeng).

Selanjutnya ada Maria Unthu (suaranya sampai kini masih bisa kita dengar saat akan masuk ke bioskop 21), Astriati, bahkan Novia Kolopaking pun ada. Saat itu dia memerankan Anjani, anak Lasmini (suaranya diisi Ivone Rose).

Dan, yang paling saya ingat adalah narasinya ketika sandiwara akan dimulai, yakni :Tehnis dan montasye Indra Mahendra.

Selain radio, ayahku gemar menonton informasi di televisi. Kala itu yang ada hanya TVRI. Karena saya berada di Jawa Timur, maka saluran relay-nya berasal dari Surabaya

Acara favoritnya adalah Dunia Dalam Berita tiap pukul 21.00 dan Ketoprak.

Ada yang unik soal televisi ini. Dulu di Bawean masih jarang yang punya. Pada tahun 1977 ayah membelinya, mereknya Sharp 21 inc. Tentu saja masih hitam putih. Powernya menggunakan aki GS ukuran besar.






Sebenarnya saat itu listrik sudah ada, namun masih dikelola perorangan. Namanya Pak Halik, tempatnya di Sawah daya, 500 meter dari rumah. Dayanya tak begitu besar, hanya beberapa amper, sehingga hanya cukup untuk lampu saja. Itupun saat pukul 00.00 sudah dimatikan.

Sejak ayah membeli televisi, rumah kami selalu ramai. Kakakku berkisah, sejak pukul 20.00 ratusan warga sudah ramai berkerumun menonton hingga pukul 00.00.

Biasanya, pada tengah malam TVRI memutar film lepas, seperti Steve Austin The Six Million Dollar Man, Jeanny Bionic Woman, The Time Tunnel, Charlies Angel ‘s, The Saint dan lain-lain. “Saking ramainya, ayah memindahkan televisi ke teras,” kisah kakakku.

Agar siaran televisi ini bagus, maka ayah harus memasang antenna setinggi 10 meter. Tiangnya dari batang pohon bambu. Agar tak goyah, ayah memasangnya berdempet pada mangga harumanis yang tertanam kokoh di depan rumah kami. Selanjutnya, di batangnya masih dililit tali tampar yang dibentang ke lima penjuru mata angin.

Ada kalanya, jika cuaca buruk, ayah memutar-mutar arah antena nya supanya mendapat saluran yang baik dan jernih.

Dari sini ada yang menarik. Agar tak rubuh dan lapuk, tiap 6 bulan sekali batang bambu ini harus diganti secara berkala. Tentunya tak mudah untuk menurunkan antena ini. Saat itulah, warga kampung bergotong royong membantu. Agar tak mengganggu aktivitas, ayah menggelar acara ini pada sore hari, sekitar pukul 16.00.

Caranya, pertama-tama tali yang melilit batang bambu itu dibuka. Setelah itu, warga menurunkan dengan melepas tali yang melilitnya. Satu sisi mengulur, satu sisi menarik hingga tiang itu miring yang lalu disanggah dengan puluhan tangga. Perlu tenaga ekstra untuk melakukan ini. Setelah penurunan selesai, lalu dilakukan pemasangan. Prosesnya sama, Cuma tenaganya lebih besart lagi, karena kli ini menantang gravitasi.

Saya senang saat ini berlangsung. Selain menarik dilihat, juga banyak sajian minuman, dan makanan kecil yang terhidang. Ibulah yang mempersiapkannya.

Dari melalap informasi inilah, ayah memiliki pemikiran lebih maju. Dari melalap informasi inilah, ayah lebih bijak. Namun semua itu terjadi di masa saya masih kecil. Karena saat beranjak dewasa, ketika saya ingin menggali pemikiran ayah, dia sudah tiada. Ayah wafat ketika saya duduk di kelas III SMP Muhammadiyah.

————————
Maafkan saya ayah. Saya belum bisa membalas budi ayah.

Ibuku

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa...

Lagu, ketika saya SD ini kembali terngiang di telinga. Lama sekali, hingga mengurai kembali kenangan silam, menggedor pintu hati, menggali nurani, akan kasih seorang ibu.

Ah, siapa sih yang tak punya masa indah memiliki seorang ibu? Temasuk saya, tentunya.

Saya adalah anak bungsu, dari 11 bersaudara. Ya, saya memang terlahir dari keluarga yang cukup besar. Dari 11 orang ini, dua saudara saya perempuan. Namun, saat ini yang bertahan hanya 9 orang saja. Dua saudara saya, meninggal saat masih kanak-kanak.

Kasih ibu? Ah, tentunya saya tak bisa lagi mengurai bagaimana perjuangan dan pengorbanannya saat melahirkan hingga membesarkan saya.

Ibuku, terbaring lemah selama mengandung ku. Fisiknya lemah, mungkin karena rentang waktu melahirkan yang terlalu dekat. Jarak semua saudara kami hanya selidih 2 tahun. Ini artinya, setelah dia melahirkan, langsung mengandung lagi.

Maklumlah, zaman dahulu belumlah ada program keluarga berencana. Apalagi, mungkin, orang tua kami termasuk yang menganut pepatah, banyak anak banyak rezeki.

Ibuku, berjuang saat hendak melahirkan saya. Setelah saya lahir, di saat wajah masih berurai air mata, di saat masih bersimbah darah, ibuku mendekap ku. Dengan lembut, dia mulai menghitung jari-jemariku. 1, 2, 3, 4, 5. Dia tersenyum, begitu melihat anggota tubuh saya lengkap. Air matanya kembali berlinang, kali ini tetesan bahagia.

Ibuku sangat sabar, membesarkan ku. Air susunya mengalir ke segenap darahku, dari sana saya mendapatkan nutrisi guna menyambungkan 3 miliar sel otakku, hingga sempurna.

Setelah saya mulai bisa makan, ibu-ku dengan ikhlas menyuapkan makanan ke mulut ku.

Sesekali saya muntahkan, namun lagi-lagi dengan sabar, dia bersihkan mulut saya, lalu dia ambil makanan yang bersih dan disuapkan kembali.

Saat makanan itu berhasil saya habiskan, ibuku bersorak lalu mencium kedua pipiku, sembari membisikkan kalimat puji dan doa. ”Anak ibu pandai ya...”

Ibuku sangat penyayang. Dialah yang memandikan ku saat pagi dan sore hari. Dengan ihlas dia memasak air dulu, agar saya bisa mandi air hangat, sehingga tak masuk angin.

Saat mandipun, saya banyak berontak, namun dengan sabar ibu terus membasuk tubuhku, membersihkan daki di badanku, sembari terus membisikkan kalimat bujukan. ”Nak... mandilah, supaya badannya harum. Sini ibu bersihkan telingamu...” ”Nak, jangan nakal terus, nanti mandinya tak bersih...”

Ketika selesai mandi, dia mengangkatku denagn kedua tangannya, ”Ya... anak pinter...” Lalu mencium ke dua pipiku, dan meniup kedua telingaku. Selanjutnya, dia membalutkan handuk di tubuhku.

Ibuku, terus dengan sabar meriasku, mebubuhkan bedak ke seluruh badanku, menyisir rambutku lalu memakaikan baju bersih.

Saat saya mulai bisa merangkak, ibuku setia mengawalku ke mana saja. Saya saya menangis, ketika kepala terantuk banda keras, ibuku langsung berlari... ”Ayang nak... ayang....”

”Jangan nagis jangan nagis, anak ibu pinter.... cup cup cup....”
”Siapa yang nakal nak?”

Lalu dia mengecup keningku, menyeka air mataku, menggendongku sembari mengucap kan kalimat pengalih rasa sakit. Saat saya tersenyum, ibuku juga ikut tersenyum. Dia pun menimangku dengan riang.

Ibuku, dengan sabar menjagaku kala tidur. Wajahnya agak pucat, kurang tidur, karena tiap malam terbangun saat aku menangis. Kadang dia dengan sigap, mengganti popokku ketika saya ngompol.

Hingga ketika saya bisa berdiri, berlari dan mulai menginjak sekolah dasar, perhatian ibuku tak terputus. Kadang, sehabis datang berdagang di pasar, ibuku masih sempat mencariku yang saat itu bermain di lapangan.

Dia memanggil, ”Nak.... nak.... kemarilah... Ini ibu...” teriaknya.
Sayapun setengah mendumel, menghampirinya. ”Ada apa sih Bu...”

Dia hanya terseyum, lalu telapak tangannya meraba keningku, ”Jangan lupa makan ya... Eh, ibu belikan oleh-oleh dari pasar, makanlah nanti,” jawabnya.

Saat saya sakit, ibuku bagai perawat yang ulung. Dengan setia dia membikinkan saya air jeruk hangat, dan segala macam obat herbal lain. Kadang, saya lihat dia tertidur di samping ku.

Namun, masa indah ini sirna, Ibuku, pergi untuk selamanya ketika saya remaja. Kelas 3 SMA. Saya masih ingat, saat dia sekarat, masih memikirkan saya. Lirih, setengah berbisik, dia berkata pada kakakku, ”Jangan marahi adikmu ya....”
Tak lama setelah itu, matanya makin redup. Ibuku, meninggal....

Meninggalkan ku untuk selamanya....
Meninggalkan budi jasa yang belum terbalaskan...
Meninggalkan cinta kasih, suci mulia....
Ibu, kehilangan terasa kini dan kesepian.
Aku bagai gerhana, ibarat lautan kering....
Ibuku sayang, luahan rasa hati.

Di pusaranya saya tak bisa membendung air mata ini. Saya ingat, dua saat ziarah kubur bersama, ibuku pernah berpesan, agar setelah dia meninggal kuburannya jangan sampai tak dirawat.

”Ibu sedih melihat kuburan mereka,” ujarnya sembari menangis lirih, lalu menunjuk pada kuburan yang tak terawat.

Ibu, kurenungi kalimatmu itu, kini.

Ya Allah, bahagiakanlah ibu, jangan biarkan ujung api-mu menyentuhnya. Jika memang tubuh ku bisa meringankan dosa-dosanya, ambillah, ambillah, tapi jangan Engkau lukai ibu ku....

Namun apalah arti tubuh ini, bagi Allah-ku. Untuk itu, aku harus memperbanyak amalan, sehingga nanti kalimat itu bisa saya sampaikan pada Allah-ku.

Ibu damailah di sana, aku akan berusaha menjadi anak yang engkau harapkan dulu.

-----------------------
Banyak sudah saya menulis. namun untuk menyelesaikan tulisan ini, sangat berat. Dadaku sesak, airmata seakan tak henti lagi. Tak sadar, saya biarkan saja ke mana jari-jemari ini membawa...

Berpetualang di Pinang (1)

Druk…. Breeeeettttt…

Sepeda motor bersama pengendaranya itu roboh lalu terseret beberapa meter, kala roda kirinya menggesek bemper depan mobil Kijang sewaan yang kami tumpangi.

Astagfirullah…

Kami semua memekik. Untung, Latief si pengemudi langsung mengerem, kalau tidak peristiwa lebih mengerikan lagi akan terjadi; Pengendara Motor Tewas Bersimbah Darah, terseret Kijang 10 meter, kepala pecah, motor ringsek. Begitulah kira-kira bunyi headline yang akan terbit di koran-koran kriminal, jika Latief telat mengerem.

Saat itu, Rabu 17 September, sekitar pukul 14.00, kami memang baru saja mengantar sebuah kursi roda untuk Adinda (7), bocah miskin penderita lumpuh layu di rumah petak yang mereka kontrak di Sidodadi Balakang Pasar Kijang, Bintan Timur. Kami memulai perjalanan dari Batam sekitar pukul 06.00 dan kembali ke Batam sekitar pukul 16.00.

Selain Latief, sopir yang juga staf pemasaran perwakilan Tanjungpinang, ikut bersama saya anggota KPID Kepri Lilis Lishatini, Drs Andi Amri dan Agnes Pintauli, anggota LSM Ketapang yang kini maju bertarung di nomor urut 1 menuju kursi DPRD lewat Partai Hanura. Mereka berada di jok belakang, sedangkan saya menemani Latief di jok depan.

“Turun yok,” ajak Latif. Kerongkongannya tercekat. Wajahnya yang selama perjalanan tampak ceria dan selalu mesem, mendadak tegang. Saya melihat kedua tangan lelaki Betawi yang gemar melucu ini gemetar.

Kompak kami semua turun menghambur. Andi Amri yang berbadan besar langsung mengangkat sepeda motor lelaki tersebut hingga berdiri kembali, sedangkan Latief menemui si korban, yang baru berdiri dari rasa sakit setelah terseret hampir 3 meter itu.

Saya lega, begitu melihat di tubuh lelaki kekar, tinggi sekitar 165 cm, tak mengeluarkan darah.

“Gimana sih Bapak kok tiba-tiba muncul,” hardiknya.

“Ya saya minta maaf Pak, kalau saya salah… Ini kan bulan puasa Pak tak baik marah-marah, takut batal,” hiba Latief.

“Ah saya juga puasa!”

”Ya maka itu Pak, mending kita saling memaafkan. Sayang kalau puasa kita batal.”

“Udah… udah… udah… udah! Tak apa apa kok!” potong Andi Amri lembut.

Serentak perhatian kami semua tertuju pada sepeda motor si korban. “Tak apa-apa gimana! Ini banyak rusak,” ujar si korban, masih dengan suara meninggi.

Berpetualang di Pinang (2)

“Ah, tak ada lah Pak. Ini masih bagus semua kok,” balas Amri.

Saya perhatikan memang tak ada kerusakan fatal, cuma beset saja bagian sayap, bekas saling gesekan dengan bemper depan Kijang yang kami kendarai.

“Ngomong-ngomong Bapak mau kemana nih,” pancing Amri, coba mengalihkan perhatian. Akhirnya lelaki itu bercerita, dia mengendari sepeda motor dari Tanjungpinang hendak ke sebuah daerah di Kijang.

Sekadar di ketahui, jarak Tanjungpinang ke Kijang sekitar 25 batu (mil). Jika dalam kecepatan sedang, kita bisa menempuhnya sekitar 45 menit perjalanan. Kalau malam, sepanjang jalan gelap gulita, kalau siang panasnya minta ampun.

“Ya sudahlah Pak, saya maaf. Ini kan bulan puasa mending saling memaafkan, tak baik marah-marah, takut batal,” rayu Latief, sementara kami melihat suasana sudah tenang langsung kembali ke mobil.

Latief menyusul kemudian. Syukurlah, semua bisa dikendalikan. Jurus “bulan puasa” Latief ternyata manjur.

“Abang bisa gantikan nyetir?” tanya Latief pada Amri. Rupanya dia masih trauma.

“Ah, tidak ah. Lanjut aja, tapi pelan-pelan,” jawab Amri.

“Iya Tif, pelan-pelan aja,” timpal yang lain.

Seperti biasa, dari setiap tragedi selalu saja ada bahan yang bisa dijadikan bahan bercanda, seolah kami mengolok-ngoloknya. Mungkin ini sebagai pelarian untuk melepas stres dan ketegangan.

“Ha ha ha… manjur juga jurus puasa batal engkau ya,” ujar Agnes.

“Ya, kan benar kan. Ini kan puasa, nanti batal,” kelit Latief.

“Ngomong-ngomong mobilnya tak apa-apa Tif?” tanya Lilis.

“Ah… Tidak kok, paling dijilatin aja (bekasnya) hilang,” candanya.

***

Hari itu, memang menjadi hari yang sangat melelahkan bagi kami. Apalagi pas bulan puasa. Saya sendiri ke Pinang bersama Lilis untuk menghadiri penyerahan kursi roda sumbangan Yayasan maria Monic bagi anak penderita lumpuh layu, oleh Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan di kantornya, Senggarang.

Berpetualang di Pinang (3)

Acara ini sebenarnya dihelat pukul 09.00 WIB. Untuk itu, agar tepat waktu usai saya berangkat ke Pelabuhan Feri Punggur bersama Lilis dari Batam usai salat Subuh, sekitar pukul 06.00 pagi, selanjutnya pukul 07.00 nyeberang dengan speed boat.

Di Pinang sampai sekitar pukul 08.00. Di sana sudah ada Latief menjemput dengan Kijang sewaan, Novianti (12) anak penderita lumpuh layu dan ayahnya.

Selanjutnya, saya di antar ke kantor perwakilan, sedangkan Latief sebelum membawa Novianti ke Kantor Wali Kota di Senggarang, terlebih dulu mengantar Lilis ke rumah anak penderita lumpuh layu lain, Ganda Siahaan.

Saya sendiri ke Senggarang bersama Pimpinan Umum dan Kepala Perwakilan Sigit Rachmat, sekitar pukul 09.15. Keberangkatan ini molor dari jadwal, akibat feri Sentosa yang ditumpangi PU dari Batam, macet selama 15 menit di tengah laut. “Biasanya saya naik Baruna, tadi naik Sentosa karena terpaksa saja,” terangnya.

Perjalanan ke Senggarang sangat jauh. Dari Tanjungpinang jauhnya sekitar 25 KM. Mobil Honda Jazz yang kami tumpangi baru sampai sekitar pukul 10.00.

Sebenarnya satuan jauh di Tanjungpinang memakai istilah “batu” yang diambil dari bahasa Melayu untuk sebutan mil. Ini dibuat pada masa pendudukan Belanda berdasar jarak dari pelabuhan (batu 0).

Satuan jauh ini sekaligus berfungsi sebagai alamat. Makanya, di Pinang banyak ditemukan alamat rumah semisal Batu 6, batu 8 dan seterusnya. Satu mil sekitar 1,5 KM. Satuan kilo meter sendiri hanya dipakai di Senggarang, sebagai kawasan pemerintahan yang baru berdiri.

Yang cukup ngeri, kondisi jalan penuh naik turun dan kelokan dan tajam. Ini sangat melanggar hukum arsitek, sebab pengendara dari arah berlawanan tak dapat melihat posisi satu sama lain. Mestinya tanjakan, turunan dan kelokan tajam itu dikikis.

Saat acara penyerahan kursi roda berlangsung, ternyata masih tinggal dua anak Kijang yang tak datang. Sehingga kami putuskan menyerahkan pada mereka hari itu juga. Selanjutnya kami kembali ke Perwakilan, sembari menunggu dua kursi roda yang dibawa Latief.

Ternyata, kursi roda itu masih di Senggarang, otomatis saya Lilis dan Latief kembali ke Senggarang. Ampun.

Berpetualang di Pinang (4)

Beda dengan yang pertama, perjalanan kali ini dua kali lebih capek, selain panas, sistem pendingin udara Kijang itu tak sempurna. Selain itu, suspensi dan daya redam suaranya sudah tak berfungsi normal, sehingga suara mesin masuk ke kabin.

Dari sinilah kami menjemput Andi Amri dan Agnes Pintauli yang sudah menunggu di kantor KPAID Kepri. “Mereka yang tahu tempat anak itu,” jelas Lilis.

Sampai di Senggarang, panas terik. Setelah menjemput dua kursi roda yang berada di mobil Kabag Humas Abdul Kadir Ibrahim, kami meluncur ke Kijang. Yang pertama dituju adalah rumah Restu Setyo Widodo (12) di perumahan karyawan Korindo, yang terletak jauh di dalam rerimbunan pepohonan.

Rumah karyawan ini sangat sederhana dan suram, sesuram nasib PT Korindo itu sendiri. Luasnya kurang dari 60 meter persegi. Dindingnya berbahan papan yang disusun mirip domino. Di sini kami disambut Sumini, ibu Restu.

Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan ke rumah Adinda (7), bocah penderita lumpuh layu lain di Sidodadi Balakang Pasar Kijang, Bintan Timur.

Rumahnya berada di dalam perkampungan yang gangnya sangat sempit. Hanya bisa dimasuki satu mobil saja. Itupun mobil tak bisa langsung parkir di depan rumah, karena berada di bawah. Untuk ke sana, kami harus jalan kaki menuruni tangga semen yang cukup curam.

Kondisi keluarga ini lebih sederhana dari rumah Restu tadi. Mereka tinggal di rumah petak yang luasnya hanya 50 meter persegi. Ruang tamunya juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Sebuah televisi warna layar cembung 14 inc, setia menghibur keluarga ini.

Saat kami datang, Adinda tampak tergolek menyaksikan televisi. Kami pun disambut Susana, ibu Adinda yang masih muda. “Ayahnya kerjo,” ujarnya saat kami bertanya di mana sang ayah.

Setelah itu kami berangkat. Mobil pun sudah berbalik, akhirnya harus mundur, ”Mobil tak boleh masuk sini Pak. Jalannya tertutup,” jelas seorang wanita warga setempat.

Setelah minta maaf, kami langsung melanjutkan perjalanan. Hingga saat akan keluar dari gang perkampungan menuju jalan umum, di kanan kami ada tembok rumah yang cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan laju kendaraan dari sebelah kanan. Demikian juga sebaliknya.

“Awas Tif, hati-hati!” jerit saya. Namun belum tuntas kalimat ini, Sreeeettt… bruk… tabrakan itu terjadi.

Selasa, 23 September 2008

Aku dan Allah-ku

Setiap tamu yang bertandang ke rumah saya selalu bertanya,

“Za, mengapa engkau tak memajang lafal ‘Allah’ di rumah ini? Bukankah kamu Muslim?”

“Ini apa?” jawab saya sambil menunjuk kaligrafi ayat Kursi yang terpampang di ruang tamu.

“Bukan itu Za, lafal Allah. Lafal Allah-nya sendirian, tak digabung seperti itu,” balasnya.

Saya lama terdiam, coba untuk mengurai hal yang sudah lama tersimpan dalam core prosesor otak saya.

“Begini, menurut saya itu terlalu berisiko. Apalagi sekarang saya sudah punya seorang anak. Sebab jika tak siap, khawatir nanti malah mengkultuskan bahwa bentuk Allah seperti itu, sebuah huruf arab mirip trisula!”

Kawanku belum juga mengeti, lalu saya uraikan seperti ini;

Dalam Islam, kita salat selalu menghadap suatu zat yang maha luas, zat pencipta langit dan bumi. Karena itu, dalam surat Alikhlas disebut, tidak ada satupun yang dapat menyerupainya. Allah tak boleh digambarkan sebagai sesuatu, karena Dia melebihi dari sesuatu. Allah itu maha tak terbatas!

“Ya kamu benar. Lalu, apa hubungannya dengan lafal Allah tadi?” kawanku ternyata masih penasaran.

Begini, menghadap suatu hal yang maha luas, menghadap suatu hal yang tak berbentuk, merupakan suatu hal yang berat. Hal ini memerlukan kerja hati, bukan pikiran.

Masalahnya sekarang, jika hati kita tak mampu, maka otak manusia akan mencari jalan keluar. Tentunya, melalui cara dengan apa yang disebut logika. Ini bisa diambil dari beragam peristiwa yang sudah direferensi selama ini.

Otak selalu identik dengan pembuktian dan kasat mata (gambar). Jika suatu saat kita mengalami kebingungan, otomatis otak akan mencarikan jalan sesuai apa yang sudah kita referensi selama ini. Lalu, tertangkaplah mata kita pada lafal Allah itu. Dari sana, acceptor mata akan mematentan gambar tersebut ke otak belakang dan mencetaknya, bahwa itulah Allah.

“Ini yang aku takutkan! Makanya aku lebih aman memajang lafal Allah bersama dengan ayat lain.”

“Apa seperti itu Za?”

“Bisa jadi!”

Untuk lebih menyederhanakan maksud, saya mencontohkan kinerja otak ini dengan bagaimana anak kecil melihat kandungan ibunya. Saat ibunya bilang, “Ssst... jangan ramai ya, adek lagi tidur!”

Saat itu pula, otak si anak menggali memorinya dengan apa yang sudah dia tangkap selama ini. Maka jadilah dalam bayangannya, bahwa dalam perut ibunya itu adiknya tengah tidur di ranjang.

Hal ini pulalah sering saya temui saat salat di masjid raya Batam, iseng saya bertanya, apa yang Anda bayangkan saat salat. Mereka menjawab “Allah!”

“Bagaimana bentuknya?”

“Ya saya bayangkan saja lafal Allah itu!”

Jumat, 19 September 2008

Celoteh Ramadan (19)

Bulat sudah tekad Cik Amat untuk punya ponsel.

“He he he… Sebenarnye dah lame pun Abang mendamba punye henpon. Kalau dihitung, sebenarnye kite bise hemat,” kata Cik Amat pada istrinya Cik Minah.

“Ape maksod hemat tu Bang?!”

“Ye lah, kita tak perlu lagi beli jam. Bila nak sahur,tinggal aktifkan alarm saje. Jadi tak kanlah lagi kite kesiangan. Tip dan kamere juge ade.”

“Elok sangat tu Bang. Nanti kite bise foto bersame di Barelang,” balas Cik Minah.

Rupanya dia masih teringat saat pacaran dulu, sering berfoto bersama Cik Amat di pantai. Biasanya gaya favorit mereka adalah berdiri beradu punggung. Menurut Cik Amat, gaya ini lagi ngetren di Inggris, “Kite macam James Bond saje Minah,” serunya.

Singkat kata, dapat juga Cik Amat ponsel. Dia membeli di sebuah toko loakan di seputar Nagoya.

Kini setiap hari, kerjaan Cik Amat selalu ngutak-ngutik ponselnya. “Alamaak, Abang ini asyik main henpon saje. Dah macam bini saje dibuat,” komplen Cik Minah. Mendengar ini Cik Amat hanya cengengesan.

Lama kelamaan, Cik Amat bosan juga. Sudah seminggu tak ada juga yang nelepon atau meng-SMS. Padahal sudah dia pamerkan ke mana-mana, dengan cara terang-terangan, atau terselubung. Sampai-sampai Cik Amat mati gaya.

”Jangankan tongkol, cumi pun tak ade,” keluhnya pada Cik Minah.

“Cumi ape bang?”

“Cuma miskol,” jawabnya meniru iklan.

Hingga akhirnya, sekitar pukul 00.00 tengah malam, Cik Amat menerima SMS. Entah siapa yang mengirim, nomornya pun tak dia kenal.

Bunyinya seperti ini : Raja setan sedang ngabsen rakyatnya. Jin: Hadir bos. Setan: Ada bos. Vampir: Siap bos. Iblis dan genderowo: Lengkap bos.

Nah tuyulnya mana…? Ini bos lagi sibuk baca SMS.

Kontan saja Cik Amat kesal. “Alamaak. Macam betul saje, saye dibilang tuyol!” gerutunya sambil melanjutkan tidur.

Malam selanjutnya, di jam yang sama, SMS nyasar datang lagi. Tinut… tinut…Satpol PP Razia orang jelek. Hei, Anda terjaring razia orang jelek! Jangan pura-pura baca SMS, cepat naik ke mobil!

Kali ini Cik Amat mulai kesal. “Ape pasal saye dibilang jelek?!” rutuknya. Sebenarnya dia mau membalas nelepon, namun tak berdaya karena tak ada pulsa.

Yang bikin kesal ketika pada malam selanjutnya, pada jam yang sama dia mendapat SMS bernada kematian. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kita telah kehilangan seorang sahabat, kerabat. Malam ini jam 21.00 telah berpulang ke rahmatullah dan besok akan dikebumikan.

Sampai di sini, jantung Cik Amat berdegup kencang. Siapa gerangan sahabatnya yang meninggal itu. Lalu dia melanjutkan membaca lagi.

Mohon tabah dan tawakkal bagi yang ditinggalklan. Mohon pula dibantu doa agar jenazah teman kita, diterima di sisi yang Maha Kuasa. Maafkan jika ada kesalahan agar almarhum bisa pergi dengan tenang.

Selanjutnya dari tulisan ini ada ruang yang sangat panjang. Cik Amat makin deg-degan, mencari akhir SMS, siapakah gerangan yang meninggal. Hingga terakhir tertulis bahwa yang meninggal itu adalah: Ultraman Leo dibunuh monster cumi-cumi.

“Ampuuuun! Matilah engkau SMS sialan. Malam-malam bikin terkejot saje,” kali ini Cik Amat berteriak karena kesal. Cik Minah sampai terbangun dari tempat tidur karena kaget. Sejak saat itu, Cik Amat memutuskan me-non aktifkan ponselnya saat mau tidur.

Celoteh Ramadan (20)

Kepiawaian Tuk Mamat dalam membaca ayat-ayat Alquran dengan cepat saat menjadi imam tarawih, sudah tersohor hingga ke kampung jiran. Tak ayal, 23 rakaat itu hanya berlangsung singkat saja. Sekitar 45 detik perrakaat.

Inilah yang membuat warga hingga kampung jiran, sangat menghormati dan mangagumi Tuk Mamat. Reputasinya sebagai imam di musala itu tak juga tergantikan.

Tak heran, saat Tuk Mamat mau melakukan regenerasi ke Rahman, anaknya, banyak warga yang menolak. Bukan karena alasan KKN, namun karena alasan Rahman tak secepat ayahnya saat menjadi imam tarawih.

Tuk Mamat kini sudah menjadi aset berharga bagi warga. Di kepala mereka kini sudah terpatri, “Ingat tarawih, ingat Tuk Mamat!” Apalagi selama bertahun-tahun Tuk Mamat memimpin salat tarawih, tak sekalipun dia lupa bacaan atau rakaat.

Namun tak ada gading yang tak retak. Reputasi Tuk Mamat yang tak pernah lupa itu tercoreng pada peristiwa Minggu kelabu. Saat itu, Tuk Mamat telah bersiap melaksanakan tarawih rakaat terakhir.

Saat bersamaan, di samping musala ada rumah Cik Pipa yang kala itu anaknya yang masih kecil bernama Hindun, asyik bermain kembang api. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kembang api tersebut menyambar tangan Hindun, hingga histeris kesakitan, Wrraa wa wa…..

Jeritannya ini kontan mengagetkan jamaah tarawih. Semula mereka mau keluar menolong, namun tak bisa karena sedang tarawih. Tak ayal, jamaah tak lagi konsentrasi, badan memang masih di musala, tapi hati sudah melayang keluar.

”Ape cerite, ape cerite?” bisik hati Cik Madi, wartawan harian Koran Pak Kumis (KPK), mulai resah. Dia dihadapkan pada dilema, meliput ke luar atau terus tarawih.

Kekacauan konsentrasi ini juga merasuk di sanubari jamaah wanita di belakang. “Alamaaakkk… Ape die,” jerit hati Cik Minah. Meski berada di shaf paling tengah, namun ekor matanya tak lagi fokus ke tempat sujud, dia lirak-lirik liar ke luar seakan mau menjangkau jendela.

“Oooo, kasihan sangat budak tu. Tak ade pun yang nak nolong. Sudelah, salah emaknye, dah tahu budak-budak masih saje dibiar main kembang api sendirian,” uraian panjang kali ini keluar dari hati Cik Timah. Maklum, dia bisa melihat dengan leluasa ke arah tempat kejadian perkara, karena posisinya memang berada di samping jendela.

Paling parah tentunya dirasakan Tuk Mamat. Jeritan Hindun ini membuat konsentrasinya ketika dia membaca surat An-Naas dengan cepat, buyar.
“Alamaaaakkk… Budak siape tu mekik-mekik?” bisiknya.

Akibat tak lagi konsentrasi, maka setelah menginjak bacaan ayat ke lima surat tersebut, tak bisa dia selesaikan dengan baik. Tuk Mamat lupa. Mestinya, Alladi yuwaswisufi sudurinnas, macet di tengah-tengah menjadi.

”Alladi yuwas… wasss… wasss…”

Dia ulang lagi, “Alladi yuwas… wasss… wasss...”

Begitu terus. Empat kali, Tuk Mamat mengulang, hasilnya selalu sama, hingga membuat jamaah yang tadi perhatiannya tersedot pada jeritan Hindun, kini diguncang tawa. “Kik kik… bzzzz… bzzzz… Begitu bunyinya. Maklum, ketawanya ditahan.

Sadar usahanya gagal, Tuk Mamat lalu memutuskan mengganti dengan surat lain, Al Ikhlas. Dan kali ini berhasil. Tarawih pun bisa diselesaikan dengan baik.

Setelah berucap salam Tuk Mamat langsung berteriak pada para jamaah, ”Masyaallah…. Budak siape tuh, tak dijage?!”

”Hindon anak Cik Pipa, Tuk,” balas mereka sembari menghambur ke jendela melihat ke arah TKP. Rupanya Hindun sudah dibawa ke dalam rumah oleh Cik Pipa.

”Punye budak kecik tu, kena dijage, jangan dibiar saje main sendirian. Sampai salah bacaan tarawih saye,” lanjut Tuk Mamat.

Keesokan harinya, insiden jeritan Hindun ini ramai dibicarakan warga. “Tuk Mamat sampai salah baca An Naas, he he he.”

Celoteh Ramadan (21)

Cik Amat dan Cik Minah adalah pasangan pas-pasan. Agar lembar-lembar hidupnya terus berlangsung, mereka harus melakukan beragam jurus penghematan.

Di saat keluarga lain menghangatkan diri di dalam rumah dengan bersantai kala hujan, Cik Minah malah sibuk menampung air hujan dalam beberapa tong, mulai ukuran 100 liter hingga yang kecil 4 liter.

Tak heran, saat musim hujan, sisi-sisi rumah Cik Minah penuh berjejer ember dan tong, mirip prajurit Jepang berbaris.

Karena itupulalah, Cik Amat mendesain atap rumahnya sedemikian rupa, sehingga ada pancuran-pancuran kecil di tiap sisinya.

“Ini berguna supaye air hujan berkumpul, sehingga hasilnya banyak dan tepat sasaran ke tong,” jelas Cik Amat.

Hasil menampung air hujan ini mereka pakai untuk mandi, cuci dan kakus. Efeknya, cukup membantu penghematan anggaran rumah tangga mereka hingga 25 persen.

Selain itu, mereka selalu mencari inovasi-inovasi baru bagaimana menghemat air, misalnya mandi dengan satu ember air, atau memotong ujung leher angsa kakusnya, agar sekali siram kotoran bisa langsung hilang.

Penghematan ini juga mereka lakukan di sektor lainnya, seperti listrik. Intinya, di saat Presiden baru bisa mengimbau agar hemat enersi, Cik Amat dan Cik Minah sudah mekukannya jauh hari sebelumnya.

Dan di bulan Ramadan ini, menjadi berkah sendiri bagi Cik Amat dan Cik Minah. Tak kalah dengan pejabat daerah, saat inilah mereka juga menyusun jadwal safari Ramadan dari masjid ke masjid, tentunya untuk menikmati buka gratis atau undangan berbuka bersama.

Sekitar pukul 16.00 mereka sudah sibuk berdandan rapi, dengan segala persiapan. ”Segera Minah, supaye dapat tempat strategis lah,” ujar Cik Amat. Tempat strategis yang dimaksud di sini adalah dekat pilar. Sebab, di sini bisa ambil kolak dua mangkuk sekaligus tanpa ketahuan. Maklum, terhalang pilar.

Selain itu, Cik Amat dan Cik Minah juga aktif menghadiri buka bersama yang digelar pejabat dan semacamnya. Khusus hal ini, jadwalnya diatur terpisah supaya tak bentrok. “Segan lah Bang ditengok orang,” jelas Cik Minah.

Dari buka bersama inilah, mereka dapat membawa pulang makanan yang bisa sebagai bekal sahur nanti. Dengan demikian, mereka bisa menghemat anggaran sahur.

Seperti Senin lalu, Cik Amat dapat undangan menghadiri buka puasa bersama di rumah Pak Ngah, orang terkaya di kampung itu. Merekapun sumringah. ”Kalau dah rejeki, ade saje ya Bang.”

Seperti biasa, mereka pun mengatur strategi. ”Hei sini kumpul, ssst sstt...”

Hingga sesampainya di rumah Pak Ngah, mereka menyebar sesuai arahan yang telah dirapatkan di rumah. Formasinya 1 per 10. Rincinya seperti ini, jarak antrean Cik Amat, Cik Minah dan Sudin, anaknya, terpaut 10 orang. ”Jangan terlalu dekat sangat, malu kite,” begitu pesan Cik Amat.

Strategi kedua, tiap orang mengambil lauk lebih dari 1 jenis. Misal di piring Cik Amat harus ada ayam, rendang dan ikan tongkol. Demikian selanjutnya di piring Cik Minah sdan Sudin.

Setelah waktu berbuka tiba, mulailah Cik Amat memanggil Sudin, “Din sini Nak. Ikan ayah tak habis. Nih ayah kasih, mubazir kalau dibuang,” jelasnya dengan suara yang agak lantang. Sudin pun menurut.

Tak lama Cik Minah memanggil, dengan kata yang sama. Jadilah di piring Sudin penuh dengan lauk. Saat itulah, anak ini mengambil kotak lalu mengumpulkan aneka lauk itu untuk dibawa pulang.

Tugas ini memang hanya Sudin yang bisa lakukan, maklum, orang tak akan mencibir, namanya juga anak-anak.

Dengan demikian, Cik Amat bisa berhemat anggaran buka dan sahur pada keesokan harinya.

Tuolooong Diedit Ya...

“Tuolooong Diedit ya…”

Begitulah bunyi kalimat perintah yang selalu ditulis CEO Jawa Pos Grup Dahlan Iskan, saat dia menyerahkan materi “Catatan” pada para redakturnya.

Sungguh luar biasa kerendahan hati orang ini. Dahlan Iskan, yang tulisannya sangat bagus, masih minta diedit?

Apa tulisan Dahlan banyak salah? Saya sering melihat di tulisan asli si Bos yang tak ngebos ini. Sebenarnya tidak banyak salah, ada satu dua kalimat yang masih memakai pakem lama. Kadang juga ada sedikit kesalahan, huruf misal S jadi D. Itu pun paling hanya satu kalimat saja.

Namun yang pasti, setiap tulisan asli Dahlan Iskan yang saya lihat, sering kali tak ada judul. Entah apa alasannya.

Tapi saat tulisan ini masuk ke tangan para redaktur Jawa Pos, hasilnya sungguh luar biasa. Tulisan Dahlan yang memang bagus, menjadi kian elok. Kalimatnya yang lugas kian lancar, tak ada lagi kalimat yang salah, dan yang paling mengagumkan, tulisan itu tampil dengan judul yang lebih brilian!

Bicara soal redaktur atau editor ini, saya jadi ingat Ade Adran Syahlan, mantan Pemimpin Redaksi Pos Metro Batam. Tahun 2000 lalu dia pernah bialng begini, “Kamu tahu apa tugas redaktur?”

Saya diam saja.

“Tugas redaktur adalah bagaimana mengenalkan tulisan wartawannya ke masyarakat. Jika tulisan wartawan yang diedit redaktur, besok tambah bagus dan jadi bahan pembicaraan, maka disitulah nilai keberhasilan seorang redaktur.”

Begitulah ulasan Ade yang kini menjabat Pimpinan Umum di harian yang sama itu.

Dari ulasan ini, tentunya si wartawan harus jujur dan mau berbenah jika tulisannya yang diedit redaktur itu ternyata lebih baik. Bukan malah kian manja.

Karena terkadang masih saja ada wartawan yang tulisannya selalu kacau, jika ditanya, “Lho (merapikan tulisan) itu kan tugas redaktur!”

Namun kadang ada kasus bebalikannya, tulisan asli si wartawan sudah bagus, namun setelah masuk meja redaktur malah kacau, tak jelas lagi apa maksudnya. Kenapa begitu? Ternyata redakturnya tak bisa nulis, kalau nulis pun banyak salah.

Tak heran ngeditnya hanya main potong dengan berpedoman pada titik terdekat. Padahal, kadang inti sebenarnya dari tulisan itu ada di bagian bawah yang dia potong.

Berkaca ke Indopos. Akibat editan redaktur yang mengada-ngada, kantor harian tersebut diserbu orang-orang Hercules. Seorang wartawan mengalami patah hidung.

Soal sentuhan redaktur terhadap media ini bukanlah suatu hal yang main-main. Dalam sebuah pertemuan dengan persatuan editor seluruh Amerika, raja media Rupert Murdoch pernah berucap bahwa saat ini banyak pembaca yang telah meninggalkan surat kabar akibat hilangnya sentuhan editor dan wartawan terhadap pembaca.

Rabu, 17 September 2008

Celoteh Ramadan (16)

Tak terasa ramadan sudah menginjak malam terakhir. Warga kampung pun mulai menata banyak persiapan mulai merias rumah, belanja baju baru dan kuih muih.

Tak ayal angka kehadiran salat tarawih berjamaah di musala kampung menurun drastis. Tuk Mamat, sang imam pun resah melihat makin lama jamaah tarawihnya makin susut.

Jika malam-malam pertama shaf dipenuhi oleh beragam kalangan dan usia, kini yang tinggal hanya segelintir saja. Itupun didominasi golongan lanjut usia yang osteoporosis.

Kawan seiring Cik Minah saat tarawih pun, macam Cik Mamah dan Cik Titi sudah jarang kelihatan lagi.

Jadilah Cik Minah kini sendirian saat berangkat ke musala. “Semue dah ke mall, lah,” gerutu Cik Minah.”

Sebenarnya, Cik Amat dan Cik Minah ingin juga berangkat ke mall. Ya, meski tak belanja, minimal lihat-lihat saja. Namun tak enak pada Tuk Mamat, imam di kampung itu. Apalagi kini jamaah sudah menipis.

Namun, malam itu keinginan mereka ke mall akan terlaksana. Ini terjadi setelah saat ke musala, Tuk Mamat izin tak bisa jadi imam, karena ada keperluan. Dia pun menyiapkan pengganti, yaitu Rahman, anaknya sebagai imam.

Karena itulah, Cik Amat memutuskan tak ikut tarawih lalu mengajak istrinya pulang. “Saye tak kuat ikut makmum Rahman. Lambat sangat lah,” keluhnya.

Dalam perjalanan pulang itulah, Cik Amat terpikir untuk main ke mall yang selama ini selalu tertunda. Cik Minah pun setuju. “Ayo berangkaaaat,” aba-abanya.

Akhirnya sampai juga mereka di mall. Cik Minah pun gembira, rupanya dia tak bisa menyembunyikan sikap noraknya. Apa saja ditunjuk.

“Alamaaakkk, elok sangat ye bang. Cube tengok tu Bang Itu orang ape anak patung? Dari tadi berdiri saje tak bergerak lah,” teriaknya, sehingga menarik perhatian orang sekitar.

“Husss, jage sikap engkau Minah. Malu kite ni. Itu namanye manekin!” jelas Cik Amat.

Yang lebih norak saat Cik Minah mau lewat tangga berjalan. Kakinya gemetar, langkahnya lama tertahan sehingga membuat antrean panjang pengunjung mall.

“Saye takut lah Bang.”

“Cubelah, nanti engkau bisa. Ayolah saye bimbing,” ajak Cik Amat. Akhirnya Cik Minah bisa juga. Tapi, dia masih ketakutan, tangannya terpatri erat di pinggang Cik Amat matanya terpejam tak berani lihat ke bawah.

Di lantai atas itu, Cik Amat melihat diskon aneka dompet. Teringatlah dia akan dompetnya yang sudah lusuh dan robek di kiri-kanannya.

“Ini dari kulit asli Pak, yang ini dari kulit kayu. Semua diskon 30 persen Pak, jadi yang kulit sekitar Rp250 ribu yang kayu Cuma Rp120 ribu,” jelas penjaganya.
“Abang nak dompet ke? Ape Abang ada duit?”

“Tak lah Minah. Saye sekadar tengok saje. Tak kuat saye lihat harganye. Lagipun, buat ape dompet cantik, duitnya juga tak ade. Paling hanye diisi Rp1000-an saje same KTP SIAK,” jelasnya sambil berlalu.

Saat itulah mata mereka terpaut pada sesosok lelaki yang berdiri dua stan di depannya.

“Saye rase kenal Bang. Itu Tuk Mamat,” bisik Cik Minah. Penasaran merekapun mendekat. Ternyata dugaan mereka benar.

“Hei Tuk, orang cakap Atuk ade keperluan, rupanye ke mall juge?”

Kontan Tuk Mamat salah tingkah, “Ssssttt…jangan kuat sangat Minah. Saye nak beli sarung dan baju takwa.”

“Ha ha ha, rupnye Atuk tak tahan juge nak lihat mall, ha ha ha…” goda Cik Amat menimpali.

“Ah, tak adelah Mat. Tolonglah Mat, jangan bilang orang kampung. Tak enak saye,” pinta Tuk Mamat.

Celoteh Ramadan (17)

Lebaran sebentar lagi. Warga kampung pun mulai menata banyak persiapan di hari yang mulia itu. Yang lelaki mulai mengecat rumah, dan yang perempuan menyiapkan baju baru dan kuih muih.

Tek terkecuali Sudin, anak lelaki semata wayang Cik Amat dan Cik Minah yang berumur 10 tahun. Jauh-jauh har sudah mempersiapkan diri untuk “nambang”. Apa itu nambang?

Nambang adalah tradisi anak-anak di kampung itu. Biasanya mereka datang berkelompok ke rumah-rumah penduduk sembari mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf lahir batin. Dan terakhir, mereka mendapat angpao dari tuan rumah.

Ada kalanya, ketika semua rumah di kampungnya sudah habis didatangi, kadang mereka nambang hingga merambah ke kampung sebelah.

Karena inilah, tak heran jika mengapa jauh-jauh hari Sudin sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk urusan nambang ini.

Bak ahli manajemen kondang, dia mulai menyusun planning, organising, actuating, controlling. Karena itu, beberapa listing kunjungan sudah dia susun, termasuk kesiapan pakaian gombor dengan saku dalam pengaman, untuk menampung semua hasil tambangannya.

“Saku dalam ini supaye tak tampak tuan rumah. Sehingga angpaunya bisa banyak,” batinnya. Selain itu, saku dalam mirip kantung Doraemon ini, juga berguna untuk “mengoleksi” makanan kering yang menggiurkan di meja tuan rumah.

Sudin pun juga sudah melakukan analisa dan evaluasi dari pengalaman sebelumnya, lalu memilahnya.

Untuk rumah-rumah pemberi uang Rp100-an dia masukkan dalam “kelompok kering”, rumah pemberi angpau Rp500 dalam kelompok sedang, dan untuk pemberi Rp1.000 keatas masuk dalam “kelompok basah, atau jalur gemuk”.

Nah, melalui pemilahan ini maka Sudin membikin skala prioritas. Tentu saja, yang pertama dikunjungi adalah rumah-rumah yang masuk jalur gemuk, karena kalau terlambat maka khawatir tak kebagian.

Rute selanjutnya, tentu saja jalur sedang dan terakhir jalur kering. “Jalur kering, mau kapan pun di kunjungi tetap saje Rp100 saje,” hituingnya.

Besar kecilnya pemberian angpao ini bersifat tak permanen. Misal, rumah Cik Mamah yang biasanya masuk jalur kering karena hanya memberi angpau Rp100-an, pada tahun Sudin memasukkannya dalam jalur gemuk.

Alasannya, bukan karena badan Cik Mamah yang bertambah gemuk, namun karena seminggu lalu Cik Mamah menang arisan kampung. “dah tentu banyak pule duitnye,” batin Sudin.

Selain itu, besar kecilnya pemberian angpao ini juga tak tergantung besar dan kecilnya rumah. Misal, rumah Pak Ngah yang besar itu, tak menjamin memberi angpao yang fantastis

Buktinya, rumah Cik Titi yang meski sederhana, namun mampu bertengger dalam peringkat Top 10 pemberi angpao fantastis dalam daftar Sudin. Beda dengan rumah Pak Ngah. Meski besar dan bertingkat, namun tetap saja bertahan di jalur kering.

Hal ini tak lepas dari campur tangan istrinya, yang memang sangat perhitungan. “Alamaaaak, kedekut sangat lah,” rintih Sudin.

Namun, tahun ini Sudin berharap akan banyak pemasukan, hal ini terkait maraknya warga yang ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, sehingga diharapkan mengucurkan anggaran cukup lumayan untuk meraih simpati warga, termasuk pemberian angpau tadi.

Yang terakhir ini kayaknya Sudin akan salah perhitungan, sebab usia dia bukanlah usia pemilih. Jadi, para calon DPRD itu akan sulit mencoret anggaran pembangian angpau untuk anak-anak, he he he.

Celoteh Ramadan (18)

Lebaran, terasa kesayuan…
Lebaran, takbir bersahutan…
Lebaran, memuji keagungan
Bergema suara syukuri nikmat Tuhan…

Lagu Sesuci Lebaran dari Siti Nurhalisah, ini terus menerus berulang dari pemutar VCD buatan China milik Cik Mamat.

Hari ini mereka berhari raya. Hari ini mereka mengenakan pakaian terbaiknya, tak lupa Cik Minah mengenakan jilbab humairah, yang 10 kali dia kredit pada Cik Masna, pedagang baju muslim tersohor di kampung itu.

Setelah pulang, usai salat Id di lapangan kampung, Cik Amat, Cik Minah dan anaknya yang berumur 10 tahun, Sudin pun saling maaf memaafkan.

“Saye pohon ampun maaf ye Bang. Dah banyak dose saye Bang,” tangis Cik Minah, bersimpuh di hadapan Cik Amat.

“Ye lah Minah. Same-same. Abang juge mohon ampun maaf jike ade silap kate atau perbuatan.”

“Sudin juga mohon maaf Yah.”

“Ye lah Nak. Jangan nakal lagi.”

”Tapi, duit rayenya mane Yah?” rengek sudin, ternyata dia ada maunya.

“Ah budak ni, bise saje. Nih ambillah,” ujar Cik Amat sembari menyodorkan dua lembar uang Rp5 ribuan. Sudin pun senang.

Selanjutnya, meraka langsung menuju meja makan. Sajian ketupat dan opor ayam, sudah menanti. Karena tak ada uang, Cik Minah beli daging ayamnya hanya bagian paha saja.

“Sudelah, kalian makan saje ayam ni. Nanti saye nak makan di open house Pak Ngah, saje,” ujar Cik Amat mengalah.

Setelah makan, mereka menuju rumah tetangga. Tempat Tuk Mamat, sesepuh kampung, menjadi tujuan pertama mereka.

“Maafkan saye Tuk, dah lempar Atuk dengan petasan. Saye tak tahu kalau di dalam tandas ade atuk,” hiba Sudin, mengakui dosa-dosanya.

“O, jadi engkau budak tu Din? Hampir saje saat itu jantung Atuk lepas. Sudelah, kerana ini lebaran, Atuk maafkan engkau Din. Tapi jangan diulang ye?!” jelas Tuk Mamat, penuh arif.

Selanjutnyua mereka menuju rumah Cik Mamah. Kali ini Cik Amat yang minta maaf. “Saye minta maaf Mah, dah sempat nyergap engkau saat jadi keamanan kampung.”

“Sudelah Mat, tak ape, saye dah tak kesa. Lagipun engkau masih laki Minah, sahabat aku,” ujar Cik Mamah.

“Saye juge minta maaf Mah, dah kentut diam diam saat tarawih beberapa pekan lepas. Soalnye saye dah tak tahan, kebanyakan makan kolak!”

“O… Jadi engkau yang kentut Minah? Alamaak, pantas selepas saye cium bau busuk, engkau tak ade. Ha ha ha…”

“Sssst, sudelah Mamah, jangan kuat sangat, malu aku ini,” sergah Cik Minah tak kuasa menahan malu, lalu buru buru mengerem ledakan suara Cik Mamah.

Begitulah, hari itu semua insan bergembira menyambut hari raya. Semua saling bermaafan.

Celoteh Ramadan juga ikut mengucapkan, Selamat Hari Raya Idul Fitri bagi kaum Muslimin, jika ada kalimat dan kisah kurang berkenan pada edisi terdahulu, mohon maaf lahir batin.

Selasa, 16 September 2008

Empat Bulan, Regalia



Jika ada masalah, biarkanlah hal ini terjadi di hariku, agar anakku merasakan kedamaian.

Kalimat ini terus menggedor relung hatiku setaiap kali saya melihat Regalia, putriku yang kini sudah 4 bulan mewarnai hidup kami.

Sekarang dia sudah pandai ngoceh, sembari menghentak-hentakkan kaki dan tangannya, persis pemain marching band. Ocehannya laksana kicau burung-burung surga, tenang dan membahagiakan.

Wajah lugunya terus membayang. Rambutnya hitam, sehitam tanah pertanian di kampung kami. Pipinya selembut kapas beranyam sutra. Tatapan matanya dalam menyejukkan, sedalam dan sesejuk sumur Hang Tuah.

Saat tersaput jilbab mungil, wajahnya tampak sebulat bulan di malam ke-15. Dentum tawanya, seolah bom nutron yang menghancur leburkan semua penat dan sakit ku.

Saat menangis, seakan dada saya ikut dihentak. Lelehan aliran air matanya, seakan melepaskan katup bendungan air mata ku. Rasa sakitnya, seolah menggores palung hati ku yang paling dalam.

Namun saat dia terlelap di pangkuan, seakan memantik selaksa api semangat dan membangkitkan tsunami gairah untuk terus hidup berjuang. Hidup membangun imperium.

Regalia, ini bukan puisi nak. Ayah tak mampu membikinnya. Ayah bukanlah Indra Putra yang sempurna, ayah hanyalah seorang juru tulis, pegawai rendahan yang suka menulis. Karena kata Pram, tulisan bisa melahirkan budaya.

Bahkan rangkaian tulisan pertama paling atas pun bukanlah karangan ayah. Ayah mengutipnya dari pengarang barat bernama Paine, karena saat membacanya, ayah merasakan ruh pengorbanan, perjuangan dan kasih sayang di dalamnya.

Jangan marah ya, ayah memang menjiplak, tapi bukan membajak. Lagi pula, era globalisasi ini memang era menjiplak kok. Maklumlah Regalia, zaman sudah tua, apapun yang kita kerjakan, sudah pernah dilakukan para pendahulu kita. Kita hanya menyesuaikannya saja.

Arswendo juga pernah bilang seperti ini lho. Dulu, dulu sekali, 21 tahun sebelum engkau lahir. Ayah baca ulasannya di Majalah Hai.

Meski demikian, jika saatnya nanti engkau bisa membaca tulisan ini, tundukkan pandanganmu ya. Karena kamu akan tahu, bahwa ada seorang ayah yang sangat mencintai, mengasihi, dan berusaha membuat harimu damai di masa mendatang.

Tumbuhlah putriku. Gapai impian dan keinginanmu, jadilah Regalia. Tapi hati-hati, karena tak semua keinginan bisa engkau dapatkan. Socrates menulis: Dari keinginan yang mendalam biasanya ada kekuatan yang mematikan.

Regalia, ayah bisa jadi tak bisa terus menemanimu, namun teruslah melangkah.

Leonardo Da Vinci menulis: Hidup kita diciptakan dari kematian orang lainnya.

Cicero menulis: Kehidupan yang mati tersimpan dalam kenangan yang hidup.

Minggu, 14 September 2008

Rivers of Dream (1)


Sungai.

Bagiku kalimat ini berati sebuah kenangan masa kecil yang romantis dan seksi. Sama dengan pemujaan Billy Joel dalam lagunya Rivers of Dream.

Sungai di Pulau Bawean, berbeda dengan sungai pada umumnya di Jawa dan Kalimantan yang sangat lebar. Sungai-sungai di tempat kami sangat kecil, lebarnya kurang dari 10 meteran saja.

Hulunya berasal dari 99 gunung yang tersebar di serata pulau dan bermuara di serata pantai yang mengelilingi pulau yang mungil ini.

Di sepanjang badannya terbaring perkampungan penduduk, yang otomatis memanfaatkannya sebagai sarana mandi cuci dan kakusnya (MCK). Tapi itu dulu, sebelum sanitasi jamban tergusur oleh septik tank. Kini? Masih ada juga, tapi di pedalaman saja.

Sungai tempat saya biasa main Letaknya di Kampung Bengko Sobung bagian selatan. Sumbernya dari Gunung Teguh dan bermuara di Songai Topo. Di kanan kirinya, berpagar tebing setinggi dua meter. Karena itu, untuk bisa menjangkaunya warga harus turun melalui jalan setapak yang dibentuk berundak.

Hingga saya dewasa, saya belum tahu apa nama resmi sungai ini. Karena sekali lagi, berbeda dengan sungai di Jawa atau Kalimantan yang memiliki satu nama —semisal Sungai Barito atau Sungai Berantas— sungai di Bawean dari hulu ke hilir memiliki banyak nama.

Nama ini diberikan warga kampung di sepanjang bantaran, untuk menandai wilayah yang menjadi tempat MCK-nya. Jadinya bermacam-macam. Di kampung Barat Laut, misalnya, orang-orang di sana memberi nama wilayah MCK-nya dengan sebutan Sungai Kalaka atau Leg-ghung. Kalau di Desa Patar, orang setempat menyebut Sungai Patar Selamat. Begitu seterusnya.

Sedangkan di tempat saya bermain disebut Songai Bebine dan Songai Lalake (Sungai Perempuan dan Sungai Lelaki). Sesuai namanya, Sungai Perempuan khusus untuk MCK kaum wanita, letaknya di hulu. Sedangkan Sungai Lelaki, khusus kaum lelaki, berada di hilirnya. Jarak keduanya hanya terpaut 50 meter saja.

Dulu di pagi hari, kaum wanita ramai melakukan aktivitas MCK mulai pukul 07.00 hingga 09.00 pagi. Tempatnya di bagian aliran sungai yang dangkal. Aktivitas ini ini akan berulang pada sore hari, yang dimulai pukul 16.00-17.30. Demikian pula Sungai lelaki, namun tentunya tak seramai di sungai perempuan.

Sebenarnya, saya sendiri warga Kampung Kotta. Kampung saya tak berada langsung di bantaran sungai ini. Untuk ke sana, saya harus berjalan sekitar 200 meter.

Saya masih ingat, dulu ibu sangat melarang saya bermain di sungai. Kata ibu, airnya kotor dan bisa menyebabkan penyakit. Namun, saya kadang diam-diam melanggar aturan ini.

Rivers of Dream (2)

Di masa kanak-kanak, saya dan kawan-kawan paling suka bermain di Sungai Perempuan. Karena aliran airnya tenang, jernih dan enak untuk berenang. Kiri kanannya penuh tumbuhan hijau, semisal bambu dan pohon camplong berusia ratusan tahun, sehingga sangat sejuk.

Tempat berenang ada di bagian hulu dari tempat MCK wanita. Di sana airnya cukup dalam, sekitar 2 meter-an. Di sisi timur ada gundukan tanah cukup tinggi yang di atasnya ditumbuhi pohon kelapa yang sudah rubuh.

Di sinilah tempat favorit anak-anak untuk bersalto, atau duduk menebar pancing. Sekadar diketahui, Sungai Perempuan kaya akan ikan dan udang. Sayapun kerap mancing di sana sepulang dari sekolah dasar. Ikan dan udangnya jinak-jinak. Bahkan, Maswadi, kawan saya cukup mahir menangkap udang hanya menggunakan dua tangannya.

Di Sungai Perempuan juga banyak ikan lele, kami menyebutnya “se-ongan”. Kami sudah hafal tempatnya, biasanya di bawah akar pohon bambu tepat di belokan (perbatasan) antara Sungai Perempuan dan Sungai Lelaki.

Karena itulah, warga sekitar sering menangkap ikan lele ini dengan cara disuluh pada malam hari. Bahkan ada pula yang memberi racun potas. Pernah sekitar tahun 1987-an, seorang Prajurit Dua TNI bernama Toha, bersama Buang Guntur warga Kampung Kotta menebar racun potas di sungai ini.

Hasilnya tak hanya ikan lele, binatang lain seperti ikan gabus dan kura-kura ikut mabuk. Namun, Buang dan Toha hanya mengambil ikan lele saja hingga dapat beberapa ember. Malam itu, warga Kotta pesta ikan lele.

Tapi dampaknya, ikan sungai ini tak bisa dipancing lagi. Paling tidak kami harus menunggu hampir setahun, karena ikan-ikannya hampir punah. Jika ada yang masih bertahan, itupun hanya ikan betuk saja.

Peristiwa ini cukup membuat ayah saya kecewa. Maklum, Ayah saya dulu pernah punya kenangan akan Sungai Perempuan ini. Saat Bulan Ramadan ketika masih di SR, dia sempat menyelam sambil minum air. “Soalnya airnya sejuk,” jelasnya sembari mesam-mesam.

***

Sementara itu, sungai lelaki sangat gersang dan tandus. Yang ada hanya tanah lempung. Ikannya pun tak terlalu banyak. Paling juga hanya ikan betuk dan ikan perak.

Meski demikian, karena bantarannya yang tak terlalu banyak akar, sungai ini menjadi favorit kami saat bermain kapal kapalan.

Rivers of Dream (3)

Saya masih ingat, dulu ketika musim main kapal-kapalan tiba, saya kerap melombakan kemampuan mainan masing-masing dengan anak sebaya. Umumnya mainan kapal-kapalan saat itu berbahan sabut kelapa lalu diberi layar plastik.

Namun mainan saya sudah berbahan plastik hasil rakitan pabrik. Kebetulan ayah adalah seorang pedagang yang bolak-balik ke Jawa, sehingga saya bisa memesan mainan itu.

“Yang mirip speedboat ya Pak. Depannya yang lancip. Jangan yang model Parao Salasa-an (perahu dagang Madura) lagi ya,” pinta saya. Sebelumnya memang saya punya kapal-kapalan, tapi bentuknya tak langsing. Bodinya gemuk, mirip perahu dagang Madura, sehingga kurang lincah membelah air sungai.

Tak lama pesanan saya dapat. Namun saya kurang puas, karena larinya kurang laju. Akhirnya, kapal-kapalan dari ayah berbentuk speedboat bercorak coklat di bagian atas dan putih pada lambungnya itu, langsung saya bongkar.

Propelernya yang semula bercabang tiga berbahan plastik, saya ganti cukup bercabang dua yang dibentuk dari kaleng minuman, sehingga lebih ringan. Lalu saya tekuk sedikit saja, agar daya dorong ke air cukup memadai.

Sedangkan power supply-nya yang hanya menggunakan satu batrey ABC ukuran tanggung, saya ubah dengan dua batrey kecil. Alhasil, tenaga dorongnya sangat maut, sehingga kapal-kapalan saya sangat kencang larinya.

Di bagian sirip belakang, yang semula dari plastik, juga saya ganti berbahan kayu berukuran agak besar, sehingga mampu menghasilkan arah yang maksimal.

Yang bikin puas adalah, ketika kapal saya membelah air, menimbulkan gelombang yang cukup keras, sehingga mengguncang kapal-kapal yang dilaluinya.

Apa arti sebuah nama? Bagi saya penting. Makanya, saya mengukir tulisan 234 dengan spidol hitam, di kanan kiri lambung bagian depannya. Saya menyebutnya Dji Sam Soe. Nama ini terinspirasi dari nama boat barang milik orang pateken, di pelabuhan Ujung.

***

Ada beberapa hal yang tak kami lakukan saat main di sungai. Misalnya, jangan mandi pada tengah hari saat masih berkeringat. Sebab bisa menyebabkan kematian. Pantangan ini kami pegang setelah Udin anak Bengkosobong, meninggal di Sungai Lelaki gara-gara langsung mandi usai main kejar-kejaran.

Pantangan lain, jangan main ke sungai pada hari Jumat siang. “Nanti kamu diganggu ocek-ocek nandheng,” pesan ibu. Ocek-ocek nandheng kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia (Jawa?) adalah ulek-ulek berjoget. Ini adalah sejenis mahluk halus (pada bagian lain saya akan ceritakan berbagai mahluk halus yang jadi tahayul orang Bawean).





Selain itu, kalau ke sungai hari Jumat nanti akan bertemu “oreng pangalak olo” alias manusia pemeggal kepala. Semua ini adalah tahayul saja. Tujuannya, untuk nakut-nakuti anak-anak agar salat Jumat dari pada main ke sungai. Meski begitu, hal ini cukup bikin nyali anak-anak keder.

Pantangan lain? Yang ini bukan tahayul! Jika di Sungai Lelaki, jangan sesekali memakai batu licin sebesar bantal yang terletak di bibir sungai. Karena batu itu domaian Kak Kurne, orang pengidap lepra. Seperti diketahui, lepra merupakan penyakit yang paling ditakuti warga kampung. Mereka bilang itu kutukan.

Warga takut bersentuhan dengan mereka, sehingga penderita lepra ini terkucil dari pergaulan. “Nanti kalau disentuh Kak Kurne tanganmu akan cikur (maksudnya kriting),” bisik Acang, teman sepermainan, pada saya. Sayapun ngangguk ketakutan.

Selain beberapa pantangan tadi, ada juga keisengan yang sering terjadi di sungai. Apalagi, selain ngintip orang mandi. Untuk yang satu ini, harus memiliki nyali yang kuat dan iman yang lemah. Saya terus terang tak berani. Itu biasanya dilakukan anak yang sudah remaja.

Selain itu, banyak kaum lelaki dewasa yang memanfaatkan sungai untuk melampiaskan hasrat seksualnya: onani. Kawan saya Yusuf pernah bercerita, pernah saat melintas di Sungai Lelaki, pandangannya tertangkap pada aksi Madi orang Barat Laut, tengah asyik beronani.

“Saya kira ngapain, eh kok Madi wajahnya lain. Tak tahunya onani,” kisah Yusuf.

***

Ketika datang musim hujan, disertai air bah berwarna merah, sungai ini kembali ramai. Namun,mukan oleh aktivitas MCK melainkan canda anak-anak yang main anyok-anyok-an (hanyut-hanyutan), semacam arung jeramnya anak-anak-lah. Bedanya, perahunya berasal dari ban dalam mobil.

Rute anyok-anyok-an ini dimulai dari Sungai Lengghung dan finish di Songai Topo, hampir ke muara.

Kalau sudah begini, biasanya tak ingat waktu. Bisa sampai sore.

Kini semua kenangan itu sudah lenyap. Saat saya pulang pada 2007 lalu, saya lihat sungai tempat kami bermain sudah tak seindah dan seaman dulu lagi. Airnya kian bau, keruh dan menghitam, di kiri-kanannya penuh sampah rumah tangga, umumnya plastik.

Tak ada lagi tawa anak-anak bermain atau canda ibu-ibu saat mencuci pakaian. Tak ada lagi (onani) Madi, tak ada lagi Kak Kurne.

Airnya juga kian dangkal. Tak adanya tempat pengelolaan sampah, membuat penduduk di Bawean terus membuang sampah di sungai.

Sungai impian itu kini telah menjadi mimpi buruk.

Universitas Batam Pos

Tak terasa, sudah hampir 10 tahun saya kuliah di Batam Pos, sebuah perusahaan pers terbesar dan berpengaruh di Kepulauan Riau.

Saya bergabung ke Batam Pos pada 12 November 1999. Saat itu namanya masih Sijori Pos, kantornya masih di lantai III ruko Orchid Poin, Jodoh.

“Sijori” adalah kependekan dari Singapura Johor Riau, sebuah program segitiga emas yang pernah di gagas Habibie. Kala itu, memang Batam masih masuk wilayah Provinsi Riau yang berpusat di Pekanbaru. Provinsi Kepri sendiri baru terbentuk sekitar tahun 2003 lalu.

“Bagaimana kamu mau bertugas di Batam, sementara kamu belum pernah menginjak daerah ini,” tanya Marganas Nainggolan, Pemimpin Umum Sijori Pos, sebelum memutuskan apakah saya diterima bekerja di koran ini.

“Saya bisa bejalar Pak. Begini saja Pak, kapan saya bertugas, biar saya bisa membuktikan perkataan saya,” jawab saya.

Memang, saya baru merantau ke Kepulauan Riau. Kala itu saya tinggal di Tanjungpinang. Saya mendengar lowongan penerimaan wartawan Sijori Pos, dari iklan di koran ini pula.









Setelah saya diterima, “pangkat” saya kala itu adalah calon koresponden 1 (ck 1). Ujian awal saya saat itu, ketika ditugaskan ke medan perang di Kawasan Industri Bintan, Lobam. “Perang” saya sebut demikian karena kala itu tengah terjadi pendudukan kawasan industri ini oleh orang-orang tempatan yang bersenjatakan panah, tombak dan parang.

Kasus ini menjadi isu internasional dan sempat mengencam hubungan antar Indonesia Singapura. Maklumlah, pemilik saham terbesar Kawasan industri tersebut adalah orang-orang Singapura.

Negosiasi pun tak mempan. Hingga akhirnya, sepasukan penembak jitu dari Brimob Polda Riau (baret hijau) diturunkan. Skenarionya, mereka akan bergerak jika perundingan pukul 20.00 tak berhasil.

Sialnya, namanya saja wartawan baru, saya terjebak di tengah massa dan terkurung di Lobam. Saya berhasil menyusup ke dalam kawasan tersebut, karena mengaku sebagai warga setempat.

Di dalam sana saya melihat warga sudah siap sedia. Bahkan telah menyiapkan beberapa BBM cair dan sumbu yang siap akan mereka lemparkan ke pembangkit listrik, jika suatu saat terjadi pendudukan paksa oleh aparat.








“Gila, bisa mati neh. Gaji pertama belum juga cair,” batinku. Mana saat itu Lobam gelap gulita, karena listrik dipadamkan. Bayangkan bila nanti Brimob itu datang, saya bisa mampus dihabisi. Apalagi, saya tak selembarpun mengantongi surat tugas sebagai wartawan.

Tapi sukurlah, di tengah kegalauan itu, tepat pukul 20.00 Bupati Bintan A Manan, Ketua DPRD Bintan Hoesrin Hood datang bersama beberapa pimpinan TNI. Negosiasi dilakukan, akhirnya berhasil. Sayapun bisa bebas, lalu pulang ke Tanjungpinang dengan bus muspida.

Sesampainya di Batam, saya ditemui Pemimpin Perusahaan Marganas Nainggolan. Saya bersyukur bukan main, lalu saya peluk dia. Marganas pun kebingungan. Ya, mau bagaimana lagi, ini adalah reaksi spontan. Namanya juga baru luput dari maut.

Dari sini saya belajar, bila terjadi hal semacam ini saya harus berada di posisi bersama aparat. Jangan sebaliknya, bisa bonyok.

Tepat Februari tahun 2000, Sijori Pos membentuk sebuah koran kriminal, namanya Batam Pos. Kantornya masih di ruko Orchid Poin, tapi lantai II. Saya pun diajak bergabung ke sana.









Di sini, pangkat saya naik, jadi reporter. Kodenya “EZA”. Kode ini diberi oleh Andra, Koordinator Liputan saya kala itu.

Menurut Andra, di kantor pusat Riau Pos, Pekanbaru, kode biasa dipakai sebagai panggilan wartawan yang bersangkutan. “Jadi biar mudah manggilnya, sesuai kode,” katanya.

Ahh sudahlah, apalah arti sebuah kode. Yang paling penting, status saya langsung jadi karyawan tetap.

Di koran ini saya merasakan hidup prihatin. Pertama berdiri, komputer hanya 5 buah. Itupun sudah termasuk milik Pemimpin Redaksi Ade Adran Syahlan. Belum lagi, ada gep-gepan. Batam Pos, dianggap koran anak bawang yang selalu dicibir. Waduh berat sekali.

Dari sini saya belajar untuk fight. “Yang penting bikin liputan yang bagus, bikin Sijori Pos tiap hari kecolongan,” kata Socrates, Redaktur Pelaksana saya saat itu.

Selain itu, saya kembali dihadapkan pada sebuah peristiwa, di mana saya didemo sekelompok anak buah Pardianto, Bos Yayasan perguruan Tinggi nasional (YPTN). Kala itu, mereka meminta agar saya dipecat.











“Pecat EZA,” teriak mereka, menyebut kode dalam berita itu. Bahkan, ada sebagian berteriak “Bakar… Bakar…”

Saat demo berkecamuk, saya lihat wajah karyawati divisi usaha di lantai I ketakutan. “Ah, gara-gara beritamu ini,” ujar salah seorang dari mereka, merasa tak senang. Di tengah situasi itu, saya bertemu Marganas. Rupanya, dia baru menemui para pendemo.

“Pak, kalau saya salah, pecat saja saya!” ujar saya saat itu.
Marganas kaget, “Ah, sudahlah Reja, santai saja. Tak ada yang mau pecat kamu!” katanya. “reja, ya begitulah Marganas memanggil saja. Lidahnya tak bisa menyebut “Z”.

“Tapi tak enak juga saya kalau bikin repot begini Pak!” saya ngotot.
“Ah, sudahlah Reja, tak usah dipikirkan!” katanya. Hatiku agak tenang.

Oh ya, sekadar diketahui, awal peristiwa ini, karena saya memberitakan bahwa aksi unjukrasa PPN dan PPN BM oleh tukang ojek yang dimotori YPTN, dibayar. Buktinya, saya yang kala itu menyamar sebagai tukang ojek yang ikut demo, diberi kupon oleh panitia untuk ditukar dengan nasi dan uang. Kupon itu saya simpan dan jadi bukti di kantor.
















Namun yang saya curiga, ternyata malam harinya sebelum berita ini naik cetak, Pardianto sempat datang ke kantor. Entah apa yang dibicarakan, yang jelas dia sepertinya tahu kalau akan ada berita tersebut di-keesokan harinya.

Setelah demo usai, diputuskan agar kode saya diganti. Oleh Andra saya diberi kode CR6. “Kode ini hanya tiga bulan saja,” katanya. Dan benar, setelah masa itu berlalu, kode saya kembali lagi. Namun bukan EZA, melainkan FAH, kependekan dari Fahlevi, nama terakhir saya.

Hikmah dari peristiwa ini, saya belajar tetap tenang menghadapi situasi kritis. Dri sini jualah, hubungn saya dan Amdra kian erat. Ibarat adik-kakak. Sayapun tinggal di rumah Andra. Senang susah bersama.

Di Batam Pos-lah, saya belajar matang sebagai seorang wartawan. Saya belajar menulis dari Andra, hingga selanjutnya, Pemimpin Redaksi kami Ade Adran Syahlan, mengajari saya bagaimana menjadi seorang redaktur.

Ade, membimbing saya bagaimana mengawinkan sebuah berita yang diambil dari internet. Dan, bagaimana mengasuh sebuah halaman, membikin rubrikasi dan lain-lain. Pokoknya tugas saya kala itu, persis redaktur.

“Sudahlah, kamu duduk saja di sini,” katanya, menunjuk pada kursinya. Saya canggung juga, gimana mau duduk di kursi Pemred. “Ah santai sajalah,” katanya.

Rupanya, Andra kurang setuju akan hal ini. Status saya kan masih reporter, bukan redaktur. Sayapun terlibat konflik internal, hubungan saya dengan Andra yang semula bak kakak-adik, akhirnya retak.














Andra memang benar, selaku KL dia harus tegas, namun saya bingung juga, karena saya harus patuh pada Pimpinan redaksi.

Akhirnya, saya diputuskan kembali meliput ke lapangan. “Ah sudahlah Reza, tak jadi redaktur juga tak apa,” hibur Socrates.

Namun tak lama beberapa karyawan baru berdatangan, jumlah halaman pun bertambah, sayapun jadi juga redaktur. Kali ini, posisi saya di halaman Metro.

Selanjunya, setahun saya di Batam Pos, saya diminta kembali ke Sijori Pos. Isu soal ini, sebenarnya sudah lama saya dengar dari beberapa wartawan Sijori Pos, “Saya dengar dari Pak Marganas, kamu akan ditarik lagi ke Sijori, Za,” kata Agnes, wartawan Sijori Pos di Sekupang, beberapa waktu sebelumnya.

Hingga akhirnya, Marganas memanggil saya ke ruangnya, “Saya rasa ini bagus untuk kartir kamu ke depan,” ujarnya. Saya hanya terdiam.

“Apa saya bisa ya Pak?”
“Kamu pasti bisa,” jelasnya.

Namun, ternyata saya belum juga pindah. Saat itu, Pak Rida CEO kami, datang ke redaksi Batam Pos. Dia bertanya, kok saya belum pindah, “Kenapa Mas, kan sama saja. Bedanya kalau di sini rujak, kalau Sijori Pos itu (saya lupa…)”








Akhirnya 2001 saya resmi kembali ke Sijori Pos. Saat itu saya memegang halaman Opini, lalu disambung Internasional, higga akhirnya saya megelana dari sesi utama, Metropolis, Daerah dan lain-lain.

Ini yang penting, saat kembali ke Sijori Pos, kode saya juga kembali berubah. Kali ini saya tak mau sembarangan, saya pun menelepon dokter Stiajit Yang, kenalan saya yang ahli fengsui dan hongsui itu. “Tunggu beberapa hari lagi ya…” katanya, sembari meminta agar saya meng SMS nama lengkap saya.

Dan benar, setelah beberapa hari berlalu, Stiajit meng-SMS saya. “Kodemu REF,” ujarnya. Ini adalah kependekan dari Reza Fahlevi. Sayapun menyuikainya, soalnya mirip dengan kependekan refrain, nada tinggi dari sebuah lagu. Kebetulan juga saya suka musik.

Kode ini terus saya pakai, hingga Sijori Pos berganti nama menjadi Batam Pos di tahun 2003, dan pindah ke gedung Graha Pena tahun 2006. Bahkan hingga kini, sebagian rekan memanggil saya “REF”.

Dari sini saya terus belajar. Saya belajar dari pengalaman, dari interaksi, dari masalah, bahkan dari para pimpinan.

Dari Dahlan Iskan, saya belajar menjadi seorang visioner.
Dari Rida K Liamsi saya belajar menjadi bijaksana.
Dari Marganas Nainggolan saya belajar seni kepemimpinan.
Dari Ade Adran Syahlan saya belajar telaten.
Dari Socrates saya belajar tiada hari tanpa bekerja.
Dari Andra S Kelana saya belajar menulis.
Dari Hasan Aspahani saya belajar kreatif.
Dari Candra Ibrahim saya belajar tetap tenang dalam memutuskan sesuatu.
Dari Usep RS saya belajar lobi.
Dari Herman Mangundap saya belajar penaklukan.
Dari Nelda saya belajar efisien.














Tak hanya terkait soal pekerjaan saja, bahkan di Batam Pos saya juga belajar dari Parna Simarmata tentang silsilah marga-marga di Batak.

Mereka semua, adalah “dosen tetap” saya. Sedangkan “dosen tak tetap” saya bisa jadi seorang Gubernur, Wali Kota, Ketua Dewan, komandan TNI/Polri, bos BUMN, pengusaha, tokoh agama, atau bisa jadi Anda. Saya menimba ilmu dari mereka, ketika mereka berkunjung ke kantor atau menggelar diskusi.

Ya, belajar dan terus belajar, akan hal-hal yang baik tentunya. Itulah mengapa saya menyebut di kalimat awal tadi, bahwa saya sedang kuliah di Batam Pos, disamping memang bekerja. Karena bagi saya, bekerja memang untuk belajar.

Batam Pos memang sebuah unity (kesatuan), Batam Pos juga diversity (perbedaan). Batam Pos adalah University.

Ah, andai saja para “dosen” itu tahu betapa kerasnya usaha saya mencuri ilmu mereka. Semoga saja mereka tak tahu.

Sabtu, 13 September 2008

Bayang dan Kejayaan

Jumat lalu, ada menarik unik di Masjid Al Muhajirin Tiban Indah. Salat Jumat di sana penuh dengan jamaah, ramai sekali.

O... Ternyata ada Wakil Wali Kota Batam Ria Saptarika tengah melakukan kunjungan ke sana. Pantas saja, banyak orang berseragam coklat hilir mudik dengan raut muka sibuk. Dasar protokoler.

Usai salat Jumat, jamaah belum juga berganjak pulang. Mereka ternyata masih sibuk merubung Ria, bak semut melihat gula. Satu-satu, mereka bertukar pandang, sapa, senyum dan salam, sambil menundukkan separuh tubuh. Khusyu sekali.

Ada yang langsung berlalu membawa kenangan atau mungkin kisah pertemuan dengan Ria yang akan diceritakan kepada anak istrinya di rumah, namun ada juga yang masih bertahan. Dari kulitnya yang bersih, tampak mereka adalah para pengusaha. Ada saja yang bahan dibincangkan dengan Wakil Walikota dari PKS itu.

Begitulah. Wajar saja. Namanya pejabat yang masih pejabat. Dari sini ada tanya menumpuk, akankah Ria akan diperlakukan seperti itu jika kelak tak lagi mejabat?

Sekadar perbandingan, beberapa Jumat sebelumnya, saya lupa, mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir, sempat salat Jumat di masjid yang sama. namun apa yang terjadi?

Sambutan tak seheboh Ria. Bahkan bisa dikata biasa aja. Padahal Nyat Kadir dulu adalah Wali Kota, bukan wakil, dan dia juga belum lama lengser.

Sedihnya, setelah usai salat Jumat, tak ada lagi orang yang mengerumuninya. Padahal dulu yang meresmikan masjid ini adalah Nyat Kadir! Memang ada yang masih mengajak Nyat berbincang, itupun orang-orang tua renta. Yang dibincangkan paling-paling hanya sebatas kabar, setelah itu langsung berlalu.

Padahal dulu, tentu Nyat tak akan diperlakukan seperti ini. Saya masih ingat, dulu sangat susah mendekati Nyat. Sebab, sepasukan Sat Pol PP dengan sigap membuat pagar di kanan dan kirinya, agar jalan Nyat Kadir tak terhalang.

Di sisi lain, kunjungan Nyat biasanya selalu akan diiringi tabuhan rebana dari serombongan penabuh kompang disertai lagu-lagu pujian.

Masya Allah... Inilah dunia. Fana. Only shadow and dust, dust in the wind.

Celoteh Ramadan (Behind The Scene)

1 komentar:
Dzikri mengatakan...

Tulisan anda bagus, menarik, mengalir, mungkin karena anda sudah terbiasa menulis artikel di media anda.
Saya juga kerja di sebuah media massa..
Nama saya dzikri, anda bisa mengunjungi saya di dzikri.blogspot.com
Sayang saya tidak tahu alamat email anda supaya kita bisa berkomunikasi..
Selain itu, saya memasukkan blog anda sebagai referensi di blog saya.

Tetap menulis....

Inilah bunyi surat elektronik dari Dzikri.blogspot.com. Komentar ini dia tulis pada Celoteh Ramadan (10). Penasaran, buru-buru saya langsung cek link-nya, ternyata benar, Mas Dzikri yang orang jember ini, memasang link blog saya di jajaran link blog tamu miliknya, tepatnya di samping kiri.

Mas Dzikri, meski kita tak saling kenal, saya sungguh terharu dan tersanjung. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan rezeki pada Mas sekeluarga.

Nama saya sesuai dengan nama blog saya mas. Saya hanyalah pegawai rendahan di sebuah kantor yang berada di bilangan Batam Center. Blog ini memang saya jadikan tempat menuangkan renungan dan pemikiran di saat saya mendapat ujian dari Allah.

Soal Celoteh Ramadan, sebenarnya ini saya tulis di Batam Pos ketika guru menulis saya Andra S Kelana, berhalangan untuk mengisi edisi ke dua. Saat itulah, saya diminta mengisi.

Saya pun tak berani menolak, sebab selain tugas, juga hanya satu hari saja. Tak lebih. Kalau lebih sehari bagaimana? Ya, tentu saya tak akan mau, sebab sangatlah susah.

Sayapun langsung menelepon Bang Andra untuk minta izin, menulis, sekaligus memakai karakter-karakter di dalam tulisannya ini, seperti Cik Minah dan Cik Amat.

”Selebihnya, engkau pakai saje nama Melayu, seperti Suden dan lain. Saye sekarang lagi tak enak badan Za,” katanya.

Aslinya, Celoteh Ramadan yang ditulis Bang Andra berbahasa Melayu. Ini adalah pakem atau ciri khas yang dilakukan secara turun temurun di Batam Pos sejak 10 tahun lalu. Kalau tak berbahasa Melayu, ya bukan Celoteh Ramadan namanya.

Setelah edisi perdana Celoteh Ramadan saya terbit, Bang Andra langsung SMS, ”Mantap Za, lanjutkan,” bunyinya.

Sayapun langsung telepon dia, ”Aduh Bang, Abang sajelah yang lanjutkan. Ini berat.”

”Tak Lah, tulisan awak bagus tuh. Lanjutkan. Isunya mengulas masalah keseharian saje, misalnya soal berhemat dan sembako,” balasnya.

Wah, tentu ini berat, karena saya sendiri tak paham menulis dengan bahasa Melayu. Tak ayal, saat edisi kedua saya langsung diprotes pembaca, karena banyak pemakaian bahasa Melayu yang keliru.

Sayapun langsung SMS Bang Andra. ”Waduh, azab ni Bang. Saye diprotes orang. Saye nyerah.”

”Hei, teruskan saje Za. Bagus tu. Kritikan itu, berarti tulisan Awak dibace orang!” itulah Bang Andra, masih saja ngasih harapan, sama seperti 8 tahun lalu saat saya baru belajar menulis padanya.

Kini tinggallah saya blingsatan. Terus terang, menulis celoteh semacam ini bagi saya lebih sulit minta ampun dari pada sekadar menulis yang lain. Kenapa? Karena di sini saya harus membuat sifat dan karakter tokoh masing-masing. Selain itu, juga harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat kalangan bawah.

Dari mana bekal semua ini? Tentu saja saya harus menyerap permasalahan kaum proletar itu. Karena itulah, saya akhir-akhir ini rajin ke kampung-kampung tua di Batam, untuk berdiskusi atau menguping pembicaraan ibu-ibunya. Sehingga menimbulkan ide bagi saya dalam menulis.

Intinya, saya tetap ingin mengemas sebuah berita nyata yang serius dengan jenaka. Ibarat mencubit tapi tak sakit.

Jadi, meski orang lain membaca celoteh ini dengan ketawa-ketiwi, sebenarnya saat menulisnya wajah saya sangat serius, berkerut dan merengut.

”Amboi, teruk sangat lah!”

Husssss! Amboi tak ada dalam bahasa Melayu!

Oke deh, Alamaakkk, teruk sangat lah!

Jumat, 12 September 2008

Celoteh Ramadan (13)

Tak terasa Ramadan sudah separo jalan, Kaum Muslimin kian giat beribadah mengejar amalan yang tiada tara. Termasuk di kampung Cik Amat.

Namun, ada hal yang cukup menghawatirkan yang terjadi di kampung ini. Jumlah orang yang melaksanakan sahur kian menipis. Apa pasal? Rupanya mereka malas bangun, maklum sering hujan, hingga tak sadar mereka bangun hari sudah siang.

Lama-kelamaan, kondisi ini membikin warga kampung khawatir. Maka digelarlah rapat darurat yang melibatkan muspikam (musyawarah pimpinan kampung) setempat.

”Berdasar data statistik yang dilakukan Cik Wasilah, angka warga kite yang bangon sahur makin berkorang. Ini bahaye, sebab bise membuat orang abai puase,” demikian presentasi Cik Sam, RT setempat.

O…hmmm… wa wa wa… ba ba ba… Begitulah gumam para hadirin mendengar angka tersebut.

”Usol Cik Sam, bagaimane kalau kite membagikan jam weker gratis pede semue warge di sini?” acung Cik Salmah.

”Supeye elok, kite namekan rancangan ini Gerakan Seribu Jam Weker disingkat GS Jawe.”

”Wah, tak bise lah. Dari mane duit kite nak beli jam weker tu? Lagipon ini kan hanye sementare saje.”

“Senang saje Cik, saye kan punye kenalan bos toko jam weker. Nanti saye cube minta diskon!”

Mendengar usul Cik Salmah yang terakhir ini, warga protes, “Hei Salmah, nak bedagang pula engkau ye…”

“Cari tambahan THR oy, dah mau raye nih…” timpal yang lain. Cik Salmah hanya cemberut, lalu diam di pojok.

“Alamaak Cik Sam, gitu saje kok repot. Sekarang kan dah musim kampenye, kite minta saje para caleg atau partai untuk jadi sponsor acare ini,” kali ini usulan datang dari Cik Amat. Pengalamannya sebagai tim sukses Pak Ngah beberapa waktu lalu, rupanya masih tersimpan dengan baik.

“Caranye macam mane Mat?”

“Kite bilang same caleg atau partai, supaye ngasih jam weker gratis. Nanti, setiap jam weker yang dibagikan kepade warge kite tempel stiker wajah caleg atau partai. Pasti merika senang lah.”

Warga kembali gaduh, “Saye menolak lah. Itu same saje menjual warge ke ahli politik. Ujung-ujungnye merika minta balasan untuk nyoblos partai atau dirinya,” sergah Tuk Mamat.

Wah pelik juga rapat muspikam kali ini. “Sudelah, kite gunakan sistim berantai saje. Macam multi level marketing lah,” jelas Tuk Mamat.

Lalu dia melakukan presentasi separo brifing sistem baru ini pada warga. Caranya, orang yang bangun duluan, akan mengetuk pintu tetangga lalu disambung ke tetatngga lainnya.

“Saye rase ini lebih elok lah. Kite namekan ini sistem sahur berantai atau disingkat SSB,” canang Tuk Mamat.

“Tak setuju Tuk. Name ni macam gelar Rian si pembunuh berantai. Saye usul name lebih baik lagi, yakni Lingkar Sahur Insani, disingkat LSI. Elok lah, sepinmtas mirip Lingkar Survei Indonesia,” jelas Cik Amat.

Akhirnya dicanangkanlah LSI di kampung itu. Hasilnya, bisa mengurangi angka orang yang tak bangun sahur.

Celoteh Ramadan (14)

”Cik Sam… Cik Sam… mane engkau Cik Sam…?!” Cik Amat memekik-mekik, di depan pintu rumah Cik Samsudden, ketua RT-nya. Di tangannya membawa selembar koran berita kriminal.

“Ape die Mat! Pagi-pagi asyik sibok saje! Saye nak mandipun!” ujar Cik Sam dari balik pintu, matanya melotot pada Cik Amat.

“Hei Cik Sam jangan marah dulu lah. Nih tengok khabar di koran, angke kriminalitas jelang lebaran meningkat!”

“Ha? Betol tu Mat?!”

“E… Cik Sam tak percaye pule. Nih tengok sendiri!” ujarnya.

Selanjutnya Cik Sam membaca berita yang ditunjuk Cik Amat. “Alamak. Kite harus bersiap ni Mat. Segera kumpulkan unsur muspikam (musyawarah pimpinan kampong), kite lakukan mesyuarat darurat!”

“Siap Dan! Laksanekan perintah,” jawab Cik Amat sigap.

Singkat kata, hasil rapat memutuskan Cik Amat terpilih secara aklamasi menjadi laskar pengaman kampung. Komandannya adalah Cik Sam, dia ditunjuk karena punya pengalaman bertugas di Kodam Bukit Clara.

“Tugas pertama engkau, harus melaporkan semua hal yang mencurigakan pade saye Mat. Ini perintah!” tegas Cik Sam, sembari menyerahkan sebuah radio genggam.

”Siap Dan!”

Maka keluarlah Cik Amat dari ruang rapat Muspikam itu, di saksikan puluhan pasang mata. Langkahnyapun jika semula lemas dan bertampang cengengesan, kini berubah tegap dan dingin.

Maklumlah, kini Cik Amat bukanlah Cik Amat yang dulu lagi. Keamanan kampung berada di pundaknya. Langkahnya kian gagah dengan handy talkie di tangannya.

Lagu-lagu yang dinyanyikan pun tak lagi lagu cinta dari Rhoma Irama atau Siti Nurhalizah, namun diganti lagu mars.

“Aku seorang kapiten, punya pedang panjang, kalau berjalan brak brek brok…” senandungnya.

Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan investigasi dan pengintaian ke sejumlah titik rawan. Di antaranya pasar, kebun dan sungai kampung. Gayanya mirip James Bond dan sekelompok penyidik FBI dalam film Criminal Mind.

“Kontek kontek… Ubur-ubur 2 ke ubur-ubur 1!” Cik Amat mengontek Cik Sam.

“Masuk Ubur-ubur 2.”

“Semue aman terkendali, Dan! Laporan selesai!”

“Kembali ke markas Ubur-ubur 2!”

“Siap laksanekan!” Cik Amat pun kembali patroli.

Hingga malam menjelang sahur, dia melihat ada yang mencurigakan keluar mengendap-endap dari rumah Cik Mamah. Naluri intel Cik Amat pun muncul, lalu membuntuti.

O, rupanya orang itu menuju sungai buang hajat. Cik Amat yang curiga, lalu menunggunya. Setelah selesai, orang mencurigakan tersebut kembali lagi mengendap ke rumah Cik Mamah.

Namun kali ini Cik Amat tak mau kecolongan dengan sigap dia menghadang. “Berhenti! Kamu sudah saye kepong!” dia memegang tangan orang tersebut, lalu menyorongkan senter ke wajahnya.

Alamaak, alangkah terkejutnya Cik Amat. Ternyata orang itu adalah Cik Mamah.

“O… jadi engkau yang ngintip saye buang hajat tadi ye. Awas engkau Mat, saye lapor Minah baru rase engkau ye!” hardik Cik Mamah tak kalah galak.

”Ampun Mamah, jangan engkau lapor pule aku ke Minah!”

”Tak ade ampun bagi engkau. Sungguh terlalu,” jawab Cik Mamah menirukan dialog Rhoma Irama.

Keesokan harinya, berita Cik Amat salah tangkap menyebar ke kampung. Cik Sam sebagai komandan pun langsung menon aktifkan Cik Amat. “Nasib engkau nanti saye putuskan di sidang Muspikam!” hardiknya.

Celoteh Ramadan (15)

Akibat insiden salah tangkap Cik Amat atas Cik Mamah, unsur musyawarah pimpinan kampung (muspikam) menonaktifkan status Cik Amat sebagai keamanan. Selanjutnya, mereka menyidang Cik Amat.

”Saye tak sengaja Tuan! Ini semue saye lakukan demi menjage keamanan kampung kite tercinte ini!” bela Cik Amat di depan para unsur Muspikam.

Akhirnya, beberapa saksi ahli didatangkan. Setelah mendengarkan argumen Cik Amat serta melalui olah peristiwa, akhirnya mereka menyatakan Cik Amat tak bersalah akan hal ini.

Cik Amat pun kembali bebas dan statusnya sebagai keamanan kampung diaktifkan kembali. “Saye harap, jangan salah tangkap lagi,” pinta Tuk Mamat, tetua di kampung itu.

Cik Amat pun mengangguk, lalu pulang. Di rumah Cik Amat berpikir. Angannya menerawang kepada para tokoh super hero pujaannya, Spiderman dan Superman. Mereka selalu pakai kostum saat beraksi.

Untuk itu Cik Amat berniat menirunya. ”Saye harus tampil dengan wajah baru,” batinnya.

Dia pun mulai merancang-rancang sebuah kostum baru. Yang jelas bukan seperti Spiderman atau Superman.

Cik Amat pun punya ide. Dia mengambil baju pramuka lamanya. Selanjutnya Cik Amat memakai sepatu safety yang lalu dicat hitam dengan paduan warna putih di atasnya. “Supaye mirip sepatu lars petugas lah,” batinnya.

Tak hanya itu, Cik Amat membuat engkel tangan sepanjang 10 cm yang dicat motif belang zebra. Sebuah kacamata hitam pun kini menghjias matanya, mirip agen FBI.

Jreeeeng…. Kini menjelmalah Cik Amat dengan wajah barunya.

Namun dasar Cik Amat, dengan kostum barunya itu dia malah kian pongah. Dengan alasan pengetatan keamanan di menerapkan sistem sergap langsung, mirip sistem internal security act yang ditentang para aktivis itu.

Setiap orang membawa tas plastik hitam yang dicurigai sebagai bom selalu dia periksa. Tak terkecuali istrinya sendiri, Cik Minah.

“Ape die Bang. Istri sendiri juge diperikse?!”

“Maaf Minah, saye hanye menjalankan tugas! Siapepun yang mencurigakan haroslah saye periksa, meski istri sendiri!”

Begitu dibuka, ternyata isinya makanan untuk berbuka puasa. “Puas Abang?! Puas… Puas… Puas?!” pekik Cik Minah mirip Tukul Arwana. Cik Amat pun hanya mesam-mesem.

Puncaknya, Cik Amat juga menghentikan setiap ada sepeda motor yang melintas, lalu diperiksa kelengkapan surat-suratnya mirip gaya polisi lalu lintas.

Tentu saja ini membuat warga meradang. Kembali Cik Amat dilaporkan ke Muspikam.

“Dia dah melampau lah, dah melanggar HAM. Kalau tak ditangani, saye akan lapor ke Mahkamah Internasional!” ancam warga pada Cik Sam, ketua RT yang juga komandan Cik Amat.

Melihat hal ini, Cik Sam akhirnya memutuskan membubarkan satuan Cik Amat. “Saye penat lah, engkau terlalu overacting Mat. Bikin susah saje!” tegas Cik Sam sembari melucuti Cik Amat.

Bawean (1)

Saya besar di sebuah pulau, bernama Bawean, 80 mil dari Gresik, Jawa Timur. Pulau ini memilki dua kecamatan, Sangkapura di bagian selatan dan Tambak di bagian barat.

Pulau Bawean sendiri merupakan gugusan pulau yang berada diwilayah Kabupaten Gresik sejak tahun 1974. Luas wilayahnya kira-kira 625 Km persegi (lebih besar sedikit dari Singapura) yang letaknya 120 Km utara Gresik.

Pulau ini dikelilingi oleh pulau-pulau kecil seperti pulau Gili, Selayar, Nuko, Nusa, Karangbila, Pulau China dan lainnya. Secara administratif. pulau ini terbagi ke dalam dua kecamatan (Tambak dan Sangkapura), 30 desa dan sekitar 143 dusun atau kampung. Orang luar Bawean melihat Bawean dengan tiga keunikan, yaitu anyaman tikar Bawean, ikan pindang Bawean, dan sejenis rusa Axis Kuhli (Rusa Bawean).

Jalan lingkar pulau yang masuk Kabupaten Gresik ini hanya sepanjang 100 km. Lebar ruas jalannya kurang dari 5 meter, sehingga kalau ada dua mobil berpapasan akan tertutup.

Pulau yang pusat kegiatan masyarakatnya terletak di Sangkapura ini, dulu bernama Majadi, hingga ada sekelompok tentara Majapahit terkatung-katung di laut Jawa.

Entah ngapain mereka waktu itu, yang jelas, salah seorang dari tentara itu melihat matahari terbit di pulau ini, sehingga mereka berseru ‘’Bawean... Bawean...” yang artinya ada matahari terbit.

Sejarah Bawean tak lepas juuga dari kisah epos, elegi, antara mitos dan legenda. Dulu pulau ini pernah diperintah kerajaan Hindu, bernama Raja Nababi, hingga awal abad 16 pasukan Sultan Cakraningrat ke 4 dari Sumenep, Madura menaklukkannya.

Cakraningrat menampatkan Umar Masud di Bawean, yang kemudian mengubah kepercayaan warga di sini menjadi Islam. Selain itu, bahasa aslinya sendiri sudah akulturasi dengan bahasa Madura Sumenep.

Hingga saat ini, Umar Masud diabadikan sebagai nama jalan dan sekolah mulai tingkat TK hingga SMA yang berpusat di Sangkapura. Sejarah terus berkembang, penduduk asli berhasil menghalau orang-orang Madura, hingga setelah penjajahan Belanda, armada dari Madura kembali datang, namun perahu-perahu mereka berhasil ditenggelamkan.

Seiring zaman, warga Bawean lebih berafiliasi budaya ke Melaka, sebagai tanah harapan baru sejak abad 16-an. Apalagi setelah masuknya etnis Bugis Mandar, Pelambang, Jawa, dan Arab Ampel, hingga saat ini, menyebabkan budaya Madura tak lagi dipakai.

Awal kedatangan beragam etnis dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi ini, tak lepas dari posisi Bawean yang berada di tengah antara Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi itu sendiri, sehingga menjadi daerah transit.

Orang Jawa datang dengan tujuan pemerintahan, politis, orang Palembang (dari bangsawan bergelar Kemas) datang dengan armada dagang. Adapun orang Bugis, datang dengan perahu Mandarnya, karena perairan Bawean yang kaya ikan. Hingga akhir 90-an orang Bugis Mandar dengan perahunya, masih kerap datang dengan tujuan jual beli ikan.

Sedangkan orang Madura sendiri, sisa-sisa dari penaklukan Cakraningrat, tetap bertahan di Bawean. Di kota, perkampungan mereka umumnya di pesisir, seperti Pateken. Sedang yang lain membuka lahan tidur di gunung-gunung yang memiliki tanah subur di banding Madura yang tandus. Orang Bawean menyebut mereka sebagai orang kebun.

Akulturasi dari pertemuan beragam etnis ini, tak hanya terjadi pada hal tatakrama, juga dalam hal kuliner. Masakan Bawean umumnya manis seperti Jawa, namun banyak mengadopsi masakan Melayu. Demikian juga dengan jajanannya. Karena secara emosional umumnya lebih dekat ke Melayu, meski jaraknya lebih dekat ke Jawa.

Yang menarik adalah soal nama-nama. Umumnya dulu warga Bawean selalu memberi nama putra dan putrinya dengan nama nabi dan rasul, sahabat, tabiin, dan bahasa dari Alquran. Namun seiring kemajuan, kini nama-nama mereka sudah mengadopsi sesuatu yang dipandang modern, seperti Randy atau Afgan.