Sabtu, 13 September 2008

Celoteh Ramadan (Behind The Scene)

1 komentar:
Dzikri mengatakan...

Tulisan anda bagus, menarik, mengalir, mungkin karena anda sudah terbiasa menulis artikel di media anda.
Saya juga kerja di sebuah media massa..
Nama saya dzikri, anda bisa mengunjungi saya di dzikri.blogspot.com
Sayang saya tidak tahu alamat email anda supaya kita bisa berkomunikasi..
Selain itu, saya memasukkan blog anda sebagai referensi di blog saya.

Tetap menulis....

Inilah bunyi surat elektronik dari Dzikri.blogspot.com. Komentar ini dia tulis pada Celoteh Ramadan (10). Penasaran, buru-buru saya langsung cek link-nya, ternyata benar, Mas Dzikri yang orang jember ini, memasang link blog saya di jajaran link blog tamu miliknya, tepatnya di samping kiri.

Mas Dzikri, meski kita tak saling kenal, saya sungguh terharu dan tersanjung. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan rezeki pada Mas sekeluarga.

Nama saya sesuai dengan nama blog saya mas. Saya hanyalah pegawai rendahan di sebuah kantor yang berada di bilangan Batam Center. Blog ini memang saya jadikan tempat menuangkan renungan dan pemikiran di saat saya mendapat ujian dari Allah.

Soal Celoteh Ramadan, sebenarnya ini saya tulis di Batam Pos ketika guru menulis saya Andra S Kelana, berhalangan untuk mengisi edisi ke dua. Saat itulah, saya diminta mengisi.

Saya pun tak berani menolak, sebab selain tugas, juga hanya satu hari saja. Tak lebih. Kalau lebih sehari bagaimana? Ya, tentu saya tak akan mau, sebab sangatlah susah.

Sayapun langsung menelepon Bang Andra untuk minta izin, menulis, sekaligus memakai karakter-karakter di dalam tulisannya ini, seperti Cik Minah dan Cik Amat.

”Selebihnya, engkau pakai saje nama Melayu, seperti Suden dan lain. Saye sekarang lagi tak enak badan Za,” katanya.

Aslinya, Celoteh Ramadan yang ditulis Bang Andra berbahasa Melayu. Ini adalah pakem atau ciri khas yang dilakukan secara turun temurun di Batam Pos sejak 10 tahun lalu. Kalau tak berbahasa Melayu, ya bukan Celoteh Ramadan namanya.

Setelah edisi perdana Celoteh Ramadan saya terbit, Bang Andra langsung SMS, ”Mantap Za, lanjutkan,” bunyinya.

Sayapun langsung telepon dia, ”Aduh Bang, Abang sajelah yang lanjutkan. Ini berat.”

”Tak Lah, tulisan awak bagus tuh. Lanjutkan. Isunya mengulas masalah keseharian saje, misalnya soal berhemat dan sembako,” balasnya.

Wah, tentu ini berat, karena saya sendiri tak paham menulis dengan bahasa Melayu. Tak ayal, saat edisi kedua saya langsung diprotes pembaca, karena banyak pemakaian bahasa Melayu yang keliru.

Sayapun langsung SMS Bang Andra. ”Waduh, azab ni Bang. Saye diprotes orang. Saye nyerah.”

”Hei, teruskan saje Za. Bagus tu. Kritikan itu, berarti tulisan Awak dibace orang!” itulah Bang Andra, masih saja ngasih harapan, sama seperti 8 tahun lalu saat saya baru belajar menulis padanya.

Kini tinggallah saya blingsatan. Terus terang, menulis celoteh semacam ini bagi saya lebih sulit minta ampun dari pada sekadar menulis yang lain. Kenapa? Karena di sini saya harus membuat sifat dan karakter tokoh masing-masing. Selain itu, juga harus menciptakan sebuah tatanan masyarakat kalangan bawah.

Dari mana bekal semua ini? Tentu saja saya harus menyerap permasalahan kaum proletar itu. Karena itulah, saya akhir-akhir ini rajin ke kampung-kampung tua di Batam, untuk berdiskusi atau menguping pembicaraan ibu-ibunya. Sehingga menimbulkan ide bagi saya dalam menulis.

Intinya, saya tetap ingin mengemas sebuah berita nyata yang serius dengan jenaka. Ibarat mencubit tapi tak sakit.

Jadi, meski orang lain membaca celoteh ini dengan ketawa-ketiwi, sebenarnya saat menulisnya wajah saya sangat serius, berkerut dan merengut.

”Amboi, teruk sangat lah!”

Husssss! Amboi tak ada dalam bahasa Melayu!

Oke deh, Alamaakkk, teruk sangat lah!

Tidak ada komentar: