Jumat, 12 September 2008

Bawean (1)

Saya besar di sebuah pulau, bernama Bawean, 80 mil dari Gresik, Jawa Timur. Pulau ini memilki dua kecamatan, Sangkapura di bagian selatan dan Tambak di bagian barat.

Pulau Bawean sendiri merupakan gugusan pulau yang berada diwilayah Kabupaten Gresik sejak tahun 1974. Luas wilayahnya kira-kira 625 Km persegi (lebih besar sedikit dari Singapura) yang letaknya 120 Km utara Gresik.

Pulau ini dikelilingi oleh pulau-pulau kecil seperti pulau Gili, Selayar, Nuko, Nusa, Karangbila, Pulau China dan lainnya. Secara administratif. pulau ini terbagi ke dalam dua kecamatan (Tambak dan Sangkapura), 30 desa dan sekitar 143 dusun atau kampung. Orang luar Bawean melihat Bawean dengan tiga keunikan, yaitu anyaman tikar Bawean, ikan pindang Bawean, dan sejenis rusa Axis Kuhli (Rusa Bawean).

Jalan lingkar pulau yang masuk Kabupaten Gresik ini hanya sepanjang 100 km. Lebar ruas jalannya kurang dari 5 meter, sehingga kalau ada dua mobil berpapasan akan tertutup.

Pulau yang pusat kegiatan masyarakatnya terletak di Sangkapura ini, dulu bernama Majadi, hingga ada sekelompok tentara Majapahit terkatung-katung di laut Jawa.

Entah ngapain mereka waktu itu, yang jelas, salah seorang dari tentara itu melihat matahari terbit di pulau ini, sehingga mereka berseru ‘’Bawean... Bawean...” yang artinya ada matahari terbit.

Sejarah Bawean tak lepas juuga dari kisah epos, elegi, antara mitos dan legenda. Dulu pulau ini pernah diperintah kerajaan Hindu, bernama Raja Nababi, hingga awal abad 16 pasukan Sultan Cakraningrat ke 4 dari Sumenep, Madura menaklukkannya.

Cakraningrat menampatkan Umar Masud di Bawean, yang kemudian mengubah kepercayaan warga di sini menjadi Islam. Selain itu, bahasa aslinya sendiri sudah akulturasi dengan bahasa Madura Sumenep.

Hingga saat ini, Umar Masud diabadikan sebagai nama jalan dan sekolah mulai tingkat TK hingga SMA yang berpusat di Sangkapura. Sejarah terus berkembang, penduduk asli berhasil menghalau orang-orang Madura, hingga setelah penjajahan Belanda, armada dari Madura kembali datang, namun perahu-perahu mereka berhasil ditenggelamkan.

Seiring zaman, warga Bawean lebih berafiliasi budaya ke Melaka, sebagai tanah harapan baru sejak abad 16-an. Apalagi setelah masuknya etnis Bugis Mandar, Pelambang, Jawa, dan Arab Ampel, hingga saat ini, menyebabkan budaya Madura tak lagi dipakai.

Awal kedatangan beragam etnis dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi ini, tak lepas dari posisi Bawean yang berada di tengah antara Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi itu sendiri, sehingga menjadi daerah transit.

Orang Jawa datang dengan tujuan pemerintahan, politis, orang Palembang (dari bangsawan bergelar Kemas) datang dengan armada dagang. Adapun orang Bugis, datang dengan perahu Mandarnya, karena perairan Bawean yang kaya ikan. Hingga akhir 90-an orang Bugis Mandar dengan perahunya, masih kerap datang dengan tujuan jual beli ikan.

Sedangkan orang Madura sendiri, sisa-sisa dari penaklukan Cakraningrat, tetap bertahan di Bawean. Di kota, perkampungan mereka umumnya di pesisir, seperti Pateken. Sedang yang lain membuka lahan tidur di gunung-gunung yang memiliki tanah subur di banding Madura yang tandus. Orang Bawean menyebut mereka sebagai orang kebun.

Akulturasi dari pertemuan beragam etnis ini, tak hanya terjadi pada hal tatakrama, juga dalam hal kuliner. Masakan Bawean umumnya manis seperti Jawa, namun banyak mengadopsi masakan Melayu. Demikian juga dengan jajanannya. Karena secara emosional umumnya lebih dekat ke Melayu, meski jaraknya lebih dekat ke Jawa.

Yang menarik adalah soal nama-nama. Umumnya dulu warga Bawean selalu memberi nama putra dan putrinya dengan nama nabi dan rasul, sahabat, tabiin, dan bahasa dari Alquran. Namun seiring kemajuan, kini nama-nama mereka sudah mengadopsi sesuatu yang dipandang modern, seperti Randy atau Afgan.

Tidak ada komentar: