Kamis, 25 September 2008

Ajahku (4)

Majalah ini pun kadang tak lama di rumah. Sebab, baru saja selesai di baca, sudah dipinjam orang. Mulai pegawai negeri hingga langganan ayahku di pasar. Maklum ayah adalah seorang pedagang sembako. Bahkan, tak jarang, guru saya meminjam majalah ini.

Saya juga sangat suka membaca majalah ini. Tentunya isu-isu yang menarik saja, semisal berita dunia. Jika ada istilah yang tak saya mengerti, langsung saya tanya ke ayah. Alhamdulillah, ayah tak pernah mengecewakan soal ini. Semua pertanyaan dia jawab dengan baik.

Tak heran, jika soal pengetahuan umum saya lebih unggul dibanding kawan-kawan di SD dulu. Saat kawan-kawan hanya hafal lagu Rhoma Irama, saya sudah hafal beberapa nama perdana mentri kala itu, seperti Indira Gandhi (India) atau Yatsuhiro Nakasone (Jepang).

Bahkan, saya orang (anak) pertama di SD yang paham kronologi meledaknya pesawat ulang alik Challenger awal tahun 1986 lalu.

Soal perkenalan saya akan pemikiran Buya, sudah terjadi ketika tahun 1983 Buya menerbitkan dua jilid buku berjudul 25 Nabi dan Rasul. Ayah membelikan buku ini setelah diiklankan di Panji Masyarakat.

Saya masih ingat, jilid satu bersampul merah, bergambar Nabi Ibrahim saat menghancurkan berhala Raja Namrudz, sedangkan yang kedua bersampul biru, bergambar Nabi Yunus dilempar ke laut. Di sebalahnya telah menunggu ikan paus.

Saya sangat suka membaca buku ini. Bahasanya lugas, dengan font agak besar ukuran 16 pt. Yang menarik, setiap awal kalimat Buya selalu menulis, “Cucu, cucuku”. Dari sinilah kecintaan saya akan buku bermula, dari sini pulalah kecintaan saya akan Buya Hamka, yang lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat itu muncul.

Kakak-kakak saya pun suka membaca karya Buya. Yang berat ada Tasawwuf Moderen dan Tafsir Alazhar, sedangkan yang ringan ada Di Bawah Naungan Kakbah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1930), adalah novel favorit mereka. Buku ini memang best seller di zamannya, sampai-sampai Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk pada tahun 80-an dibuat versi sandiwaranya yang diformat dalam kaset C 60. Kami suka mendengarnya.

”Buya itu sebutan orang Padang kepada tokoh agama. Kalau kita bilang kyai. Atau juga bermakna panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati,” jelas ayah, menjawab keheranan saya akan panggilan “Buya” ini.

Namun, hingga saat mahasiswa kecintaan saya membaca tak lagi terpupuk. Saya lebih memilih mendapat informasi dari audio visual atau diskusi langsung. Menurut saya, orang yang suka membaca biasanya susah mendengar, merasa benar, mereka introvert, terkurung dalam dunianya sendiri dan pemikirannya banyak didikte oleh si pengarang.

***

Selain melalap informasi dari buku, ayah juga mengimbanginya dengan mendengarkan radio. Di kamar tidurnya ada radio Telesonic, lengkap dengan AM hingga SW 1, 2, 3. Radio seukuran layak komputer itu dia dapat dari Singapura, sehingga tahan banting. Tenaganya menggunakan 12 batrey ABC ukuran besar.

Ayah mulai mendengar radio ketika pagi usai salat subuh.

Tidak ada komentar: