Senin, 01 September 2008

The Winner Take's All (2)

Dulu kebusukan politik semacam ini jarang diketahui ramai, mengingat Orde Baru mengontrol semua akses informsi. Namun kini, reformasi disertai abad baru era komunikasi massa, satu demi satu kebusukan dalam politik terungkap.

Sialnya, karena sering disuguhi tontonan trik di pentas politik ini, akhirnya diresapi masyarakat dalam bertindak. Jadilah kini politik juga masuk ke ranah job non partai. Misal kantor. Istilah ahli manajemen, berpolitik di kantor. Memimpin kantor sebagaimana memimpin partai politik.

Tentu hal ini kian merepotkan. Kerja tak tenang, yang ada kemunafikan. Semua berebut mencari popularitas.

Yang parah saat konflik terjadi, maka –seperti sudah tertulis di atas- terjadi gesekan dan gambling pada anggota di bawah, apa mau nge-blok pak A atau nge-blok pak B? Ludah-ludah para penjilat pun bercecer di mana-mana.

Saling curiga pun meruncing, pimpinan antar blok curiga pada bawahan, bawahan pun main kayu dengan sesamanya, saling sodomi pun tak terelakkan lagi.

Kalau sudah begini, biasanya akal sehat pimpinan tak lagi bermain. Yang ada hanya praduga kekanak-kanakan, atau mental pemburu; kill or tobe killed!

Seorang kawan yang bekerja di perusahaan konstruksi pernah bertanya pada saya, bagaimana bersikap dalam kondisi seperti ini.

Saya bingung juga, sebab belum pernah mengalami hal ini. Saat itu saya teringat nasihat Kafi Kurnia, saat seminar di Nagoya Plasa Hotel beberapa waktu lalu.

Menurutnya, tetap saja bekerja profesional, bekerja dengan baik dan benar. Jangan terhanyut oleh konflik. Hindari (pergi saja) jika pembicaraan sudah mengarah pada pribadi atasan di blok A dan B, karena kalau ketahuan para penjilat, maka ini bisa dipolitisir.

Kuncinya, patuhilah atasan langsung. Atasan yang ber-SK, atasan de jure.

The winner takes all.

Tidak ada komentar: