Kamis, 28 Agustus 2008

Kenangan Ramadan (1)

Sebentar lagi, Ramadan suci menjelang. Bagi saya bulan ini adalah buran romantis. Romantis akan manisnya hablum minallah, hablum minannas serta hubungan dengan batin.

Kedatangan Ramadan selalu disertai romansa masa kanak-kanan nan susah dilupakan. Romansa tentang manisnya jadi anak-anak yang mengisi waktu kala menahan haus dan menunggu berbuka puasa. Romansa tentang belai lembut jemari ibu yang membangunkan kala saat sahur tiba.

Ahhhh. Allahu akbar. Terima kasih telah engkau ciptakan Ramadan ini.

Saya lahir di Pulau Bawean, 80 mil laut dari Jawa Timur, 120 mil laut dari Kalimantan Selatan. Islam adalah satu-satunya agama yang dianut di pulau ini. Jadi tak heran, pulau ini kian hidup kala Ramadan menjelang.

Kampung yang saya diami bernama Kotta, 1 km dari alun-alun kecamatan Sangkapura. Kampung saya ini cukup kecil, hanya dihuni kurang dari 50 kepala keluarga.

Masa kanak-kanak Ramadan yang paling saya ingat ketika masih duduk di bangku kelas III SD, sekitar tahun 1983-an.

Manisnya Ramadan masa kanak-kanak, saya mulai kala berbuka usai. Dari sini, saya dan sebaya saya, bermain di luar rumah dengan lilin dan kembang api batang di tangan. Kadang saling kejar-kejaran di sebuah padang rumput, tak begitu luas, di dekat rumah Pak Muhammad.

Pak Muhammad adalah guru mengaji kami. Oleh anak-anaknya biasa dipanggil ‘’Ma-Ma”, asal kata rama/romo yang berarti ayah. Karena itulah kami juga memanggilnya Ma-Ma.

Di rumah Ma-Ma memang selalu ramai, maklum Kak En-na (namanya Masna), putrinya, selalu jualan rujak cingur yang kesedapannya menyeruak hingga kampung sebelah. Jadilah kak En-na selalu diserbu saat Ramadan jelang.

Kembali lagi soal bermain, saya ingat, saat itu saya belum berani memegang kembang api secara langsung. Apinya bikin kulit tercubit. Makanya saya memakai alat bantu berupa bambu sepanjang 50 cm untuk meletakkan kembang api di ujungnya.

Saat Ramadan, anak-anak sebaya kami asyik bermain mobil-mobilan kayu yang diseret ke sana-kemari. Saat itu mobil berbahan plastik masih jarang.

Saya ingat, kawan saya bernama Acang sangat mahir membuat mobil dari kayu ini. Ilmu ini dia warisi dari sang kakek, seorang pensiunan polisi di zaman prakemerdekaan, bernama Abdul Gani. Kami memanggilnya Pak Nek, tapi Acang memanggil dengan sebutan Pak Ci.

Tidak ada komentar: