Selasa, 19 Agustus 2008

Pakaian Harga Diriku (2)

Mereka tak berbaju loreng, namun memakai jins denim dengan atasan baju lengan panjang warna coklat tanah. Sepintas mirip pendaki gunung.

Mungkin berkaca dari inilah marketing modern mewajibkan salesnya memakai dasi. Tujuannya, agar citra diri dan lembaga yang diwakilinya bertambah, sehingga kepercayaan orang yang akan membeli produknya juga akan bertambah pula.

Namun, kadang kondisi yang kita temui banyak terbalik. Jika para sales saja percaya diri berbusana rapi dan memakai dasi, tentu sangat aneh jika di sebuah perusahaan para menajernya kadang tak pede berbusana rapi dan berdasi. Parahnya lagi, hal ini menular pada jajaran di bawahnya.

Padahal dengan berbusana rapi, secara otomatis juga dia membantu membangun citra perusahaan. Lalu, apa salahnya membantu membangun citra perusahaan yang gajinya tiap bulan mereka nikmati bersama keluarga?

Apa jadinya jika orang luar melihat ada staf perusahaan yang ke kantor bergaya bak anak pinggiran. Sudah pakai kaos oblong yang warnanya sudah luntur, di belakangnya masih ada tulisan setengah lingkaran ”PT Semen Padang”. Lebih parahnya, saat berjalan ujung belakang sepatunya diinjak. Yang begini ini mengaku bekerja di perusahaan bonafid?!

Ada juga yang selalu bergaya musim dingin terus. Ke mana-mana pakai jaket. Itu-itu saja, kumal, berkutu dan bau. Belum lagi kalau diajak ngobrol bau mulutnya tak karuan. Bahkan kalau sedang ”beruntung”, kita akan menyaksikan selembar potongan cabe merah membentang di sela-sela gigi depannya. Wah... Gimana orang mau betah.

”Lalu gimana dong? Kalau harus ikut Oprah tentu tak bisa. Harga satu pakaiannya saja hampil Rp30 jutaan?!”

Tampil rapi, belum tentu harus mahal. Apalagi saat ini, baju-baju dari China banyak menyerbu. Di Batam, jika Anda ke DC Mall, di sana kemeja lengan panjang aneka motif dan warna hanya dibandrol Rp25 ribu. Ini belum diskon, kadang beli dua dapat lagi satu.

Ini bukan masalah harga, namun masalah disiplin untuk bersih, disiplin untuk rapi.

Tidak ada komentar: