Jumat, 15 Agustus 2008

Panik

Kearifan Jawa mengajarkan agar menjadi manusia tak mudah heran, tak mentang-mentang dan jangan gampang panik.

Kalimat ini memang enteng diucap, tapi cukup susah dipraktikkan (tapi bukan berarti tak bisa dilakukan), terutama yang mengajarkan agar jangan panik tadi.

Jika dirinci, nasihat agar jangan mudah heran dianjurkan agar tak membuat mental kita rendah diri. Sebab, orang yang mudah heran akan sesuatu, cenderung kurang percaya diri saat berhadapan dengan sesuatu itu sendiri.

Akibatnya, dia akan mudah diperintah dan direndahkan oleh sesuatu tersebut. Padahal, jika mau mencari dan belajar ada apa di baliknya, belum tentu juga sesuatu tersebut sehebat apa yang dilihat.

Nasihat agar jangan mudah mentang-mentang, dianjurkan agar kita tak selalu tinggi hati dan sombong. Intinya selalu rendah hati dan egaliter.

Dua nasihat di atas tersebut mudah saja dilakukan, syaratnya harus memiliki pengatahuan, pengalaman dan kearifan yang luas. Itu saja.

Namun soal yang ketiga, ”jangan mudah panik”, ini jadi yang tersulit.

Tak panik dalam memecahkan persoalan tentunya sangat penting. Sehingga hasilnya akan tepat sasaran. Karena, panik biasanya membuat orang hilang kesadaran dan cenderung membabi buta dalam mengambil keputusan. Ibarat balon yang udaranya lepas, larinya cenderung tak karuan.

Karena hal ini pulalah, seorang kawan yang berdinas di militer pernah berkata, dalam situasi kontak senjata dengan musuh, lebih baik menembak rekan sendiri yang panik dari pada musuh. Sebab, bisa menjadi bumerang.

Untuk itulah mereka diajar bagaimana tetap tenang dalam menghadapi situasi segenting apapun. Dengan demikian, mereka bisa jernih menjalankan strategi yang telah direncanakan.

Karena, lagi-lagi, jika di tengah desingan peluru ada seorang prajurit yang panik, maka satu tim akan mudah dikalahkan lawan!

Dari uraian ini, terus terang, saya kagum akan ketenangan Syaidina Ali. Dalam sebuah peprangan, mata pedangnya akan menebas leher musuh. Saat itu juga, ''cuih...'' lelaki tersebut meludahi wajah Syaidina Ali.

Aksi ini membuat ayunan pedang sahabat Rasulullah itu terhenti. Musuhpun heran, dan bertanya ada apa gerangan. Ali pun menjawab, bahwa dia tak ingin membunuh karena amarah.

Gila, di saat segenting itu, jiwa Syaidina Ali masih setenang air, sehingga masih bisa memilah mana itu nafsu dan mana itu jalan Tuhan. Coba kalau Syaidina Ali orang yang mudah panik, pasti lain lagi ceritanya.

Tidak ada komentar: