Senin, 11 Agustus 2008

Wel (2)

Tak jarang aku harus menyudahi suapan nasi ke mulutku. Demi tugas, loyalitas dan demi profesionalisme kerja. Ah, itu sih biasa. Seniorku terdahulu juga begitu.

Namanya juga wartawan. Harus tahan lapar, tahan banting dan tentu saja tahan menderita dengan gaji sebesar anggota DPRD. Maksudnya, gaji sopir pribadinya anggota dewan, gumamku tersenyum.

Nah, aku yakin telat makan bukan penyebab datangnya tamu tak diundang ini. Setengah beringsut aku menarik ujung selimutku. Aku mulai berpikir, jangan-jangan karena kehujanan? Beberapa hari ini cuaca Batam memang kurang bersahabat. Pagi cerah, tengah hari tiba-tiba hujan. Di Batam Centre panas, di Seipanas bisa hujan deras. Aneh, pikirku.

Soal jas hujan aku memang sedikit lalai. Lebih sering tak membawa ketimbang mengingat manfaatnya. Ini pasti karena peribahasa yang salah. Sedia payung sebelum hujan. Seharusnya sedia jas hujan sebelum hujan. Tapi aku nekad tak membawa jas hujan. Sebagai gantinya aku lebih mempercayakannya kepada jaket Army hijau milikku.

Meski agak kumuh, jaket ini cukup efektif menolak amplop dari nara sumber. Pasalnya, jaket ini tak punya saku depan seperti jaket kebanyakan. Aku tersenyum geli mengingat seorang narasumber kebingungan ketika memaksa untuk menerima amplop.

”Tak perlu begini pak, ini sudah tugas saya,” ujarku menolak halus pemberian si narasumber. ”Ah, sepertinya Anda tak mau berteman dengan saya,” ujar Bang Tigor, caleg salah satu partai yang sedang demam publikasi.

”Apa boleh buat. Karena Anda memaksa, saya pun terpaksa,” ujarku sambil membuka resluiting jaket, karena Ada dua saku besar di bagian dalamnya. Huh, tragis sekali. Ibarat memakan buah simalakama. Diterima takut melanggar kode etik, tak diterima, alamat motorku harus ngadat lagi karena sisa gaji bulanan cuma bisa beli oli oplosan di bengkel kawasan Bengkong.

”Hati-hati bang! Wak Sesok tetanggaku di Medan, mati karena angin duduk,” ujar Iman teman sekantorku mengingatkan bahaya kena angin duduk. ”Bisa mati?” Tanyaku, “Ya iyalah, masak ya iya dong!” ujarnya ngakak. Aku bergidik, seram juga kalau mati kena angin duduk.

Di koran-koran pastilah judul beritanya tak menarik. ”Fotografer senior Batam tewas kena angin duduk, atau Gara-angin duduk tewas terduduk”. ”Dik, dipijat lagi ya?” kataku sedikit memelas. Tanpa menjawab istriku langsung mengambil minyak gosok di atas rak TV.

Kali ini usaha menggusur angin berpindah di ruang tamu. Dari bayangan kaca TV, aku melihat wajah kesakitan dan kecemasan. “Iya dikit lagi nih, hampir enak” ujarku meringis.

Bercampur lelah istriku tetap setia memijat dengan tangannya. “Huh, kalo begini terus lebih baik abang kawin saja dengan tukang pijat,” gerutu istriku. ”Tukang pijat belum tentu pandai memasak,” kataku sedikit memuji.

Lima belas menit berlalu. Sarung cap Gajah Duduk yang kupakai, basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba tubuhku meriang. Menahan sakit teramat sangat. Seakan ada yang mendesak dari dari dalam.

Buzzz...preet, sesuatu yang sudah lama kutunggu akhirnya keluar lepas. “Hmmm, mungkin ini yang disebut gas buang,” gumamku lugu. Aneh, ada perasaan nyaman menjalar di sekujur kulitku.

Dari pantulan kaca TV aku bisa melihat wajahku mulai memerah semu. Tanda darah sudah mengalir lancar. Tapi, aku tak melihat bayangan istriku. Yang terdengar cuma bantingan daun pintu dan sumpah serapah istriku dari balik kamar. Oh, ternyata istriku terkena angin duduk.

Tidak ada komentar: