Kamis, 29 Januari 2009

Caci-makilah Wartawan!

Antara menulis, belum lama ini dalam sebuah forum formal di Bengkulu, Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan mengeluhkan kinerja wartawan. Katanya suka manas-manasi. Merekapun dicap wartawan kompor.

Kisah tentang kepala petinggi daerah yang menjelek-jelekkan wartawan di forum resmi bukanlah hal baru di kepri. Dulu, Nyat Kadir saat masih menjabat wali kota Batam, sempat menghujat wartawan saat dia berbicara dalam sebuah forum.

Tahun lalu, Wakil Gubernur Kepri HM Sani, juga berlaku sama. saat berbicara dalam forum bisnis, dia juga membeber borok wartawan. Ada saja yang dia sebut. terakhir dia tutup, "Aku ini dan ...(dia menyebut nama bos media) adalah kawan akrab," katanya.

Dan terakhir, giliran Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan. Bedanya, dia membeber borok wartawan hingga memberikan cap negartif tersebut, saat dia berbicara di Bengkulu, yang nota bene jauh dari wilayah pemerintahannya.







Rupanya Suryatati lupa (atau memang tak sadar?) bahwa di zaman fiber optik, informasi tak mengenal batas dan wilayah. Terbukti, dalam hitungan menit, omongan dia di forum tersebut langsung hangat di Kepri.

"Wartawan kompor", begitulah dia memberi merek.

Memaki wartawan, memang tak ada salahnya. Bahkan, meski lex specialis, kode etik wartawan Indonesia yang baru pun juga tak melarang jika misalnya ada pihak yang ingin mempidanakan wartawan.

Namun dalam kasus ini, tak bijak rasanya seorang petinggi daerah menjelek-jelekkan wartawan di depan forum resmi. Menurut saya, malah sangat kekanak-kanakan dan mengandung unsur bully (menghina, melecehkan, mengintimidasi) yang saat ini amat dibenci. Apalagi, disadari atau tidak, peran wartawan selama ini cukup membantu.

Berkacalah pada mantan Pangdam Jaya Djaya Suparman atau Aburizal Bakrie. Saat dia diterpa pemberitaan kurang mengenakkan, mereka tak langsung mencaci wartawan di forum resmi, namun melakukan langkah yang sangat elegan.









Dengan santun mereka datang ke organisasi yang menaungi wartawan tersebut, apakah itu organisasi profesi, atau organisasi kerja guna mencari jalan keluar. Pertemuan ini akhirnya membuahkan hak jawab, sehingga tidak ada yang terluka. Jangan sepelekan hak jawab, karena hal ini merupakan taruhan nama baik dan kredibilitas media yang bersangkutan.

Inilah beda seorang negarawan atau bukan. Jangan seperti gerombolan Hercules, ketika kurang berkenan akan pemberitaan wartawan, mereka datang menyerbu redaksi koran yang bersangkutan. Siapa yang ditemui langsung dihajar, hingga hidung wartawan tersebut patah.

Berkaca dari kasus ini juga, sudah saatnya seorang petinggi di daerah belajar bagaimana berhadapan dengan pers. Kalau merasa kikuk, akifkan saja peran humas.

Tinggalkanlah cara-cara lama yang kekanak-kankan dan tak cerdas, berupa kebiasaan menelepon petinggi media saat ada masalah dengan wartawan, karena itu sudah tak relevan lagi di zaman yang serba transparan seperti saat ini, di mana ilmu pengetahuan menjadi pedoman.


Please, open mind...

Rabu, 28 Januari 2009

Stop Bullying!

Ada sebuah teladan yang bisa kita contoh dari pelajar sebuah SMA di Jakarta. Selasa (27/1) lalu, mereka melakukan sebuah gerakan moral bernama “Stop Bullying”. Acarang yang berlangsung di sekolah ini, digelar beragam pamflet dan poster buah tangan mereka, yang ditempel dinding.



Tujuan dari acara ini, tentu sesuai judulnya, “Stop Bullying”, yang berarti hentikan melecehkan, mengolok-olok, menghina, menista, mengintimidasi, dan merendahkan sesama. Mengapa? Karena hal ini jelek, mirip interograsi penjajah Belanda, dan tak sesuai lagi dengan semangat zaman.

Sepintas, saya teringat acara The Oprah Winfrey Show. Dalam sebuah episodenya, menguypas masalah ini. Ternyata, di Amerika sendiri yang negara maju itu, bullying masih terjadi.

Namun, dari beberapa nara sumber yang dihadirkan, umumnya terjadi di masa-masa sekolah dasar dan lanjutan. Biasanya, bullying ala Amerika ini, hanya sebatas pada olok-olok akan perbedaan warna kulit atau hal-hal ganjil lain yang melekat dalam pribadi seseorang.

Bullying paling parah dirasakan di Amerika, juga merembet ke negara-negara lain seperti Australia, pasca peristiwa 911. Umumnya dilakukan oleh kulit putih pada muslim dan etnis Arab dengan sebutan teroris.











Sementara di Indonesia sendiri, bullying mewabah kian eratnya. Bullying di negeri ini, telah menjadi tradisi buruk yang terus dilakukan turun-temurun dari gererasi ke generasi.

Mulai bangku SD hingga perguruan tinggi, praktik penistaan, mengejek hingga berujung kekerasan kerap terjadi. Tentunya kita ingat bagaimana tradisi genk-geng-an di kalangan pelajar, atau tradisi Opspek. Semua adalah praktik bully.

Mereka menghina, mengejek lalu memukul dengan mengatas namanya senioritas. Orientasi di STPDN dan SIP Marunda, merupakan sejarah kelam bullying di negeri ini.

Di kantor-kantor pemerintah dan swasta bullying juga tumbuh subur. Pelakunya sama, senior ke junior. Dengan mengatasnamakan kerja dengan baik, para senior melecehkan, mengolok-olok, menghina, menista, mengintimidasi, dan merendahkan juniornya.

Jadi teringat gaya centeng Belanda saat mengawasi kerja rodi proyek darah Anyer-Panarukan Gubernur Deandles. Atau gaya ala pemberontak Serra Lione saat memerintahkan tawanan menggali berlian berdarah (bloood diamond)

Parahnya lagi, bully di Indonesia terjadi pada saat yang tak beralasan, tak hanya kaum proletar, juga kaum terpelajar pun melakukannya.











Percaya atau tidak, rekanku pernah di-bully di sebuah gala dinner, hanya karena dia berpakaian necis dan rapi?!

Tentu rekan saya ini kebingungan, apakah salah pakai baju rapi untuk menghormati si pengundang? Lagi pula, apa perlunya mem-bully semacam ini? Inilah yang saya sebut bully yang tak beralasan.

Apalagi gara-gara bully tersebut, pandangan orang sekitar langsung tertuju ke arahnya. Sehingga membuatnya agak kurang nyaman.

Dari beragam uraian ini ada satu pertanyaan, untuk apakah bully sebenarnya? Apakah memang bully dapat membina mental agar lebih kuat? Membuat junior lebih hormat? Atau membuat kinerja kantor lebih baik dan ebih termotivasi? Jawabnya, tidak.

Faktanya, orang yang selalu mendapat bully dari lingkungan, membuat semangatnya menurun, mentalnya terganggu dan dilanda kecemasan hebat. Dia merasa terintimidasi, merasa trauma yang tentu saja membuat perannya sebagai mahluk sosial yang homonilupus, tak berjalan baik.

Mungkin karena pengaruh inilah, saat ini dalam metoda pendidikan bully dimasukkan dalam tindakan kekerasan dan tak boleh dilakukan oleh guru pada muridnya, meski beralasan “mendidik” sekalipun.











Dalam psikologi dasar, bully sama halnya memberikan label negatif (saya pernah mengupas hal ini http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/merek-negatif.html). Misalnya dengan berkata si bodoh, si jorok dan semacamnya itu.

Jangankan label negatif, memberi label positif pun jika itu terlalu berlebihan, juga akan berdampak buruk. Anak akan dilanda kecemasan luar biasa, karena dirinya ditempatkan pada momen tak riil dari kemampuannya.

Contoh nyatanya seperti ini, kita sering muak melihat pemeran antagonis dalam sinetron. Kadang hal ini terbawa ke alam nyata, padahal kita tahu semua itu hanyalah peran, dan belum tentu si sifat pemeran itu sama dengan apa yang dia lakoni.

Inilah yang disebut rehearsal. Bisa diartikan mendengar kembali, atau pengulangan verbal. Karena itulah, banyak artis yang minta rolling dari antagonis menjadi protagonis, selain untuk menjajal kemampuan akting, juga untuk menghindari label buruk ini.

Bully memang menjadi momok yang harus dihilangkan. Karena kebaikan dan membangun itu tak akan tumbuh dari bully, namun dengan cara mencari potensi yang ada sekecil apapun, dan menghargainya.

Please, open mind…


-----------------------
Prescript:

Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia tergolong terlambat menyadari bahwa tindakan kekerasan atau bullying sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mendapatkan pembenaran yang tidak rasional.


"Biasanya orang-orang menyadari adanya bentuk kekerasan kalau sudah berdarah-darah. Padahal bentuk kekerasan tidak hanya itu. Ada bentuk kekerasan verbal dan mental yang lebih susah dideteksi."
(Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini Diena Haryana)



"Bullying merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan mengintimidasi atau melukai korbannya sehingga merasa tidak berdaya."

"Bullying akan sangat merugikan bagi kemajuan bangsa dan negara. Pertimbangannya, kekerasan semacam itu akan menyebabkan degradasi moral yang membuat bangsa ini menjadi lemah."

"Masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal lemah lembut akan berubah menjadi masyarakat yang tidak tahu sopan santun, keras, dan tidak beradab."

"Bullying juga bisa menciptakan pribadi rapuh kepada korban, seperti sulit berkonsentrasi, perasaan rendah diri, tidak berharga, bahkan bunuh diri."
(Psikolog Universitas Indonesia Ratna Juwita)


"Bullying dapat menyebabkan degradasi moral yang membuat bangsa Indonesia menjadi lemah. Kekerasan itu juga dapat meningkatkan kriminalitas di Indonesia."
(Direktur Sekolah Madania Komaruddin Hidayat)

Senin, 26 Januari 2009

Revolusi Dangdut Ridho Rhoma

Tepat di Hari Raya Imlek, di sebuah acara Dangdut Never Dies yang disiarkan langsung TPI, Senin malam, Rhoma Irama membuat kejutan dengan apa yang dia sebut revolusi dangdut ke 2. Melalui putra mahkotanya, Ridho Rhoma, dia coba membuat dangdut bangkit dari tidurnya.

Sama seperti gebrakannya di tahun 1970-an dulu, Rhoma mempersiapkan putranya ini sangat matang agar bisa bersaing dengan genre musik yang membahana saat ini, yaitu era anak pop band.

Kalau dulu Rhoma memformat dangdut dengan sense of rock, agar bisa berdiri sejajar dengan musik rock yang saat itu mewabah, kini revolusi dangdut era Rodho harus band style, agar bisa sejajar dengan pop band yang saat ini meledak.

Gebrakan yang disebut Rhoma sebagai revolusi ke II musik dangdut ini, untuk kembali membangkitkan musik ini, setelah tiarap akibat dihajar serbuan anak-anak band dan dirusak oleh pedangdut seronok, tak inovatif, hanya modal tampang dan mendangdutkan lagu pop yang tengah ngetop saat ini.

Karena itulah, semua diformat lebih nge-band. Di sini, semua impian fans anak band ada, mulai vokalis tampan, blasteran, cerdas, suara merdu, musik yang easy listening, enerjik dan moderen.










Ridho Roma memang good looking. Wajahnya khas anak-anak blasteran. Darah Arab mengalir dari ibunya, Marwah Ali.

Postur tubuh Ridho Rhoma ateletis, six pack models, kulitnya bersih, rambutnya ikal. Untuk yang satu ini, tampaknya dia di atas Ariel Peter Pan an Pasha Ungu. Ditmbah lagi, selain piawai menyanyi dan bersuara merdu, dia juga fasih berbahasa Inggris.

Kemahiran Ridho Roma dalam bernyanyi, juga ditunjukkan saat dia membawakan lagu-lagu India yang memiliki kesulitan cengkok dan stanza maksimal. Ternyata Ridho bisa membawakan dengan baik. Cuma sayang, karakter vokalnya terlalu lembut. Itu saja.

Menurut Rhoma, pedangdut yang baik harus bisa membawakan lagu India, karena dangdut memiliki benang merah dengan musik India. Sama halnya musik pop yang berbenang merah dengan musik barat, atau qasidah yang memiliki benang merah dengan musik gambus.

Untuk mendukung penampilannya yang nge-band, Rhido juga diiring grup band, bernama Sonet II Band (baca: sonet tu ben) yang mayoritas personelnya diambil dari anak-anak personel Soneta.

Berbeda dengan Soneta, Sonet II Band lebih simple. Personelnya hanya 5 orang. Di sini, perkusi tak terlalu dominan. Bahkan tamborin, yang selama ini identik dengan dang dut, juga tak ada.








Semua serba elektrik, dengan sentuhan alat musik moderen, seperti drum, keyboard, gitar, dan bass yang petikannya mirip jazz atau bossanova itu. Bagaimana dengan gendang? Tentu Sonet II Band tetap memakainya, karena ini adalah jiwa musik dangdut. Bedanya, gendang di sini bukan memakai ketipung, melainkan tabla. Namun, ketukannya tak terlalu cepat dan dominan.

Saat melihat penampilan mereka saya cukup kagum, mereka dapat mengemas musik dang dut benar-benar beda, jauh dari yang ada saat ini seperti rock-dut, disko-dut, apalagi koplo. Kalau didengar, sepeintas aranser musik yang mereka mainkan mirip pop Arab, seperti yang ada di album Mahmoud El Essily (Tabaat W Nabaat) dan lain-lain.

Namun, musik Sonet II Band lebih progresif dan inovatif degan sapuan ritmik musik yang easy listening, namun tetap elegan dan tak menghilangkan akarnya; musik dang dut. Sehingga, meski lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu daur ulang milik Soneta, namun terasa beda, lebih muda dan moderen.

Hal ini dibuktikan pada akhir sesi, Rhoma dan Rhido sengaja membawakan dua lagu yang sama namun aransemen berbeda, sebagai perbandingan. Ternyata memang beda jauh.

Yang paling bagus saya nilai, saat Sonet II Band mengaransemen ulang lagu Menunggu, milik Soneta yang populer di tahun 1979 lampau. Rasanya lebih dinamis, enerjik, tak cengeng. Malah saya merasakan kok seperti mendengar alunan musik latin, atau musik progresif khas anak-anak Yovie & The Nuno, bahkan juga lagu Separuh Nafas milik Dewa 19.








Yang paling menyentuh saat di akhir lagu Menunggu, sesuai syair, Rido memeluk Rhoma. Rhoma pun sampai meneteskan air mata. Dari wajahnya saya melihat ekspresi bangga dan haru dari seorang ayah yang lama menunggu kehadiran penerus cita-citanya.
Tampaknya, kali ini Rhoma memang telah menemukannya.

Ini adalah jawaban dari kegagalannya dengan “proyek” terdahulunya, pada pertengahan tahun 1990-an, saat dia mengorbitkan putranya Vicky Irama dengan Soneta Junior-nya. Proyek ini gagal total dan hanya menelurkan satu album saja. Penyebab utama, selain wajah putranya dengan Veronica yang kurang tampan itu, juga vokal Vicky yang pas-pasan.

--------------------------

Agar lebih terintegrasi, baca juga tulisan di blog ini Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/ketika-dangdut-tak-lagi-melayu-1.html

Minggu, 25 Januari 2009

Mencari Guru

Anak-anak muda generasi mie instan saat ini, tentu tak pernah mengalami zaman di mana subur tradisi mencari guru. Meklumlah, saat ini pendidikan kian banyaknya, gurupun tak terhitung lagi jumlahnya. Guru dalam arti pengajar, bukan peneladan.


Tradisi mencari guru, banyak dilakukan bapak-bapak peletak fondasi bangsa ini, sejak zaman kerajaan hingga pergerakan.

Saya sendiri memang tak sempat lagi mencicipi tradisi ini, namun ayah saya dulu sempat bercerita, anak-anak muda semasanya di tahun 1930-an, mencari guru hingga ke Jawa bahkan jazirah Arab untuk melengkapi ilmu pengetahuannya.

Menurut ayah, tradisi ini diturunkan dari para gurunya di kampung. Biasanya dia akan merekomendasikan sang murid untuk belajar ke kota atau negara tertentu. Biasanya sang guru berpesan, “Datanglah ke sana, di sana ada seorang alim bernama fulan. Dia banyak menguasai akan ilmu agama.”

Muhammad Darwisy atau setelah besar dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan, pendiri Muammadiyah itu, dulu sempat mencari guru untuk memperdalam ilmu agamanya hingga ke jazirah Arab.

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, keturunan ke 12 Maulana Malik Ibrahim tersebut, bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.

Tradisi mencari guru ini pun, kadang dilakukan oleh seorang guru yang nota bene memiliki ilmu yang mupuni. Biasanya, untuk memutuskan apakah seseorang itu layak menjadi gurunya atau tidak, mereka melakukan adu ilmu, biasa berbentuk debat atau pertarungan. Yang kalah akan tunduk dan menyatakan diri sebagai muridnya.

Teknik ini kerap dilakukan Kiai Sadrach, seorang misi sending saat menyebarkan ajaran Kristen di Kediri, Jawa Timur.

Sebelumnya, para sunan pun juga melakukan hal yang sama. Sebuah kisah mengatakan, bahwa Sunan Kali Jaga, semasih bernama Raden Rahmat, banyak melakukan petualangan untuk mencari guru yang baik. Hingga akhirnya dia mendapat hidayah saat bertemu Sunan Bonang, gurunya.









Dari isah-kisah mencari guru ini, saya tertarik akan kisah Imam Syafi’i. Konon saat itu, beliau bertemu penduduk di sebuah kampung. Selanjutnya dia bertanya, “Apakah di kampung ini ada guru yang hebat?”

“Ada. Dia sangat pandai menangkap ayam. Kamu pergi saja ke ujung jalan ini, di sana ada lelaki tengah memberi makan ayam,” menjawab si penduduk. Penasaran, Imam Syafi’i pun menuju ke sana. Tak lama dia bertemu orang yang dimaksud.

Dia melihat ada seorang lelaki dengan ayam-ayamnya. Sebelum ayam itu dimasukkan ke kandang, terlebih dulu dia memberinya makanan ke sebuah ruang. Si ayam pun menurut. Setelah semuanya masuk, maka dia langsung menangkapnya satu persatu dan dimasukkan ke kandang.

Melihat hal ini, Imam Syafi’I mengurungkan niatnya berguru pada lelaki itu. Diapun balik kanan, hingga akhirnya bertemu kembali dengan penduduk yang telah memberinya saran itu.

“Ketemu?” tanya penduduk itu.
“Ya. Tapi saya tak jadi berguru padanya.”
Kenapa?” si penduduk keheranan.
“Ilmu yang dia punya ternyata hanya memberikan teknik untuk mengelabui (ngakali) ayam. Kalau pada ayam saja dia berbohong, jangan-jangan ilmu yang dia berikan pada saya juga ilmu bohongan!” jawabnya.








Di zaman ini, tentu tradisi mencari guru ini tak lagi dilakukan. Buat apa, pendidikan begitu banyaknya. Kursus-kursus apa lagi. Guru, juga tak terhitung. Mulai yang honor hingga profesor.

Namun, layaknya Imam Syafi’i, kita harus selektif memilihnya. Karena saat ini banyak orang pandai, namun sedikit sekali yang mengerti. Orang cerdas banyak, namun yang bisa menjadi teladan sangat susah.

Kadang kita merasa muak mendengar ocehan orang-orang pandai, bukan karena kita tak mengakui akan ilmu yang dikuasinya, namun karena kita melihat orang tersebut tak mampu meneladani ilmunya. Dia bilang ini itu, dan dia sendiri yang melanggarnya.









Sebuah pengalaman. Saat akan salat Jumat, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi memilih berdiri di luar masjid. Saya pun heran lalu bertanya, kenapa tak mau masuk. Bukankah mendengarkan khutbah Jumat itu wajib? Apalagi materinya tentang dosa orang-orang munafik.

Dia pun menjawab, alasan tak masuk masjid karena yang membaca khutbah itu adalah temannya.

Sayapun makin kebingungan. Tak mau membikin saya penasaran dia pun menjelaskan. “begini Za, bukannya saya tak menghargai kalimat-kalimat suci yang dia sampaikan, namun nurani sayalah yang menolak dan memilih agar saya tak usah mendengar.”

“Kenapa begitu?”

“Karena teman saya yang memberikan khutbah itulah yang baru saja menipu saya. Belum lama ini, seorang pengusaha juga telah dia tipu jutaan rupiah. Bahkan di kampus, dia diindikasikan melakukan korupsi uang pendidikan. Bagaimana saya bisa menerima khutbahnya, kalau dia sendiri ternyata hanyalah seorang penipu ulung???”


Berbahagialah kita, jika bisa menjadi guru bagi sesamanya. Lebih baik lagi jika dapat menjadi peneladan. Karena Andalah obor dalam kegelapan sebenarnya…


Please, open mind…







Dibodoh-bodohi

Baru sebentar nonton berita di televisi dan membaca koran, saya sudah merasa mengasihani diri sendiri. Kasihan melihat saya yang bodoh, masih dibodoh-bodohi oleh orang-orang pemburu citra.


Lihatlah pemerintah itu, dulu saat BBM naik dia berkata seperti ini. “Kondisi ini tak bisa dielakkan lagi. Karena minyak dunia sudah melambung, dan siapapun presidennya pasti akan melakukan manaikkan BBM.”

Begitulah. Maka, saat harga BBM di pasar dunia naik, saat itu juga harga BBM di Indonesia ikut naik. Ujungnya, dalam hitungan menit, harga sembako ikut naik. Katanya menyusul harga transportasi yang ikut naik duluan.

Tak lama, saat krisis keuangan melanda AS dan membuat harga BBM turun, ternyata harga BBM di Indonesia tak otomatis turun. Setelah lama berselang, lebih sebulan, barulah pemerintah dengan ritual khusus, gayanya bak pahlawan, tampil berpidato pemerintrah menurunkan harga BBM.

Tahu berapa? Ah, tak sebanding dengan gayanya saat berpidato, hanya Rp500 alias gopek! Itupun dicicil sampai tiga kali, selama tiga bulan. Gopek, gopek, gopek, capek deh.

Lalu, dengan pongahnya mereka berkata, “Ini adalah keberhasilan pemerintah. Baru pemerintahan kali inilah, BBM diturunkan.”






Lha, bukankah itu akibat imbas turunnya minyak dunia? Kok diklaim kinerja pemerintah? Apalagi turunnya dicicil goek-gopek, padahal saat naik tak pernah seperti itu. Langsung saja, bensin hari ini naik Rp1.000! atau naik Rp1.600!

Lihatlah negara-negara lain, Malaysia misalnya, mereka langsung menurunkan harga BBM di negaranya sesuai harga pasar, begitu harga minyak hitam dunia turun. Itupun tanpa acara-acara kebesaran, bergaya bak pahlawan apalagi gopek-gopek, capek deh.

Lalu bagaimana dengan sembako? Aduh, susah sekali turunnya. Malah tambah meroket saja. Alasannya, ongkos transportasi masih belum turun. Padahal saat BBM naik dulu, cepet sekali penyesuaiannya.

Lalu salah siapakah ini? Anehnya pemerintah tak mau disalahkan. Katanya, organda dan insustri yang salah. Lha, apa artinya organda dan industri kalau pemerintah berkehendak, tak ada yang bisa menolak.

Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…








Giliran lihat iklankampanye. Sebuah partai mengklaiam, dulu di Poso, Ambon, Aceh dan Papua tak pernah damai. Setelah orang-orang partai ini masuk di pemerintahan dan DPR, perdamaian di sana bisa terwujud.

Lalu apa yang terjadi? Tak lama iklan itu tayang, Ambon kembali bergolak, NTB dicekam rusuh.

Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…

Pindah saluran, melihat berita sosial kemasyarakatan, ya sama saja. Orang-orang saling bodoh membodohi. Para pemimpin formal dan informal terus saja ngomong ini dan itu. Semua berebut jadi penganjur, namun tak nsatupun jadi peneladan.

Mereka yang paling gencar menganjurkan ini itu, menjadi orang pertama yang paling depan melanggarnya.

“Kok gitu sih, bisa nggak begini!”
“Harusnya kamu begini, begini dan begini! Bukan begitu, begitu dan begitu!”
“Semua ini demi kebaikan Anda. Saya lebih tahu dari Anda, karena yang hebat itu saya dan yang bodoh Anda!”






Demikian perintahnya, merasa hebat, merasa tahu. Namun praktinya, mereka sendiri yang melanggar semua pakem dan arahan yang dia terapkan itu.

Masyarakatpun bingung, lalu memunculkan sikap penentangan. Bukan karena mereka tak menghargai ilmu sang penganjur, namun bingung karena melihat apa yang mereka diajurkan selalu mereka langgar.

Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…

Kita pernah dijajah dan dibodoh-bodohi Belanda selama 3,5 abad.
Kita pernah dijajah dan dibodoh-bodohi Jepang selama 3,5 tahun.
Sungguh ironis jika sampai saat ini, setelah 64 tahun merdeka, kita masih dijajah dan dibodoh-bodohi bangsa sendiri, pemimpin sendiri.

Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…
Oh apa yang sesungguhnya sedang terjadi…


Please, open mind...
----------------
Kebaikan bagi orang lain itu hanyalah jika membuat mereka lebih mampu dan lebih damai. Bukan malah sebaliknya, tambah bingung dan makin resah.

To be brave its does’n mean looking for trouble.

Sabtu, 24 Januari 2009

Merek Negatif

Hati-hati memberikan merek negatif pada seseorang, karena itu sama saja Anda telah membunuh separuh hidupnya.

Kita terlahir tentunya ingin menjadi baik. Karena itulah, banyak orang tua memberikan nama-nama yang baik dan indah pada putra putrinya, agar ketika besar kelak dia menjadi apa yang diharapkan dari makna namanya tersebut.

Islam mengajarkan bahwa nama adalah doa. Oleh karena itu, di kampung saya proses pemberian nama ini cukup rumit, biasanya orang tua mengajukan nama yang diusulkan tersebut pada seorang pemuka agama.

Selanjutnya oleh si pemuka agama, nama tersebut akan digodog selama beberapa hari. Di sana ditimbang dulu kata-perkata nama yang diajukan dengan tanggal dan hari baik. Karena nama indah belum tentu baik.

Setelah nama disetujui, masih dilakukan lagi proses selamatan, lengkap dengan ritual nasi putih, kuning, ketan merah dan ketan hitam . Semuanya mendoakan agar yang punya nama nantinya bisa hidup baik, sesuai nama yang disandangnya.

Namun setelah dewasa, nama yang indah itu dirusak oleh merek-merek negatif yang melekat padanya. Merek negatif yang sebenarnya telah membunuh sebagian hidupnya.






Kenapa demikian? Karena saat menambahkan merek negatif pada seseorang, secara tak langsung, Anda telah menanamkan persepsi orang lain terhadap orang tersebut, sesuai merek negatif yang Anda berikan.

Dari persepsi inilah nanti akan menimbulkan kognisi, behavioral yang otomatis akan mengatur jarak-jarak personal dalam sosialisasi yang bersangkutan.

Di kampung saya ada orang sakit jiwa. Sekeras apa usahanya untuk sembuh, tetap saja dia dinilai mayarakat sakit jiwa. Kadang orang pergi menghindar melihat dia bicara sendiri, padahal saat itu dia tengah berlatih mengahafal naskah sebuah drama.

Orang juga berlari ketakutan, ketika melihat dia tertawa sendiri, padahal saat itu dia tengah teringat sebuah film komedi yang baru saja ditontonnya. Apa salah tertawa sendiri? Toh orang normalpun melakukan itu.

Yang lebih parah saat dia bicara. Tak ada orang yang meu mendengar, meski itu benar adanya.

Contoh lain, saat di SMA dulu, ada guru yang digelar tukang intervensi. Apa yang terjadi, apapun usaha si guru selalu dianggap sebagai intervensi. Bahkan saat dia memberikan saran dan ide pun, dianggap sebuah intervensi.

Beda halnya jika kita memberikan merek positif. Maka, hasilnya akan positif juga.








Pakar ilmu komunikasi yang sangat saya kagumi, Jalaluddin Rahmat (kapan ya saya bisa ketemu?), dalam bukunya Psikologi Komunikasi, pernah menulis. Bahwa kesuksesannya saat ini, tak lepas dari persepsi yang ditanamkan orang sekitarnya.

Dia menulis (saya tak dapat mengingat kalimatnya secara persis, namun kira-kira begini), “Saya ini bisa pandai karena banyak orang menganggap saya pandai. Masih kecil orang tua dan tetangga bilang saya pandai, di bangku sekolah hingga kuliah saya juga dicap anak pandai, ya sudah saya jadi pandai beneran.”

Karena cap pandai itulah, dia dapat kepercayaan lingkungan sekitarnya, sehingga aktualisasi dan pengembangan dirinya bisa berjalan dengan baik.

Kebalikannya dengan anak angkat tetangga saya di kampung Kotta, Pulau Bawean. Sejak kecil dia sudah dibilang bodoh, akhirnya tetangga kami juga bilang bodoh. Akhirnya, saat saya pulang ke Bawean, saya lihat anak itu sungguh mengenaskan. Hidupnya terbelakang dari anak-anak sebayanya.

Karena cap bodoh itulah, dia tak dapat kepercayaan lingkungan sekitarnya, sehingga aktualisasi dan pengembangan dirinya tak bisa berjalan dengan baik

Inilah perkasanya persepsi akibat merek negatif tadi. Seorang Newton saja, harus menemukan teori gravitasi dulu hingga dia terlepas dari merek negatifnya, bahwa dia seorang gila.

Please, open mind.

Menyeru Kebaikan


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).

Sejak masa-masa aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), hampir setiap hari saya selalu diperdengarkan ajaran ini. Sebuah ayat yang menjadi dasar pergerakan kami, agar selalu Fastabiqul Khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan.

Ayat yang dipetik dari surat Ali Imran ayat 104 inilah, yang menjadi semangat KH Ahmad Dahlan untuk selalu memaknai, menghayati, dan mengamalkannya saat mendirikan Muhammadiyah. Mungkin karena itulah sehingga ayat ini sering diidentikkan sebagai “ayat” Muhammadiyah.

Dulu saya berpikir, berat juga mengamalkan ayat ini. Sebab, saya harus menjadi “umat yang menyeru” pada kebajikan. Perasaan ini, sama beratnya ketika saya membaca hadis yang berbunyi, “Katakanlah yang haq qalau pahit”. Jadi yang terlintas di benak saya, setelah baca ayat ini harus turun ke pasar-pasar lalu berdakwah.

Untunglah, ustad saya kala itu menyederhanakan kalimat “umat yang menyeru” itu. Menurutnya, cukuplah dengan berakhlaq yang baik saja, itu sudah cukup. Karena hal tersebut, sudah bisa menjadi teladan yang baik bagi masyarakat. Karena inilah inti dari ajaran Islam itu sendiri. “Saya diutus ke bumi untuk menyempurnakan ahlaq,” begitu kan, kata Rasulullah Muhammad SAW.

Ahlaq yang baik, tentunya mencakup perkataan yang baik pula. Istilah kekinian adalah kata-kata yang mampu memotivasi. Tindakan yang paling ringan, dengan menghargai eksistensi seseorang. Cukup.








Sebuah buku The Message from Water, pernah mengupas hal ini. Pernah baca? Alhamdulillah, beberapa waktu lalu saya sempat menelaah buku hasil penelitian Dr Masaru Emoto dari Jepang ini. Buku yang terdiri dari beberapa jilid ini, saya pinjam dari rekan kakak saya.

Di sana dikupas bagaimana kristal air yang indah dan sangat berkhasiat itu, akan terbentuk bila diseru dengan kata-kata yang baik (pujian), seperti “danke” (Jerman), “thank you” (Inggris), “terimakasih” (Indonesia). Namun, apa yang terjadi bila diseru dengan kata-kata kasar (buruk) seperti “I hate you” (aku benci kamu), maka kristal air tidak akan terbentuk atau rusak.

Hal ini sangat menarik karena air merespon secara langsung suara kita. Masyaallah, Allahuakbar. Tuhan segala zat!

Lalu, masih dari Jepang, bagaimana seorang ilmuan menemukan fakta bahwa bunga yang tiap hari rajin kita ajak berkomunikasi, sambil menyentuh dan memujinya, akan tumbuh lebih indah dari pada bunga yang tak pernah kita ajak bicara!

Kalau air dan bunga saja bisa bereaksi positif akan perhatian yang positif, apalagi manusia? yang katanya punya rasa punya hati.

Dari sini saya teringat, pantas saja Rasulullah tak pernah menghina makanannya. Kalau beliau tak berkenan, hanya didiamkan saja. Ternyata semua ada maksudnya. Sayangnya zaman dulu penelitian akan mikroorganisme tak semaju saat ini, sehingga pemikiran manusia selalu berlari pada hal-hal ghaib, jika ada persoalan yang tak bisa dia jelaskan dengan akalnya.

Please, open mind...

Rabu, 21 Januari 2009

Biarkanlah Obama

Sudahlah, cukup, cukup menyanjung Obama terlalu berlebihan. Berhentilah, toh bagaimanapun dia adalah presiden orang lain, bukan presiden kita.


Manusia khusunya orang kota (urban) membangun sendi hidupnya berdasar kedekatan (approximity) dan kesamaan (similiarity). Orang-orang yang merasa memiliki kesamaan baik itu darah, daerah, pikiran atau ide, selalu berkumpul dan meresa welcome antara satu dan lainnya, lalu membentuk sebuah ikatan yang mengikat berupa paguyuban (gessellschaff) dan patembayan (gemienschaff).

Kelompok-kelompok ini biasanya memiliki links untuk membuat saling terkoneksi. Orang yang melakukan kontak antar link itu disebut liaison. Karena itulah, di kota, lingkar komunikasi selalu aktif antara sesama kelompok paguyuban dan patembayan ini. Dari aneka ragam kelompok ini, akhirnya memunculkan in-group feeling dan out-group feeling.

Jadi jangan heranlah kalau di kota, orang cenderung bergaul dengan orang yang itu-itu saja, sedaerah, seide, seiman dan se, se, se yang lain. Termasuk, tentu saja, memilih pasangan. Kalau tak se-club, ya sekantor, atau sekampung. Gitu deh.

Uraian inilah mungkin yang coba dimunculkan orang-orang negeri ini, khususnya para alumni SDN 04 Menteng, Jakarta Pusat, akan pelantikan Barrack Obama, presiden adikuasa yang dulu teman mereka.









Meski menurut saya, terlalu berlebihan, mengalahkan respon orang-orang Pacitan saat mengetahui anak sedaerahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, dilantik sebagai Presiden RI.

Bagi Obama Indonesia memang memiliki kenangan tersendiri. Nostalgia masa kecil. Namun, coba kita tanya pada diri sendiri, seberapa bagus memori kita mengenang masa-masa saat masih duduk di bangku SD tingkat pertama? Siapa saja teman Anda saat itu, atau Anda malah tak memiliki teman, karena waktu sosialisasi saat itu sangat terbatas.

Beda halnya, jika itu terjadi di masa-masa SMA. Umumnya, kenangan erat itu baru terpatri pada jiwa manusia pada masa-masa ini. Masa-masa metamorfosa.

Nah, dari sini saja kita sudah tak bisa berharap banyak apakah Obama masih ingat teman-temannya, atau Indonesia umumnya. Sekarang kita hanya berharap pada Lolo Sutoro, ayah tiri Obama, apakah selama menjadi ayah Obama dia cukup berkesan atau tidak?











Kalau iya, tentu secara psikologis Obama akan mengenang Lolo dalam arti orang Indonesia itu baik-baik, jadi layak untuk dibantu. Namun kalau tidak, tentu akan sebaliknya, kenangan ini akan membekas pada jiwanya. Apalagi, selama ini memang, jarang ada ayah tiri yang dekat dengan anak tirinya.

Yang paling lucu, di saat orang Indonesia menyangjung Obama sebagai presiden “miliknya”, ternyata tak sedikitpun Obama menyebut Indonesia dalam setiap pidatonya.

Malah pernah, Obama berusaha menghapus Indonesia dari sejarahnya, mengingat statusnya yang pernah tinggal di negeri ini, sempat menjadi ganjalan di awal-awal dia mencalonkan diri sebagai presiden.

Obama dicap pernah mencicipi pendidikan madrasah saat tinggal di Indonesia yang mereka asosiasikan dengan pelatihan teroris. Tentu Obama menyangkal, bahkan sebuah situs pernah menulis, di depan konstituennya Obama bersumpah, jika terpilih menjadi presiden AS, akan menghancurkan madrasah-madrasah yang berhaluan ekstrim di Indonesia.

Tahu tidak apa arti “ekstrim”, “barbar” atau “teroris” dalam kerangka berpikir Amerika? Jika mereka tak mau bekerja sama dan menentang Amerika, atau jika menolak arahan Amerika. Intinya jika berseberangan dan tak bersekutu dengan Amerika layak untuk dihancurkan.






Sisi lain, Obama adalah presiden dari Demokrat. Sudah sejak dulu, presiden Demokrat dikenal konservatif. Berbeda dengan Republikan, mereka selalu mengambil keputusan sesuai arahan partai.

Nah, sekarang bagaimana kebijakan partai Obama akan Indonesia?

Memuja Obama karena merasa in-group feeling saat masih sekolah SD di Menteng, memang tak ada salahnya. Asalkan, tak terlalu berlebihan. Jangan sampai nanti menimbulkan fanatisme buta, sehingga menganggap segala tingkah Obama itu benar.

Amerika adalah sesuatu bagi Indonesia, namun apakah Indonesia menjadi sesuatu bagi Amerika?



Please, open mind...

Selasa, 20 Januari 2009

Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu (1)

Akhir-akhir ini, banyak media massa elektronik dan cetak nasional, mengupas kemunduran musik dang dut. Bahkan, di tahun 2008 konser musik proletar ini kian berkurang ditampilkan baik di masyarakat dan televisi. Masyarakat lebih memilih menonton anak band yang mengusung musik pop easy listening.


Kalau kita perhatikan, era musik pop (baca anak band) kini kian erat mencengkram Indonesia. Tiap hari, ada saja bintang baru muncul dengan beragam lagu dan musiknya.

Baru saja kita dihantui Peterpan, Ungu sudah muncul dengan lagu yang menina bobokkan. Belum puas mendengar Ungu, sudah hadir lagu-lagu dari Radja. Radja masih bertahta, sudah disusul ST 12, begitu terus.



Grup-grup band ini terus meraksasa, dengan segudang fans-nya. Sementara dang dut, yang sudah dua dasawarsa berkuasa, akan dominasi musik pop ini, kini kian terpuruk dan terpinggirkan.

Jika dulu mampu menembus dinding rumah mewah, kini kembali lagi ke kampung-kampung becek. Jika dulu mampu tayang di stasiun televisi bergengsi, kini bergeser ke televisi kalangan menengah bawah.








Mengapa? Saya berpendapat, karena dangdut tak lagi elegan. Dangdut telah kembali ke comberan.

Sedikit mengulas, pada awal-awalnya dulu sekitar tahun 1950-an, dangdut memang sudah dikenal. Namun, derajatnya sangat rendah. Biasanya pementasannya digelar di kampung-kampung becek, menggunakan alat musik seadanya, umumnya akustik dan diterangi obor.

Beda dengan musik pop dan jazz yang saat itu, menjadi musik gedongan dengan alat musik elektrik canggih dan panggung gemerlap.

Tak ayal, musik gendang ini memang kurang diminati bahkan mendapat diskriminasi. Musik ini dianggap kampungan. Kata “dangdut” sendiri sebenarnya adalah sebutan ejekan, karena dari kejauhan irama musik ini selalu terdengar men-dang dut oleh iringan gendang.

Hingga akhirnya dari Jawa Timur, Said Effendi muncul mengamas musik ini jadi lebih elegan. Namun namanya bukan "dangdut" melainkan "irama Melayu". Said tak mau menggunakan nama "dangdut", karena dipandang kampungan.

Dari Saidlah lahirlah lagu-lagu Melayu semacam Bunga Seroja, Syurga di Telapak Kaki Ibu, Sabda Pujangga dan lain-lain, hingga membuat Said menerima berkarung-karung surat dari fans-nya kala itu.










Keberhasilan Said tak lepas dari inovasi yang dilakukannya. Said yang lahir dari penyanyi bergenre pop ballads itu, mengemas irama Melayunya dengan memadukan aransemennya dengan musik latin. Hal ini dapat kita dengar pada lagu-lagu hitnya, di antaranya Purnama Indah, dan Hayalan Suci.

Hasilnya, cukup fantastis dan ternyata banyak menyita perhatian, sehingga Said lebih dikenal sebagai penyanyi Melayu dari pada pop itu sendiri.

Irama Malayu ini kian berkibar dan mendapat tempat di hati masyarakat, seiring politik antibarat Presiden Soekarno, terkait kemerdekaan Malaysia hingga berujung pada mundurnya Indonesia menjadi anggota PBB.

Seiring dengan boomingnya irama Melayu ini, para pencipta pun bermunculan. Salah satunya yang paling dikenal adalah M Mashabi. Lagu-lagunya ketika itu, seperti Cinta Hampa, Kesunyian Jiwa, Untuk Bungamu dan lainnya, mendominasi tangga lagu Melayu ini.

Yang paling fenomenal adalah Husein Bawafy. Salah satu lagu ciptaannya, Bunga Seroja, masih berkibar hingga saat ini. Setelah dipopulerkan Said Effendi, di tahun 90-an saat kebangkitan ke tiga dangdut di Indonesia, lagu ini kembali digubah oleh biduan Iis Dahlia, dan terakhir, tahun 2008, jadi original soundtrack film laris, Laskar Pelangi (dinyanyikan Veris Yamarno berperan sebagai Mahar). Bunga Seroja juga populer di Malaysia, terakhir digubah penyanyi pujaan anak muda, Mawi.








Hingga di akhir 1960-an irama Melayu meredup. Kembali menjadi irama pinggiran. Bosan dan tak ada inovasi menjadi salag satu penyebabnya. Hingga di era 1970-an, saat irama jazz, rock dan pop ala anak-anak muda asal Liverpool Inggris, Beatles, menjamur, irama Melayu coba bangkit lagi.

Namun, kemunculannya terseok-seok. Ida Laila, Ellya Khadam (Boneka India) dan Mus Mulyadi, tak mampu menahan serbuan musik-musik berhaluan Eropa itu.

Hingga kemudian, muncul Rhoma Irama. Setelah sukses memenangi Festival Pop Singer di Singapura tahun 1972, Rhoma pun banting stir ke jalur musik ini. Saat itu, Rhoma belum mempopulerkan musiknya sebagai musik "dangdut", melainkan irama Melayu.

Hal ini tampak dari orkes bentukannya, yang diberi embel-embel "O M" Soneta. "O M" di sini adalah kependekan dari orkes Melayu. Bersama Elvy Sukaesih Rhoma mulai menjajal belantara musik ini. Namun, aransemen musiknya masih tradisional, mengandalkan hentakan ketipung dan suling.

Hingga di akhir tahun 1970-an, Rhoma bersama OM Soneta-nya melakukan revolusi musik dangdut, dengan mengawinkan aransemen musiknya dengan haluan pop rock, khas Deep Purple.









Menurut Rhoma, haluan ini dipilih agar musik dangdut bisa sejajar dengan band-band rock yang saat itu tengah meledak di negeri ini.

Rhoma, yang juga menciptakan sendiri lagu-lagunya itu, mengganti aransemen irama Melayu yang semula berbungkus accordeon, kearah sapuan jazz organ dan gitar listrik. Drum, perkusi, hingga trompet juga ikut main di sini.

Akibat keputusannya yang revolusioner itu, membuat hubungannya dengan Elvy Sykaesih pecah. Namun Rhoma tetap berlalu, sebagai gantinya dia menggaet Rita Sugiarto.

Rhoma memperkenalkan musik barunya ini sebagai “musik dangdut”, bukan “irama Melayu”. Sebutan “dangdut” yang di era Said Effendi sangat dibenci itupun, dikenal hingga saat ini.

Tak ayal, dangdut Soneta berkibar. Album-albumnya yang kala itu bernaung di bawah Yukawi Record, meledak. Nama Rhoma Irama sendiri menanjak, dia dipuja masyarakat. Lagu-lagunya digemari, karena selain enak didengar juga syair-syairnya banyak berhaluan dakwah.








Dari Soneta-lah, lagu-lagu bertema religi muncul, sehingga dangdut akhirnya identik dengan sound of Islam. Ini bagaikan oase bagi masyarakat kala itu, yang memang meski mayoritas Muslim, kurang mendapat ruang untuk mendengar lagu-lagu religi, mengingat mesin politik Orde Baru kala itu dikendalikan orang-orang CSIS, yang nota bene bentukan orang-orang Katolik.

Meski begitu, Rhoma banyak juga menelurkan single tentang kritik sosial, sampai-sampai Orde Baru di awal 1980-an, harus mencekalnya tampil di muka umum bahkan TVRI, televisi satu-satunya saat itu, karena lagu ciptaannya, seperti Pemilu dan terakhir Indonesia, dinilai mengkritik kebijakan Orba saat itu.

Keterlibatan Rhoma dalam politik praktis PPP, juga menjadi alasan Orba perlu menekan Soneta, agar posisi Golkar sebagai kendaraan Soeharto tak goyah. Sekadar diketahui, dulu Orde Baru banyak memakai artis sebagai cara memperluas pengaruhnya. Umumnya mereka banyak bernaung dalam wadah “Artis Safari”.

Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu (2)

Tak hanya dari penguasa, dari kalangan musisi sendiri Rhoma banyak dihujat. Adalah saat itu Jack Lesmana. Musisi jazz ayah Indra Lesmana (musisi) dan Mira Lesmana (sutradara) tersebut, paling keras mengkritik. Menurutnya, memadukan unsur rock dan dangdut sangat keterlaluan. “Mana ada rujak dicampur sosis,” ujarnya.

Selain itu, Rhoma dalam hal ini Soneta, banyak konflik dengan anak-anak band yang mengusung musik cadas, seperti Ahmad Albar (Godbless). Mereka risih, musik yang diusungnya didang-dutkan.

Seiring berkembangnya Soneta, ranah musik Indonesia banyak memunculkan grup berhaluan sama. Yang paling dikenal adalah Arafiq dan duet pasangan kekasih Reynold Panggabean dan Camelia Malik yang tergabung dalam Grup Rock Dangdut Tarantula. Lagu-lagunya yang tenar antara lain, Colak-colek, Wakuncar, dan Liku-liku.

Hingga di era 1980-an, dang dut meredup, kembali ke pinggiran. Saat itu Indonesia mabuk kepayang oleh lagu-lagu berirama melankolis. Rano Karno, Dina Mariana, Ria Resty Fawzi, Bill & Brod (Madu dan Racun) hingga Betharia Sonata, Nia Daniaty cs pun muncul. Sampai-sampai, Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, melarang lagu-lagu ini yang dia sebut “lagu cengeng”.

Selanjutnya, di awal 1990-an Indonesia dihentak oleh anak-anak band asal Malaysia, bermula dari lagu Isabella (Amy, Search), Suci Dalam Debu (Saleem, Iklim) lagu-lagu jiran ini terus berakar.

Dari sinilah, ternyata dang dut seakan mendapat celah. Irama ini muncul dengan konsep baru, pop dang dut. Heidy Diana-lah yang pertama mempopulerkannya. Publik pun tersentak, Heidy Diana, model cantik yang ngepop itu, mau nyanyi dang dut.









Dang dut pun tak lagi identik dengan Ida Laila dan Elvy Sukaesih lagi. Dang dut kini bisa cantik, bisa asyik juga. Dang dut rupanya tak hanya untuk orang miskin, juga untuk orang kaya. Dang dut tak hanya lagu truk-truk Pantura, tapi juga sedan mewah!

Hingga akhirnya Jefry Bule melakukan eksperimen mengawinkan dang dut dengan disko remix yang memang saat itu sedang musim. Maka, muncullah Merry Andani, Anis Marcella dan lain-lainnya itu. Di sini tak ada lagi accordion tak ada lagi suara gendang, yang ada adalah gocekan piring hitam khas disc jockey diskotek. Pencipta lagu yang negtop saat itu adalah Jalis Adiluhung.

Dari sinilah dang dut kembali booming, berevolusi dan berkembang pesat hingga tahun 2000. Rhoma Irama pun kembali menancapkan singgasananya, kali musik dangdut yang diusung tak lagi berhaluan Deep Purple, melainkan kembali ke "ibunya", irama India.

Tak hanya Rohoma, musisi, pencipta, dan artis berbakatpun muncul. Siapa sih yang tak kenal nama pencipta lagu dan musisi seperti Marakarma, Fazal Daath dan Kunten Mangkulangit?

Di kalangan artis pun, muncul Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, hingga Nini Karlina. Bahkan Doel Sumbang yang selama ini tekun di Pop, aktif dengan lagu setengah dang dutnya itu.

Tak hanya itu, grup dangdut juga booming. Siapa yang tak kenal dengan Manis Manja Grup, Artis-artis MSC, atau PMR? Mereka semua lahir dari zaman itu.

Kebangkitan dangdut ke tiga, setelah era Soneta inipun mulai diperhitungkan, tak hanya di panggung terbuka, juga di layar kaca. Bahkan, badio-radio dang dut pun banyak bermunculan.

Tuntutran pasar inilah, yang sanggup meruntuhkan arogansi RCTI, sebagai stasiun televisi swasta yang semula menabukan tayangan dangdut, menjadi welcome. Mereka pun mengemas acara dangdutan, Joged, dengan Liza Nathalia sebagai ikonnya.









Tak ayal, lahan dang dut pun jadi lahan basah, yang sebenarnya menjadi awal keterpurukan musik ini sendiri. Artis-artis bermodal tampang pun banyak hijrah ke musik ini. Tak ada album pun tak masalah, sebab bisa bawa lagu-lagu Soneta. Yang penting mau goyang, sudah asyik.

Terakhir di awal 2000-an dari Jawa Timur, dangdut koplo merebak. Dari panggung di kampung-kampung kecil dan tempat pelacuran, irama ini terus bergerak. Koplo, sebutan orang Jawa bagi orang mabuk. Ciri khas musik ini adalah suara gendang yang bertalu mendominasi lagu. Ritmenya cepat, mirip irama tabla.

Yang bikin hot, umumnya dangdut koplo selalu menebar goyang vulgal para biduannya. Dari sinilah muncul Inul Daratista, Trio Macan, Dewi Persik dan lain-lainnya itu. Goyang mereka yang seronok, kontan membikin publik tersentak. Pro-kontra pun timbul, setelah di awal 2002 musik ini dibawa ke televisi.

Tentunya kita masih ingat perseteruan Inul Daratista dengan Rhoma Irama yang membikin publik heboh, sampai-sampai ketua MRP saat itu, Amien Rais meminta televisi tak lagi memberitakan masalah ini, “Masih banyak persoalan bangsa yang lebih penting!” jelas Amien kala itu .

Salah satu stasiun televisi yang selalu memanfaatkan kontroversi sebagai bumbu penyedap jualannya, adalah Trans TV. Secara konsisten stasiun ini terus menabrak persepsi. Artis-artis koplo kontroversi itupun rajin mereka jadikan sumber.








Meski demikian, dangdut koplo tak lagi dipandang sebagai pembaharu, namun perusak. Cekal pun bermunculan yang membuat musik dang dut ini kian terpinggirkan. Ibu-ibu (yang nota bene penguasa remot TV) buru-buru mengubah saluran televisi atau menutup mata anak-anaknya, saat acara dangdut goyang ini muncul. Akibatnya, rating acara ini kian merosot. Iklanpun kering.

Hal inilah yang membuat enggan televisi menayangkan dangdutan ini. Saat ini, yang tersisa hanyalah TPI. Itupun sudah ke arah pencarian bibit baru, bukan atraksi panggung para biduannya.

Hal lain yang mengakibatkan dang-dut terpuruk, karena tak ada inovasi lagi. Artis-artisnya hanya mengandalkan tampang saja. Lagu-lagu yang dibawakan hanyalah lagu pop yang ngetop saat ini, namun diaransemen ulang, didangdutkan. Maka, kian bosanlah masyarakat.

Terakhir, didapat fakta bahwa musik ini kian terpinggirkan. Jadwal manggung kian lesu. Apalagi, masyarakat sudah menemukan cara memuaskan keinginannya akan lagu-lagu bercengkok yang lebih sopan, pada band-bang baru semacam ST 12 dan Kangen Band.

Inilah saatnya, musisi dangdut diuji, apakah mereka mampu menggairahkan musik ini kembali ke panggung terhormat dengan menemukan inovasi baru, seperti yang sudah dilakukan Said Effendi (almarhum), Rhoma Irama atau Jefri Bule. Kita tunggu saja.



Please, open mind.

Minggu, 18 Januari 2009

Sahabat Ku…

Berapa banyak koleksi sahabat yang anda miliki? Satu, dua, sepuluh, segudang? Saya malah tak punya seorang pun.

Saya memang tak punya sahabat, tapi kalau kawan, banyak. Di antaranya ada kawan kawin, kawan baik dan kawan akrab. Akrab sekali.

Pada kawanlanlah saya mengajak mereka bicara dan bercanda. Bahkan juga berbagi meja makan bersama. Namanya juga kawan, bisa datang bisa pergi. Semuanya disposable.

Disposable? Kata ini sangat kasar jika di-Indonesiakan. Namun intinya seperti ini, jika Anda diundang ke sebuah pesta, datang dan tidaknya Anda ke sana, tak akan ada bedanya. Paling juga besoknya yang punya hajatan bertanya sambil nyengir, “Eh kamu datang kan ke pesta ku kemarin?”

Yang ini, agak sedikit personal. Namanya kawan kawin. Istri saya, penatalaksana rumahtangga. Pada istrilah saya berbagi cinta bahkan perang. Dengan istrilah saya menua bersama.

Kawan akrab? Yang ini, katanya ini lebih dari saudara. Rahasia-rahasia pribadi yang di rumah saya tutup rapat, bisa dibuka pada kawan akrab ini. Dari dialah saya, mencari gagasan dan masukan, berbagi suka, duka dan asa.








Sahabat? Wah sebenarnya bisa lebih dari kawan akrab. Sahabat adalah adalah saya, namun dalam bentuk berbeda. Jadi, lebih akrab lagi kan? Namun sayang, saya belum punya sahabat.

Dulu, semasih kecil (SD), saya pernah memiliki seorang teman. Akrab banget. Main bersama, salat maghrib ke surau bersama, ngaji bersama, tidur bersama, ke sekolah bersama. Karena itulah saya menganggapnya sahabat.

Namun keyakinan saya runtuh, ketika dalam sebuah permainan sepak bola, kami harus berlawanan, karena berada di tim berbeda. Hasil akhir, tim saya menang, tim dia kalah.

Ternyata perlawanan di lapangan ini, dia bawa ke luar lapangan. Hingga setelah salat Maghrib bersama, tepatnya di halaman rumah saya, dia mengajak saya duel. Rupanya dia masih sakit hati. Ah… Orang yang saya anggap sahabat itu, malah meninjuku dengan keras.

Sejak saat itu, kualitas hubungan kami menurun drastis. Grade-nyapun turun, dari semula sahabat jadi teman, saja. Ya, kami tetap berteman, namun tak lagi akrab, tak lagi bersahabat.








Uniknya, setelah penyerangan itu, saya malah memiliki teman tambahan. Mereka adalah orang-orang yang rupanya sudah lama tak suka sama sahabat saya itu. Inilah mungkin yang disebut, “musuh dari musuhku adalah kawanku.”

Berganjak ke bangku kuliah, saya juga memiliki seorang teman. Semula hanya teman biasa, akrab, hingga menjadi sahabat. Namun, lagi-lagi, sahabat saya ini malah menjadi orang pertama yang tega menipu saya, demi uang Rp200 ribu!

Sejak saat itu, saya lebih ketat lagi memilih sahabat. Kawan saja itu cukup. Toh, Rasulullah Muhammad SAW, junjunganku dan kaum muslimin se dunia itu, hanya memiliki empat sahabat saja. Abubakar, Umar, Usman, Ali.

Apalagi setelah di Batam, mencari sahabat ibarat mencari jarum dalam tumpukan ranjau. Salah-salah, bisa meledakkan diri.

Di sini, semua selalu didasarkan benefit, saja. “Ada gula ada semut”, itulah kira-kira pribahasanya. Namun bukan berarti di sini tak bisa mencari teman, bahkan yang akrab sekalipun. Semua berjalan, semua berlalu, hingga waktulah yang akan berbicara. Karena antara teman dan musuh itu hanya berbatas amanah atau khianat!




please, open mind...



------------------------------
Pedihnya sebuah penghianatan, sampai-sampai turun Hadis tentang orang munafiq. Hadis ini turun pasca penghianatan Abu Sufyan terhadap tentara kaum Muslimin, yang dipimpin Rasulullah.

Ya Allah, apakah aku khianat? Amakah aku amanah?

Rabu, 14 Januari 2009

Efek Global Warming Hajar Batam

Setelah merendam kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara, banjir air laut pasang (rob) kemarin menerjang pesisir Batam, seperti Tanjunguma dan Batubesar. Beberapa kawasan dekat pantai, terendam air laut cukup tinggi.

Tanjunguma dan Batubesar merupakan salah satu kampung tua yang ada di Batam. Mulanya adalah perkampungan nelayan. Mereka bermukim di sekitar tubir pantai. Akibat banjir rob yang sebelumnya disertai hantaman ombak besar ini, membuat beberapa rumah nelayan dan pelantar hancur.

“Sepuluh tahun lagi, barulah terjadi lagi,” kata masyarakat di Tanjunguma. Dari keterangannya saya paham, bahwa 10 tahun lalu, mereka pernah dihantam banjir serupa. Sayapun mafhum.

Tapi jika ditarik dengan pengaruh pemanasan global saat ini, saya yakin ke depan, banjir rob Tanjunguma ini tak akan jadi siklus 10 tahunan, bisa jadi tahunan, bahkan bulanan.

Global warming memang tengah meraja. Efek rumah kaca dan pembakaran minyak fosil besar-besaranlah yang jadi penyebabnya. Hal ini masih lagi ditambah penggundulan hutan secara massiv dan excessive (besar-besaran dan berlebihan).

Analisa dampak ini, saya hubungankan dengan data hasil penelitian para ilmuan di Artik. Ditemukan, lapisan es di sana telah mencair 9 senti perhari! Bahkan Greenland, yang menjadi rumah es terbesar di dunia juga telah kehilangan sebagian wilayahnya, akibat telah mencair.

Semua ini, tentu ikut menyumbang pasangnya air laut di muka bumi. Sehingga jangan heran, di tahun 2018 nanti, sebagian kawasan pantai di dunia akan teremdam air laut hingga mencapai 1 meter, bahkan lebih.







Diperkirakan, New York akan kehilangan sebagian Manhattan-nya. Demikian juga daerah lain, termasuk juga Jakarta, tentu saja.

Hal ini jualah yang disikapi Jepang. Mereka membangun terowongan raksasa bawah tanah yang berfungsi untuk menampung luapan air. Terowongan ini berlapis beton tebal, tingginya mencapai 20 meter dengan pilar-pilar raksasanya. Jadi, saat banjir apapun menerjang Jepang, kota ini akan tetap kering.

Kembali lagi ke pemanasan global, indikasi yang paling awal akibat mencairnya es ini, di temukan pada populasi beruang es yang kian menipis. Di tahun 1985 sempat mencapai 200-an ekor, kini tinggal 95 ekor saja!

Jumlah tersisa ini badannya kurus-kurus, akibat kurang makanan. Mereka tak bisa lagi berburu makanan favoritnya, anjing laut. Ekosistemnya telah hancur.

Kini, beruang-beruang tersebut bertahan hidup, dengan cara berburu, di atas lapisan es yang kian menipis. Jika rapuh, risikonya bisa tenggelam ke laut. Alternatif lain, dengan memasuki perkampungan-perkampungan setempat. Bahkan, kadang harus memangsa anjing penduduk.

Global warming tak hanya menyebabkan mencairnya es di kutub, tapi juga membuat siklus cuaca jadi tak karuan. Angin kencang dan badai tiba-tiba datang, saat panas akan teramat panas, saat dingin akan teramat dinginnya.







Ngeri!

PBB melansir sebuah laporan, sebagaimana dilansir Kompas, manusia sebagai biang utama pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir.

Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961.

Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah.

Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob.





Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif. sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi.

Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat.

Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir.





please, open mind

Selasa, 13 Januari 2009

Kawin Campur, Euy

Senator Illinois Barrack Hussein Obama berhasil meukau mata dunia, bukan hanya karena berhasil terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, tapi juga telah mengangkat isu kawin campur (mixed race) hangat kembali.



Seperti diketahui, Obama adalah anak Barack Husein (seorang penganut Muslim dari Kenya) dengan antropolog Stanley Ann Dunham, wanita kulit putih dari Kansas. Setelah mereka bercerai, Obama pernah menghabiskan masa kecilnya selama dua tahun di Menteng, Jakarta setelah ibunya menikah dengan orang Indonesia, bernama Lolo Sutoro.

Jika ditarik dari sejarahnya, kawin campur sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum penyebaran manusia modern di seluruh dunia itu sendiri, yakni sekitar 42.000-39.000 tahun lampau. Wow!

Beum lama ini, jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Washington University di St Louis, Amerika Serikat, mempublikasikan hasil temuannya, setelah mereka meneliti sekitar 34 potongan tulang yang diduga berasal dari satu tubuh di Gua Tuanyuan, dekat Beijing, China. Dari sana disimpulkan, bahwa manusia purba China merupakan hasil kawin campur.

Ada juga teori Out of Africa, yang menyimpulkan bahwa manusia Neanderthals, sebelum populasinya habis, telah melakukan kawin campur dengan manusia modern atau homo sapiens yang berasal dari Afrika Timur, setelah mereka menyebar ke senatero dunia sekitar 70.000 tahun silam.

Meski masih menimbulkan kontroversi, terus diteliti dan diuji di kalangan para pakar palaeantropologi, namun temuan-temuan ini telah membuka wawasan manusia akan fenomena kawin campur tersebut.







Di Indonesia sendiri bagaimana? Sebagai negeri yang terbentang di garis khatulistiwa dan gerbang lalulintas laut dunia, Indonesia sarat akan adanya praktik kawin campur, dari dulu hingga saat ini. Namun “hasilnya” tak begitu kentara, karena umumnya kawin campur ini terjadi masih dengan ras Asia, seperti India, Arab dan China.

Tentu kita masih ingat, semasa di SMP, guru Sejarah dulu pernah mengajar bahwa nenek moyang kita berasal dari Hunan, China. Selain itu, banyak para saudagar asing yang singgah di Nusantara saat itu, melakukan perkawinan dengan warga setempat yang dia singgahi.

Belajar dari sejarah pula, bagaimana kerajaan Sriwijaya yang berkuasa sejak abad ke 7-13 Masehi, melakukan kawin campur dengan putri dari kerajaan lain, sebagai jurus memperluas pengaruh kekuasaannya.

Adalah Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu.

Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa raja yag berhasil membawa Sriwijaya ke masa keemasan dari 833 hingga 856 M.







Kisah-kisah ini banyak tercatat dalam beberapa prasasti, seperti Kedukan Bukit, tahun 683 M, Talang Tuo, tahun 684 M.

Kisah ini banyak ditulis dalam catatan para sejarahwan Arab klasik, yang paling dikenal bernama Mas‘udi (Sriwijaya disebut Sribuza). Catatan lain, dari pengelana asal China (yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing, peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama sejak tahun 671 M).

Selain para raja, banyak pelajar dari negeri Jepang dan China melakukan kawin campur dengan gadis Sriwijaya yang kala itu menjadi pusat ilmu pengetahuan, maritim, agama Budha (Sriwijaya juga dikenal sebagai “Negeri Seribu Biksu”), dan perdagangan, khususnya hasil bumi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan lainnya.

Teknik kawin campur ini juga pernah dilakukan Kerajaan Majapahit, untuk menanam pengaruh di kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran, tanah Pasundan. Saat itu Hayam Wuruk mengutus Gajahmada meminang putri Dyah Pitaloka.

Namun pernikahan ini menjadi banjir darah di daerah Bubat, ketika Gajah Mada mengatakan bahwa putri Dyah Pitaloka bukan sebagai lamaran, melainkan tanda takluk kerajaan pasundan atas Majapahit.







Majapahit juga pernah akan menikahkan putri Gusti Ayu Raden Adeng (dikenal sebagai Putri Gunung Ledang), dengan Sultan Mahmud dari Kesultanan Melaka. Namun hal ini juga tak berakhir bahagia, di karena hati sang putri telah terpikat oleh Laksamana Hang Tuah, pendekar tanah Melayu yang pernah diutus ke Majapahit.

Bahkan, ada yang berpendapat bahwa di antara Walisongo (sekitar tahun 1474) itu, ada yang merupakan hasil kawin campur dengan bangsa China, dalam hal ini Campa (Kamboja, kala itu masuk kekuasaan China).

Dia adalah Sunan Bonang alias Bong Tak Ang. Sunan ini juga dikenal akan kepiawaiannya mengubah sastra kebentuk suluk atau tembang tamsil. Salah satu karyanya yang hingga kini masih jadi hits di blantika musik Indonesia adalah Tombo Ati. Lagu ini sudah berapa kali digubah. Pernah dinyanyikan Emha Ainun Najib (Kyai Kanjeng), dan yang paling gress dinyanyikan Opick.

Malah ada yang menulis bahwa pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, yakni Chen Jinwen atau yang lebih dikenal dengan Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu), bahkan semua Walisongo itu memiliki darah Tionghoa.

Dalam konsteks kekinian, kawin campur di Indonesia kian kentara. Lihat saja sinetron, isinya adalah artis hasil kawin campur, yang paling kelihatan hasil perkawinan antara ras Asia dan Eropa. Meski sempat dikritik pengamat film, yang mengatakan sinetron Indonesia tak percaya diri dengan identitas ke-Indonesiaan-nya, namun fenomena ini terus menggejala.







Karena pengaruh inilah, di sejak akhir 90-an, sebuah survei mencatat banyak wanita Indonesia yang mendambakan pria bule. Istilahnya “PKB” alias pencinta kaum bule. Tujuannya, selain karena cinta, juga karena motif ekonomi dandemi keturunan lebih baik.

Banyaknya fenomena kawin campur inilah, yang mendorong Indonesia merevisi undang-undang anak hasil kawin campur. Salah satu poinnya mengakui anak dari pasangan kawin campur sebagai warga negara Indonesia.

Hal ini selain merespon globalisasi, juga merujuk dari studi yang dilakukan, banyak pasangan kawin campur berujung perceraian. Kendala utamanya, adalah ideologi, budaya, dan yang paling banyak; faktor agama. Hal ini guna mencegah agar anak-anak mereka tak terlantar.

Dari semua uraian ini, coba kita renungkan, jangan-jangan kita sendiri adalah hasil dari kawin campur, minimal dengan bangsa Arab. He he…

Please, open mind.

Senin, 12 Januari 2009

Bahaya Bisik-bisik

Orang banyak berkata, “Kalau nitip duit ke orang, jangan harap lebih, kurang udah pasti. Tapi, kalau nitip omongan, jangan harap kurang, lebih udah pasti tuh! Omongan sesenti, jadi semeter!”


Pandangan di atas bukan suatu anggapan semata. Beberapa ahli komunikasi moderen, telah membuktikannya dengan sebuah permainan “bisik-bisik”.

Sekitar 10 orang atau lebih, diminta membisikkan secara estafet beberapa kalimat. Hasilnya, ternyata jauh melenceng! Dari kalimat semula berbunyi, “Aku cinta kamu”, menjadi “Aku benci kamu!”

Mengapa demikian? Setelah ditelilti, dalam alur komunikasi itu telah terjadi missing link (jaringan putus) yang akhirnya diganti dengan kalimat baru, sesuai persepsi si penerima.

Jadi, saat ada beberapa kalimat yang tak mampu didengar dan ditangkap dengan baik, si penerima mengganti kalimat tersebut dengan hasil opininya, “Mungkin maksudnya begini ya?” Maka, wajar saja bias, bahkan melenceng dari klimat semula.

Kenapa? Semua ini tak lepas dari kondisi si penerima. Apakah saat itu dia sedang konsentrasi penuh, atau tidak. Apakah dia memiliki inteligensia tinggi, atau malah moron?







Contoh. Ini adalah pengalaman rekan saya. Suatu saat, kenalannya, pejabat di DPRD, memiliki tanggungan pada perusahaannya. Oleh staf pemasaran dia diminta menagih ke pejabat tersebut.

Hasilnya, dia laporkan ke staf tersebut. “Pak pejabat sekarang sedang di Jakarta. Lagian kabarnya, dia ada sedikit masalah keuangan. Sabar dulu ya, saya yakin dia pasti membayar tepat waktu. Karena, selama ini memang tertib kok. Jangankan punya tanggungan, saat kita ada acara (ivent) pun dia sering bantu kok. Baru-baru ini saja dia ngasih Rp5 juta!”

Lalu, apa yang terjadi? Si staf bilang pada pimpinannya, “Pak pejabat tak mau bayar, karena dia sering membantu perusahaan ini sebesar Rp5 juta!”

Ternyata terjadi missing link dalam alur komunikasi ini. Mungkin saat menerima pesan tersebut, pikiran si staf entah melayang ke mana, sehingga saat akan melapor dia lupa beberapa kalimat dan akhirnya untuk melengkapinya, dia simpulkan sendiri dengan persepsi dan opininya, tentu saja.

Bahaya kan? Coba jika si pejabat mendengar, apa jadinya?







Ini adalah pembicaraan formal, bagaimana lagi jika informal, yang dilakukan secara bisik-bisik? Mungkin karena bahayanya, maka Islam sampai mengharamkan “bisik-bisik” ini, atau disebut ghibah. Bahkan diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati!

Mengapa, karena di dalamnya bisa mengandung unsur fitnah dan pembunuhan karakter. Bukankah kebohongan jika disampaikan terus menerus, akan disangka sebuah kebenaran?

Bisik-bisik memang legit dan asyik. Ini bukan hanya dunia wanita, kaum pria juga menyukainya. Bedanya, mereka mampu mengemas jadi agak elit dan fokus bahasannya adalah peristiwa bukan pribadi seseorang. Meski ujung-ujungnya nyerempet juga ke pribadi orang.

Di Inggris, misalnya, mengemas acara bisik-bisik ini dengan nama "jamuan minum teh". Biasanya dilakukan sore hari.

Di Tanjungpinang, kaum pria di sana mengemas acara bisk-bisiknya dengan nama "ngopi di kedai". Biasanya, sejak pagi hingga siang mereka betah ngobrol sana-sini, sambil menyeruput secangkir kopi.

Dalam teori kekinian, “bisik-bisik” ini melahirkan sebuah cabang ilmu, bernama “komunikasi”. Dari sini, lahir ilmu kewartawanan (jurnalistik) yang mengajarkan wartawan (orang yang terus menerus mengumpulkan, mengolah dan menyebar informasi) mengemas bisik-bisik dengan baik dan bertanggungjawab.

Bahkan ada undang-undangnya segala, guna menjaga unsur opini dan persepsi tak masuk, akibat sikon si wartawan saat bertugas. Meski begitu, tetap saja opini dan persepsi itu lolos.






Mengapa ilmu jurnalistik masuk dalam ilmu komunikasi? Salah satu penyebabnya, karena dulu, praktik jurnalistik dilakukan dengan cara komunikasi. Kisahnya, dalam era Romawi kuno, praktik kewartawanan sudah ada.

Karena saat itu media cetak belum ada, maka disampaikan dengan cara dikomunikasikan (media lisan). Jadi orang-orang di masa itu, jika ingin mendapat berita, mereka memanggil si pengabar. Selanjutnya mereka bertanya, apa berita hari ini dan minta disampaikan. Seanjutnya, si pengabar akan bercerita urut-urutannya sesuai apa yang diminta. Begitulah.

Di zaman ini, seiring majunya teknologi informasi dan komunikasi, ilmu bisik-bisik kian berevolusi dengan sangat pesatnya. Di zaman ini, bisik-bisik dikenal dengan mana gossip (kabar angin). Penyebarannya pun tak lagi lewat mulut, tapi bisa lewat SMS. Efeknya sungguh perkasa, hingga mampu menebar teror.

Karena perkasanya, kadang gossip di zaman ini selain merugikan juga mampu jadi senjata seseorang untuk mereguk keuntungan semacam dukungan dan popularitas.

Jadi, digosipkan tak selalu buruk. Lihat saja, jika akibat gosip membuat Anda semakin ngetop, mending diam saja, nikmati sajalah. Tapi, jika gosip merugikan dan membuat Anda bahkan anak buah Anda tak tenang, karena sibuk memikirkan gosip dari pada pekerjaan, maka segeralah hentikan.

Membuat penjelasan, asal setelah itu berhenti, lebih baik daripada membiarkannya. Karena semakin diulur, semakin hancur.

Please, open mind.

Minggu, 11 Januari 2009

Downshifting

Saat ini di Batam, banyak ditemui lalu-lalang mobil keluarga. Khususnya, Honda Jazz, Toyota Yaris dan yang sejenis. Saya tak tahu berapa unit sudah mobil jenis ini laku di pasar, saya lebih tertarik memperhatikan pola hidup orang Batam, menghadapi dampak krisis keuangan global saat ini.


Apa hubungannya mobil keluarga dengan krisis ekonomi ya? Tentu ada. Ini yang para pakar ekonomi, namakan downshifting. Sebuah pola hidup baru manusia menyiasati hidup untuk bertahan di tengah terpaan krisis yang mencekik.

Downshifting ini merupakan imbas krisis yang positif bagi masyarakat, khususnya pada kalangan menengah atas saja.

Intinya bijak membuat pilihan dan mengganti gaya hidup, dari bermewah-mewah dan boros, ke arah hidup sederhana dan hemat. Dari yang semula berpola hura-hura, kini lebih ke keluarga.

Ada juga dari semula doyan belanja, kini berganti mengalokasikan uangnya untuk keperluan pendidikan. Termasuk dari semula membeli mobil pribadi, beralih ke mobil keluarga.

Ekonom Rheinald Kasali berkata begini, “Coba perhatikan, di saat krisis semacam ini mestinya angka perceraian di kalangan artis akan menurun. Karena semua pola hidup individunya akan diganti menjadi pola hidup kebersamaan,” jelasnya.

Downshifting ini juga ditanggapi kalangan usaha. Diakui atau tidak, saat ini di Batam banyak mereka yang menyajikan hiburan untuk keluarga. Dan ternyata laku keras. Selain itu, banyak hal-hal yang berbau motivasi menarik perhatian khalayak.

Menarik ya? Tentu saja.

Orang Tionghoa selalu menyikapi krisis sebagai yin dan yang. Ada kesempitan, di sana ada kesempatan. Meminjam bahasa motivator kondang, Mario “Golden Ways” Teguh, “Banyak orang yang memandang krisis sebagai stopping point dan starting point,” katanya.

Kini tergantung pilihan dari kita. Karena hidup itu sebenarnya murah, gaya hiduplah yang membuatnya mahal.


Please, open mind

Jumat, 09 Januari 2009

Warna-warni Wajah Caleg

Saat ini, di Kota Batam, atribut kampanye khususnya wajah para calon legislatif (caleg)kian banyak tersebar. Wajah-wajah yang dulu tak pernah dikenalpun, kini tampil dengan seribu janji. Ada saja ekspresi dan triknya yang terkadang bikin geli.

Mumpung sedang tak ada kerjaan (emang punya kerjaan ya? he he), Kamis lalu saya menelusuri jalan di Batam, mulai Batam Center hingga ke penghujung Tanjungsengkuang, hanya untuk melihat aneka ragam atribut caleg jelang pemilu ultra multi partai kali ini.

Sepanjang perjalanan ini, sering kali saya lihat kaca belakang angkutan kota, baik metrotrans (mikrolet), taksi hingga bus ditempel gambar wajah para caleg ini.

Tiap perempatan yang saya lewati kini tambah sesak, foto mereka ibarat orang sedang antri beras, bertumpuk. Kian ke luar kota, kian tidak tertib susunannya. Ada yang ditempel lem, ada yang dipaku ke pohon dan sebagainya.

Umumnya slogan atau sapaan yang mereka gunakan dalam atributnya, umumnya masih klasik dan klise, bahkan ada yang mirip iklan telepon premium paranormal di televisi. “Apa Anda ingin perubahan?” “Saatnya yang muda yang tampil…” dan sebagainya dan sebagainya.

Ada lagi yang seperti ini, "Jujur, Teruji, Amanah..." dan sebagainya. Pertanyaannya, yang bilang dia jujur, teruji dan amanah itu siapa? Apa udah ada buktinya? Ngaku-ngaku saja. Dari pada begini, mending memakai pengalaman kertjanya saja, seperti baliho Taba Iskandar, misalnya. Caleg ini menampilkan pengalaman kerjanya, bukan janjinya.

Yang paling menarik dari slogan ini, saat melihat atribut partai Golkar. Maklum, nomornya yang musim pemilu ini berada di urutan 23, mirip dengan nomor punggung David Beckham setelah bergabung ke Real Madrid. Jadi slogannya seperti ini, “Beckham saja pilih 23.”












Selain itu, banyak yang caleg yang berkiat memajang foto tokoh nasional baik yang sudah wafat atau yang kini jadi pemimpin, bersanding dengan dirinya. Mungkin untuk memudahkan pemilih mengenalnya. Minimal mereka nanti memilihnya, setelah melihat tokoh nasional yang -siapa tahu- selama ini jadi idolanya.

Ada juga yang menyandingkan nama bapaknya yang sudah dikenal, di belakang namanya sendiri. Mungkin dia sadar, selama ini kiprahnya di masyarakat sangat minim. Jadi, sekaranglah saatnya. Agar direspon cepat, maka ditempellah nama bapaknya yang terkenal itu.

Kian ke luar kota, saya melihat banyak pasangan suami istri yang maju sebagai caleg berani menampakkan diri dalam satu frame. Yang laki-laki di atas, sedangkan istrinya di bawah. Seperti atribut AS dan istrinya yang nampang di ujung jalan Tanjungsengkuang.

Saya sempat menduga, mungkin mereka memilih pasang atribut di pelosok, karena tak kuat bayar jika pasang di kota. Atau karena penghematan. Maklum, kalau terpisah berapa lagi bayar sewa tempatnya. Bisa jadi juga, mereka malu jika mejeng di kota, takut dicemooh dibilang aji mumpung.

Selain ini, ada juga atribut pasangan caleg ibu dan anak yang tampil dalam satu frame. Seakan berkata, “Nih ibu saya, awas kalau macem-macem.” Atau, “Nih ibu saya. Percaya kan, kalau saya anaknya?” Maklumlah, nama ibunya lebih terkenal dari dirinya.











Yang konyol saat di Tanjunguma ada atribut partai besar dekat pasar. Mau tahu isinya, memuat foto para kiai top di Jawa yang menjadi sesepuh partai tersebut. Di bawahnya tertulis teks, kiai A, kiai top asal Tuban, dan lain-lain.

Saya berpikir apa efektif? Kalau di Jawa mungkin masih nyambung, tapi di Tanjunguma yang penduduknya rata-rata Melayu, secara lidah saja mereka sudah tersiksa membaca teks fotonya yang umumnya menggunakan istilah Jawa. Selain itu, apakah mereka kenal sama kiai-kiai yang dipajang di sana?

Oh ya, dari semua pengamatan ini ada yang cukup menggugah pengamatan. Yaitu, melihat ekspresi wajah yang mereka tampilkan, khususnya caleg pria yang muda belia. Karena caleg tua umumnya selalu bergaya bak pas foto, berdiri tegak, sudah. Sama juga dengan caleg wanita yang umumnya ingin dikesankan cantik, keibuan dan anggun.

Dalam setiap atributnya, caleg pria yang masih muda memiliki gaya beragam. Misal, di atribut yang satu dia tampil berpeci dengan baju kokonya, di atribut yang lain malah hanya pakai baju kasual saja, t –shirt dan jeans. Mungkin yang berpeci mau membidik kalangan tua, sedangkan yang kasual mau membidik kawula muda.

Trik ini juga dimanfaatkan caleg non muslim. Saat Ramadan atau lebaran lalu, mereka tampil rapi dengan maju koko dan pecinya, sembari mengucapkan selamat puasa atau hariu saya. Namun saat Natal tiba, atributnya ganti. Kali ini mereka tampil berjas dan tentu saja, mengucapkan selamat Natal.









Ada juga ekspresi caleg yang tersenyum manis, tapi ada juga ada yang –maaf- malah mirip nyengir kuda. Maklum, saat senyum mulutnya terlalu dibuka lebar, hingga giginya yang panjang agak terekspos ke luar. Seperti atribut caleg yang tampak di persimpangan perumahan Rosedale ini.

Ada juga yang bergaya bak pejuang 45. Tangan mengepal, wajah tegang. Seakan marah akan situasi yang tak becus, atau marah akibat terlalu mahal bayar ongkos kampanye ya?

Ada juga yang gayanya mirip Bung Karno saat orasi di Ikada. Posisinya menghadap agak ke samping, kepala agak tengadah ke atas, tangan kanan menunjuk dan yang kiri berkacak pinggang. Saking semangatnya, kadang ada yang konyol sehingga mirip orator demo.

Lain lagi dengan atribut caleg di putaran Tiban. Dia bergaya dengan kedua telapak tangan terbuka. Mungkin dia ingin mengesankan keterbukaan atau minta dirangkul. Tapi bisa saja terkesan berkata, "Hei, modal saya sudah habis, jadi jangan minta uang lagi ya..." Atau, "Tolong sumbang saya dong, modal kampanye udah cekek neh..."

Nah yang ini gayanya agak lain dari yang lain, bahkan menurut pengamatan saya, satu-satunya alias eksklusif. Dalam atributnya aleg kita ini berpose dengan kepala bersandar di jari telunjuknya, mirip orang sedang mikir atau stress? Entahlah.

Mungkin dia ingin dicitrakan memikirkan nasib rakyat. Atau jangan-jangan, dia pusing memikirkan kantongnya yang bokek gara-gara membayar ongkos kampanye.

Yang lebih sial, nasib atribut caleg di Bengkong. Maklumlah, caleg kita ini wajahnya tak terlalu tampan. Ciri khas yang menonjol, hidungnya memiliki ukuran jumbo, kalau dari jauh jadi mirip kodok menclok di daun.

Mungkin karena inilah, membuat anak-anak kecil gemes untuk menjahilinya. Lihat saja, di hidungnya yang “seksi” itu, ditancapkan bunga tanaman rambat. Akibatnya, wajah asli si caleg yang memang agak rusak dari awal, kian tambah kacau. Ah, jadi teringat Sandman si manusia pasir dalam film Spiderman III.


Please, open mind.

Kamis, 08 Januari 2009

Pemimpin dan Pemimpi

Pemimpin dan Pemimpi apalah bedanya?

Pemimpin dan Pemimpi adalah kawan yang sangat dekat.

Pemimpin butuh impian untuk menunjang kinerja, menjaga citra hebat, bahkan mengamankan jabatannya.

Pemimpi memerlukan pimpinan untuk dijadikan sandaran semua khayalannya.

Pemimpin akan semakin mendapat pujian jika banyak berkisah soal mimpi
Pemimpi akan semakin dihujat jika mengatakan bahwa dirinya adalah pemimpin

Pemimpin dan Pemimpi, keduanya hanya dibedakan oleh kenyataan.

Plese, open mind

------------
Credit to the Beatles

You may say i'am a dreamer, but i’am not the only one...

Film, Kebohongan yang Asyik

Salah satu kesaktian sebuah film adalah, dapat membawa imaji jadi nyata. Dari dulu, manusia selalu ingin menyaksikan hayalannya berhasil. Hanya melalui film inilah, semuanya bisa dilakukan, disaksikan, bahkan dianut, meski hanya sekejap di gedung film.

Warga Amerika sejenak berbangga bisa mengalahkan kemajuan teknologi Uni Soviet dalam hal menaklukkan angkasa, ketika mereka menyaksikan Apollo mendarat di bulan.

Di sana tampak para astronot yang berbahagia, melompat ke sana kemari, bak gaya Mario Kempes, pemain bola top saat itu. Di sana juga diperlihatkan bagaimana bendera Amerika berkibar saat ditancap ke perut bulan, bahkan ada telapak kaki mereka segala.

Namun setelah berdasawarsa berita ini tayang, makin tampaklah keraguan publik, apa memang benar Apollo telah mendarat di bulan? Apa bukan di Studio 10? Karena dari pengamatan beberapa ahli, banyak kejanggalan dalam gambar tersebut.

Yang paling nyata, soal bendera Amerika yang berkibar-kibar. Bagaimana mungkin? Bukankah tidak ada angin di bulan yang hampa udara? Selain itu, harus ada kelembapan di tanah untuk membuat jejak kaki. Padahal tanah bulan adalah kerontang.








Langit yang hitam pun, mustinya penuh dengan bintang, tapi tidak ada yang terlihat di foto-foto Apollo. Selain itu, hanya dua orang yang berjalan di bulan selama misi, namun ada beberapa foto dimana refleksi atronot pada visor (klep kaca depan) tidak memiliki kamera. Lalu, Siapa yang mengambil foto? Lagian, bagaimana mungkin bisa memotret. Tidak akan ada foto yang bisa diambil di bulan sebab film akan meleleh pada suhu 250 derajad!

Semua keraguan ini kian terjawab di abad ini, ketika teknologi kamera semakin canggih dan rekayasa pun dapat mudah disajikan menjadi gambar nyata.

Discovery Channel dalam acara Mithbuster coba mengurai beberapa kejanggalan beragam pendaratan Apollo di bulan ini. Hasilnya, apa yang tampak di gambar sebagai astronot dengan pesawat luar angkasa Lunar Module, tak lebih hanya sebuah mainan anak-anak yang disyut dengan kamera menggunakan pembesaran beresolusi tinggi dengan menggunakan gambar bulan sebagai latar belakangnya.

Soal astronot yang bergaya bak Mario Kempes itu, pengambilan gambarnya dilakukan dengan teknologi bluescreen. Aupaya kelihatan mengambang, maka kedua pundaknya diikat kawat baja yang halus namun kuat.

Bagaimana tentang bendera Amerika yang berkibar? Sama juga, bendera tersebut disyut melalui rekayasa kamera. Agar geraknya tetap kaku, di sisi horisontal atas kain diberi tulang berupa batang kayu. Demikianlah.









Terlepas saat ini Amerika telah berhasil mendarat di bulan, namun kisah Apollo tersebut benar-benar manarik dikupas hingga abad ini, sebagai cikal-bakal digunakannya efek visual dalam pembuatan film.

Di era perang dingin, memang Amerika, melalui Hollywood, sering menggunakan film sebagai bahan propagandanya. Jika dulu Gaius Julius Caesar mempropagandakan kehebatan angkatan perangnya melalui publisistik yang dihembuskan mata-matanya, sehingga membuahkan ungkapan Veni, Vidi, Vici, saat ini Amerika menebar ketakutan melalui film-film-nya.

Para ahli berpendapat, tentara Amerika ditakuti selain karena faktor persenjataan, juga tak lepas dari pengaruh film-film-nya ini. Bahkan katanya, berakhirnya perang dingin yang bermula dari keruntuhan Uni Sovyet itu, bukan oleh politik Perdana Menteri Mikhail Sergeyevitch Gorbachev menghembuskan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) pada tahun 1985, melainkan oleh film Rambo.

Memang saat itu, trilogy Rambo begitu fenomenalnya sehingga membelalakkan dunia akan kekuatan perang AS. Film ini pulalah, yang dapat menghibur warga adidaya tersebut, atas kekalahannya di perang Vietnam. Bahkan mampu memutar balikkan fakta mata dunia, bahwa Amerika memang kalah diperang tersebut.

Kisah yang memutar-balikkan fakta dalam film ini terus terjadi hingga saat ini. Lihatlah bagaimana Hollywood melecehkan bangsa Persia (Iran) dalam film 300, hingga menuai protes karena apa yang ditampilkan tak sesuai sejarah!

Bahkan kabarnya, kisah dalam Film Gladiator banyak menyembunyikan sejarah yang sebenarnya. Kaisar Marcus Aerelleus sebenarnya bukan tewas dibunuh putranya Commodus, melainkan akibat penyakit. Commudus sendiri tewas dibunuh pengawalnya, bukan dibunuh Maximus dalam duel di Colesium.









Kejanggalan lain, tampak dalam strategi perang Romawi saat melawan Germania. Saat itu, pasukan Romawi banyak menggunakan tombak (pasukan hoplites atau phalanx pada zaman Yunani klasik dan Iskandar Agung), padahal Romawi selalu melemparkan pilum (sejenis tombak) ke tengah formasi musuh. Jadi bukan ditusukkan.

Atau bagaimana hingga kini Amerika mencitrakan daerah selatan (latin), sebagai sarang penyelundup, imigran gelap, narkoba dan sebagainya.

Bermula dari Amerika, tahun 1887, film-film terus menggurita di belahan dunia, dengan pesannya masing-masing. Ditambah kian canggihnya visual effect dan sound system, film dalam sekejap mempu mempengaruhi audience-nya.

Di Indonesia sendiri, orang-orang yang semula antipati oleh poligami AA Gym, dibuat termehek-mehek dan tanpa sadar mendukung praktik poligami yang dilakukan Fahri atas Aisah dan Maria, dalam film Ayat-Ayat Cinta.

Atau, bagaimana kegigihan seorang Muslimah, ibu guru SD Muhammadiyah di Gentong, Belitung. Peranannya mempertahankan sekolah tersebut mendapat simpati khalayak, hingga menggungah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan penghargaan, gara-gara kisahnya diangkat dalam cuplikan film Laskar Pelangi?

Banyak lagi kesaktian-kesaktian film yang tak bisa saya kupas di sini. Maka itu, hati-hatilah mempercayai film. Anggap hiburan saja, jangan diambil hati. Setelah itu, just let go!

Plase, open mind.







----------------------
Film atau bioskop, di Amerika dikenal sebagai motion picture (gambar bergerak/hidup). Di sebut demikian, karena bermula dari fotografi. Pada awalnya film hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau sarana untuk mereproduksi karya karya seni pertunjukan lainnya seperti teater.

Andreas Eko dalam endonesa.net menulis, adalah Thomas Alva Edison dan Lumiere besaudara. Pada tahun 1887 Edison berhasil menciptakan alat perekam dan memproduksi gambar. Penemuan ini disempurnakan oleh George Eastman yang menawarkan gulungan pita seluloid.

Ciptaan Edison itu disebut kinetoskop yang menyerupai kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan hingga tahun 1894 di New York diadakan pertunjukan kinetoskop untuk umum

Atraksi ini segera popular dan menyebar ke seluruh Amerika dan Eropa Kemudian dari para pengagum Edison ini muncul Auguste dan Louis Lumtere dari Prancis yang merancang piranti kombinasi dari kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Piranti ini disebut sinematograf yang kemudian dipatenkan pada Maret 1895









Paris 28 Desember 1595 di ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris, Lumiere bersaudara memproyeksian hasil karya mereka di depan publik yang telah membeli tiket masuk, di sinilah pertama berdirinya bioskop pertama di dunia.

Konsep pertunjukan biskop - film yang diproyeksikan ke layar dalam ruang gelap mulai menyebar ke seluruh dunia. Tahun 1905 bioskop dengan sebutan nickleodeon mulai menyebar di Amerika dengan film film awal yang dipertunjukkan berupa film cerita berdurasi pendek sekitar sepuluh menit.

Hingga akhirnya film terus berkembang, seiring penemuan teknologi. Mulai dari film bisu hitam putih sampai film hitam putih bersuara pada akhir tahun 1920 an dan film warna pada 1930 an.


Selasa, 06 Januari 2009

Tanjungpinang Adalah Metamorfosa

Berlabuh di Tanjungpinang. Tak terasa, kawasan ini tengah merayakan ulang tahunnya ke 225 sejak berdiri 6 Januari 1784 silam. Bermula dari sebuah tanjung dengan beribu lambaian pohon pinang, daerah ini terus bermetamorfosa.


Membicarakan kota yang terletak di selatan Pulau Bintan ini, bagaikan menenun benang sutra, semakin diurai, semakin tampak keindahan dan coraknya. Beragam literatur mencatat, Tanjungpinang telah dikenal sejak pada abad ke 17. Bahkan ada yang menyebut Tanjungpinang sudah jadi perbincangan sejak abad 16.

Tanjungpinang adalah keindahan alam dan keagungan sang pencipta. Jika orang berkata bahwa Mesir adalah hadiah dari Singai Nil, maka Tanjungpinang adalah anugerah bagi Bintan, Kepulauan Riau, bahkan bagian utara Sumatera dan semenanjung Malaysia, termasuk Singapura.

Karena berawal dari sinilah tatanan dunia baru di sekitar selat Melaka bermula. Sebuah tatanan yang melahirkan sebuah paradoks yang di dalamnya ada pertentangan, persahabatan, konflik dan kerjasama.

Tanjungpinang adalah lambang kasih sayang. Bak seorang ibu yang melindungi anak-anaknya, posisi pulau ini agak masuk ke dalam, sehingga penduduknya terlindung dari pengaruh buruk cuaca dan alur laut.

Tanjugpinang adalah dambaan. Para saudagar dan nelayan saat itu selalu singgah menambatkan sauh di pantainya yang landai. Di sini jua, mereka kerap rehat sembari mengambil air tawar.






Dari sinilah, tanjung ini berkembang menjadi sebuah kawasan pemukiman padat. Sekitar tahun 1784, Tanjungpinang menjelma sebagai pusat perdagangan terpenting di Sumatra bagian Timur sesudah Medan dan Palembang, bahkan hingga ke semenanjung Malaysia, jauh sebelum Singapura dan Malaysia itu sendiri ada.

Tanjungpinang adalah sebuah epos, tentang perjuangan anak manusia membela marwahnya. Ini adalah negeri para pejuang, negeri para pahlawan. Di sinilah Raja Kechik membuat benteng pertahanan dalam perang saudara merebutkan Kerajaan Johor melawan Tengku Sulaiman dan sekutunya.

Kota ini juga menjadi saksi patriotisme Raja Haji yang Dipertuan Muda Riau IV (termasyhur dengan gelar Raja Haji Syahid Fisabilillah/Marham Teluk Ketapang) saat menahan serbuan armada Belanda, antara tahun 1782-1784.

Berbulan-bulan sudah, Belanda mengepung kawasan ini. Hal ini dibalas perlawanan sengit tentara Raja Haji Fisabilillah, hingga pada 6 Januari 1784 kapal induk armada Belanda, Malakka’s Welvaren, berhasil ditenggelamkan di teluk Keriting yang membuat mereka mundur ke Melaka. Aksi patriotisme ini selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi Tanjungpinang.

Setelah perang besar itu, awal 1800-an Kerajaan Riau sempat diguncang pemberontakan Arung Bilawa. Setelah usai, pusat kerajaan Tanjungpinang dipindah dari Kota Piring ke Daik Lingga (Sekarang Kabupaten Lingga). Tak lama, sekitar akhir tahun 1800 pusat kota dipindah lagi ke Pulau Penyengat, sekitar 2 mil laut dari Tanjungpinang. Pulau ini awalnya sebuah benteng pertahanan.






Selanjutnya pulau Penyengat menjadi tempat kediaman resmi para Yang Dipertuan Muda (semacam perdana menteri) Kerajaan Riau Lingga, sementara Sultan (Yang Dipertuan Besar) berkedudukan di Daik-Lingga.

Barangkali, kisah inilah yang menjadi ilham Bung Karno memindahkan Ibukota Negara di Jakarta ke Yogyakarta di masa-masa perang prakemerdekaan dulu. Atau penanda bahwa suatu saat pusat pemerintahan Tanjungpinang akan berpindah-pindah seperti saat ini? Dari semula di Tepi Pantai, akhirnya ke Dompak.

Tanjungpinang adalah romansa kisah cinta abadi. Di tahun 1803, kawasan ini menjadi saksi ketika Sultan Riau, Baginda Raja Sultan Mahmud memberikan Pulau Penyengat beserta isinya sebagai mahar untuk wanita pujaannya, Raja Hamidah atau Engku Puteri, putri Yang Dipertuan Riau terkemuka Raja Haji Fisabilillah atau Mahrum Teluk Ketapang.

Kisah ini mengingatkan kita pada kisah cinta Mughal, Raja Syah Jehan yang membangun Taj Mahal (1631-1653) untuk Mumtaz Mahal, istrinya. Bedanya, Taj mahal diberikan saat sang istri telah tiada.

Tanjungpinang adalah awal. Di sinilah struktur pemerintahan di Riau mula dibina. Bermula dari Kerajaan Riau (1722) yang bersinggasana di istana Kota Piring di Hulu Sungai Riau (sekarang Kelurahan Kota Piring, Kota Tanjungpinang).






Tanjungpinang juga menjadi ibukota Karisidenan Belanda untuk wilayah sebagian Sumatra bagian Tengah dan Sumatera bagian Utara. Dari sinilah juga, ibu kota Provinsi Riau 1958 bermula, sebelum akhirnya dipindah ke Pekanbaru 1960.

Dari sini metamorfosa Tanjungpinang tak berhenti, hingga 18 Oktober 1983, Tanjungpinang menjadi Kota Administratif, berlanjut 21 Juni 2001 berubah menjadi Kota Tanjungpinang.

Tanjungpinang adalah jawaban. Jawaban apakah sebuah negeri yang santun dan luhur mampu dilestarikan. Jawaban apakah sebuah negeri yang toleran dan berbudaya bisa ditegakkan, atau apakah pembauran dan emansipasi wanita mempu memegang peran.

Selamat ulang tahun wahai Tanjungpinang...
Wahai negeri indah nan damai…
Wahai negeri yang bersulam budaya di tiap sendinya…
Tahniah untukmu...





--------------

Preescript:

Saat ini Tanjungpianng dipimpin seorang walikota wanita keturunan Tionghoa, Suryatati A Manan. ketua dprd-nya juga keturunan tionghoa, Bobby Jayanto.
Ini bukti nyata, bahwa di negara ini kaum tionghoa udah berbaur hingga ke ranah politik. oke, sukses ya...

Senin, 05 Januari 2009

Keberanian Bernama Munir

Ada sebuah buku bagus yang baru diluncurkan di Jakarta, judulnya Keberanian Bernama Munir. Jika sampai di Batam, kayaknya harus segera dibaca neh. Tentunya baca gratisan di toko buku, maklumlah di Batam tak ada perpustakaan, yang ada hanya mall.

Seiring peluncuran buku ini, saya mengenang kembali pertemuan dengan Munir 8 tahun lalu. Saat itu, pertengahan 2000, Munir tengah mengiring rombongan Presiden Gus Dur ke Batam, tepatnya di sebuah Resor Nongsa Point Marina.

Di sela-sela jeda pertemuan tersebut, di sebuah bangku panjang di lobi utama resor, saya bertemu Munir. Orangnya sangat sederhana. Baju yang dipakai saat itu mirip yang selalu tampak di televisi. Kemeja putih garis-garis vertikal tipis. Lengannya selalu digulung. Celana kain warna hitam potongan baggy, plus sepatu pantofel ikut melengkapinya.

Di lengan kiri Munir, terselip tas kulit warna hitam. Ukurannya lebih besar sedikit dari album foto keluarga. Tapi karena badan Munir kecil, tas ini jadi kelihatan besar, dan hampir menutup bagian atas tubuhnya.

Tas inilah yang selalu disandang erat sang empu ke manapun dia pergi. Mungkin isinya dokumen-dokumen penting.







Kesan pertama ketika bertemu wong Arab asal Kota Batu, Malang ini, saya tak menyangka kalau itu adalah Munir yang pemberani itu. Munir yang bikin arogansi TNI saat itu kalang kabut.

Postur tubuhnya kecil kurus, tingginya hanya 150 cm. Rambutnya yang ikal, khas orang arab, terbiar agak panjang hingga bagian belakang hampir menyentuh bahu. Beberapa di antaranya kelihatan memerah.

Ciri lain yang tak kalah menarik perhatian, saat saya menatap wajah Munir ketika terlibat percakapan serius. Bagian bawah kedua kantung matanya menghitam.

Semula saya pikir itu celak, sebagaimana biasa dilakukan seorang Muslim untuk mengamalkan sunnah Nabi Muhammad. Namun setelah saya lihat lagi, bukan, itu bukan celak sebab yang hitam bukan lingkar mata, melainkan kantung mata.

Selanjutnya saya terlibat perbincangan akrab. Serius juga, sedikit. Maklumlah, jika lihat orang besar begini, saya suka gatal ingin mencuri ilmu dan pengalamannya, tentunya melalui diskusi.

Dengan postur seperti ini, wajarlah jika saya bertanya soal bagaimana Munir mengatur dan mengatasi rasa takutnya itu. Karena, berkaca pada keberaniannya Munir sangat rentan sekali terkena 4 langkah operasi intelijen, berupa pengamatan, teror, santet hingga diracun.

Namun, Munir menjawab dia serahkan diri pada Allah. Menurutnya, hidup mati itu di tangan-Nya.







Terakhir saya tahu, bahwa Munir juga berihtiar menjaga keselamatan dirinya dengan memakai jas antipeluru. Jas ini pernah dia tunjukkan pada Usman Hamid, saat ini jadi penggantinya di Kontras.

Dari sini saya berkesimpulan, bahwa seorang pemberani itu bukanlah orang yang tak memiliki rasa takut, tapi bagaimana dia mengaturnya saja.

Di sela-sela keasyikan diskusi kecil itu, datanglah Kapolsek Lubukbaja AKP Munir. Sebagaimana protap pengamanan presiden, saat itu kapolsek seluruh Batam ikut berjaga di sekitar ring 1. Seragam yang dikenakan pun berbeda, istilahnya pakaian dinas lapangan (PDL), dengan sepatu lars panjang.

“Wah, Munir ketemu Munir nih,” celetuk saya.

“Munir itu artinya corong. Bedanya saya corong rakyat, Munir yang ini corong pemerintah,” celetuk Munir spontan yang disambut tawa yang mendengar. AKP Munir pun ikut senyam-senyum.

Dari sini saya tahu, ternyata Munir adalah pribadi yang menyenangkan. Istilahnya humoris. Jauh dari kesan garang yang ditampakkan saat dia berunjukrasa membela hak azazi manusia dan orang-orang korban kekerasan.



Please, open mind
---------
Munir, SH yang juga pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ditemukan tewas diracun arsenik (sejenis racun tikus) dalam pesawat Garuda GA-974, saat mendarat di Bandara Schippel, Amesterdam, Belanda, 7 September 2004. Diduga dia diracun saat transit di Singapura.

Munir berangkat ke Belanda dari jakarta, untuk menghadiri seminar dan sekaligus mengurus bea siswa yang diterimanya dari Inggris (British Achievening Awards).