Minggu, 18 Januari 2009

Sahabat Ku…

Berapa banyak koleksi sahabat yang anda miliki? Satu, dua, sepuluh, segudang? Saya malah tak punya seorang pun.

Saya memang tak punya sahabat, tapi kalau kawan, banyak. Di antaranya ada kawan kawin, kawan baik dan kawan akrab. Akrab sekali.

Pada kawanlanlah saya mengajak mereka bicara dan bercanda. Bahkan juga berbagi meja makan bersama. Namanya juga kawan, bisa datang bisa pergi. Semuanya disposable.

Disposable? Kata ini sangat kasar jika di-Indonesiakan. Namun intinya seperti ini, jika Anda diundang ke sebuah pesta, datang dan tidaknya Anda ke sana, tak akan ada bedanya. Paling juga besoknya yang punya hajatan bertanya sambil nyengir, “Eh kamu datang kan ke pesta ku kemarin?”

Yang ini, agak sedikit personal. Namanya kawan kawin. Istri saya, penatalaksana rumahtangga. Pada istrilah saya berbagi cinta bahkan perang. Dengan istrilah saya menua bersama.

Kawan akrab? Yang ini, katanya ini lebih dari saudara. Rahasia-rahasia pribadi yang di rumah saya tutup rapat, bisa dibuka pada kawan akrab ini. Dari dialah saya, mencari gagasan dan masukan, berbagi suka, duka dan asa.








Sahabat? Wah sebenarnya bisa lebih dari kawan akrab. Sahabat adalah adalah saya, namun dalam bentuk berbeda. Jadi, lebih akrab lagi kan? Namun sayang, saya belum punya sahabat.

Dulu, semasih kecil (SD), saya pernah memiliki seorang teman. Akrab banget. Main bersama, salat maghrib ke surau bersama, ngaji bersama, tidur bersama, ke sekolah bersama. Karena itulah saya menganggapnya sahabat.

Namun keyakinan saya runtuh, ketika dalam sebuah permainan sepak bola, kami harus berlawanan, karena berada di tim berbeda. Hasil akhir, tim saya menang, tim dia kalah.

Ternyata perlawanan di lapangan ini, dia bawa ke luar lapangan. Hingga setelah salat Maghrib bersama, tepatnya di halaman rumah saya, dia mengajak saya duel. Rupanya dia masih sakit hati. Ah… Orang yang saya anggap sahabat itu, malah meninjuku dengan keras.

Sejak saat itu, kualitas hubungan kami menurun drastis. Grade-nyapun turun, dari semula sahabat jadi teman, saja. Ya, kami tetap berteman, namun tak lagi akrab, tak lagi bersahabat.








Uniknya, setelah penyerangan itu, saya malah memiliki teman tambahan. Mereka adalah orang-orang yang rupanya sudah lama tak suka sama sahabat saya itu. Inilah mungkin yang disebut, “musuh dari musuhku adalah kawanku.”

Berganjak ke bangku kuliah, saya juga memiliki seorang teman. Semula hanya teman biasa, akrab, hingga menjadi sahabat. Namun, lagi-lagi, sahabat saya ini malah menjadi orang pertama yang tega menipu saya, demi uang Rp200 ribu!

Sejak saat itu, saya lebih ketat lagi memilih sahabat. Kawan saja itu cukup. Toh, Rasulullah Muhammad SAW, junjunganku dan kaum muslimin se dunia itu, hanya memiliki empat sahabat saja. Abubakar, Umar, Usman, Ali.

Apalagi setelah di Batam, mencari sahabat ibarat mencari jarum dalam tumpukan ranjau. Salah-salah, bisa meledakkan diri.

Di sini, semua selalu didasarkan benefit, saja. “Ada gula ada semut”, itulah kira-kira pribahasanya. Namun bukan berarti di sini tak bisa mencari teman, bahkan yang akrab sekalipun. Semua berjalan, semua berlalu, hingga waktulah yang akan berbicara. Karena antara teman dan musuh itu hanya berbatas amanah atau khianat!




please, open mind...



------------------------------
Pedihnya sebuah penghianatan, sampai-sampai turun Hadis tentang orang munafiq. Hadis ini turun pasca penghianatan Abu Sufyan terhadap tentara kaum Muslimin, yang dipimpin Rasulullah.

Ya Allah, apakah aku khianat? Amakah aku amanah?

Tidak ada komentar: