Selasa, 20 Januari 2009

Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu (2)

Tak hanya dari penguasa, dari kalangan musisi sendiri Rhoma banyak dihujat. Adalah saat itu Jack Lesmana. Musisi jazz ayah Indra Lesmana (musisi) dan Mira Lesmana (sutradara) tersebut, paling keras mengkritik. Menurutnya, memadukan unsur rock dan dangdut sangat keterlaluan. “Mana ada rujak dicampur sosis,” ujarnya.

Selain itu, Rhoma dalam hal ini Soneta, banyak konflik dengan anak-anak band yang mengusung musik cadas, seperti Ahmad Albar (Godbless). Mereka risih, musik yang diusungnya didang-dutkan.

Seiring berkembangnya Soneta, ranah musik Indonesia banyak memunculkan grup berhaluan sama. Yang paling dikenal adalah Arafiq dan duet pasangan kekasih Reynold Panggabean dan Camelia Malik yang tergabung dalam Grup Rock Dangdut Tarantula. Lagu-lagunya yang tenar antara lain, Colak-colek, Wakuncar, dan Liku-liku.

Hingga di era 1980-an, dang dut meredup, kembali ke pinggiran. Saat itu Indonesia mabuk kepayang oleh lagu-lagu berirama melankolis. Rano Karno, Dina Mariana, Ria Resty Fawzi, Bill & Brod (Madu dan Racun) hingga Betharia Sonata, Nia Daniaty cs pun muncul. Sampai-sampai, Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, melarang lagu-lagu ini yang dia sebut “lagu cengeng”.

Selanjutnya, di awal 1990-an Indonesia dihentak oleh anak-anak band asal Malaysia, bermula dari lagu Isabella (Amy, Search), Suci Dalam Debu (Saleem, Iklim) lagu-lagu jiran ini terus berakar.

Dari sinilah, ternyata dang dut seakan mendapat celah. Irama ini muncul dengan konsep baru, pop dang dut. Heidy Diana-lah yang pertama mempopulerkannya. Publik pun tersentak, Heidy Diana, model cantik yang ngepop itu, mau nyanyi dang dut.









Dang dut pun tak lagi identik dengan Ida Laila dan Elvy Sukaesih lagi. Dang dut kini bisa cantik, bisa asyik juga. Dang dut rupanya tak hanya untuk orang miskin, juga untuk orang kaya. Dang dut tak hanya lagu truk-truk Pantura, tapi juga sedan mewah!

Hingga akhirnya Jefry Bule melakukan eksperimen mengawinkan dang dut dengan disko remix yang memang saat itu sedang musim. Maka, muncullah Merry Andani, Anis Marcella dan lain-lainnya itu. Di sini tak ada lagi accordion tak ada lagi suara gendang, yang ada adalah gocekan piring hitam khas disc jockey diskotek. Pencipta lagu yang negtop saat itu adalah Jalis Adiluhung.

Dari sinilah dang dut kembali booming, berevolusi dan berkembang pesat hingga tahun 2000. Rhoma Irama pun kembali menancapkan singgasananya, kali musik dangdut yang diusung tak lagi berhaluan Deep Purple, melainkan kembali ke "ibunya", irama India.

Tak hanya Rohoma, musisi, pencipta, dan artis berbakatpun muncul. Siapa sih yang tak kenal nama pencipta lagu dan musisi seperti Marakarma, Fazal Daath dan Kunten Mangkulangit?

Di kalangan artis pun, muncul Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, hingga Nini Karlina. Bahkan Doel Sumbang yang selama ini tekun di Pop, aktif dengan lagu setengah dang dutnya itu.

Tak hanya itu, grup dangdut juga booming. Siapa yang tak kenal dengan Manis Manja Grup, Artis-artis MSC, atau PMR? Mereka semua lahir dari zaman itu.

Kebangkitan dangdut ke tiga, setelah era Soneta inipun mulai diperhitungkan, tak hanya di panggung terbuka, juga di layar kaca. Bahkan, badio-radio dang dut pun banyak bermunculan.

Tuntutran pasar inilah, yang sanggup meruntuhkan arogansi RCTI, sebagai stasiun televisi swasta yang semula menabukan tayangan dangdut, menjadi welcome. Mereka pun mengemas acara dangdutan, Joged, dengan Liza Nathalia sebagai ikonnya.









Tak ayal, lahan dang dut pun jadi lahan basah, yang sebenarnya menjadi awal keterpurukan musik ini sendiri. Artis-artis bermodal tampang pun banyak hijrah ke musik ini. Tak ada album pun tak masalah, sebab bisa bawa lagu-lagu Soneta. Yang penting mau goyang, sudah asyik.

Terakhir di awal 2000-an dari Jawa Timur, dangdut koplo merebak. Dari panggung di kampung-kampung kecil dan tempat pelacuran, irama ini terus bergerak. Koplo, sebutan orang Jawa bagi orang mabuk. Ciri khas musik ini adalah suara gendang yang bertalu mendominasi lagu. Ritmenya cepat, mirip irama tabla.

Yang bikin hot, umumnya dangdut koplo selalu menebar goyang vulgal para biduannya. Dari sinilah muncul Inul Daratista, Trio Macan, Dewi Persik dan lain-lainnya itu. Goyang mereka yang seronok, kontan membikin publik tersentak. Pro-kontra pun timbul, setelah di awal 2002 musik ini dibawa ke televisi.

Tentunya kita masih ingat perseteruan Inul Daratista dengan Rhoma Irama yang membikin publik heboh, sampai-sampai ketua MRP saat itu, Amien Rais meminta televisi tak lagi memberitakan masalah ini, “Masih banyak persoalan bangsa yang lebih penting!” jelas Amien kala itu .

Salah satu stasiun televisi yang selalu memanfaatkan kontroversi sebagai bumbu penyedap jualannya, adalah Trans TV. Secara konsisten stasiun ini terus menabrak persepsi. Artis-artis koplo kontroversi itupun rajin mereka jadikan sumber.








Meski demikian, dangdut koplo tak lagi dipandang sebagai pembaharu, namun perusak. Cekal pun bermunculan yang membuat musik dang dut ini kian terpinggirkan. Ibu-ibu (yang nota bene penguasa remot TV) buru-buru mengubah saluran televisi atau menutup mata anak-anaknya, saat acara dangdut goyang ini muncul. Akibatnya, rating acara ini kian merosot. Iklanpun kering.

Hal inilah yang membuat enggan televisi menayangkan dangdutan ini. Saat ini, yang tersisa hanyalah TPI. Itupun sudah ke arah pencarian bibit baru, bukan atraksi panggung para biduannya.

Hal lain yang mengakibatkan dang-dut terpuruk, karena tak ada inovasi lagi. Artis-artisnya hanya mengandalkan tampang saja. Lagu-lagu yang dibawakan hanyalah lagu pop yang ngetop saat ini, namun diaransemen ulang, didangdutkan. Maka, kian bosanlah masyarakat.

Terakhir, didapat fakta bahwa musik ini kian terpinggirkan. Jadwal manggung kian lesu. Apalagi, masyarakat sudah menemukan cara memuaskan keinginannya akan lagu-lagu bercengkok yang lebih sopan, pada band-bang baru semacam ST 12 dan Kangen Band.

Inilah saatnya, musisi dangdut diuji, apakah mereka mampu menggairahkan musik ini kembali ke panggung terhormat dengan menemukan inovasi baru, seperti yang sudah dilakukan Said Effendi (almarhum), Rhoma Irama atau Jefri Bule. Kita tunggu saja.



Please, open mind.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

mantap ulasannya..

muhammad riza fahlevi mengatakan...

Nanti saya kupas tentang peran Grand Funk dan Brothers dalam memajukan musik rockdut di Bawean ya Sup. Stay klik man!!!!

Juga nanti akan saya singgung hubungan Kak Mokri "komprang" dengan M Mashabi...

Anonim mengatakan...

hua ha ha...1000x