Senin, 26 Januari 2009

Revolusi Dangdut Ridho Rhoma

Tepat di Hari Raya Imlek, di sebuah acara Dangdut Never Dies yang disiarkan langsung TPI, Senin malam, Rhoma Irama membuat kejutan dengan apa yang dia sebut revolusi dangdut ke 2. Melalui putra mahkotanya, Ridho Rhoma, dia coba membuat dangdut bangkit dari tidurnya.

Sama seperti gebrakannya di tahun 1970-an dulu, Rhoma mempersiapkan putranya ini sangat matang agar bisa bersaing dengan genre musik yang membahana saat ini, yaitu era anak pop band.

Kalau dulu Rhoma memformat dangdut dengan sense of rock, agar bisa berdiri sejajar dengan musik rock yang saat itu mewabah, kini revolusi dangdut era Rodho harus band style, agar bisa sejajar dengan pop band yang saat ini meledak.

Gebrakan yang disebut Rhoma sebagai revolusi ke II musik dangdut ini, untuk kembali membangkitkan musik ini, setelah tiarap akibat dihajar serbuan anak-anak band dan dirusak oleh pedangdut seronok, tak inovatif, hanya modal tampang dan mendangdutkan lagu pop yang tengah ngetop saat ini.

Karena itulah, semua diformat lebih nge-band. Di sini, semua impian fans anak band ada, mulai vokalis tampan, blasteran, cerdas, suara merdu, musik yang easy listening, enerjik dan moderen.










Ridho Roma memang good looking. Wajahnya khas anak-anak blasteran. Darah Arab mengalir dari ibunya, Marwah Ali.

Postur tubuh Ridho Rhoma ateletis, six pack models, kulitnya bersih, rambutnya ikal. Untuk yang satu ini, tampaknya dia di atas Ariel Peter Pan an Pasha Ungu. Ditmbah lagi, selain piawai menyanyi dan bersuara merdu, dia juga fasih berbahasa Inggris.

Kemahiran Ridho Roma dalam bernyanyi, juga ditunjukkan saat dia membawakan lagu-lagu India yang memiliki kesulitan cengkok dan stanza maksimal. Ternyata Ridho bisa membawakan dengan baik. Cuma sayang, karakter vokalnya terlalu lembut. Itu saja.

Menurut Rhoma, pedangdut yang baik harus bisa membawakan lagu India, karena dangdut memiliki benang merah dengan musik India. Sama halnya musik pop yang berbenang merah dengan musik barat, atau qasidah yang memiliki benang merah dengan musik gambus.

Untuk mendukung penampilannya yang nge-band, Rhido juga diiring grup band, bernama Sonet II Band (baca: sonet tu ben) yang mayoritas personelnya diambil dari anak-anak personel Soneta.

Berbeda dengan Soneta, Sonet II Band lebih simple. Personelnya hanya 5 orang. Di sini, perkusi tak terlalu dominan. Bahkan tamborin, yang selama ini identik dengan dang dut, juga tak ada.








Semua serba elektrik, dengan sentuhan alat musik moderen, seperti drum, keyboard, gitar, dan bass yang petikannya mirip jazz atau bossanova itu. Bagaimana dengan gendang? Tentu Sonet II Band tetap memakainya, karena ini adalah jiwa musik dangdut. Bedanya, gendang di sini bukan memakai ketipung, melainkan tabla. Namun, ketukannya tak terlalu cepat dan dominan.

Saat melihat penampilan mereka saya cukup kagum, mereka dapat mengemas musik dang dut benar-benar beda, jauh dari yang ada saat ini seperti rock-dut, disko-dut, apalagi koplo. Kalau didengar, sepeintas aranser musik yang mereka mainkan mirip pop Arab, seperti yang ada di album Mahmoud El Essily (Tabaat W Nabaat) dan lain-lain.

Namun, musik Sonet II Band lebih progresif dan inovatif degan sapuan ritmik musik yang easy listening, namun tetap elegan dan tak menghilangkan akarnya; musik dang dut. Sehingga, meski lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu daur ulang milik Soneta, namun terasa beda, lebih muda dan moderen.

Hal ini dibuktikan pada akhir sesi, Rhoma dan Rhido sengaja membawakan dua lagu yang sama namun aransemen berbeda, sebagai perbandingan. Ternyata memang beda jauh.

Yang paling bagus saya nilai, saat Sonet II Band mengaransemen ulang lagu Menunggu, milik Soneta yang populer di tahun 1979 lampau. Rasanya lebih dinamis, enerjik, tak cengeng. Malah saya merasakan kok seperti mendengar alunan musik latin, atau musik progresif khas anak-anak Yovie & The Nuno, bahkan juga lagu Separuh Nafas milik Dewa 19.








Yang paling menyentuh saat di akhir lagu Menunggu, sesuai syair, Rido memeluk Rhoma. Rhoma pun sampai meneteskan air mata. Dari wajahnya saya melihat ekspresi bangga dan haru dari seorang ayah yang lama menunggu kehadiran penerus cita-citanya.
Tampaknya, kali ini Rhoma memang telah menemukannya.

Ini adalah jawaban dari kegagalannya dengan “proyek” terdahulunya, pada pertengahan tahun 1990-an, saat dia mengorbitkan putranya Vicky Irama dengan Soneta Junior-nya. Proyek ini gagal total dan hanya menelurkan satu album saja. Penyebab utama, selain wajah putranya dengan Veronica yang kurang tampan itu, juga vokal Vicky yang pas-pasan.

--------------------------

Agar lebih terintegrasi, baca juga tulisan di blog ini Ketika Dangdut Tak Lagi Melayu http://rizafahlevi.blogspot.com/2009/01/ketika-dangdut-tak-lagi-melayu-1.html

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nyari cdnya ridho roma tapi ko belum beredar ya. asli keren abiz tuh anak, ga cuma tampang tapi suara juga bagus.

adnan