Kamis, 08 Januari 2009

Film, Kebohongan yang Asyik

Salah satu kesaktian sebuah film adalah, dapat membawa imaji jadi nyata. Dari dulu, manusia selalu ingin menyaksikan hayalannya berhasil. Hanya melalui film inilah, semuanya bisa dilakukan, disaksikan, bahkan dianut, meski hanya sekejap di gedung film.

Warga Amerika sejenak berbangga bisa mengalahkan kemajuan teknologi Uni Soviet dalam hal menaklukkan angkasa, ketika mereka menyaksikan Apollo mendarat di bulan.

Di sana tampak para astronot yang berbahagia, melompat ke sana kemari, bak gaya Mario Kempes, pemain bola top saat itu. Di sana juga diperlihatkan bagaimana bendera Amerika berkibar saat ditancap ke perut bulan, bahkan ada telapak kaki mereka segala.

Namun setelah berdasawarsa berita ini tayang, makin tampaklah keraguan publik, apa memang benar Apollo telah mendarat di bulan? Apa bukan di Studio 10? Karena dari pengamatan beberapa ahli, banyak kejanggalan dalam gambar tersebut.

Yang paling nyata, soal bendera Amerika yang berkibar-kibar. Bagaimana mungkin? Bukankah tidak ada angin di bulan yang hampa udara? Selain itu, harus ada kelembapan di tanah untuk membuat jejak kaki. Padahal tanah bulan adalah kerontang.








Langit yang hitam pun, mustinya penuh dengan bintang, tapi tidak ada yang terlihat di foto-foto Apollo. Selain itu, hanya dua orang yang berjalan di bulan selama misi, namun ada beberapa foto dimana refleksi atronot pada visor (klep kaca depan) tidak memiliki kamera. Lalu, Siapa yang mengambil foto? Lagian, bagaimana mungkin bisa memotret. Tidak akan ada foto yang bisa diambil di bulan sebab film akan meleleh pada suhu 250 derajad!

Semua keraguan ini kian terjawab di abad ini, ketika teknologi kamera semakin canggih dan rekayasa pun dapat mudah disajikan menjadi gambar nyata.

Discovery Channel dalam acara Mithbuster coba mengurai beberapa kejanggalan beragam pendaratan Apollo di bulan ini. Hasilnya, apa yang tampak di gambar sebagai astronot dengan pesawat luar angkasa Lunar Module, tak lebih hanya sebuah mainan anak-anak yang disyut dengan kamera menggunakan pembesaran beresolusi tinggi dengan menggunakan gambar bulan sebagai latar belakangnya.

Soal astronot yang bergaya bak Mario Kempes itu, pengambilan gambarnya dilakukan dengan teknologi bluescreen. Aupaya kelihatan mengambang, maka kedua pundaknya diikat kawat baja yang halus namun kuat.

Bagaimana tentang bendera Amerika yang berkibar? Sama juga, bendera tersebut disyut melalui rekayasa kamera. Agar geraknya tetap kaku, di sisi horisontal atas kain diberi tulang berupa batang kayu. Demikianlah.









Terlepas saat ini Amerika telah berhasil mendarat di bulan, namun kisah Apollo tersebut benar-benar manarik dikupas hingga abad ini, sebagai cikal-bakal digunakannya efek visual dalam pembuatan film.

Di era perang dingin, memang Amerika, melalui Hollywood, sering menggunakan film sebagai bahan propagandanya. Jika dulu Gaius Julius Caesar mempropagandakan kehebatan angkatan perangnya melalui publisistik yang dihembuskan mata-matanya, sehingga membuahkan ungkapan Veni, Vidi, Vici, saat ini Amerika menebar ketakutan melalui film-film-nya.

Para ahli berpendapat, tentara Amerika ditakuti selain karena faktor persenjataan, juga tak lepas dari pengaruh film-film-nya ini. Bahkan katanya, berakhirnya perang dingin yang bermula dari keruntuhan Uni Sovyet itu, bukan oleh politik Perdana Menteri Mikhail Sergeyevitch Gorbachev menghembuskan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) pada tahun 1985, melainkan oleh film Rambo.

Memang saat itu, trilogy Rambo begitu fenomenalnya sehingga membelalakkan dunia akan kekuatan perang AS. Film ini pulalah, yang dapat menghibur warga adidaya tersebut, atas kekalahannya di perang Vietnam. Bahkan mampu memutar balikkan fakta mata dunia, bahwa Amerika memang kalah diperang tersebut.

Kisah yang memutar-balikkan fakta dalam film ini terus terjadi hingga saat ini. Lihatlah bagaimana Hollywood melecehkan bangsa Persia (Iran) dalam film 300, hingga menuai protes karena apa yang ditampilkan tak sesuai sejarah!

Bahkan kabarnya, kisah dalam Film Gladiator banyak menyembunyikan sejarah yang sebenarnya. Kaisar Marcus Aerelleus sebenarnya bukan tewas dibunuh putranya Commodus, melainkan akibat penyakit. Commudus sendiri tewas dibunuh pengawalnya, bukan dibunuh Maximus dalam duel di Colesium.









Kejanggalan lain, tampak dalam strategi perang Romawi saat melawan Germania. Saat itu, pasukan Romawi banyak menggunakan tombak (pasukan hoplites atau phalanx pada zaman Yunani klasik dan Iskandar Agung), padahal Romawi selalu melemparkan pilum (sejenis tombak) ke tengah formasi musuh. Jadi bukan ditusukkan.

Atau bagaimana hingga kini Amerika mencitrakan daerah selatan (latin), sebagai sarang penyelundup, imigran gelap, narkoba dan sebagainya.

Bermula dari Amerika, tahun 1887, film-film terus menggurita di belahan dunia, dengan pesannya masing-masing. Ditambah kian canggihnya visual effect dan sound system, film dalam sekejap mempu mempengaruhi audience-nya.

Di Indonesia sendiri, orang-orang yang semula antipati oleh poligami AA Gym, dibuat termehek-mehek dan tanpa sadar mendukung praktik poligami yang dilakukan Fahri atas Aisah dan Maria, dalam film Ayat-Ayat Cinta.

Atau, bagaimana kegigihan seorang Muslimah, ibu guru SD Muhammadiyah di Gentong, Belitung. Peranannya mempertahankan sekolah tersebut mendapat simpati khalayak, hingga menggungah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan penghargaan, gara-gara kisahnya diangkat dalam cuplikan film Laskar Pelangi?

Banyak lagi kesaktian-kesaktian film yang tak bisa saya kupas di sini. Maka itu, hati-hatilah mempercayai film. Anggap hiburan saja, jangan diambil hati. Setelah itu, just let go!

Plase, open mind.







----------------------
Film atau bioskop, di Amerika dikenal sebagai motion picture (gambar bergerak/hidup). Di sebut demikian, karena bermula dari fotografi. Pada awalnya film hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau sarana untuk mereproduksi karya karya seni pertunjukan lainnya seperti teater.

Andreas Eko dalam endonesa.net menulis, adalah Thomas Alva Edison dan Lumiere besaudara. Pada tahun 1887 Edison berhasil menciptakan alat perekam dan memproduksi gambar. Penemuan ini disempurnakan oleh George Eastman yang menawarkan gulungan pita seluloid.

Ciptaan Edison itu disebut kinetoskop yang menyerupai kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan hingga tahun 1894 di New York diadakan pertunjukan kinetoskop untuk umum

Atraksi ini segera popular dan menyebar ke seluruh Amerika dan Eropa Kemudian dari para pengagum Edison ini muncul Auguste dan Louis Lumtere dari Prancis yang merancang piranti kombinasi dari kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Piranti ini disebut sinematograf yang kemudian dipatenkan pada Maret 1895









Paris 28 Desember 1595 di ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris, Lumiere bersaudara memproyeksian hasil karya mereka di depan publik yang telah membeli tiket masuk, di sinilah pertama berdirinya bioskop pertama di dunia.

Konsep pertunjukan biskop - film yang diproyeksikan ke layar dalam ruang gelap mulai menyebar ke seluruh dunia. Tahun 1905 bioskop dengan sebutan nickleodeon mulai menyebar di Amerika dengan film film awal yang dipertunjukkan berupa film cerita berdurasi pendek sekitar sepuluh menit.

Hingga akhirnya film terus berkembang, seiring penemuan teknologi. Mulai dari film bisu hitam putih sampai film hitam putih bersuara pada akhir tahun 1920 an dan film warna pada 1930 an.


Tidak ada komentar: