Jumat, 31 Juli 2009

Konversi Kultural

Tak lama lagi, konversi minyak tanah ke gas akan diterapkan di kota Batam. Dengan alasan menghemat BBM, masyarakat yang selama ini menggunakan minyak tanah untuk memasak akan dialihkan untuk menggunakan gas.


Di mimbar, beberapa waktu lalu, pemerintah berkata, penggunaan gas untuk memasak ini jauh lebih hamat, jauh lebih bersih dibanding minyak tanah.

Tak hanya itu, karena pengguna mintak tanah umumnya kalangan “proletar”, maka pemerintah memberikan kompor gas dan tabung gas gratis bagi mereka.

“Tung dihitung hitung… Bang ditimbang timbang… Aman dan ekonomis…” begitulah nyanyian dalam sebuah iklan konversi minyak tanah ke gas ini, yang akhir-akhir ini rajin diputar di Batam TV.

Oke. Lebih untung, lebih bersih, lebih ekonomis, gratis lagi. Siapa yang tidak mau? Tapi mengapa, kok masih ada resistensi bagi pengguna minyak tanah itu? Mereka bilang, “Ogah ah, lebih enak (memasak) pakai minyak tanah. Pakai gas, ribet. Entar meledak lagi!” begitu alasannya.

Untuk itulah, pemerintah sebagai penyelenggara program ini, harus proaktif juga mengubah pomeo yang telah mengakar ini.







Sebenarnya bila ditelaah lebih jauh, keengganan masyarakat ini terjadi bukannya tak mau diuntung, bukannya tak mau ekonomis, atau bahkan menolak kompor dan tabung gas gratis, melainkan akibat tak siap bila rangkaian kebiasaan yang selama ini tertata, jadi berantakan.

Inilah yang juga disebut gegar budaya (culture shock). Sebuah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda.
Dalam hal ini, rakyat kecil sudah merasakan romantisnya memakai minyak tanah dan kompor sumbu, sehingga semua rintangan pun akan mereka hadapi asal bisa tetap menggunakan mintak tanah. Tak peduli meski harus antre, tak peduli meski dibilang masak tak bersih.

Karena sudah merasa nyaman, mereka enggan bila segala ritual itu hilang tiba-tiba. Mereka kadang sudah ribet membayangkan tabung gas, selang penghubung, regulator dan tetek bengeknya.

Inilah yang dinamakan kebiasaan yang bermuara pada kultur. Susah bila harus diubah secepat kilat. Sama seperti misalnya kita yang selama ini merasakan nikmatnya hidup di Kepri, langsung hijrah ke Amerika.

Bayangkan sudah terbiasa makan nasi dagang, harus tiba-tiba berhadapan dengan aneka roti panggang. Sudah terbiasa pakai toilet jongkok, langsung dipaksa duduk, pakai tisu lagi.

Tubuh kita memang didesain menerima sesuatu dengan proses. Misal, saat makan harus dikunyah minimal 30 kali dan maksimal 70 kali. Kalau tidak, akan mengakibatkan gangguan kesehatan lambung.









Demikian pula pola tidur kita, juga harus teratur. Sekali saja Anda melakukan pergeseran pola tidur, meski itu hanya satu jam, akan membuat tubuh kita melakukan penyesuaian minimal tiga hari, maksimal seminggu.

Ini baru melakukan penyesuaian terhadap faktor internal, apalagi penyesuaian pada faktor eksternal, tentu lebih rumit lagi. Dan akan lebih gawat lagi bila perubahan itu terjadi terlalu drastis, sehingga akan membuat cultural shock tadi.

Memang benar, melakukan perubahan itu kadang harus dipaksa, namun juga jangan sampai perubahan tersebut membuat suasana tak nyaman (chaos). Karena itu bukan lebih baik namanya. Apalagi bila berhadapan dengan kebiasaan atau kultur. Tentunya harus lebih hati-hat lagi.

Bukankah hukum (aturan) yang baik itu adalah yang melindungi kepentingan umum? Bila tidak, tentu perangkat hukum atau aturannya harus diganti.

Tentunya kita tak ingin beberapa petaka yang terjadi di Jawa, terulang di sini. Akibat kurang seriusnya pemerintah melakukan sosialisasi, membuat rakyat yang masuk program konversi minyak tanah ke gas ini, harus kehilangan harta benda.

Ada yang terjadi akibat ketidak tahuan mereka tentang tatacara menggunakan kompor gas, atau akibat ditemukan kebocoran di tabung gas itu sendiri, sehingga meledak.

Untuk itu, diperlukan empati pada masyarakat agar program konversi ini berhasil. Pemerintah, jangan malas melakukan pendekatan familiar pada mereka yang terkena program konversi, sehingga resistensi akibat gegaran kultur ini berkurang.

Karena konversi minyak tanah ke gas bukannya sekadar mengganti pemakaian minyak tanah ke gas, melainkan juga konversi kultural.

Kamis, 30 Juli 2009

Cultural Shock

Manusia adalah mahluk yang sangat paling bisa menyesuaikan diri pada hal-hal yang baru. Inilah rahasia pertahanan kita. Namun, penyesuaian itu secara bertahap.

Karena kalau terjadi seketika, akibatnya terjadi goncangan kebiasaan atau dalam konteks massa disebut cultural shock (gegar budaya), sebuah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda.

Tubuh kita memang didesain menerima sesuatu dengan proses. Misal, saat makan harus dikunyah minimal 30 kali dan maksimal 70 kali. Kalau tidak, akan mengakibatkan gangguan kesehatan lambung.

Demikian pula pola tidur kita, juga harus teratur. Sekali saja Anda melakukan pergeseran pola tidur, meski itu hanya satu jam, akan membuat tubuh kita melakukan penyesuaian minimal tiga hari, maksimal seminggu.

Ini baru sekali, bagaimana susahnya tubuh kita melakukan penyesuaian bila pola tidur Anda tidak teratur dan selalu berubah? Jangan heran bila nanti bisa menambah tinggi risiko masalah kardiovaskular. Hal ini beresiko besar terhadap gangguan jantung.

Pada orang dewasa, kurang tidur bisa membuat depresi berat. Dalam keadaan kurang tidur yang parah, depresi akan bertambah, ditambah otak tak bisa berfikir jernih. Banyak kasus bunuh diri yang terjadi karena hal ini.

Sedikit uraian di atas tadi mengisahkan bagaimana tubuh melakukan penyesuaian terhadap faktor internal. Bayangkan, sudah begitu rumit. Apalagi penyesuaian pada faktor eksternal, tentu lebih rumit lagi. Bila terlalu drastis maka akan terjadi cultural shock.

Cultural shock tak hanya terjadi saat kita harus menyesuaikan diri ketika berada di negeri orang, namun juga pada ranah keseharian. Karena ini menyangkut akan kebiasaan dan sosialisasi yang puncanya pada tatacara, kebiasaan dan budaya.

Suatu hal yang bisa kita petik pelajaran, bagaimana gundahnya warga Batam ketika belum lama ini mendengar akan terjadi pemadaman listrik selama satu minggu. Reksi keras berdatangan, “Bisa jadi kita kembali ke zaman batu!” ujarnya.

Reaksi lain, masyarakat berbondong-bondong menyerbu toko alat-alat listrik untuk membeli lampu emergency. Bagi yang punya uang lebih, mereka membeli genset mini. Lama-lama, genset dan lampu emergency tadi menjadi sebuah tren.











Aksi dan reaksi ini terjadi, sebenarnya adalah bentuk insting pertahanan manusia akan sebuah hal yang dinilai menganggu proses kehidupannya. Saat itu, sebenarnya tubuh kita tak siap bila harus melakukan penyesuaian diri yang begitu drastis. Dari semula hidup dengan listrik, kini harus tanpa listrik.

Memang hal ini tak akan mengakibatkan kematian, namun bisa membuat rangkaian kebiasaan yang selama ini tertata, jadi berantakan. Misalnya, tubuh mereka menolak bila harus tidur dalam keadaan panas, akibat AC atau kipas angin tak bisa menyala. Atau, belum siap bila harus mencuci pakaian tak lagi menggunakan mesin, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Gegaran budaya ini juga terjadi saat pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas. Reaksi pun timbul, akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Ujungnya, tak jarang menimbulkan malapetaka bagi masyarakat itu sendiri. Misalnya, terjadi tabung gas bocor hingga meledak.

Inilah salah satu contoh kecil dengan apa yang disebut cultural shock. Contoh lain dari cultural shock ini dapat kita lihat ketika awal tahun 1990-an lalu, masyarakat dihebohkan oleh pemutraran film kartun dan sinetron tiga dimensi di RCTI. Agar bisa menyaksikannya, mereka harus memakai kacamata tiga dimensi.

Mau tahu apa yang terjadi? Masyarakat berbondong-bondong menyerbu toko buku untuk mendapatkannya, meski harganya -untuk kacamata yang framenya dari kertas karton dan kacanya dari film itu- luar biasa mahal.

Makin dekat waktu pemutaran film kartun dan sinetron tersebut, makin naik pula harganya. Padahal kegunaan kacamata itu tak begitu berarti. Karena, menonton tanpa kacamata tersebut juga tak jauh beda.











Hal serupa dapat kita saksikan ketika blackberry mewabah. Lihatlah betapa mabuknya masyarakat saat itu. Biar keren, orang-orang berbondong-bondong punya Blackberry. Tak peduli apakah bisa atau tidak mengoperasikannya, yang penting punya. Mereka juga tak pikir panjang, apakah punya e-mail atau tidak, bahkan tak peduli lagi apakah Riset in Motion, selaku produsen Blackberry, memiliki kantor perwakilan di Indonesia atau tidak.

Begitu terus. Cultural shock ini terus terjadi dan terus berulang. Cultural shock adalah hal yang serius, karena banyak kekacauan yang terjadi di muka bumi ini, bermula dari sini.

Senin, 13 Juli 2009

Ingin Sapi atau Ayam?

Dua orang sahabat bertemu dalam sebuah kedai kopi. Dalam obrolannya, mereka bercita-cita.

“Suatu hari nanti, saya ingin punya sapi,” ujar si A.
“Kalau saya ingin punya ayam,” balas si B.

Waktu berlalu setelah sekian tahun, dua sahabat ini bertemu. Merekapun kembali terlibat perbincangan hangat, termasuk membicarakan soal cita-cita mereka dahulu.

“Sekarang saya sudah berhasil punya ayam yang saya cita-citakan dahulu,” kisah si B dengan bangga.
“Kamu bagaimana? Berhasilkan beli sapi?”
“Tidak,” jawab si A.
“Wa ka ka ka…” Si B tertawa terpingkal-pingkal.
“Ya, tapi saya berhasil membeli seekor kambing,” balas si A, yang segera menghentikan tawa rekannya.

Kalau kita perhatikan, si B yang ingin punya ayam berhasil memilikinya, sementara si A yang ingin punya sapi gagal, tapi dia berhasil membeli kambing, sesuatu yang lebih besar dari ayam.

Ini adalah sebuah renungan, bahwa memiliki cita-cita itu haruslah yang tinggi, sehingga kita bisa mengerahkan segenap kemampuan kita hingga batas akhir. “Push to the limit!” begitulah kira-kira.

Dari cita-cita yang tinggi ini, kita bisa menyusun tangga demi tangga pencapaian. Tangga pertama berhasil, lalu ke tangga selanjutnya. Begitu terus, hingga akhirnya mencapai tangga teratas dari cita-cita tersebut.








Namun, harapannya jangan terlalu besar. Realistis saja. Sehingga kalaupun tak berhasil, kita tak terlalu kecewa. Meski demikian, kita masih bisa menjangkau nilai lain yang levelnya, cukup baik.

Jika cita-cita yang terlalu mudah kita raih, ya untuk apa? Itu sama halnya dengan kehilangan motivasi dalam hidup.

Sebuah kisah lain, kita dapat berkaca bagaimana BJ Habibie, yang saat itu menjabat Ketua Otorita Batam, bercita-cita agar Batam sebanding dengan Riau, Johor bahkan Singapura sekalipun.

Untuk mendukung visinya itu, Habibie memiliki teori yang dia namakan “balon pecah”. Bila kemakmuran Singapura ibarat balon pecah, maka pecahannya mampir ke Batam. Seiring dengan ini, maka penduduk Batam akan mengalami ledakan yang sangat besar pula. Untuk itu, daerah ini harus dipersiapkan sedemikian rupa.

Maka, mulailah Habibie membangun infrastrukturnya yang setara dengan kota-kota besar di Indonesia.

Semula, langkah Habibie ini membikin tanda tanya banyak kalangan, termasuk para stafnya sendiri. Wajarlah, saat itu Batam masih sebuah kawasan perawan yang sepi dengan penduduk tak sepadat sekarang. Jadi, buat apa memiliki infrastruktur yang setara kota-kota besar?

Hal ini tampak saat Habibie ingin membangun jalan lingkar. Oleh kepala proyeknya saat itu, lebarnya hanya cukup dilalui dua mobil berpapasan saja.

Tentu saja Habibie protes, dia minta agar jalan dibangun setera dengan jalan di kota-kota besar. Akhirnya jalan ini selesai juga dikerjakan. Hasinya, banyak yang mencemooh, “Huh! Buat apa bikin jalan lebar-lebar, paling yang lewat cuma monyet,” begitulah.

Hal serupa juga terjadi ketika Habibie merencanakan ingin membangun sebuah bandara. Semula sang pimpinan proyek menawarkan desain, bandara yang hanya bisa dilalui pesawat-pesawat kecil.

Namun, Habibie lagi-lagi menolak. Maka jadilah Bandara Hang Nadim dengan landasan pacu terpanjang se Sumatera itu. Hasilnya, lagi-lagi banyak yang mencibir dan memandang hal ini sebagai pemborosan saja. "Untuk apa bandara standar internasional di daerah 'se-ndeso' ini?"







Demikian pula saat Habibie mau membangun sebuah masjid yang kita kenal saat ini sebagai Masjid Raya Batam. Dulu, semula desain bangunannya tak sebesar saat ini. Namun, Habibie meminta agar dibangun cukup menampung hingga ribuan jamaah, lengkap dengan pusat kajian Islamnya.

Lagi-lagi, setelah selesai, banyak juga yang bertanya, “Untuk apa masjid sebesar ini, di kota sekecil ini?” Begitu terus.

Demikian pula saat Habibie membangun tujuh jembatan yang menghubungkan Batam, Rempang dan Galang. Suara saat itu, gaungnya sampai meluas hingga menjadi isu nasional. Intinya, masyarakat bertanya, “Untuk apa, untuk apa, dan untuk apa?”

Namun kini, ternyata visi Habibie terbukti. Bagi Anda warga Batam, tentunya tak usah saya uraikan di sini lagi bagaimana rasanya mencicipi keberhasilan visi Habibie ini.

Coba bayangkan, apa jadinya jika ruas jalan di Batam hanya cukup dilalui dua mobil? Apa kata wisatawan, apa pula kata investor?

Apa jadinya pula bila Masjid Raya Batam tak sebesar saat ini, lengkap dengan fasilitas penunjang syiar Islam-nya? Atau yang lebih parah, bagaimana jadinya bila Rempang dan Galang tak terhubung ke Batam oleh tujuh jembatan yang kita kenal saat ini sebagai jembatan Barelang itu?

Inilah gambaran sebuah visi, inilah gambaran sebuah pencapaian cita-cita. Kini, meski Batam belum bisa menyamai Singapura, minimal infrasturktur kota ini sudah mendekatinya.

Ah, andai kata saat itu Habibie hanya bercita-cita ingin punya ayam.


------------
tulisan ini saya buat setelah mengunjungi Kota Kabupaten Karimun. Di sana saya melihat, beginilah jika sebuah kota dikembangkan dari visi yang kecil. Sekarang, semua serba semrawut. Jalanannya kecil, pokoknya begitu masuk nafas sudah sesak.

Jumat, 10 Juli 2009

Award "Sang Ratu Amplop"

Di atara film-film legendaris H Benyamin Syuaib yang paling melekat di hati saya adalah yang berjudul, “Ratu Amplop.” Kesannya melekat, karena banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sini.

Film yang dirilis tahun 1974 oleh sutradara Nawi Ismail ini, berkisah akan ambisi Ratmi (diperankan oleh Ratmi B 29), wanita gembrot yang wajahnya mirip bulan pecah, untuk memperoleh gelar wanita tercantik di perusahaan biskuit tempat dia bekerja.

Kebetulan saat itu, di perusahaan tersebut menggelar ajang ratu-ratuan. Pemenangnya, selain akan dapat award, juga menjadi model sampul di kotak biskuit yang mereka produksi.

Sebenarnya, dalam hati, Ratmi sadar dirinya bakal kalah saing dengan kontestan lain, seperti Ida Royani atau Conny Suteja, yang badannya seksi bin ramping. Namun, Ratmi tak kehabisan ide. Melalui beberapa tim suksesnya, dia sogok semua juri. “Sssstt… Jangan lupa tuh,” pesannya pada juri, sembari menyelipkan amplop berisi uang.

Mau tahu hasil akhirnya? Ya betul, bukan sulap bukan sihir, Ratmi menang sebagai ratu kecantikan di perusahaan tersebut. Tentu saja hasil ini diprotes peserta lain. Namun, keputusan juri tak bisa diganggu-gugat.

Ratmi pun senang alang-kepalang. Kemenangan hasil rekayasa dengan menghalalkan segala cara itu, menjadikannya angkuh setengah mati. Apalagi, sejak kemenangan itu, dia berhasil merebut hati Benyamin yang sebenarnya sudah menjalin kasih dengan Ida Royani.

Sementara itu, award dari kontes ratu-ratuan itu dia pajang di ruang tamu. Setiap orang yang datang, dia pamerkan penghargaan yang sudah dia dapat itu.

Tentu saja orang yang melihat, bukannya kagum, namun merasa aneh. Mana mungkin, Ratmi
yang gembrot dan buruk rupa itu bisa menang kontes ratu-ratuan, yang nota bene untuk orang cantik wal seksi?

Kok bisa? Apa tak salah tuh? “Ah, pasti ada apa-apanya,” curiga mereka.
Dan setelah diselidiki, lama-lama diketahui ternyata jurinya sudah makan amplop. Jadilah pacar Benyamin sekarang punya julukan baru, ”Si Ratu Amplop”.

Kisah ini, mungkin hanya humor belaka. Namun di dunia semoderen saat ini, kisah sangat relevan. Lihatlah, betapa banyak di sekitar kita orang-orang yang demi mengejar sebuah award atau penghargaan, sampai menghalalkan segala cara.

Yang penting menang, yang penting nggak malu. Tak peduli lagi, apakah pantas atau tidaknya penghargaan itu untuk dirinya.

Setiap kita memang butuh penghargaan. Maklumlah, penghargaan ibarat mercu suar yang sinarnya tampak dari kejauhan. Selain itu, penghargaan bisa menjadi bukti akan kiprah kita di bidang tertentu dan yang peling penting, ini adalah motivasi.

Tak heran, pakar manajemen sekelas TM Maslow pun, memasukkan penghargaan (disebut esteem) dalam konsep piramida kebutuhan dasar manusia.

Bahkan, saat ini pemerintah pun memberikan banyak penghargaan bagi para aparatur negara yang berprestasi dalam memajukan lingkungan kerja, maupun kotanya.
Kita tentunya sudah kenal apa itu Adipura untuk kebersihan, atau Widyakrama untuk pendidikan. Sungguh merupakan kebanggaan bila sebuah kota bisa meraih semua penghargaan ini.

Terkait hal ini, beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan mantan Wali Kota Batam Nyat Kadir. Menurutnya, award itu tentu berguna, namun dulu dia tak pernah terlalu berambisi meraihnya. Karena, sebenarnya rakyat tak terlalu butuh award, yang dibutuhkan mereka bagaimana anak-anaknya bisa tertampung di sekolah, kesehatan membaik, kebersihan terjaga.

“Sekarang demam denggi mengamuk. Katanya kota adipura, kota bersih, tapi lingkungan kotor, nyamuk merajalela,” katanya.

Lalu bagaimana pendapat warga sendiri? Beberapa waktu lalu, saya membaca polling di Facebook yang menanyakan “Banggakah Anda dengan penghargaan (award) yang diterima di kota Anda? Misalnya, Adipura (kebersihan), widyakrama (pendidikan).

Ada yang menjawab, “Ya bangga dong bos. Bukankah semua pengrhargaan itu bisa membikin citra kota ini naik? Ibarat mercusuar, paling tidak bersinar dari kejauhan?”
Meski demikian ada juga yang berkata, ”Meragukan, bangga??? Jauh dari realiti. Public sevice di kota ini jauh dari harapan.”

Ada juga yang bilang, “Alangkah idealnya jika penghargaan tersebut merupakan refleksi kenyataan di lapangan. So, penghargaan yang diterima tidak terkesan mengada-ada, tapi pemerintah dan masyarakat benar-benar walk the talk.”

Yang menarik, ada pendapat singkat, “Ah, itu semua bisa direkayasa....”

Saya setuju dengan komentar di atas yang mengatakan, aidealnya jika penghargaan tersebut merupakan refleksi kenyataan di lapangan. Karena buat apa juga sebuah penghargaan, bila ibarat mercusuar, terang dikejauhan, namun setelah didekati, yang ada hanyalah pulau kosong, gelap dan kotor.

Ibarat kisah si ratu amplop, buat apa dapat award tapi malah bertentangan dengan kenyataan.

Bagaimana menurut Anda?.

Senin, 06 Juli 2009

Medianya Orang Bawean

Saya merasa bersyukur bisa mengecapi abad internet, sehingga jarak dan waktu tak lagi jadi masalah besar, khususnya dalam mengakses informasi. Seperti, ingin tahu apa yang terjadi di kampung halaman saya, Pulau Bawean.

Dulu, keinginan saya tersebut saya puaskan dari telepon. Ya, biasanya kalau lagi kangen kampung halaman, saya biasa menelepon Kadir, Iwan, Mansyur dan lainnya, hanya sekadar ingin bertanya apa yang terjadi.

Dari mereka, saya biasa mendapat kabar tentang “people”. Misalnya, si fulan yang meninggal, si fulan yang menikah, atau si fulan yang melahirkan.

Atau juga soal “Ekonomi”, misalnya soal trend bisnis yang lagi boom di Bawean dan sebagainya.

Ada juga kadang, cerita “seputar Bawean”, misalnya soal ada pertandingan voli, bola kaki, hingga gerak jalan.

Selain itu, soal “gaya hidup”, misalnya kisah orang-orang yang tengah keranjingan bersepeda, main tenis atau bahkan main layangan. Dan lain-lain dan lain-lain. Semua terangkum dan diulas lengkap oleh mereka.

Namun, itu dulu, dulu sekali. Saat ini, kebiasaan saya tersebut sudah agak berkurang. Kalaupun nelepon, ya paling hanya basa basi saja.

Maklumlah, saat ini, di kampung saya sudah memiliki media online. Namanya Media Bawean (MB) http://bawean.net/. Sehingga, informasi tentang kampung saya tersebut, kini sudah bisa berdiri sejajar bahkan dengan Jakarta sekalipun.

Karena itulah, saya menjadikan MB sebagai pilihan pertama untuk mengakses informasi. Dan saya rasa, saya tak sendiri, karena banyak warga Bawean yang kini merantau di serata Indonesia hingga ke mancanegara, baik di Singapura, Malaysia maupun Australia, juga melakukan hal serupa.















Dari Media Bawean ini mereka mendapat informasi lebih lengkap. Dari sini, mereka tahu macam-macam tentang Bawean itu sendiri. Misalnya, kondisi infrastrukturnya, hingga masyarakatnya.

Informasinya yang singkat, ditambah banyak foto, membuat saya tak terlalu kesulitan untuk membaca media ini.

Dari MB-lah, mereka baru tahu, ternyata ada orang Bawean bernama Rogeh, yang menikahi 18 gadis ABG. Wah, “lebih hebat” dari Syeh Puji dong. Gara-gara kasus ini, Bawean sampai terkenal di forum-forum online sekelas Kaskus.us sekalipun.

Selain itu, mereka juga tahu betapa lingkungan pantai Pasir Putih kini rusak akibat dijarah orang tak bertanggung jawab. Selain itu, mereka juga melihat bagaimana perkembangan lapangan terbang yang kini terus dibangun. Dan ini memang yang ditunggu, biar pulang kampung jadi lebih menyenangkan.

Mereka kini juga tahu, bahwa sekolah di Kuduk-kuduk sudah sangat tak layak, atau jalan lingkar di telukdalam yang rusak parah. Bahkan, mereka juga tahu bahwa nasabah Bank Jatim kian banyak, sehingga untuk menabung saja harus antre hingga menyentuh angka ratusan!

Dan yang paling penting, bisa tahu jadwal kapal atau kondisi cuaca. Beda dengan dulu, kalau mau pulang ke Bawean masih ragu dulu, "Ada kapal enggak ya?" atau "Ombah gede enggak ya?" dan lain-lain.

Luar biasa. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya jadi teringat akan omongan bos Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan. Bila ingin menilai sebuah kota berkembang atau tidak, lihat saja halaman korannya. Dan juga, bila ingin membuat kota itu maju, harus ada media di sana.



















Semua ini memang sudah teruji. Banyak kota-kota di Indonesia, berganjak maju, setelah ada media massa di sana.

Fungsi medialah yang menjadi pelumas agar gerak kota atau daerah tersebut menjadi dinamis. Pelumasnya, adalah informasi dan komunikasi.

Dengan dua elemen ini, maka pertukaran ide dan gagasan akan semakin cepat. Intinya, orang kian peduli akan daerahnya. Dengan demikian, tentu pembangunan akan lebih mudah diarahkan.

Dan memang benar, hal ini saya saksikan sendiri, geliat Bawean setelah MB ada. Masyarakat kian peduli. Hal ini saya lihat dari komen mereka di bawah berita. Kadang tak hanya kritik, tapi juga gagasan.

Bentuk kepedulian ini, mereka tunjukkan dengan ikut andil merawat MB. Dari dulu tak punya apa-apa, hingga kini memiliki kantor yang meski sederhana, namun tetap representatif.

Dan Alhamdulillah, hasil kerja MB didengar oleh pengambil keputusan. Tentu ini baik, yang berarti Bawean tak lagi terabaikan, Bawean kini mendapat kepedulian, jadi jangan coba-coba mengganggu Bawean lagi, karena sudah ada yang membelnya. Karena masyarakat Bawean kini tak lagi tidur.













Siapa di balik MB?

Ini yang membikin mata saya terbelalak. MB ternyata hanya digerakkan satu orang. Dialah Abdul Basit. Di MB, dia marangkap reporter, editor, editor eksekutif, pemimpin redaksi, pemimpin perusahaan, bahkan pemimpin umumnya.

Tak heran bila Basit memiliki pergaulan luas. Mulai wong cilik, hingga pejabat di Gresik. Lingkar pergaulannya antar sesama jurnalispun cukup bagus. Beberapa kali dia kerap mendampingi wartawan media massa nasional, untuk meliput keindahan Pulau Bawean.


Kinerja Basit saya nilai cukup “militan”. Saya saja yang berkecimpung dalam bisnis media massa, sangat jarang meluhat ada reporter yang bisa bekerja sekeras itu.

Bayangkan, untuk mengkaver Bawean seorang diri tentu bukanlah hal mudah. Keliling pulau ini 50 kilo, dengan kondisi alam yang masih perawan, adalah tantangan tersendiri. Namun semua itu bisa dia lalui dengan baik meski itu semua tanpa gaji yang jelas.













Selain itu, mental Basit juga cukup bagus. Naluri jurnalisnya bisa ditanding. Pokoknya bila ada yang dilihatnya mengandung unsur what, when, where, who, why, how, langsung didatangi dan diwawancara.

Meski demikian, bukan berarti kinerja MB mulus. Selalu ada saja tantangan. Kian besar, kian diguncang. Ya, saya rasa wajar sajalah.

Yang unik, ternyata tantangan yang terberat Basit saat ini adalah hal yang sangat umum. Bukan represif penguasa, bukan pula aksi demonstrasi, melainkan gunjingan orang!

Pernah suatu ketika, hal ini sempat membuat dia limbung. Saat itulah saya SMS dia, “Wah… ternyata mudah ya untuk membungkam MB…”

Syukurlah, sejak saat itu semangatnya bangkit kembali.




wajah media bawean

A I R

Pernah merasakan tidak, hidup satu hari saja tanpa air? Mungkin kalau komentar Anda ditulis di sini, tentu tak akan ada ujungnya.

Air adalah sumber kehidupan. Kita semua tentu tahu itu. Dari air lah Tuhan jadikan segala sesuatu yang hidup. Dengan air itu pula, Dia hidupkan bumi yang mati. Sebagaimana kita ketahui, lebih separuh bagian umi ini adalah air. Karenanya, semua mahluk hidup di bumi tak bisa lepas dari air, termasuk manusia itu sendiri.

Air, air dan air. Air selain untuk diminum, juga dipakai mencuci pakaian dan mandi. Semua agama pun banyak memakai air untuk penyucian diri. Ada yang disapukan, ada juga yang dipercikkan. Bahkan, bagi kaum muslimin pemakaian air untuk bersuci lebih banyak lagi, mulai berwudlu minimal 5 kali sehari, hingga mandi wajib.

Manusia memang tak bisa lepas dari air, 80 persen tubunyapun dari air. Bahkan, proses penciptaan manusia sendiripun juga berasal dari air. Dalam hal ini sperma. Bahkan kaum evolusionis pun, juga memulai teorinya dari air. Bermula dari air lahir beragam species baru. Selanjutnya hewan-hewan itu menuju daratan, berevolusi menjadi ampibi, reptil, primata hingga kemudian manusia moderen.

Karena itulah juga wajar, bila air sangat berkhasiat bagi manusia.

Tentu Anda sudah tahu, berapa banyak ahli kesehatan yang menyarankan dan agar bisa fit, Anda harus meminum air yang cukup. Bila tidak, maka siap-siap ginjal Anda taruhannya. Selain itu, kulit akan menghitam kasar dan kering.













Ahli jiwa di AS juga menyarankan agar pasiennya sering-sering membasahi sebagian kepalanya guna mengurangi depresi. Di kampung saya dulu, air juga sering dipakai para kyai untuk menyembuhkan salah urat hingga tulang yang patah. Caranya, hanya disiramkan saja. Tentunya sebelumnya, air tersebut diberi doa-doa.

Selain hal ini, ada tradisi juga di kampung saya di mana orang sering meminta air minum, yang telah diucapkan sederet doa, pada para kyai untuk mengobati penyakit lainnya, mulai demam hingga jantung berdebar. Dan memang, air tersebut berkhasiat.

Kok bisa ya? Apakah kyai di kampung kami itu sakti-sakti? Rasanya saya kurang ahli untuk menjelaskan soal tersebut. Tapi memang, berdasar hasil penelitian Dr Masaru Emoto dari Jepang, yang kemudian dia publikasikan dalam sebuah buku berjudul The Message from Water, dikupas bahwa air akan membentuk kristal yang indah dan sangat berkhasiat, bila diseru dengan kata-kata yang baik (pujian), seperti ”danke” (Jerman), “thank you” (Inggris), ”terimakasih” (Indonesia).

Ini baru kata-kata terimakasih, apakah lagi bila diseru dengan doa-doa, tentunya akan lebih lebih berkhasiat lagi. tentunya kristal-kristalnya akan lebih kaya dan mengkilat lagi.

Namun, apa yang terjadi bila diseru dengan kata-kata kasar (buruk) seperti ”I hate you,” (aku benci kamu), maka kristal air tidak akan terbentuk atau rusak. Artinya, khasiat air tersebut hilang.

Air memang unik, air memang menarik. Ahli kimia Prancis Louis Gay-Lussac dan ahli kimia Jerman Alexander von Humboldt menunjukkan, bahwa air terdiri atas dua volume dari hidrogen (H) dan satu oksigen (O), seperti yang dinyatakan oleh rumusan yang sekarang H2O.












Berdasar bentuknya pun air terbagi menjadi 3 (ada yang membaginya 4), masing-masing cair (seperti air), gas (seperti udara), padat (seperti batu) dan yang keempat plasma (seperti api). Pembagian benda berdasarkan bentuknya tersebut didasarkan atas kerapatan melekul satu dengan yang lain.

Jika kerapannya sangat kuat, maka akan berbentuk padat, jika kerapatannya cukup akan berbentuk cair, jika kerapatannya sangat tidak rapat akan berbentuk gas. Bentuk air seperti yang kita liat di laut, sungai, di dalam gelas minum, bentuk mereka adalah cair. Padahal air juga terdapat diudara dalam bentuk gas seperti uap air, awan, embun dan bentuk padat seperti pada teh es, bongkah es di kutub selatan.

Namun tahukah Anda, seiring kain meniungkatnya eksploitasi alam oleh manusia, penebangan hutan hingga merebaknya pemanasan global, membuat air kini semakin langka. Sungai-sungai mengering, meski ada, banyak kotor, bau dan barcun akibat yang tercemar limbah. Di antara sungai-sungai itu, mungkin satu di antaranya ada di tempat Anda.

Mungkin Anda pernah punya kenangan. Dulu, di sungai itu airnya sangat jernih dan dalam. Ikan-ikanpun betah hidup di dalamnya. Di sungai itu Anda biasa bermain, mandi hingga memancing ikan.













Namun kini, semua tinggal kenangan. Airnya kian dangkal, kotor, menghitam dan bau. Jangankan mandi, membasuh kaki saja, rasanya sudah terserang gatal-gatal. Dasarnya pun kian dangkal, di kiri kanan tumpukan sampah plastik menggunung. Ikan-ikan pun, entah kemana. pergi atau mati? Lama kelamaan, sungai inipun mengering bak jalan raya saja.

Demikianlah. Lalu apa jadinya bila air kian langka, sementara manusia tak bisa lepas dari air? Bisa jadi nanti air akan semahal emas, bahkan sumbernya akan dijaga tentara terlatih.

Atau bisa juga prediksi mengerikan jadi kenyataan; konon, hal inilah yang nantinya akan menjadi salah satu pemicu perang dunia ke III. Negara-negara, mulai mengklaim sumber air (bisa dibaca sungai).

Seperti diketahui, banyak negara (juga daerah) yang menggantungkan pasokan airnya dari waduk atau sungai-sungai. Masalahnya, banyak dari sungai-sungai tersebut membelah beberapa negara.

Nah apa jadinya bila saat krisis terjadi, hal ini menjadi rebutan atau dikuasi salah satu negara yang kebetulan berada di hulu? Yang jelas konflik sudah di depan mata.








Contoh kasus, sebuah tesis menyebut, China kini menghadapi krisis air dan pangan karena meningkat pesatnya populasi penduduk negara mereka. Dan nyatanya sekarang China sudah mengajukan, dan menyetujui South-North Water Transfer Project, yaitu rencana untuk mengalihkan sungai-sungai menjadi lahan tanam. Nah, Sungai Brahmaputra itu salah satu sungai yang direncanakan untuk pengalihan tersebut .

Masalahnya, sungai Brahmaputra itu salah satu sumber terbesar (pangan, lahan, air) untuk bagian timur India. Diprediksikan karena pengalihan tersebut, banyak penduduk India akan mengalami krisis air bersih.

Karena kasus ini, kemungkinan besar hubungan kedua negara yang memiliki populasi padat tersebut, tidak lagi erat, mengingat jutaan jiwa orang bergantung pada sungai tersebut.

Maka diprediksikan, India akan mengancam China untuk segera menyelesaikan proyek pengalihan mereka atau India akan menginvasi sungai Brahmaputra. China di dalam kebimbangan, apakah akan mengorbankan penduduk mereka (ini berarti kerusuhan, konflik internal) atau melanjutkan permusuhan.

Mengerikan.

Untuk itulah sebelum terlambat, mari kita jaga air ini agar kehidupan kita tetap lestari.

Minggu, 05 Juli 2009

Sesuatu yang Baru

Manusia itu sangat suka hal-hal yang baru. Apa sajalah itu, pokoknya yang baru.



Makanya, jangan heran bila beberapa perusahaan membidik ini sebagai lahan bisnis. Tiap bulan, sealu saja ada sesuatu yang baru. Dan memang pada kenyataannya, yang baru-baru itu selalu laris.

Namun, manusia juga mahluk yang umumnya tak bisa menahan untuk memamerkan sesuatu miliknya yang baru. Semuanya, ponsel baru, mobil baru, ehm… pacar baru, atau ilmu baru.

Istilahnya, eksibisionis. Sifat ini, sudah ada sejak masih masa anak-anak. Lihat saja, anak-anak yang baru punya mainan baru, maunya selalu dipamerkan. Hingga dewasa, sifat ini tetap melekat, cuma kadang cara memamerkannya lebih elegan.















Namun apapun itu, ya tetap saja suka pamer. Padahal, tanpa sadar lambat laun rasa ingin pamer ini bisa menimbulkan penyakit hati (psikis). Inilah yang disebut eksibisionisme. Hatinya baru terhibur, bila bisa memproklamirkan bahwa dia lebih dari yang lain.

Intinya, hati-hati memperlihatkan sesuatu yang baru, karena bisa saja hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi Anda. Ibarat kepasar pakai gelang emas satu kilo, ya jangan salahkan bila ada penjahat menghampiri Anda.

Contoh lain, di kampung saya ada sebuah teori untuk mengetes apakah ilmu seorang pendekar itu cetek atau tidak. Caranya, colek saja dia. Kalau responnya langsung mengeluarkan kuda-kuda, berarti ilmunya masih rendah. Dia masih baru belajar silat.

Mengapa demikian? Ya, karena biasanya pendekar pemula gemar sekali pamer jurus. Sedikit-sedikit, hiaaaatttt… ciatt…

Dalam keseharian kita kadang kerap melihat nafsu eksebisionisme ini. Mungkin ada rekan Anda yang baru punya ponsel baru, ada saja tingkahnya, agar untuk “memberi tahu” kita bahwa ponselnya baru.

Ada lagi yang baru mendalami disiplin ilmu tertentu, penginnya selalu saja memamerkan keilmuannya ini. Rasanya orang lain tak ada apa-apanya.














Ada seorang kawan, dia ibu rumah tangga pendiam dan bersahaja. Hingga suatu ketika, dia berhasil menamatkan S1 Fakultas Hukum. Mau tahu apa yang terjadi? Tiap kali berinteraksi, omongannya selalu soal hukum.

Sampai-sampai gosip di kompleknya pun, masih juga presentasi soal ilmu hukum. “Eh, jangan macam-macam lho jeng, itu bisa dituntut lho… Itu masuk kategori utrecht mattigheddad! Hukumannya penjara 5 tahun lho!”

Ada lagi yang lagi mabuk kepayang oleh ilmu motivasi. Maunya tiada hari tanpa motivator. Gayanya serampangan saja. Tiap ketemu orang selalu diinterogasi, “Sudahkah kamu punya tujuan hidup? Mau jadi apa kamu 5 tahun ke depan?” Dan lain-lain.

Gayanya sudah macam Mario Teguh saja.

Memotivasi, siapa yang tak bisa? Karena hakikatnya, motivasi adalah sesuatu yang telah kita ketahui. Cuma kadang kita lupa. Nah, tugas motivatorlah untuk mengingatkannya.
















Namun, motivator yang baik tentunya tak hanya bisa berorasi, tapi juga harus paham situasi dan kondisi orang yang akan kita beri motivasi.

Karena motivator yang berhasil, biasanya akan membuat senang orang yang mendengarnya. Sehingga, mereka akan dengan sendirinya (dengan senang) melakukan apa yang diharapkan. Bukan dengan keterpaksaan. Filosofinya, niat baik akan membuat orang lebih baik.

Contoh ringannya, motivator itu mirip seorang mak comblang. Apapun yang disarankannya, akan membuat sang pecinta mendengar dengan gembira, dan selanjutnya melaksanakan dengan riang.


Untuk itu, sang motivator harus menguasai teknik komunikasi dan yang terpenting harus bisa memberikan jalan dan contoh teladan yang baik. Tanpa semua ini, tentu tak berarti.

Kan tak lucu bila Anda kerap memotivasi agar orang lain menjadi baik, sementara Anda sendiri malah manusia yang tak bermoral? Atau memotivasi orang agar giat berbisnis, sementar Anda sendiri adalah bisnisman gagal?

Jadi, bukan asal ngomong. Karena, cara motivasi yang tak tepat bisa membuat orang yang mendengar muntah berak. Bahkan, marah karena merasa digurui dan dipandang bodoh.
















Ada lagi yang lucu. Suatu hari, ada kawan baru datang rekreasi ke Padang. Tampaknya, dia sudah tak sabar ingin memamerkan pengalamannya ini. Hingga saat bertemu sekumpulan rekannya di kafetaria, dia langsung menceritakan semua yang dilihatnya di Padang.

Setelah ceritanya habis, dia heran, kok rekan-rekannya tak ada yang terpikat. “Kok reaksi kalian biasa saja?” tanyanya.

“Ya, bagaimana lagi, kami ini kan berasal dari Padang. Jadi, apa yang Anda ceritakan sudah kami ketahui. Malah bosan rasanya mendengarnya terus!” jawab salah seorang dari mereka. Tentu saja rekan saya ini malu.

Dari semua uraian ini, marilah kita berhati-hati saat akan memperlihatkan sesuatu yang baru. Jangan asal pamer saja. Sehingga Anda akan menjadi orang yang dicap, “Air beriak tanda tak dalam!” Atau, “baru lihat pantai sudah merasa mengarungi tujuh samudera.” Ada juga yang bilang, “Bak anak bebek lepas dari induknya.”

Kamis, 02 Juli 2009

P R A S A N G K A

Suatu ketika, saya memampang sebuah kalimat pembuka pada blog ini. Kalimat tersebut berbunyi; ”Saya adalah seorang ayah yang menyukai fitnah, saya adalah mahluk yang sangat membenci yang haq! Dan saya juga memiliki apa yang tak dimiliki Allah baik di langit dan di bumi!”

Mau tahu apa selanjutnya yang terjadi? Tak lama setelah itu saya mendapat e-mail yang berisi sebuah pengecaman. ”Bertobatlah, sesungguhnya neraka itu amat nyata...”

Saya pun merenung, lalu saya memutuskan menghapus saja kalimat pembuka tersebut di blog ini. Alasan saya, biar tak terjadi salah penafsiran, karena tak semua orang bisa berfikir jernih dan dilengkapi referensi yang kokoh. Khawatir nantinya, berujung pada rasa buruk sangka yang dalam.

Sebenarnya alasan saya memampangkan kata-kata tersebut, karena diilhami keadaan saya saat ini yang memang begitu menyukai anak dan harta benda. Bukankah dalam agama Islam, semua itu disebut fitnah?

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Al-Anfal (8) ayat 28.

Sebuah ayat lagi berkata; “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” At-Taghabun (64) ayat 15.















Maksud dari fitnah di sini, tentu bukan fitnah dalam arti suka menghasut, bukan. Fitnah yang dimaksud di sini adalah cobaan. Maka itu, jika kita berhasil melaluinya, maka pahala Allah tak akan ternilai.

Adapun maksud kata bahwa saya membenci yang haq, artinya bahwa saya membenci kematian. Ya, siapa sih yang tak takut mati. Untuk itulah, semasih hayat, berusahalah berbuat amalan yang baik sebagai bekal di hari kemudian.

Dan apa yang saya maksud bahwa saya memiliki sesuatu yang tak dimiliki Allah baik di langit dan di bumi, adalah saya saat ini memiliki istri dan anak, yang tentu saja tak dimiliki Allah. Karena Allah itu satu, dia tak beranak dan tak diperanakkan.

Jadi apa yang salah dengan kalimat saya tadi? Tentu tidak. Yang salah di sini hanyalah cara mempersepsi kannya saja. Inilah kadang bahayanya persepsi. Karena persepsilah, kadang sebuah kebenaran tertutup.

Soal persepsi ini, ada sebuah pelajaran menarik yang bisa saya sampaikan. Hak ini diajarkan ketika saya mengikuti training ESQ (kecerdasan emosi dan spritual) beberapa waktu lalu.
















Di sana disebut, untuk mencapai kecerdasan emosi dan spritual yang sukses, kita harus membersihkan hati kita dari persepsi/belenggu-belenggu yang menutupi suara hati kita yang sebenarnya.

Ada 7 belenggu yang menutupi Suara Hati. 1. Prasangka Negatif, 2. Prinsip Hidup, 3. Pengalaman, 4. Kepentingan dan Prioritas, 5. Sudut Pandang, 6. Pembanding, 7. Literatur.

”Kemudian hatimu menjadi keras susudah itu, hingga seperti batu, malahan lebih keras lagi. Sebab ada batu-batu yang memancar sungai-sungai daripadanya dan ada pula yang terbelah mengeluarkan air. Ada pula yang meluncur jatuh, karena takutnya kepada Allah. Dan Allah tiada lengah akan apa yang kamu lakukan.” (QS. Al Baqarah, 74)

1. Prasangka Negatif; dalam kehidupan sehari-hari kita, kita sering berprasangka buruk terhadap suami, istri, teman dan orang lain akibatnya suara hati/ sifat-sifat mulia kita tertupi oleh belenggu-belengu/paradigma tersebut.
















Kadang sering kita jumpai, seorang bos tiba-tiba memarahi dan menjelek-jelekkan anak buahnya ke mana-mana, hanya karena saat itu dia melihat anak buahnya bermain internet saat jam kerja.

Padahal, kalau seandainya dia mau bertanya dengan baik, saat itu si anak buah membuka internet guna membantu melaksanakan pekerjaannya, agar informasi yang dia dapat saat itu lebih lengkap. Dan itu atas sepengetahuan atasan langsungnya.

Namun lihatlah, akibat prasangka negatif sang bos, namanya jadi jelek. Tak adil juga rasanya, yang bener-benar bekerja malah dapat celaka, sedangkan yang main-main bahkan malas, malah kian terpelihara.

”Kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan semata, sunggu dugaan tiada berguna sedikitpun melawan kebenaran. Sungguh, Allah mengetahui segala yang mereka lakukan. (Qs. Yunus,36)

2. Prinsip Hidup; Mungkin kita sering mendengar prinsip seperti ini, yakni ”Tidak ada persahabatan sejati, yang ada hanya kepentingan pribadi”. Atau, ”Yang penting penampilan”.



















Hal ini lah tentu berlawanan dengan suara hati manusia, yang sejatinya sangat memuliakan arti persahabatan, kasih sayang, tolong menolong antar sesama umat manusia. Dan yang terakhir, membuat pemikiran bangsa ini menjadi bangsa yang konsumtif dan mendewakan penampilan luar saja tanpa memperhatikan sisi terdalam manusia yaitu hati nurani. Dengan kata lain hanya menilai dari simbol dan statusnya.

3. Pengalaman; Pengalaman-pengalaman hidup seseorang berperan dalam menciptakan pemikiran dalam dirinya. Sebuah paradigma yang melekat erat dalam pikiran, seringkali paradigma itu dijadikan ”kaca mata” dan tolak ukur bagi dirinya.

Karena kita merasa berpengalaman, merasa paling hebat, merasa paling pintar (sombong) akibatnya tidak ada lagi ilmu yang bisa bertambah karena diri kita merasa cukup, merasa sebagai botol yang penuh. Maka itu, bebaskan diri anda dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka.

4. Kepentingan dan prioritas; Orang yang berprinsip pada politik, akan memikirkan sesuatu yang bisa langsung memberikan keuntungan politik, mereka yang berprinsip pada penghargaan pribadi, akan memprioritaskan keputusan untuk mengangkat diri pribadinya sendiri. Mereka hanya mau bekerja jika terdapat keuntungan/ kepentingan untuk pribadinya.

5. Sudut Pandang; seringkali kita melihat seseorang dari satu sisi, melihat orang dari statusnya, cara penampilannya, melihat orang dari kejelekannya. Sering kali kita salah dalam menilai/ melihat sesuatu karena kita tidak berpikir melinggkar.
















6. Pembanding; Kita sering lupa bersyukur kepada Allah, kita sering membandingkan rezeki kita dengan orang lain, kita sering membanding-bandingkan yang kita miliki dengan orang lain tak pernah merasa puas dengan apa yang telah kita miliki. Sehingga belenggu tersebut menutupi suara hati kita.

7. Literatur; Ada seorang pengagum sebuah buku yang mengajarkan arti sebuah penghargaan. Dalam buku tersebut diajarkan bahwa dorongan manusia adalah penghargaan, di mana-mana diajarkan bagaimana menghargai orang lain, sehingga banyak manusia yang gila penghargaan, setelah penghargaan itu hilang banyak manusia yang jatuh, akibat dari literatur yang mengajarkan penghargaan.

Begitupula dengan literatur yang mengajarkan Marksisme, Kapitalisme, semuanya menutup dan menjadi belenggu kita.

Ketujuh belenggu di atas, yakni prasangka, prinsip, pengalaman, prioritas dan kepentingan, sudut pandang, pembanding serta literatur-literatur merupakan hal yang sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang, oleh karena itu ”kemampuan” melihat sesuatu secara jernih dan obyektif harus didului oleh kemampuan mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi.