Senin, 13 Juli 2009

Ingin Sapi atau Ayam?

Dua orang sahabat bertemu dalam sebuah kedai kopi. Dalam obrolannya, mereka bercita-cita.

“Suatu hari nanti, saya ingin punya sapi,” ujar si A.
“Kalau saya ingin punya ayam,” balas si B.

Waktu berlalu setelah sekian tahun, dua sahabat ini bertemu. Merekapun kembali terlibat perbincangan hangat, termasuk membicarakan soal cita-cita mereka dahulu.

“Sekarang saya sudah berhasil punya ayam yang saya cita-citakan dahulu,” kisah si B dengan bangga.
“Kamu bagaimana? Berhasilkan beli sapi?”
“Tidak,” jawab si A.
“Wa ka ka ka…” Si B tertawa terpingkal-pingkal.
“Ya, tapi saya berhasil membeli seekor kambing,” balas si A, yang segera menghentikan tawa rekannya.

Kalau kita perhatikan, si B yang ingin punya ayam berhasil memilikinya, sementara si A yang ingin punya sapi gagal, tapi dia berhasil membeli kambing, sesuatu yang lebih besar dari ayam.

Ini adalah sebuah renungan, bahwa memiliki cita-cita itu haruslah yang tinggi, sehingga kita bisa mengerahkan segenap kemampuan kita hingga batas akhir. “Push to the limit!” begitulah kira-kira.

Dari cita-cita yang tinggi ini, kita bisa menyusun tangga demi tangga pencapaian. Tangga pertama berhasil, lalu ke tangga selanjutnya. Begitu terus, hingga akhirnya mencapai tangga teratas dari cita-cita tersebut.








Namun, harapannya jangan terlalu besar. Realistis saja. Sehingga kalaupun tak berhasil, kita tak terlalu kecewa. Meski demikian, kita masih bisa menjangkau nilai lain yang levelnya, cukup baik.

Jika cita-cita yang terlalu mudah kita raih, ya untuk apa? Itu sama halnya dengan kehilangan motivasi dalam hidup.

Sebuah kisah lain, kita dapat berkaca bagaimana BJ Habibie, yang saat itu menjabat Ketua Otorita Batam, bercita-cita agar Batam sebanding dengan Riau, Johor bahkan Singapura sekalipun.

Untuk mendukung visinya itu, Habibie memiliki teori yang dia namakan “balon pecah”. Bila kemakmuran Singapura ibarat balon pecah, maka pecahannya mampir ke Batam. Seiring dengan ini, maka penduduk Batam akan mengalami ledakan yang sangat besar pula. Untuk itu, daerah ini harus dipersiapkan sedemikian rupa.

Maka, mulailah Habibie membangun infrastrukturnya yang setara dengan kota-kota besar di Indonesia.

Semula, langkah Habibie ini membikin tanda tanya banyak kalangan, termasuk para stafnya sendiri. Wajarlah, saat itu Batam masih sebuah kawasan perawan yang sepi dengan penduduk tak sepadat sekarang. Jadi, buat apa memiliki infrastruktur yang setara kota-kota besar?

Hal ini tampak saat Habibie ingin membangun jalan lingkar. Oleh kepala proyeknya saat itu, lebarnya hanya cukup dilalui dua mobil berpapasan saja.

Tentu saja Habibie protes, dia minta agar jalan dibangun setera dengan jalan di kota-kota besar. Akhirnya jalan ini selesai juga dikerjakan. Hasinya, banyak yang mencemooh, “Huh! Buat apa bikin jalan lebar-lebar, paling yang lewat cuma monyet,” begitulah.

Hal serupa juga terjadi ketika Habibie merencanakan ingin membangun sebuah bandara. Semula sang pimpinan proyek menawarkan desain, bandara yang hanya bisa dilalui pesawat-pesawat kecil.

Namun, Habibie lagi-lagi menolak. Maka jadilah Bandara Hang Nadim dengan landasan pacu terpanjang se Sumatera itu. Hasilnya, lagi-lagi banyak yang mencibir dan memandang hal ini sebagai pemborosan saja. "Untuk apa bandara standar internasional di daerah 'se-ndeso' ini?"







Demikian pula saat Habibie mau membangun sebuah masjid yang kita kenal saat ini sebagai Masjid Raya Batam. Dulu, semula desain bangunannya tak sebesar saat ini. Namun, Habibie meminta agar dibangun cukup menampung hingga ribuan jamaah, lengkap dengan pusat kajian Islamnya.

Lagi-lagi, setelah selesai, banyak juga yang bertanya, “Untuk apa masjid sebesar ini, di kota sekecil ini?” Begitu terus.

Demikian pula saat Habibie membangun tujuh jembatan yang menghubungkan Batam, Rempang dan Galang. Suara saat itu, gaungnya sampai meluas hingga menjadi isu nasional. Intinya, masyarakat bertanya, “Untuk apa, untuk apa, dan untuk apa?”

Namun kini, ternyata visi Habibie terbukti. Bagi Anda warga Batam, tentunya tak usah saya uraikan di sini lagi bagaimana rasanya mencicipi keberhasilan visi Habibie ini.

Coba bayangkan, apa jadinya jika ruas jalan di Batam hanya cukup dilalui dua mobil? Apa kata wisatawan, apa pula kata investor?

Apa jadinya pula bila Masjid Raya Batam tak sebesar saat ini, lengkap dengan fasilitas penunjang syiar Islam-nya? Atau yang lebih parah, bagaimana jadinya bila Rempang dan Galang tak terhubung ke Batam oleh tujuh jembatan yang kita kenal saat ini sebagai jembatan Barelang itu?

Inilah gambaran sebuah visi, inilah gambaran sebuah pencapaian cita-cita. Kini, meski Batam belum bisa menyamai Singapura, minimal infrasturktur kota ini sudah mendekatinya.

Ah, andai kata saat itu Habibie hanya bercita-cita ingin punya ayam.


------------
tulisan ini saya buat setelah mengunjungi Kota Kabupaten Karimun. Di sana saya melihat, beginilah jika sebuah kota dikembangkan dari visi yang kecil. Sekarang, semua serba semrawut. Jalanannya kecil, pokoknya begitu masuk nafas sudah sesak.

Tidak ada komentar: