Sabtu, 31 Maret 2012

Rasis 1

Tak ada suku yang diperlakukan begitu buruk oleh pendatang, selain suku Indian Amerika. Mereka ditindas, diusir, dibunuh bahkan dibersihkan etnisnya dari tanahnya sendiri.


Indian, yang dikenal sebagai penduduk asli Amerika itu sebenarnya juga imigran. Mereka berasal dari suku-suku Mongolia yang hidup di padang rumput luas, bagian timur Laut Siberia.

Karena sulitnya kehidupan akibat perubahan iklim yang tak menentu, maka kira-kira 20-30 ribu tahun lalu, mereka menyebrang ke Amerika melalui selat Bering yang membeku dan menyebar, hingga ketika Colombus tiba, jumlah penduduk asli ini sekitar 15 juta orang.

Sedangkan orang Eropa sendiri, khususnya Portugal dan Spanyol , menemukan Amerika sekitar tahun 1400-an. Hal ini dipicu ketika orang-orang Eropa sangat terobsesi menemukan jalur baru ke India untuk mendapatkan rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, dan lada yang dibawa dari India.

Sebenarnya, jalur ke India ini sudah terbentuk sejak 1 Masehi ketika imperium Romawi menaklukkan Aleksandria, yakni melalui Laut Tengah. Namun jalur dagang ini dikuasai Italia.

Akhirnya, Spanyol dan Portugis mengutus Colombus, penjelajah Italia, untuk mencari jalur baru ke India. Tahun 1492 Colombus berankat ke barat, hingga menemukan pulau di benua baru yang dia sangka bagian dari India.

Inilah mengapa dia menyebut penduduk aslinya dengan ”Indio“ atau ”Indian”. Namun kemudian, Amerigo Vespucci menemukan bahwa benua baru itu bukan bagian India, yang kemudian benua tersebut dinamakan sesuai namanya, Amerigo, ”Amerika”.

Dari sinilah benua Amerika kemudian ramai didatangi orang-orang kulit putih, baik penjelajah, penjarah, maupun pelarian. Dari sini jugalah penderitaan suku Indian bermula.

Yang paling kejam dialami suku Indian di Amerika Selatan. Hernando Cortez yang dikenal sebagai Penakluk Meksiko, telah membantai peradaban Indian Aztec. Cortez yang datang dengan 11 kapal, 110 kelasi, 553 tentara (13 senjata api genggam, 32 busur panah, 10 meriam berat, 4 meriam ringan dan 16 ekor kuda), pada tahun 1519 mendarat di Amerika Selatan.

Cortez saat itu menuju Cholula, kediaman penguasa Aztec Montezuma II. Di sana dia melakukan penjagalan besar-besaran. Montezuma diangkap, emasnya dijarah. Setelah peradaban Aztek di Meksiko ini musnah, Francisco Pizzaro yang datang beberapa tahun setelahnya, memusnahkan peradaban Inca di Peru.

Pizzaro mendarat di Peru september 1532, dengan membawa 177 orang dan 62 kuda dia mendaki pegunungan Andes, dengan tujuan kota Cajamarca, tempat penguasa Inca-Atahualpa yang punya kekuatan 14 ribu prajurit.

Pizzaro sampai di sana tangal 15 November, dia langsung membantai 10 ribu orang Inca hanya dalam tempo singkat: 30 menit! Wajarlah bila Pizzaro disebut penakluk Spanyol yang licik, serakah dan paling brutal yang pernah dicatat dalam sejarah.

Tak hanya di Meksiko dan Peru, suku Indian Arawak dan Indian Taino yang mendiami Jamaica, sejak tahun 1.000 SM, juga dibantai hingga punah. Tak satupun keturunan kedua suku tersebut yang tersisa di Jamaika.

Dari tahun 1502-1525 spanyol melakukan pembersihan etnis secara sistematis terhadap kedua suku ini. Sehingga ketika Jamaika diambil alih Inggris melalui perang tahun 1655, penduduk asli tersebut sudah tak ada lagi. Yang ada hanya para budak dari Afrika yang dibawa orang-orang Spanyol.

Di Amerika Serikat sendiri, nasib suku Indian juga tak kalah pahit. Meski tak setragis nasib saudaranya di Amerika Selatan. Peristiwa rasial yang paling terkenal ketika tahun 1848, terjadi demam emas di Kalifornia.

Orang-orang kulit putih pun banyak menyerbu Kalifornia, dan menyebabkan orang-orang Indian di daerah tersebut seperti suku Cherokee, Apache, Sioux, Comache, diusir dan dikurung di penampungan bagian barat Florida. Banyak orang Indian yang mati terbunuh dalam peristiwa ini.

Arsitek di balik pengusiran ini adalah Presiden Andrew Jackson. Saking kejamnya, orang Indian menyebut Andrew sebagai ”Si Pisau Tajam”. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Trail of Tears.

Jumat, 30 Maret 2012

BBM dan Depresi Besar

Beberapa hari lalu, saya membaca twit Gunawan Muhammad tentang pengalamannya di tahun 1980-an, kala bertemu Prof Wijoyo, Menko Ekuin waktu itu.

Gunawan berkisah, saat itu Prof Wijoyo pernah bilang kepadanya, bahwa sebenarnya lebih baik kalau kita tak punya minyak. ”Saya bingung. Waktu itu uang hasil ekspor minyak mulai mengalir deras masuk. Kenapa lebih baik tak punya minyak?” twitnya.

Widjojo pun menjelaskan, bahwa derasnya petrodollar masuk membuat pejabat-pejabat kita tak hati-hati dalam merancang anggaran pembangunan ke depan.

Menurut @gm_gm, demikian akun twitter budayawan ini, saat itu memang mulai tampak royalnya pimpinan Pertamina, Ibnu Sutowo dan lain-lain, membelanjakan uang dan investasi di mana-mana dari hasil booming minyak bumi ini. Pertamina juga hampir bikin perusahaan apa saja.

Pun demikian, petrodolar juga jadi sumber korupsi dan kemewahan pribadi pejabat-pejabat. Anggaran pendapatan negara tak didukung oleh sumber yang awet dan membangun partisipasi orang banyak: misalnya pajak.

Karena itulah, papar Gunawan, dia setuju subsidi bahan bakar minyak (BBM) dikurangi dan dana yang semula untuk itu, diinvestasikan buat kembangkan sumber tenaga yang bersih dan murah

”Saya jadi ingat kata-kata Pak Widjojo, orang yang tak suka pemborosan dan kemewahan itu. Tanpa minyak bumi, kita cari sumber energi baru,” pungkas Gunawan.

Bangsa ini (baca petinggi negeri) pernah sangat keenakan oleh buaian keuntungan ekspor minyak bumi dekade 1970-an, ekonomi tumbuh tanpa ditunjang dengan antisipasi yang tepat bila suatu ketika sumber daya tersebut habis.

Malah untuk mempertahankan ”keenakan ini” yang dilakukan pemerintah malah mengucurkan subsidi. Wajar saja bila krisis ekonomi dan politik selalu saja terjadi seiring naiknya harga BBM ini.

Mestinya kita belajar pada peristiwa great depression (depresi besar) di Amerika, yang juga dipicu lalainya antisipasi yang tepat oleh pemerintah, kala negara tersebut sangat menikmati keuntungan oleh ekspor peralatan perang ke Eropa, saat meletusnya Perang Dunia I yang pecah tahun 1914.

Kondisinya mirip saat Indonesia dilanda booming minyak bumi. Saat itu distribusi kekayaan antara kelas menengah dan kaya Amerika, antara pertanian dan industri di Amerika, dan antara Eropa dan Amerika, sangat tidak merata.

Hingga setelah perang berakhir tahun 1918, Eropa yang mengalami penurunan ekonomi, menahan laju impor sehingga berdampak pada dipresi ekonomi Amerika serikat atau disebut Zaman Malaise. Selama 10 tahun (1929 1939) ekonomi Amerika terjungkal sampai dasar.

Prahara ini dimulai dari ambruknya pasar bursa Wall Street atau dikenal dengan julukan Black Thursday (Kamis Hitam) yang merupakan awal terjadinya keruntuhan pada bursa dan Black Tuesday (Selasa Hitam) yaitu saat kehancuran terjadi yang membuat panik hingga lima hari setelahnya.

Akibatnya, pengangguran meningkat, banyak bank kolaps, bahkan raja media Amerika kala itu, William Randolph Hears yang memiliki 25 surat kabar, menciut hingga 17 saja yang bertahan.

Hingga kemudian Presiden AS kala itu, Franklin D Roosevelt yang memerintah tahun 1933-1945, mengambil langkah penyelamatan ekonomi. Dia berpikir, negara harus terlibat secara aktif dalam ekonomi. Presiden juga membangkitkan proyek pekerjaan umum, menawarkan pekerjaan pada pengangguran dengan uang pemerintah.

Roosevelt juga memperbaiki kebijakan konstruksi untuk mendirikan dan mebangkitkan lagi industri pertanian. Memperbaiki kebijakan bantuan untuk membantu pekerja, orang miskin dan orang kulit hitam.

Jurus inilah yang membuat keadaan ekonomi Amerika membaik. Karena itulah, Roosevelt dikenal sebagai bapak penyelamat Ekonomi Amerika. Wajahnya dipahat di Gunung Rushmore, bersama George Washington (presiden pertama, pendiri Amerika), Thomas Jefferson (presiden ke III, yang melebarkan tanah Amerika), dan Abraham Lincoln (presiden ke 16, yang memimpin kemenangan atas perang saudara Amerika dan pembebas perbudakan).

Depresi besar ini berakhir, saat Perang Dunia II meletus, kala Jerman menyerang Polandia tahun 1939. Sama seperti saat Perang Dunia I, Amerika lagi-lagi menangguk keuntungan dari Perang Dunia II, dengan mengekspor perlengkapan perang.

Hasilnya, ekonomi Amerika mengalami booming besar, hingga setelah perang berakhir. Masalah pengangguran pun terpecahkan, akibat banyaknya warga Amerika yang mengisi ”lowongan pekerjaan”, baik sebagai penyuplai bisnis pertahanan atau tentara.

Namun untuk kali yang kedua ini, Amerika sudah sangat menjaga agar depresi besar tak terulang lagi. Dengan ekspor peralatan perang inilah, Amerika kini selain tetap bisa menikmati keuntungan berlimpah, juga menempatkannya sebagai polisi dunia.

Jumat, 23 Maret 2012

Nasib yang Diubah oleh Buku

Banyak yang mengatakan, bahwa peradaban kita saat ini akan lebih maju lagi andai manusia zaman dahulu bisa menghargai buku.

Adalah perpustakaan Alexandria di Mesir yang memiliki koleksi buku terlengkap akan ilmu pengetahuan. Di saat Mesir mengalami penaklukan, di saat itu juga perpustakaan ini dibakar.

Pembakaran pertama tak sengaja dilakukan Julius Caesar, tahun 48 SM, namun masih ada yang tersisa. Pembakaran kedua dilakukan Kaisar Theodosius tahun 391 Masehi. Juga masih ada yang tersisa.

Hingga akhirnya ketika tahun 642 Masehi, saat Mesir ditaklukkan Amr ibn al Aas, perpustakaan ini kembali dibakar. Kali ini tak ada yang tersisa. Buku-buku seperti hasil penelitian bidang optik dan astronomi, rumus-rumus matematika dan geografi, ludes.

Laju ilmu pengetahuan pun tersendat. Butuh 400 tahun bagi manusia untuk kembali mendapatkan ”ilmu yang hilang” itu, dengan menyalin kembali ilmu pengetahuan dari Yunani.

Kemajuan itu tumbuh dari Andalusia, Spanyol pada abad ke 11. Para ahli bermunculan, buku-buku banyak diterbitkan, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, arsitektur, filsafat, medis, geografi musik dan kesenian, bahasa dan sastra pun diraih.

Ilmu pengetahuan ini kian berkembang setelah Baghdad, ibu kota bani Abbasyah, negara super power kala itu menjadikan buku sebagai ”panglima”. Di sini budaya literasinya sangat maju. Karenanya banyak dibangun maktabah-maktabah (perpustakaan) besar. Yang terkenal dan terbesar adalah adalah Bait al Hikmah, perpustakaan yang memiliki koleksi lengkap.

Para terpelajar dan orang kaya di Baghdad kala itu, bangga bila punya koleksi buku yang banyak dan bermutu. Pernah seorang dokter diundang Sultan di Bukhara untuk tinggal di istananya. Ia menolak, sebab untuk mengangkut bukunya perlu 400 unta.

Namun, dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukan Hulagu Khan, Mongol pada tahun 1258. Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris, hingga airnya menjadi hitam oleh tinta.

Selain itu, banyak juga buku yang dibakar hingga apinya konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad. Sungguh pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah.

Selepas ini, kembali laju ilmu pengetahuan tersendat. Butuh ratusan tahun lagi manusia mencapai keberhasilan dalam ilmu pengetahuan, tepatnya abad 15-16, masa Renaissan berhembus di Eropa, yang sebelumnya didorong oleh kemajuan di Andalusia. Sejak era ini, buku-buku ilmu pengetahuan dilestarikan. Sehingga pembaharuannya tak putus hingga saat ini.

Di Indonesia sendiri juga pernah mengalami era di saat buku-buku yang dinilai menyimpang dibakar, sehingga catatan sejarah perjalanan bangsa ini banyak hilang. Tepatnya di era Orde Baru.

Kita pun kesulitan, apalagi bila ingin belajar sejarah kaum Tionghoa di Indonesia, karena banyak buku-buku tersebut dihancurkan.Ada juga yang dibakar sendiri oleh warga Tionghoa karena ketakutan bila ketahuan tentara rezim Orde Baru.

Padahal sebelum era Orde Baru, ilmu pengetahuan di Indonesia cukup dinamis. Tokoh-tokoh pendahulu kita kala itu sangat menghargai buku. Mereka bersatu dengan buku, juga bertentangan dengan buku. Mereka pembaca buku dan penulis. Kesadaran mereka dibimbing oleh buku yang mereka baca.

Sebuah buku Suara di Balik Prahara, Berbagi Narasi tentang Tragedi 65, menulis, di tahun 1962-1965, Indonesia sempat memanas oleh persaingan antar kelompok. Uniknya, mereka merayakan perbedaan pandangannya dengan tulisan baik buku dan di surat kabat.

Sampai-sampai waktu itu, koran koran terbagi jadi tiga kelompok. Ada kelompok kiri, tengah dan kanan. Intinya kala itu, yang kiri berhaluan Marxis yang kanan berhaluan Islam, yang tengah, inilah yang tak bisa ditebak.

Pertentangan ini dipicu salah satunya oleh pidato Bung Karno tanggal 17 agustus 1969 yang berjudul, The Rediscovery of Our Revolution. Sehingga menyulut pertentangan politik antara yang revolusioner dan kontra revolusioner.

Terjadi persaingan publik antara partai murba dan Partai Komunis Indonesia. Keduanya memang kiri, tapi berbeda. Murba dasarnya adalah Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog). Sedangkan PKI dasarnya Materialisme, Dialog dan History.

Di bidang budaya dan sastra terjadi pula persaingan antara kelompok Islam dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kelompok Islam diwakili oleh Hamka, sedangkan Lekra diwakili oleh Pramodya Anantatoer.

Buku memang mampu mengubah nasib bangsa. Hal ini juga terjadi di Amerika, kala era-era kemerdekaanya dulu. Saat itu warga Amerika terpecah, ada yang masih setia pada Inggris, ada yang tidak. Kaum penentang ini kemudian dicap menghianati Inggris, sebagai kampung halamannya.

Hingga akhirnya pada tahun 1776, terbit buku Thomas Paine, Common Sense. Buku ini mengatakan, bahwa kebebasan benua baru harus melepaskan diri dari dominasi pulau Inggris yang kecil yang diperintah raja. Hasilnya, pandangan warga Amerika berubah. Suasana pertentangan akan kemerdekaan, kini menjadi persetujuan. ***

Sabtu, 10 Maret 2012

Melukis, eh... Memasak

Memasak itu ibarat melukis. Bumbu boleh sama, namun dengan keahlian seorang koki profesional, makanan bisa diolah sedemikian rupa menjadi santapan yang lezat. 
 

Mengapa saya umpamakan dengan melukis? Perhatikan saja saat orang melukis. Bahan dasar atau sebut saja warna, bisa itu itu saja. Namun dengan keahlian tertentu, aneka warna itu bisa dibikin sebuah lukisan nan menawan. Bahkan di tangan seorang maestro, warna hitam putih saja, bisa dibuat lukisan yang menarik.

Mungkin kita pernah mendengar nama Pablo Diego Jose Fransisco de Paula Juan Nepumoceno Maria de los Ramedios Cipriano de la Santisima Trinaidad Ruiz y Picasso, ah sebut saja Pablo Picasso. Pria yang lahir pada 25 oktober 1881 dan meninggal 8 april 1973 ini, dikenal orang dengan lukisan abstraknya. Lukisan spektakulernya yang paling terkenal di kalangan awam adalah Studio with A Plaster Head.

Pengertian orang akan lukisan abstrak ini berbeda-beda. Bagi yang paham akan tampak sebagai karya yang indah. Tapi bagi yang tak paham, akan disangka coretan ngawur tanpa makna. Lukisan abstrak memang terkesan asal-asalan. Hanya orang yang mengerti akan seni yang bisa menikmatinya.

Di dunia ini, lukisan Picasso bernilai tinggi. Yang paling murah bernilai jutaan dolar. Ada satu coretan kuda yang dibuatnya beberapa detik dengan spidol dari di kertas yang disobek dari katalog, mendapat nilai 20 ribu pound atau sekitar rp300 juta! 

Hanya coretan saja, ratusan juta dibeli orang. Karenanya ada hal yang menarik, saya baca inidi buku Wimar Witoelar, Still More About Nothing, katanya kalau Picasso makan di restoran, ia tak perlu bayar. Tinggal tanda tangan di kertas tissue, maka si pemilik restoran akan sangat senang sekali.

Sama halnya dengan masakan. Bahan boleh tahu tempe, namun di tangan seorang koki yang andal, bisa menjelma jadi pepes atau baceman. Bahkan ampasnya pun bisa diolah jadi makanan yang mantap. 

Contoh lain, telur pun bisa dijadikan aneka kreasi. Bisa mata sapi, dadar, orak arik, rebus matang atau setengah matang, dan lain sebagainya.

Bahkan saat makan di rumah makan padang, tak perlu pakai lauk yang mewah mewah. Cukup kuahnya saja plus nasi, sudah sedap. 

Demikian juga di kampung saya dulu, orang biasa makan dengan garam dan cabe lalu diulek sedemikian rupa. Ya, enak juga. 

Mengapa begitu? Dari sini diketahui, Karena sebenarnya yang bikin masakan enak itu bukan ikan atau daging, tapi bumbu. Bumbu itu merupan padu-padan dari rempah-rempah. Sedangkan di negara kita ini kaya akan rempah. Sampai sampai menarik orang orang Eropa untuk menguasi negeri ini.

Karena itulah,  sebenarnya Indonesia ini tak akan pernah kelaparan. Ketahanan pangan kita sangat kuat, karena di sini kaya akan bumbu (juga ikan dan sayuran).

Tinggal melatih bagaimana agar orang-orangnya kreatif dan variatif dalam memadukan bumbunya. Sehingga bahan makanan sederhana pun bisa diolah menjadi masakan yang lezat bin maknyus binti mantap.

Kamis, 08 Maret 2012

Sambal

”Apa bahasa Inggrisnya sambal?” tanya seorang kawan. Sore itu, di Surabaya, dua orang tengah berbincang serius tentang sambal.



”Hot chili!” jawab lawan bicaranya. Namun, jawaban ini langsung disambar dengan bantahan. ”O bukan... sambal is sambal. Sambal bukan chili, karena sambal tak hanya chili,” jelasnya.

Yang menjawab itu adalah pak Ali, ahli tataboga Surabaya. Dia adalah mantan F&B Manager sebuah hotel berbintang 5 di kota buaya itu. Sedangkan saya, kala itu hanya menguping. Kayaknya menarik juga mendengar mereka membahas dunia ”persambalan” ini.

Maklum selama ini saya hanya bisa melahap, tanpa mampu mengkritisi tentang apa dan bagaimana sambal ini. Tampaknya sihir sambal telah melumpuhkan naluri kewartawanan saya yang biasanya selalu menyerang dengan senjata ”why?”

Oke, kembali lagi ke penjelasan Pak Ali. Dia berkisah, sekitar tahun 2003 lalu pernah menggelar seminar sambal. ”Rupanya banyak yang tertarik juga,” jelasnya.

Seminar ini langsung dilanjut dengan lomba meracik sambal paling enak antar kecamatan di Surabaya. Pesertanya membludak, karena wali kota di sana menginstruksikan agar tiap kecamatan ikut serta.

Hasilnya, ditemukan rasa sambal yang beragam. ”Yang kasihan jurinya. Lidahnya panas (pedas) akibat sering icip-icip,” jelas Ali. Bayangkan saja, tiap kecamatan masing-masing menyajikan tiga jenis sambal, jadi jumlahkan sendiri banyaknya.

Mengapa hanya tiga? Setelah ditelusuri, awalnya jenia sambal itu memang hanya tiga ”mahzab”. Masing-masing sambal terasi, sambal tomat, dan sambal bajak.

Dari sinilah muncul variasi-variasi rasa lain, dengan menambahkan sedikit bumbu ini dan itu sesuai karakteristik daerah masing-masing.

Berdasar inilah, mengapa sambal berbeda dengan chili sauce. Beda sekali. ”Sambal is sambal, titik,” katanya.

Sambal bukan mayonaise pada salad atau petis kacang pada rujak dan sejenisnya. Itu dalam dunia makanan dikenal sebagai dresser. Disebut demikian karena hanya cocok untuk satu makanan tertentu saja. ”Dan yang pasti, dresser tak boleh pedas,” jelasnya.

Sedangkan sambal adalah padanan tersendiri. Karena sambal memiliki fungsi yang cocok untuk segala macam makanan, mulai sayur hingga ikan. Bahkan makan nasi saja sudah enak dengan sambal.

Sambal bagi masyarakat Indonesia merupakan final touch, artinya masakan boleh beragam, namun tetap saja harus ada sambal. Karena awalnya fungsi sambal adalah penyeimbang rasa, akibat makanan pokok kita, nasi, tanpa rasa.

Nah, ternyata bermulanya dari sini. Karena nasi yang tanpa rasa itulah, di Indonesia muncul aneka masakan atau resep lauk pauk nan maknyus. Kaya sekali. Tujuannya untuk menyeimbangkan rasa nasi yang tawar tadi.

Beda dengan orang Eropa, yang makanan pokoknya adalah kentang atau daging. Daging dan kentang sudah memiliki rasa tersendiri. Kentang misalnya, rasanya sudah manis. Maka itu mereka mencari penyeimbang yang sedikit hambar, cukup sayuran rebus, atau roti.

Kadang sedikit dresser berupa krim mayonaise, saus tomat dan sapuan keju (dairy). Hanya itu ke itu saja. Jadi jangan heran bila masakan Eropa kurang variatif, karena makanan pokoknya sudah berasa.

Hanya di Indoensialah nasi dimakan apa adanya. Tawar. Makanya perlu penyeimbang yang beraneka rasa.

Bila melihat di negara-negara Asia tengah, nasi sudah dimakan dengan bumbu, seperti nasi bariani atau kebuli. Bahkan dari India ke barat, nasi sudah diolah menjadi tepung yang tentu saja disajikannya dengan dicampur sedikit penyedap. Maka itu, mereka tak memerlukan sambal lagi sebagai final touch-nya.

Jumat, 02 Maret 2012

Takut


Anugerah terbesar yang diberikan sang Maha Kuasa bagi manusia adalah rasa takut. Karena dengan rasa takutlah manusia mampu membangun peradaban hingga maju seperti saat ini.

 

Mungkin pendapat ini sangat debatable, bisa saja. Memang, pendapat bahkan ilmu pengetahuan sekalipun dibangun atas dasar skeptis, ragu.

Semua harus dikoresi. Sebagaimana kata Socrates, hidup yang terus berjalan tanpa koreksi, tak pantas untuk dijalani. Demikian juga pendapat ini.

Namun, sebelum anda mendebatnya, izinkan dulu saya mengurai apa yang dihasilkan rasa takut ini dalam membangun peradaban manusia.

Adapun rasa takut yang paling ampuh untuk membuat manusia maju adalah, rasa takut akan kematian. Dari sinilah semua bermula, manusia mulai berusaha untuk survive agar bisa bertahan dari seleksi alam. Istilah Darwin survival of the fittes.

Rasa takut inilah membuat manusia ingin bebas, sehingga berbuah kreativitas dalam menemukan sesuatu, hingga tercipta beberapa cabang ilmu pengetahuan. Mulai ilmu kedokteran, ekonomi, teknik, kesenian, perang dan sebagainya.

Namun ketika mereka berhasil mengatasi rasa takutnya, kebebasan sudah diperoleh, mereka harus kembali membatasi diri dengan rasa takut juga. Maka terciptalah hukum, sosiologi,  hingga kajian akan hidup sesudah mati. Bukankah agama sendiri dibangun atas dasar rasa takut?

Baiklah, marilah kita lihat bagaimana bangsa-bangsa moor (arab) bertahan dari tentara-tentara inkuisisi Ratu Isabella, Spanyol. Mereka mengisahkan pelarian kaki mereka, hingga terciptalah tari Flamenco.

Kita juga melihat bagaimana kaum kulit hitam Brazil menggalang sebuah perlawanan pada penguasa tiran. Mereka menciptakan tarian (sebenarnya ilmu bela diri) Capoera. Indah, namu n mematikan.

Atau mungkin kita tak akan lupa bagaimana kaisar-kaisar China membangun tembok besar guna menghindari serbuan dari bangsa Mongol.
 
Dalam ilmu politik juga rasa takut juga lazim dipakai untuk melanggengkan kekuasaan. Caranya, dengan membuat suasana tak aman atau sangat nyaman, sehingga rakyat bergantung pada penguasa.

Kita juga tahu, rasa takut akan serbuan Attila The Hun membuat bangsa Jerman hijrah besar-besaran dari negerinya ke Prancis. Selain menetap, sebagian lain menyebar di serata Eropa barat dan membuat kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi cikal-bakal negara-negara Eropa Barat saat ini.

Banyak lagi hal di dunia ini yang dibangun dari rasa takut. Hingga tak salah bila ada yang mengatakan bahwa rasa takut adalah motivasi terbesar yang akhirnya menumbuhkan keberanian untuk bertahan, bersaing, mencipta bahkan menaklukkan. Jadi bukan malah menjadi penakut. Itu pecundang namanya.

Lalu, apakah untuk maju harus dipacu dengan rasa takut (baca: menakut-nakuti)? Percayalah, hingga sekarang metode ini masih sangat ampuh. Baik dilakukan terang-terangan, maupun terselubung. ***