Jumat, 23 Maret 2012

Nasib yang Diubah oleh Buku

Banyak yang mengatakan, bahwa peradaban kita saat ini akan lebih maju lagi andai manusia zaman dahulu bisa menghargai buku.

Adalah perpustakaan Alexandria di Mesir yang memiliki koleksi buku terlengkap akan ilmu pengetahuan. Di saat Mesir mengalami penaklukan, di saat itu juga perpustakaan ini dibakar.

Pembakaran pertama tak sengaja dilakukan Julius Caesar, tahun 48 SM, namun masih ada yang tersisa. Pembakaran kedua dilakukan Kaisar Theodosius tahun 391 Masehi. Juga masih ada yang tersisa.

Hingga akhirnya ketika tahun 642 Masehi, saat Mesir ditaklukkan Amr ibn al Aas, perpustakaan ini kembali dibakar. Kali ini tak ada yang tersisa. Buku-buku seperti hasil penelitian bidang optik dan astronomi, rumus-rumus matematika dan geografi, ludes.

Laju ilmu pengetahuan pun tersendat. Butuh 400 tahun bagi manusia untuk kembali mendapatkan ”ilmu yang hilang” itu, dengan menyalin kembali ilmu pengetahuan dari Yunani.

Kemajuan itu tumbuh dari Andalusia, Spanyol pada abad ke 11. Para ahli bermunculan, buku-buku banyak diterbitkan, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, arsitektur, filsafat, medis, geografi musik dan kesenian, bahasa dan sastra pun diraih.

Ilmu pengetahuan ini kian berkembang setelah Baghdad, ibu kota bani Abbasyah, negara super power kala itu menjadikan buku sebagai ”panglima”. Di sini budaya literasinya sangat maju. Karenanya banyak dibangun maktabah-maktabah (perpustakaan) besar. Yang terkenal dan terbesar adalah adalah Bait al Hikmah, perpustakaan yang memiliki koleksi lengkap.

Para terpelajar dan orang kaya di Baghdad kala itu, bangga bila punya koleksi buku yang banyak dan bermutu. Pernah seorang dokter diundang Sultan di Bukhara untuk tinggal di istananya. Ia menolak, sebab untuk mengangkut bukunya perlu 400 unta.

Namun, dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukan Hulagu Khan, Mongol pada tahun 1258. Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris, hingga airnya menjadi hitam oleh tinta.

Selain itu, banyak juga buku yang dibakar hingga apinya konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad. Sungguh pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah.

Selepas ini, kembali laju ilmu pengetahuan tersendat. Butuh ratusan tahun lagi manusia mencapai keberhasilan dalam ilmu pengetahuan, tepatnya abad 15-16, masa Renaissan berhembus di Eropa, yang sebelumnya didorong oleh kemajuan di Andalusia. Sejak era ini, buku-buku ilmu pengetahuan dilestarikan. Sehingga pembaharuannya tak putus hingga saat ini.

Di Indonesia sendiri juga pernah mengalami era di saat buku-buku yang dinilai menyimpang dibakar, sehingga catatan sejarah perjalanan bangsa ini banyak hilang. Tepatnya di era Orde Baru.

Kita pun kesulitan, apalagi bila ingin belajar sejarah kaum Tionghoa di Indonesia, karena banyak buku-buku tersebut dihancurkan.Ada juga yang dibakar sendiri oleh warga Tionghoa karena ketakutan bila ketahuan tentara rezim Orde Baru.

Padahal sebelum era Orde Baru, ilmu pengetahuan di Indonesia cukup dinamis. Tokoh-tokoh pendahulu kita kala itu sangat menghargai buku. Mereka bersatu dengan buku, juga bertentangan dengan buku. Mereka pembaca buku dan penulis. Kesadaran mereka dibimbing oleh buku yang mereka baca.

Sebuah buku Suara di Balik Prahara, Berbagi Narasi tentang Tragedi 65, menulis, di tahun 1962-1965, Indonesia sempat memanas oleh persaingan antar kelompok. Uniknya, mereka merayakan perbedaan pandangannya dengan tulisan baik buku dan di surat kabat.

Sampai-sampai waktu itu, koran koran terbagi jadi tiga kelompok. Ada kelompok kiri, tengah dan kanan. Intinya kala itu, yang kiri berhaluan Marxis yang kanan berhaluan Islam, yang tengah, inilah yang tak bisa ditebak.

Pertentangan ini dipicu salah satunya oleh pidato Bung Karno tanggal 17 agustus 1969 yang berjudul, The Rediscovery of Our Revolution. Sehingga menyulut pertentangan politik antara yang revolusioner dan kontra revolusioner.

Terjadi persaingan publik antara partai murba dan Partai Komunis Indonesia. Keduanya memang kiri, tapi berbeda. Murba dasarnya adalah Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog). Sedangkan PKI dasarnya Materialisme, Dialog dan History.

Di bidang budaya dan sastra terjadi pula persaingan antara kelompok Islam dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kelompok Islam diwakili oleh Hamka, sedangkan Lekra diwakili oleh Pramodya Anantatoer.

Buku memang mampu mengubah nasib bangsa. Hal ini juga terjadi di Amerika, kala era-era kemerdekaanya dulu. Saat itu warga Amerika terpecah, ada yang masih setia pada Inggris, ada yang tidak. Kaum penentang ini kemudian dicap menghianati Inggris, sebagai kampung halamannya.

Hingga akhirnya pada tahun 1776, terbit buku Thomas Paine, Common Sense. Buku ini mengatakan, bahwa kebebasan benua baru harus melepaskan diri dari dominasi pulau Inggris yang kecil yang diperintah raja. Hasilnya, pandangan warga Amerika berubah. Suasana pertentangan akan kemerdekaan, kini menjadi persetujuan. ***

Tidak ada komentar: