Kamis, 08 Maret 2012

Sambal

”Apa bahasa Inggrisnya sambal?” tanya seorang kawan. Sore itu, di Surabaya, dua orang tengah berbincang serius tentang sambal.



”Hot chili!” jawab lawan bicaranya. Namun, jawaban ini langsung disambar dengan bantahan. ”O bukan... sambal is sambal. Sambal bukan chili, karena sambal tak hanya chili,” jelasnya.

Yang menjawab itu adalah pak Ali, ahli tataboga Surabaya. Dia adalah mantan F&B Manager sebuah hotel berbintang 5 di kota buaya itu. Sedangkan saya, kala itu hanya menguping. Kayaknya menarik juga mendengar mereka membahas dunia ”persambalan” ini.

Maklum selama ini saya hanya bisa melahap, tanpa mampu mengkritisi tentang apa dan bagaimana sambal ini. Tampaknya sihir sambal telah melumpuhkan naluri kewartawanan saya yang biasanya selalu menyerang dengan senjata ”why?”

Oke, kembali lagi ke penjelasan Pak Ali. Dia berkisah, sekitar tahun 2003 lalu pernah menggelar seminar sambal. ”Rupanya banyak yang tertarik juga,” jelasnya.

Seminar ini langsung dilanjut dengan lomba meracik sambal paling enak antar kecamatan di Surabaya. Pesertanya membludak, karena wali kota di sana menginstruksikan agar tiap kecamatan ikut serta.

Hasilnya, ditemukan rasa sambal yang beragam. ”Yang kasihan jurinya. Lidahnya panas (pedas) akibat sering icip-icip,” jelas Ali. Bayangkan saja, tiap kecamatan masing-masing menyajikan tiga jenis sambal, jadi jumlahkan sendiri banyaknya.

Mengapa hanya tiga? Setelah ditelusuri, awalnya jenia sambal itu memang hanya tiga ”mahzab”. Masing-masing sambal terasi, sambal tomat, dan sambal bajak.

Dari sinilah muncul variasi-variasi rasa lain, dengan menambahkan sedikit bumbu ini dan itu sesuai karakteristik daerah masing-masing.

Berdasar inilah, mengapa sambal berbeda dengan chili sauce. Beda sekali. ”Sambal is sambal, titik,” katanya.

Sambal bukan mayonaise pada salad atau petis kacang pada rujak dan sejenisnya. Itu dalam dunia makanan dikenal sebagai dresser. Disebut demikian karena hanya cocok untuk satu makanan tertentu saja. ”Dan yang pasti, dresser tak boleh pedas,” jelasnya.

Sedangkan sambal adalah padanan tersendiri. Karena sambal memiliki fungsi yang cocok untuk segala macam makanan, mulai sayur hingga ikan. Bahkan makan nasi saja sudah enak dengan sambal.

Sambal bagi masyarakat Indonesia merupakan final touch, artinya masakan boleh beragam, namun tetap saja harus ada sambal. Karena awalnya fungsi sambal adalah penyeimbang rasa, akibat makanan pokok kita, nasi, tanpa rasa.

Nah, ternyata bermulanya dari sini. Karena nasi yang tanpa rasa itulah, di Indonesia muncul aneka masakan atau resep lauk pauk nan maknyus. Kaya sekali. Tujuannya untuk menyeimbangkan rasa nasi yang tawar tadi.

Beda dengan orang Eropa, yang makanan pokoknya adalah kentang atau daging. Daging dan kentang sudah memiliki rasa tersendiri. Kentang misalnya, rasanya sudah manis. Maka itu mereka mencari penyeimbang yang sedikit hambar, cukup sayuran rebus, atau roti.

Kadang sedikit dresser berupa krim mayonaise, saus tomat dan sapuan keju (dairy). Hanya itu ke itu saja. Jadi jangan heran bila masakan Eropa kurang variatif, karena makanan pokoknya sudah berasa.

Hanya di Indoensialah nasi dimakan apa adanya. Tawar. Makanya perlu penyeimbang yang beraneka rasa.

Bila melihat di negara-negara Asia tengah, nasi sudah dimakan dengan bumbu, seperti nasi bariani atau kebuli. Bahkan dari India ke barat, nasi sudah diolah menjadi tepung yang tentu saja disajikannya dengan dicampur sedikit penyedap. Maka itu, mereka tak memerlukan sambal lagi sebagai final touch-nya.

Tidak ada komentar: