Minggu, 29 September 2013

Dialog tentang Kepemimpinan Bersama Amien Rais

Ini adalah tahun politik, tahun di mana banyak orang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Bagaimana memilih pemimpin yang baik? Prof DR HM Amien Rais memaparkan dari tinjauan historis dan Islam. Berikut petikannya.

”Saya baru tahu kalau tema acara ini tentang kepemimpinan setelah melihat ini (backdrop) dari pintu itu,” ujar Amien, saat berbicara di acara Silaturahmi Pemuda dan Dialog Kepemimpinan yang digelar pemuda Muhammadiyah Batam, di Hotel PIH Batam Center, kemarin yang disambut tawa hadirin. 

Saat diundang sebagai pembicara kemarin, Amien memang tak diberi tahu harus berbicara tentang apa. Dalam dialog itu, Amien di dampingi Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kepri Chablullah Wibisono dan Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Batam Suyono.

Menurut Amien, dari zaman ke zaman manusia selalu memerlukan pemimpin, atau disebut juga leader, imam, fuhrer. Pemimpin secara objektif diperlukan, tak hanya oleh manusia, juga kelompok hewan hingga mahluk halus. ”Golongan jin ada kepala jin, jenderal jin. Setan juga begitu,” lanjut mantan ketua MPR RI ini. 

Kebutuhan akan pemimpin sudah menjadi kodrat manusia, tujuannya untuk memberikan pencerahan atau enlightment. Inilah mengapa Tuhan mengutus para nabi dan rasul. 

Tugas mereka untuk menunjukkan jalan yang benar. Membawa manusia dari kegelapan ke terang benderang, dari kebodohan kepada ilmu, dari kezaliman pada keadilan, dari pengkotak-kotakan menjadi egaliter dan seterusnya.

Dalam konteksnya, di dunia ini ada pemimpin yang tak bisa salah atau maksum. Mereka adalah pemimpin berdasar wahyu. Dialah para nabi. Hakikatnya, nabi juga manusia yang kadang tergoda untuk berbuat salah. Namun tiap kali mereka akan melakukan kekeliruan, selalu saja ada burhan (kekuatan cahaya Allah) yang datang, sehingga dia sadar. 

Amien Rais mencontohkan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha. Ketika Zulaikha kian gencar menggoda, sebenarnya nabi Yusuf sudah mulai tergoda. Namun, kemudian Yusuf melihat burhan. Sehingga terhindarlah dia dari perbuatan nista. ”Para nabi ini crime proof, ada garansi dari Allah, beliau tak bisa berbuat dosa. 

Selain para pemimpin wahyu (nabi dan rasul) ini, ada juga pemimpin non wahyu. Yang pertama, adalah pemimpin yang selalu ingin ittiba’, atau mengikuti petunjuk para nabi yang selalu bersandar pada ajaran sunnah. Sedangkan yang kedua, adalah pemimpin sekuler, yang tak terikat pada agama. Mereka ingin menjadi manusia otonom yang bisa memecahkan masalah sendiri perlu bersandar pada aturan agama. 

Menurut Tokoh PAN ini, pemimpin yang tak pernah menyandarkan langkahnya pada wahyu (agama) bisa lebih buas dari binatang buas. Mereka bisa berbuat apa saja, karena tak ada yang harus dipertanggungjawabkan lagi. Mereka tak percaya kehidupan akhirat nanti. 

Amien kemudian mencontohkan bagaimana kekejaman Jenderal Saloth Sar atau Pol Pot. Di tahun 1963-1979 saat ketua kelompok Khmer Merah tersebut menjabat sebagai perdana menteri Kamboja, sedikitnya 3 juta orang tewas di tangannya. Mereka dibunuh dengan sangat sadis, tak hanya orang dewasa juga bayi. 
”Karena itulah, pemimpin yang bersandar pada agama akan jauh lebih bagus,” jelas politikus kelahiran Solo ini. 

Amien yang kemarin mengenakan baju koko putih dipadu peci hitam dan celana hitam ini, mengutip sebuah pepatah Latin yang dalam terjemahan bahasa Indonesianya adalah, ”Ikan busuk mulai dari kepala.” Analogi ini, menurut ayahanda Hanum Rais pengarang buku best seller, 99 Cahaya di Langit Eropa tersebut, berarti bahwa sebuah organisasi atau bangsa akan busuk bila pemimpinnya busuk. 

Lalu seperti apakah pemimpin yang baik itu? Tentunya yang mampu memberi teladan yang baik, uswatun hasanah, sebagaimana Rasulullah. ”Tak usah pelajari buku-buku tebal dari Cambridge, Oxford dan seterusnya bila hanya ingin tahu bagaimana kepemimpinan yang baik.  Cukup pelajari saja Alquran. Dan mereferensi pada Nabi Muhammad,” anjurnya.

Menurut tokoh yang dikenal sebagai ”Bapak Reformasi” ini, Nabi Muhammad adalah, the best ever para pemimpin manusia. ”Dalam buku One Hundred, Rasulullah dinobatkan sebagai pemimpin top. Alasan pengarangnya, karena beliau bisa melihat hasilnya sebelum meninggal. Hal ini tentu berbeda dengan pemimpin dunia lainnya. Amien mencontohkan Karl Marx dan Lenin yang dia sebut sebagai nabi pertama dan nabi kedua faham komunis ini. 

Di masa hayatnya, Marx dan Lenin pernah membayangkan pada suatu masa ada sebuah revolusi sosial dan komunis akan tampil untuk menggebuk paham kapitalis dan liberalis. Untuk itu mereka mempersiapkan dengan membuat partai komunis dan perangkatnya dengan bantuan intelijen seperti KGB dan sebagainya. Tapi hingga meninggal, keduanya tak pernah melihat hasil dari apa yang dirancangnya itu. Bahkan kini komunis sudah bubar, dan fahamnya sudah kedaluwarsa. 

Tentang syarat utama seorang pemimpin, Amien tegas mengatakan syarat moral lebih penting daripada syarat intelektual. ”Yang pertama harus ditanya, punya akhlaq tidak? Kalau akhlaknya on off, maka rosikonya besar,” jelasnya. 

Amien mengingatkan, orang pandai banyak tapi yang memegang moral values yang kuat memang sedikit. Apalagi kebanyakan manusia terpikat pada kepentingan dunia.
Amien mencontohkan bagaimana bangsa Amerika kesulitan mencari top leader tersebut. 

”Saat (presiden) Jimmy Carter mau turun, ada kebingungan mencari capres Amerika yang layak,” terangnya. Saat itu orang berpikir jenderal Eisenhower itu pemimpin sempurna, tapi setelah ditelaah ternyata meleset. Lalu ada yang berpendapat, John F kennedy adalah pemimpin kharismatik. Namun itu juga tak terbukti pula. 

Agar kepemimpinan ini berjalan baik, maka perlu penyegaran. Di Muhammadiyah, lanjut Amien, disyaratkan selalu ada penyegaran kepemimpinan, agar nuansanya selalu berubah-ubah, sesuai zamannya. 

Dia mencontohkan, saat dirinya terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dulu, karena eranya saat itu memang pas. ”Waktu rezim orba surut, saya ngomong suksesi reformasi, saya terpilih. Pimpinan Muhammadiyah, sejak era kolonial hingga saat ini, selalu sesuai zamannya,” terangnya. 

Menurut Amien, tak hanya di Muhammadiyah, di mana saja harus ada rotasi kepemimpinan. Sebab bila terlalu lama duduk di ”singgasana” maka akan karatan, sehingga akan ada proses pengroposan dan kehilangan wawasan. ”Kalau begitu selanjutnya akan mengarah pada kesimpulan ‘negara adalah aku’. Jadi siapa yang kritik aku, maka sama artinya menkritik (melawan) negara,” tegasnya.

Sedikit memberikan penyegaran, Amien mengenang tentang bagaimana model kepemimpinan mantan presiden Soeharto dulu. Adalah Emil Salim, bercerita padanya tentang pengalamannya saat menjadi menteri Lingkungan Hidup di era Soeharto. ”Pak Amien, saya ini orang Minang tapi saya sangat paham filosofi kepemimpinan raja Jawa,” kisah Emil pada Amien. 

Filosofi raja Jawa itu adalah, jangan didahului, jangan dikasih tahu, jangan digurui. Karena itulah, kala Emil ingin mengutarakan sebuah program dan minta persetujuan Soeharto, dia tak berani langsung pada poinnya. Takutnya disangka mendahului, memberi tahu dan mengurui. Caranya, Emil membawa tiga opsi ke Soeharto. ”Saya ada rencana begini, Pak, pilihannya begini, bapak pilih yang mana?’ Saat itulah pak Harto memilih,” jelas Amien, menirukan Emil.

Di akhir pertemuan Amien kembali mengingatkan, ”Rujukan kita sebagai pemimpi haruslah nabi Muhammad,” tegasnya. Kekuatan nabi bukan pada intelektualnya, tapi otentik dari akhlaknya. Ada ilmu kepemimpinan yang mengatakan, sebagus bagus pemimpin selalu ada pojok gelapnya. Tapi nabi Muhammad berbeda. Ibarat kaca, sangat transparan. Nabi sangat sempurna.

Kesempurnaan Nabi Muhammad sebagai pemimpin ini karena mengedepankan ampunan. ”Kalau saja nabi keras, maka semua akan bubar. Itulah bedanya nabi dengan pemimpin serperti kita,” ujarnya. 

Yang paling penting, pemimpin jangan pernah meninggalkan rakyatnya  atau bawahannya. Hal ini harus disadari agar tak terpengaruh oleh bualan buku-buku barat yang jauh dari sisi rohani. ***